Rabu, 23 Juli 2014

Vincent van Gogh

* Pusaran Badai Hidup Sang Jenius Seni

Vincent van Gogh adalah maestro pelukis dengan karya dan kisah hidup yang tidak biasa. Bak goresan kuasnya yang penuh lika-liku dalam lukisan Starry, Starry Night, kehidupan Vincent van Gogh juga penuh pusaran badai yang kemudian menghabisi nyawanya.
Kehidupan Vincent van Gogh yang penuh badai berawal dengan damai dan tenang di sebuah kota kecil di Belanda. Pada 30 Maret 1853, Theodorus can Gogh, pendeta setempat, dianugerahi anak pertama yang dinamai Vincent. Ia dididik dengan religius dan tumbuh menjadi anak saleh. Vincent juga disayangi kelima adiknya yang lahir kemudian.
Di usia 16 tahun, setelah menuntaskan sekolah di kota kecilnya, Vincent memutuskan untuk mengikuti jejak sang paman sebagai penjual karya seni. Ia memulai karier barunya di Belanda, dan ketika usahanya semakin berkembang, Vincent harus sering bepergian ke Inggris dan Perancis. Awal yang menjanjikan untuk seorang pria muda.
Satu kali, ketika sedang menetap di Inggris untuk menjual karya-karya seni, Vincent berkenalan dengan perempuan setempat, putri dari pemilik kontrakan tempatnya tinggal. Vincent jatuh cinta padanya, namun cinta pertama ini berujung penolakan. Merasa depresi, Vincent pun meninggalkan bisnisnya begitu saja. Ia kembali ke kota kelahirannya dan mengikuti jejak sang ayah, mempelajari teologi.
Meski penuh semangat untuk menjadi pelayan Tuhan, Vincent gagal di beberapa mata pelajaran. Salah satu argumennya yang mencolok kala itu adalah penolakan terhadap penggunaan bahasa Latin dalam khotbah untuk kaum marjinal. Padahal, Vincent dekat dengan golongan tak mampu, seperti dengan kaum buruh tambah. Niat Vincent menjadi pendeta pun pupus.
Suatu kali, sebuah panggilan bergema kuat di benak Vincent. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih, meninggalkan jejak yang abadi. Sudah lama Vincent suka melukis, dan Theo, adik yang paling dekat dengannya, selalu mendorong sang kakak untuk melukis. Theo yang juga berkarier sebagai pedagang barang seni bahkan rela membiayai Vincent mengikuti pendidikan seni di Academie Royale des Beaux-Arts, Belgia, selama sembilan bulan. 
Di usia 27 tahun, setelah merampungkan studinya, Vincent pulang ke rumah orang tuanya untuk melukis secara profesional. Sebagai seorang perfeksionis, Vincent tak ragu melakukan banyak eksperiment dan riset mendalam untuk memperkuat ilmu seninya secara otodidak. Objek-objek awalnya adalah pemandangan pedesaan atau figur para buruh tambang.
Pada 1881, dengan karier seni yang masih redup (lukisannya banyak diprotes karena tidak memakai warna-warna cerah seperti trend kala itu), Vincent kembali jatuh cinta. Kali ini, ia jatuh hati pada saudara sepupunya sendiri, Cornelia Adriana. Namun, Cornelia tak dapat menerima cinta Vincent karena wanita itu masih berduka atas kematian suaminya.
Tak lama, Vincent mulai menunjukkan gejala sakit mental. Ia pindah dari rumah orangtuanya untuk tinggal dengan sepupunya yang juga pelukis, Anton Mauve. Namun, dari rumah terdengar kabar bahwa sang ayah sakit keras. Vincent pulang ke Belanda dan mendirikan studio untuk berkarya di dekat rumah orang tuanya. Tetap saja, lukisan Vincent masih belum laris meski ia telah beradaptasi dengan gaya lukisan kala itu dan menerima masukan dari kritikus seni.
Suatu hari, Vincent kembali jatuh cinta, kali ini dengan Margot Begemann, putri tetangganya. Hubungan Vincent dan Margot cukup serius dan mereka telah merencanakan pernikahan. Sayang, orangtua Vincent maupun Margot menentang habis-habisan. Margot yang putus asa sempat melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak racun.
Ayah Vincent meninggal tak lama kemudian. Dalam kondisi depresi, Vincent pergi jauh dari rumahnya dan tiba di Paris. Di sana, ia tinggal bersama seniman terkenal Paul Gauguin, sambil sama-sama membangun mimpi untuk sama-sama membuat sebuah komunitas seni.
Namun, kondisi kesehatan Vincent makin lama makin memburuk – serangan epilepsi dan delusi mulai mengganggu kesehatan jiwanya. Satu kali, pertengkaran pecah antara Vincent dan Gauguin, dan Vincent sempat mengejar temannya dengan pisau. Pulangnya, dalam rasa kalut yang luar biasa, Vincent nekat memotong satu telinganya. Ia masuk rumah sakit dan ketika pulang, ia mendapati Gauguin telah pergi.
Pada 1888, Vincent mendaftarkan diri ke sebuah pusat perawatan mental di Saint Remy de Provence. Di sinilah Vincent berkarya dengan bebas, tanpa dikecewakan wanita atau sahabat. Vincent melukis dengan sangat produktif. Hampir setiap hari ia menghasilkan satu lukisan dengan kualitas tinggi.
Vincent telah terbiasa memasukkan warna cerah dan goresan yang unik pada karya-karyanya. Lukisan Vincent di masa ini menggambarkan kehidupan sehari-hari, seperti suasana kafe atau langit malam, namun goresan dan simbol di dalamnya benar-benar menggambarkan kondisi mental dan kehidupan personal Vincent.
Sayang, karena karya-karyanya tidak pernah diapresiasi, Vincent memandang hidupnya sebagai sebuah kesia-siaan. Suatu hari, Vincent menembak dadanya sendiri dan meninggal dua hari kemudian. Usianya baru 37 tahun.
Theo, adik kesayangan Vincent yang terus mengumpulkan karya-karya sang kakak, meninggal enam bulan kemudian. Janda Theo, Johanna Gesina, memutuskan mempublikasikan lukisan-lukisan kakak iparnya. Ternyata, karya Vincent mendapat popularitas tinggi dalam waktu singkat. Nama Vincent van Gogh mendadak terkenal dan karyanya diburu kolektor dengan harga tinggi. Bahkan, gaya lukisan Vincent turut mengubah tren lukisan kala itu dan membidani kelahiran aliran post-impresionisme. Kisah hidupnya yang penuh “badai” pun menjadi legenda.
Tak lama setelah kematiannya, acara peringatan yang didedikasikan untuk Vincent van Gogh digelar dimana-mana. Seharusnya, inilah akhir yang indah dari perjalanan sang seniman, seandainya saja ia hidup cukup lama untuk menyaksikannya.

Karya-Karya Vincent van Gogh

The Potato Eaters

Lukisan yang menggambarkan lima orang sederhana yang duduk dan makan kentang ini dalah salah satu karya awal Vincent. Terinspirasi dengan kedekatannya dengan kaum marjinal, lukisan yang pada awalnya kurang diapresiasi tersebut kini dianggap salah satu mahakarya Vincent van Gogh.

Sunflowers

Vincent beberapa kali melukis bunga matahari yang menunjukkan intensitas unik dalam sesuatu yang sederhana. Lukisan bunga matahari paling terkenal adalah yang ia buat khusus untuk menghias kamar seniman Paul Gauguin.

Starry, Starry Night

Jika karya-karya Vincent diibaratkan teater, maka lukisan yang dibuat Vincent di rumah sakit jiwa ini adalah klimaksnya. Konon, goresan-goresan intens yang berliku mencerminkan kondisi emosional sang pelukis yang tidak stabil.

Self-Potrait

Jika di Indonesia kita punya Affandi yang kerap melukis potret diri, maka di dunia internasional ada Vincent van Gogh yang melukis lebih dari 30 potret diri. Ini bukan narsisme. Melukis diri adalah media Vincent untuk melakukan introspeksi atas hidupnya, juga untuk melatih keterampilan seninya.

Fakta


  • Semasa hidupnya, Vincent van Gogh hanya berhasil menjual satu dari sekitar 1.900 karya yang ia hasilkan.
  • Meski menderita gangguan mental, Vincent sesungguhnya sosok yang sangat cerdas dan menguasai beberapa bahasa sekaligus.
  • Kekaguman terhadap sosok Vincent van Gogh membuat musisi Don McLean menggubah lagu berjudul Vincent. Lagu tersebut menjadi hits pada era 1970-an di Inggris dan Amerika, dan banyak dinyanyikan ulang oleh para musisi, termasuk oleh Josh Groban. (http://echomouse.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar