Sabtu, 20 September 2014

WARUNG KOPI TERTUA DI INDONESIA ADA DI JAKARTA SEJAK TAHUN 1887





Kopi bagi sebagian masyarakat mampu memberikan kenikmatan tersendiri. Begitu juga dengan Rudy Widjaja, direktur PT Warung Tinggi Coffee. Berbekal dari kecintaannya pada kopi, ia pun berusaha terus eksis mengembangkan bisnis turun temurun yang telah berdiri selama 125 tahun.

Jalan Batu Jajar, Hayam Wuruk, Jakarta Barat, dua pekan lalu. Melihat aktivitas di toko kopi yang terletak di Jalan Tangki Sekolah, juga di kawasan Hayam Wuruk, tampak sekali Warung Tinggi sudah memiliki pasar dan pelanggan sendiri. Di toko sekitar 25 meter persegi, di dalam gang yang hanya pas dilewati dua mobil itu, transaksi dilakukan dengan ”gaya lama”. Penjual tinggal bertanya, ”Biasa, kan?” Semua langsung beres: jenis kopi, jumlah kiloan, digiling halus atau kasar. 

Warung Tinggi memang bukan lagi sekadar toko kopi, melainkan ”gaya”. Semuanya dimulai ketika kakek Rudy, Liaw Tek Siong ”dibeli” Liaw Tek Soen, karena anak lelaki tunggal Tek Soen dianggap tak mampu berdagang. Tek Siong mewarisi warung ayah angkatnya pada 1927. Di tangannya, kopi segera menjadi bisnis utama keluarga Liaw, bukan sekadar usaha sampingan dari makanan di warung. 


Ia mendirikan pabrik sederhana dan menamai tokonya Tek Soen Hoo Eerste Weltevredensche Koffi ebranderij, yang kala itu lebih dikenal dengan nama Toko Tek Soen. Tek Siong juga merancang alat khusus yang mampu menggo reng lebih banyak biji kopi hingga matang secara merata. Gambar perempuan menyunggi bakul anyaman bambu dijadikan logo perusahaan baru itu. ”Itu gambar ibu-ibu yang setiap pagi datang menjual kopi ke warung kakek buyut saya,” kata Rudy.

Hingga Liaw Tian Djie, ayah Rudy, mewarisi bisnis keluarga Liaw Tek Siong, dua tahun setelah Indonesia merdeka, nama perusahaan mereka masih Tek Soen Hoo. Tapi orang sekitar dan pelanggan setia warung kopi Tek Soen tak pernah berhenti menyebut tempat usaha keluarga itu sebagai Warung Tinggi.

Ketika itu Warung Tinggi hanya menjual satu jenis kopi, dibungkus dalam kertas cokelat sederhana dan diberi cap. Waktu Jepang menduduki Indonesia, ayahnya membawa keluarga mengungsi ke Mega Mendung, Ciawi, Jawa Barat. Ketika itu ibunya sedang mengandung Rudy.

Barulah pada 1945, setelah Jepang pergi, Tek Djie membuka kembali pabrik kopinya. Sebetulnya, waktu itu dia tak punya modal lagi. Tapi, para pemasok lama, termasuk ibu-ibu bakul kopi, tak keberatan Tek Djie berutang bahan baku. Pelan-pelan bisnis berjalan lagi.

Bahkan, pada 1950-an, Tian Djie mulai menjual kopi racikan (blend) dengan mencampur beberapa jenis kopi. Nama Warung Tinggi mulai dipakai sebagai merek dagang pada 1967. Soeharto, yang baru saja menggantikan Soekarno sebagai presiden, melarang orang Indonesia keturunan Tionghoa menggunakan nama Cina. Nama keluarga Liaw
pun diubah menjadi Widjaja, atas usul seorang pegawai Tian Djie setelah melihat kitab primbon Jawa. Tian Djie sejak itu beralih nama menjadi Udjan Widjaja.

Sejak ayahnya wafat, pada 1978, perusahaan dikelola oleh Rudy beserta tiga saudaranya: Darmawan, Suyanto, dan Yanti. Berkali-kali usaha mereka goyah, tapi selalu bisa bangkit kembali. Sebagai anak kedelapan, Rudy bukan
yang paling berhak mewarisi usaha orang tua mereka. Tapi, ketika kesebelas kakak-adik itu membagi warisan, pada pertengahan 1990-an, tak satu pun yang berminat meneruskan bisnis kopi keluarga itu kecuali Rudy.

Dalam bagi-bagi warisan itu, Warung Tinggi yang asli—rumah di Jalan Hayam Wuruk Nomor 55-57—jatuh ke tangan kakak-kakaknya. Maka Rudy memindahkan pabriknya ke Jalan Daan Mogot. Rumahnya di Jalan Tangki Sekolah, di
kawasan Hayam Wuruk, dia jadikan toko kopi.



Bagi yan ingin mengetahui tentang kisah Kopi Warung Tinggi (WT)  Ini kopi dari Jakarta dijual seharga 6.250 per bungkus (250gr)yang saya peroleh dari warung Indomaret. Jangan lihat harganya, tapi ini kopi yang tidak kalah rasanya dengan kopi lokal lainnya. Mungkin mereka kurang gencar melakukan promosi seperti perusahaaan2 kopi lainnya sehingga namanya jadi sayup2 terdengar. Mari kita bandingkan rasanya dengan dua metode pembuatan, seduh biasa ala kopi tubruk dan dengan menggunakan alat French Press. Yup.
Musuh utama kopi adalah udara, jadi selalu simpan ditempat yang kedap udara tanpa pencahayaan. Umur kopi rata2 hanya seminggu, jadi belilah dalam jumlah yang sedikit dan simpan di tempat yang tertutup sangat rapat. Lebih bagus kalau ada kemasan one way valve yang didesain untuk mengeluarkan udara, tapi udara luar terhalang masuk. Bisa ditemukan di tempat roasting kopi.
Cukup satu sendok dan tuang air panas, selesai. Suhu yang disarankan sekitar 80-90 derajat atau kira-kira  dua menit setelah air mendidih.
Sekarang dengan french press :
kup8.jpg
Saat air sudah dituang, aduk perlahan dan tunggu hingga maksimal 4 menit sebelum plunger ditekan, baru dituang.
kup9.jpg
Jadi apa bedanya dengan kedua metode di atas? Sama saja, namun untuk yang diseduh langsung agak sedikit repot dengan ampas kopi yang susah turun. Sedangkan french press menawarkan kemudahan karena kita bisa menikmati kopi tanpa ampas.
Kopi Warung Tinggi menawarkan aroma kopi yang cukup keras, namun wanginya selalu mengingatkan terhadap harum kopi yang dibuat oleh orang tua saya. Segar. (http://arie-mupet.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar