Senin, 28 Juli 2014

Bioskop Megaria Jakarta

Bioskop Metropole, 1950-an. Foto: Sinematek Indonesia

BIOSKOP MEGARIA adalah bioskop tertua dan merupakan satu-satunya bangunan besar bergaya arsitektur Art Deco di Jakarta yang masih bertahan.[1]Peninggalan arsitektur ini merupakan Cagar Budaya Kelas A, mengingat usianya yang sudah lebih dari 50 tahun, berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993. Terletak di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, lokasi bioskop Megaria sangat strategis, karena merupakan pertemuan dari arah Bundaran Hotel Indonesia, Cikini, Matraman, dan Manggarai.

Bioskop yang awalnya bernama Metropole ini dibangun pada 11 Agustus 1949 dan selesai pada 1951.[2]Peresmian bioskop dihadiri oleh Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan Hamengkubuwono IX (1912 – 1988), dan Haji Agus Salim (1884 – 1954),[3] dengan menampilkan film Annie Get Your Gun (George Sidney, 1950) sebagai pemutaran perdana.[4]

Banyak orang mengira bahwa bioskop ini dirancang oleh arsitek Belanda, Johannes Martinus (Han) Groenewegen. Namun sebenarnya, bioskop Metropole dirancang oleh Liauw Goan Seng (sebelum dikoreksi cucunya, Ifke M. Laquais pada 2007, Liauw Goan Seng disebut Lauw Goan Sing)[5] yang meninggalkan Indonesia pada 1958 untuk pindah ke Belanda ketika terjadi naturalisasi.[6] Oleh Liauw Goan Seng, bioskop Metropole dirancang dengan gaya arsitektur Art Deco—dari kata Art Decorative—sebagai bagian perkembangan arsitektur dunia Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau yang ditandai dengan banyaknya ornamen dekoratif, seperti kaca mozaik, gambar, serta ukiran, unsur kerumitan pada Art Deco jauh berkurang dan menjadi lebih sederhana.[7]

Dengan menggunakan blower dan exhaust, bioskop berkapasitas 1446 penonton ini cukup nyaman pada masanya.[8] Ia pun tak sendirian di atas lahan seluas 11.623m² itu.[9] Seperti bioskop Capitol dan Menteng,[10]area bioskop Metropole dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan. Di lantai atas bioskop terdapat ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada toko-toko tekstil.[11]

Selain kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain dalam kompleksnya, faktor penting yang membuat bioskop Metropole menjadi salah satu bioskop kelas satu saat itu adalah karena bioskop ini memutar film-film populer Amerika. Dari War and Peace (King Vidor, 1956) sampai Gone with The Wind (Victor Fleming, 1939), maupun aksi si pirang Marilyn Monroe atau Robert Mitchum pernah dinikmati di gedung bioskop ini.[12]

Pada awal 1950-an itu, sebagai salah satu bioskop berkelas, bioskop Metropole juga tergabung dalam organisasi antarbioskop kelas satu. Salah satu organisasi yang paling terkenal adalah United Cinemas Combination, yang terdiri dari bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand, Happy, Sin Thu, dan Globe. Bioskop Metropole sendiri, bersama Bioskop Cathay, Garden Hall, Mayestic, Orion, Roxy, dan Podium tergabung dalam Independent Cinemas.[13] Bioskop-bioskop kelas satu itu memutar film-film produksi Paramount, United Artists, J. Arthur Rank, maupun MGM (Metro Goldwyn Mayer).[14] Bioskop Metropole sendiri banyak memutar film-film produksi MGM.

Namun banyaknya film-film Amerika yang diputar di bioskop Metropole, tak mencegah bioskop ini berperan penting dalam perkembangan film Indonesia. Pada 1955, film Krisis (Usmar Ismail, 1955) diputar di bioskop Metropole. Pemutaran film ini merupakan salah satu fenomena dalam sejarah film Indonesia. Awalnya filmKrisis, buah karya Usmar Ismail (1921 - 1971) yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Film Indonesia, hendak diputar di Capitol Theater.[15] Pada 1950-an itu, bahkan sampai 1970-an, memutar film Indonesia di bioskop kelas satu sangat sulit karena film Indonesia hanya diputar di bioskop-bioskop kelas C.[16] Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis kemudian ditampik dengan hinaan oleh Weskin, manajer Capitol Theater hingga kabarnya, Usmar Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya.[17] Film Krisis lalu disambut Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole, sekalipun perwakilan MGM di Indonesia keberatan. Lie Khik Hwie tak gentar, ia mengatakan bahwa MGM yang tak memiliki saham sesenpun tak berhak mengaturnya, dan mengancam akan merobek kontrak dengan MGM.[18] Pihak MGM lalu membiarkan film Krisis menggeser jadwal film-film distribusinya, dan ternyata film itu sukses besar. Memecahkan rekor penonton film Terang Boelan(Albert Balink, 1937),[19] Krisis menjadi film Indonesia pertama yang bisa sukses di bioskop kelas satu, hingga diputar selama lima minggu, melebihi film Barat.[20]

Terbukanya kesempatan bagi film Indonesia bisa diputar di Bioskop Metropole, pada akhirnya memang tak berimbas ke semua film Indonesia. Bioskop tetap memperhitungkan larisnya penjualan tiket. Namun Bioskop Metropole pada 1955, bersama sejumlah bioskop lain, sempat menjadi salah satu bioskop yang turut memutar film-film peserta Festival Film Indonesia I yang berlangsung pada 30 Maret – 5 April 1955, menjelang Pemilu pertama Indonesia.[21] Sementara pada 1970, bioskop Metropole, yang kala itu sudah berganti nama menjadi Megaria, juga menjadi salah satu bioskop penunjang pelaksanaan Festival Film Asia ke-16 pada April – Mei 1970, di mana Jakarta menjadi tuan rumah festival. Selain Bioskop Megaria, bioskop lain penunjang festival tersebut adalah Apollo, Star, City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.[22]


* * *


Bioskop Megaria—yang kini bernama Metropole XXI—memang punya sejarah sendiri atas rangkaian penggantian namanya. Pada 1960, mengikuti perintah Presiden Soekarno (1901-1971), bioskop Metropole mengganti namanya yang berbau asing menjadi bioskop Megaria. Kemudian sepanjang Orde Baru sempat berganti nama menjadi Megaria Theatre. Pada 1989, ketika gedung bioskop ini disewakan pada jaringan 21 Cineplex, namanya berubah menjadi Metropole 21,sempat berganti kembali menjadi Megaria 21,[23]sebelum kemudian pada 2008—usai berita penjualan bioskop yang menggemparkan—kembali dipugar oleh 21 Cineplex dan berganti nama menjadi Metropole XXI hingga kini. Namun sampai sekarang, orang-orang tetap akrab memanggilnya sebagai bioskop Megaria.

Pada awal masa kejayaannya, inilah gedung yang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Jakarta. Warga ibukota dapat menonton film-film Amerika terbaru di sana. Bioskop ini pun dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat, dari artis seperti Citra Dewi, Rima Melati, para menteri, politisi, mahasiswa, pekerja kantoran, semua pernah menonton di bioskop Metropole. “Dan yang paling membanggakan adalah membawa pasangan nonton film di kelas loge,” kata Suditomo, mantan pegawai Sekretariat Negara yang pada pertengahan 1950-an adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Loge adalah kelas satu, dengan harga karcis saat matinee show—pertunjukan murah Sabtu siang—Rp 4 per orang atau setara dengan Rp 15 ribu pada zaman sekarang.[24] Begitulah, masa kejayaan bioskop Megaria terus berlanjut sampai 1970-an.

Namun pada awal 1980-an, suasana perbioskopan berubah. Tibalah masa bagi bioskop-bioskop yang dulunya kelas satu itu untuk menggulung layar. Berbagai hal dituding sebagai penyebab, dari maraknya acara televisi, penyewaan video baik asli maupun bajakan, semakin macetnya jalanan, jumlah bioskop yang mencapai 162 dan sudah dianggap berlebihan, hingga terlalu banyaknya pembagian kelas dan terlalu lebarnya selisih harga tiket. Film-film yang diputar pada masa itu, terutama yang diistilahkan berkisar pada “paha” dan “parang”, khususnya film nasional, tak juga menerbitkan selera, sementara film-film impor semakin terbatas. Pada 1984 cuma ada 180 judul film impor, dibandingkan 600 judul film setahun pada dekade sebelumnya. Sebagian film itu pun bisa dinikmati melalui kaset video bajakan.

Saat itu, bioskop Megaria termasuk bioskop yang masih bisa menahan penggulungan layar. Nasibnya masih lebih baik daripada bioskop-bioskop lain, walau jumlah penonton masih 30 persen dari kapasitas kursi. Sekalipun kabarnya, lokasi strategis dan lahannya yang luas sudah diincar banyak pengusaha untuk pertokoan dan perkantoran.[25]

Masa menurunnya penonton dan ambruknya bisnis bioskop di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, bertepatan dengan ditemukannya konsep sinepleks yang berasal dari Amerika. Bioskop yang semula berkapasitas besar, seperti gedung teater dengan ribuan kursi, dipecah-pecah menjadi beberapa ruang, sehingga bisa memutar lebih banyak film dan tak lagi memerlukan penonton melimpah-ruah di setiap pemutaran.

Bioskop pertama yang akhirnya menerapkan konsep sinepleks itu, yang diistilahkan saat itu sebagai “bioskop kembar-dempet”,[26] adalah bioskop Kartika Chandra di Jakarta Pusat. Pada 1984, bioskop itu membelah dirinya menjadi tiga layar dalam tiga ruangan.[27]

Bioskop Megaria lalu mengikuti jejaknya pada akhir 1986. Tetapi hanya dalam memperbanyak layar, tidak memenggal ruangan, karena yang digunakan adalah gedung lain yang ada di belakang bioskop, sehingga bioskop Megaria memiliki dua studio, Megaria I dan II. Tetapi nasib bioskop Megaria tak sebaik bioskop Kartika Chandra. Kapasitas Megaria I tetap saja besar, hanya 300 – 400 penonton yang berkunjung dari 1000-an lebih kursi yang tersedia. Penonton di Megaria II pun tak melebihi 150 orang untuk empat kali pertunjukan. Agar balik modal, saat itu Megaria I dan II harus bisa menyedot 500 dan 200 penonton.[28]

Namun ramainya bioskop bangkrut tak membuat pebisnis bioskop ciut. Apalagi bagi perusahaan yang bermodal besar dan memiliki akses birokrasi ampuh. Pada 1987, Subentra, sebagai perusahaan patungan Sudwikatmono dan Benny Suherman, membuka bioskop baru bernama Studio 21 di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Sejak dibukanya Studio 21 yang turut menerapkan konsep sinepleks itu, Subentra dengan jaringan 21 Sinepleksnya, makin gesit menggaet bioskop-bioskop “usang” ke dalam grupnya. Dalam waktu singkat, sejumlah bioskop berubah paras dan sapaan, terutama angka di belakangnya. Tamara Theatre menjadi Amigo 21. Rawamangun Theatre jadi Astor 21. Tak terkecuali, Megaria Theatre berubah menjadi Metropole 21. Gaya rangkulan 21 Sinepleks adalah dengan menyewa bioskop sehingga pemilik lama tak punya hak mengelola lagi. Sejak April 1989, pemilik Metropole 21 tinggal menikmati uang sewa Rp 7,5 juta per bulan selama lima tahun (uang sewa itu naik 5% setiap tahun).[29] Oleh 21 Sinepleks, bioskop Metropole 21 dipecah menjadi enam studio. Empat studio menempati gedung depan dan dua studio di gedung belakang, yang masih satu gedung dengan Hero Supermarket. Bioskop Metropole 21 kemudian sempat berubah nama menjadi Megaria 21.


* * *


Perubahan pada tampak depan Bioskop Megaria 21, setidaknya pada 2000-an, hanya pada keberadaan enam papan reklame film. Selain itu, tak ada perubahan berarti selain beralihnya fungsi ruang kecil di depan pintu utama, yang semula loket tiket, menjadi tempat pijat refleksi, karena penjualan tiket kemudian dilakukan di dalam gedung. Ruang dansa di lantai atas gedung menjadi tempat bola sodok. Selain itu, tempat toko-toko tekstil kini menjadi Barber Shop Megaria, Pempek Megaria, wartel, rumah makan Sop Buntut dan Ayam Kambalijo. Di gedung belakang adalah Studio 5 dan 6. Gedung ini semula adalah perumahan militer. Bagian sampingnya, yang menghadap Jalan Diponegoro, sebelum disewa Giant Supermarket sempat disewa oleh Hero Supermarket. Sementara itu, restoran ayam bakar yang ada di belakang gedung utama saat ini, kabarnya sudah ada sejak 1970-an.

Segala fasilitas di dalam kompleks itu semakin menghidupkan aktivitas menonton film di bioskop Megaria. Lokasinya yang strategis, membuatnya tak hanya dikenang oleh orang banyak dengan segala nostalgianya, namun juga menjadikan bioskop ini saksi bisu atas banyak kejadian bersejarah. Dekat dengan kantor PDI, PPP, Golkar, dan berada di pusat kota, halaman bioskop Megaria sempat menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa dalam gerakan reformasi menumbangkan Orde Baru. Sebelumnya, selain menjadi tempat berkumpul, halaman bioskop itu juga menjadi tempat berlindung masyarakat sewaktu terjadi penyerbuan kantor PDI pada peristiwa 27 Juli 1996.

Sejumlah kenangan itulah, yang kemudian merebak kembali di banyak forum internet dan media massa, ketika pada 8 Maret 2007 tersiar kabar bahwa bioskop Megaria akan dijual pemiliknya.[30] Pemilik Megaria menawarkan lahan dan bangunan bioskop dengan harga jual Rp 15 juta per matau total sekitar Rp 151,099 miliar, di situs http://indorealestates.com.[31]

Iklan itu membuat banyak kalangan khawatir. Tinggal Megaria-lah bioskop tua bersejarah yang tersisa di Jakarta. Statusnya sebagai Cagar Budaya Kelas A memang melindunginya dari pembongkaran bangunan, namun tak mencegah perubahan fungsi bangunan dan tak pula melarang pemilik gedung menjual bangunan dan lahan tersebut.

Berbagai penawaran, kabarnya, sudah berdatangan. Ada yang ingin membangun jalan, ada yang ingin membuat mal sambil mengaku sudah mengantongi izin dari Pemprov.[32] Namun Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta menegaskan kalau mereka tidak akan membiarkan pembongkaran gedung terjadi. Kalau pun pemilik yang baru akan mengubah penggunaan bangunan itu atau membangun kawasan sekitarnya, katanya, dia harus mendapat izin dari Tim Sidang Pemugaran Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI. Perubahan fungsi bisa terjadi, namun tetap disesuaikan dengan kebutuhan sepanjang tidak mengganggu struktur dan arsitektur bangunan.

Bagian lain dari gedung bioskop Megaria boleh saja dihancurkan, yaitu pusat belanja, restoran dan lainnya, karena tidak termasuk cagar budaya. Namun jika calon pemilik baru nanti akan membongkar gedung bioskop tersebut, Pemda DKI akan melawan dan mengenakan sanksi.

Pada 2008, semua kecemasan itu sirna. Bioskop Megaria batal dijual pemiliknya, lalu 21 Cineplex memperpanjang sewanya, gedung direstorasi, dan interiornya diubah sekelas Cinema XXI—kelas baru bioskop dari jaringan 21 Cineplex. Bioskop Megaria kemudian berganti nama asalnya, dengan dibubuhi angka 21 romawi, menjadi Metropole XXI. Perubahan pun dilakukan pada tampak luarnya. Papan reklame yang semula menutup sebagian sisi muka gedung, kini dicopot. Sementara tulisan Metropole dengan huruf berjajar ke bawah yang dulu ditanggalkan, kini digunakan kembali. Kedua perubahan itu membuat bioskop kembali terlihat seperti masa awal berdirinya. Bioskop Metropole kini tampil segar dengan wajah lama, setia menemani warga ibukota menjalani sejarahnya. (http://www.karbonjournal.org/)

Bioskop Megaria 21, 2002. Foto: TEMPO/Arif Ariadi.


Bioskop Megaria 21, 2007. Foto: Sinematek Indonesia.


Bioskop Metropole XXI, 2010. Foto: Ardi Yunanto.

Catatan kaki[1] Dwi Wiyana, "Megaria, Bukan Sekadar Kenangan", Tempo, 8 April 2007[2] Haris Jauhari (ed), Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992).[3] Haris Jauhari (ed), ibid.[4] Koreksi judul film berasal dari berbagai sumber. Dalam Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, judul film tersebut disebut sebagai Amme Get Your Gun.[5] Dwi Wiyana, ibid.[6] Ifke M. Laquais, dalam Surat Pembaca Tempo, 22 April 2007[7] Dwi Wiyana, "Megaria, Bukan Sekadar Kenangan", Tempo, 8 April 2007[8] Haris Jauhari (ed), ibid.[9] Dari iklan penjualan bioskop Megaria pada 2007 dihttp://indonesiarealestates.com.[10] Haris Jauhari (ed), ibid.[11] Alwi Shahab, “Melestarikan Megaria”, 27 Maret 2007, dalam Djakarta Tempo Doeloe di http://alwishahab.wordpress.com/2007/03/27/melestarikan-megaria (diakses 27 Januari 2010)[12] Dwi Wiyana, ibid.[13] Haris Jauhari (ed), ibid.[14] Haris Jauhari (ed), ibid.[15] HM Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), (Jakarta: Megindo Tunggal Sejahtera, 2008)[16] Istilah Kelas C digunakan oleh HM. Johan Tjasmadi, tokoh perbioskopan Indonesia, dalam bukunya 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), (Jakarta: Megindo Tunggal Sejahtera, 2008). Dalam sumber lain, film Indonesia dikatakan hanya bisa diputar di bioskop-bioskop kelas dua maupun tiga.[17] HM Johan Tjasmadi, ibid.[18] HM Johan Tjasmadi, ibid.[19] HM Johan Tjasmadi, ibid.[20] H. Misbach Yusa Biran, Kenang-kenangan Orang Bandel(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).[21] HM Johan Tjasmadi, ibid.[22] HM Johan Tjasmad, ibid.[23] Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, dan Sarluhut Napitupulu (Medan), “Zaman Keemasan Kelompok 21”,TEMPO, 29 Juni 1991.[24] Dwi Wiyana, ibid.[25] “Gulung Layar”, TEMPO, 11 Agustus 1984.[26] Istilah dalam tulisan Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, dan Sarluhut Napitupulu (Medan), “Zaman Keemasan Kelompok 21”, TEMPO, 29 Juni 1991.[27] Budi Kusumah, "Dan Bioskop pun Mengecil",TEMPO, 3 Januari 1987.[28] Budi Kusumah, ibid.[29] Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, dan Sarluhut Napitupulu (Medan), ibid.[30] Alwi Shahab, ibid.[31] Dwi Wiyana, ibid.[32] “Bioskop Megaria Dilego: Cagar Budaya Terancam”, Kompas.co.id, Selasa, 13 Maret 2007, 08:56 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar