Minggu, 14 September 2014

Kisah di Balik Rumah Sakit Dustira Cimahi



1365245575659005155
Rumah Sakit Dustira Cimahi (Foto : J. Haryadi)
Oleh : J. Haryadi

Setiap orang yang melintas di jalan Jendral Achmad Yani, Kota Cimahi, pasti akan mengenal sebuah bangunan tua paling megah yang kini lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Dustira. Bangunan indah khas Eropa dengan gaya arsitektur artdeco ini dibangun pada abad 18 dan diresmikan pada 1887 oleh pemerintah Hindia belanda dengan diberi nama Militaire Hospital. Sesuai dengan namanya, rumah sakit ini semula dibangun khusus untuk mengobati prajurit militer yang bertugas di Kota Bandung dan sekitarnya. Pada perkembangan sekarang, masyarakat sipil juga sekarang bisa berobat ke disini. Bahkan banyak mahasiswa kedokteran dari berbagai kampus seperti Universitas Jendral Achmad Yani (Unjani), Universitas Kristen Maranatha dan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung melakukan kerja praktek di rumah sakit bersejarah ini.
Secara geografis, bangunan seluas 14 hektar ini berada pada Latitude -6.885506 dan Longitude 107.534909 dengan ketinggian 758 m di atas permukaan laut. Lokasinya sangat strategis dan mudah dijangkau, tidak jauh dari pusat Kota Bandung, hanya berjarak ± 11 km.
Rumah Sakit yang sekarang sudah menjadi kebanggaan prajurit di wilayah Kodam III/Siliwangi ini juga merupakan rumah sakit rujukan tertinggi, karena mampu mengupayakan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang terpadu dengan pelaksanaan kegiatan kesehatan promotif dan preventif. Berbagai fasilitas di dalamnya cukup lengkap, diantaranya adalah Pelayanan Medis seperti : medical check, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis/sub-spesialis, anak, bedah umum, bedah tulang, bedah saraf, kebidanan & kandungan, penyakit dalam, syaraf, THT, mata, paru kulit & kelamin, jantung, rehabmedik, radiologi, jiwa dan psikologi.
Disamping itu, Rumah Sakit Dustira juga memiliki Pelayanan Penunjang seperti :  laboratorium patologi klinik. laboratorium patologi anatomi, X-Ray, CT-Scan, USG, Endoscopy, ECG, Echocardiografi, Treadmill, Laparoscopi, konsultasi gizi, farmasi, dan hemodialisa. Fasilitas lainnya adalah : UGD 24 jam, rawat inap, rawat jalan, ICU, kamar bedah, instansi pendidikan, kedokteran kehakiman dan forensik, serta pemulasaran jenazah.
Pada zaman penjajahan jepang (1942-1945), Rumah  Sakit Dustira Cimahi yang saat itu masih bernama Militaire Hospital sempat dimanfaatkan sebagai tempat perawatan tentara Belanda dan Jepang yang sakit. Ketika Jepang menyerah kepada sekutu dan Belanda masuk kembali ke Indonesia, rumah sakit ini dikuasai NICA (tentara Belanda) selama 2 tahun (1945-1947).  Kemudian pada 1949, rumah sakit ini dikembalikan ke pemerintah Republik Indonesia, setelah adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Penyerahan ini secara teknis dilakukan oleh militer Belanda kepada TNI yang diwakili oleh Letkol dr. Rd. K. Singawinata.
Sejak penyerahan rumah sakit Militaire Hospital ke Indonesia, namanya diubah menjadi Rumah Sakit Territorium III dan Letkol dr. Rd. K. Singawinata ditetapkan sebagai kepala rumah sakit tersebut. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 19 Mei 1956, rumah sakit ini berganti nama menjadi Rumah Sakit Dustira oleh Panglima Territorium III, kolonel Kawilarang. Pemberian nama ini merupakan penghargaan terhadap Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaya yang telah banyak berjasa membantu pengobatan terhadap prajurit TNI, khususnya Territorium III  pada masa perjuangan melawan Belanda.
Sebagai bangunan bersejarah yang memiliki nilai arsitektur tinggi dan banyak menyimpan berbagai peristiwa penting didalamnya, sudah selayaknya jika bangunan Rumah Sakit Dustira dijaga dan dilestarikan. Tujuannya, disamping sebagai pelajaran sejarah dan budaya bagi  generasi mendatang, sehingga mereka bisa belajar bagaimana menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air, juga bisa dijadikan sebagai objek pariwisata.
Jika para pelajar dan mahasiswa kedokteran berkesempatan berwisata di Rumah Sakit Dustira, manfaatnya sangat besar sekali. Mereka akan lebih mengenal arti perjuangan dan pengorbanan dr. Dustira Prawiraamidjaya dalam mempertahankan kemerdekaan. Mereka akan lebih memahami artinya perjuangan, pengabdian dan pengorbanan, bukan hanya sekedar mencari ilmu untuk kepentingan materi semata.
Banyak turis-turis Eropa yang datang ke Indonesia dengan tujuan berwisata sambil mengunjungi tempat-tempat bersejarah, misalnya berbagai bangunan tua yang pernah dibangun oleh bangsa mereka. Oleh sebab itu, keberadaan bangun bersejarah mempunyai manfaat yang cukup besar, karena bisa juga menjadi salah satu sumber devisa negara.
Pemerintah Kota Cimahi sebagai pihak yang berwenang dalam mengatur keberadaan bangunan bersejarah di Kota Cimahi, termasuk keberadan bangunan Rumah Sakit Dustira, ternyata sangat responsif terhadap keberadaan bangunan historis diwilayahnya. Melalui perda nomor 32 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi, pasal 12 telah menetapkan bangunan Rumah Sakit Dustira sebagai salah satu yang terdaftar sebagai cagar budaya Kota Cimahi.
Semoga kehadiran bangunan bersejarah bisa memberikan manfaat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi mendatang. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai sejarah bangsanya sendiri, termasuk menghargai keberadaan bangunan-bangunan tua yang bernilai historis. (http://wisata.kompasiana.com/)
***
http://doktersehat.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar