Selasa, 21 Oktober 2014

Dokar, Transportasi Tradisional, Dimana Kini Engkau Berada


13305211291207763707
Entah sejak kapan aku berkeinginan membawa Margendut, pasanganku  bermain dan menikmati suasana pedesaan. Baru kali ini (26/02) bisa kesampaian. Menunjukkan sawah, sapi, aktivitas asli orang-orang di desa, napak tilas sambil bercerita kehidupan masa kecilku. Sungguh hal ini menyenangkan buatku, dan diapun  tertarikk untuk mengetahuinya.
Sengaja aku naik kendaraan bus, bukan karen tidak ada sepadamotor atau kendaraan lain. Bagiku naik bus lebih  menyanangkan untuk perjalanan kali ini. Pagi, matahari yang hangatnya pas, diterminal lama, menunggu bus  jurusan Ngawi/Cepu. Dua jurusan itulahyanga akan mengantarkan kami menuju desa kelahiranku. Tak sampai 10 menit berlalu akhirnya Bus Cendana tampak lamabat melaju dari utara. Lambaian tanganku begitu sakti mengentikan kendaraan yang tampilannya sederha itu. Di atas bus, perjalanan ditempuh sekitar 45 menit. Jalana yang begitu pandai mengocok perut kami, menggoyang goyang penumpang diatasnya. Bersama penumnang lain, kami dipaksa menikmati jalanan yang lobang sana sini. Didalam Bus, dia bercerita menganang perjalanannya dulu yang pernah ia lakukan.
Sejauh 30 KM dari pusat kota, kami turun di pertigaan, berjalan kaki, menerobos tukuang ojek yang menwarkan jasanya. Tak kuhiraukan sebab, Dokar (baca: Delman), transportasi tradisional ini  menjadi pilihan hati kami untuk melanjutkan perjalanan sejauh 5 km menuju desa. Memang transportasi ini pilihan sejak awal. Naik dokar adalah hal romantis yang bisa dilakukan. Apalgi jaman dulu, kerata kuda menjadi kendaraan dalam cerita-cerita kerjaan ataupun lagenda yang popeler di tanah jawa. Sampai-sampai undang pernikahan jaman dulu selalu ada gambar kereta kuda.
Naik Dokar, sungguh indah dilakukan besama pasangan, pikirku. Menikmati udara pedesaan yang segar, sambil bercerita kehidpan masa lalu, bercanda dan menyapa sambil bercengkrama dengan penumpang lain. mendengar cerita dan keluahan mereka yang juga sedang naik dokar. Itulah bayangaku.
Sudah lama sekali aku tak naik Dokar, terakhir saat aku umur sekitar 15 tahun. Kini usiaku mencapai 29 tahun. Delaman sudah jarang, banyak diganti oleh sepeda motor beroda 3 sebagai kendaraan, atau mobil plat hitam yang digunakan untuk menjeput dan mengantarkan penumpang. Diwilayah pedalama Kec. Purwosari memang tidak ada angkutan umum plat kuning.
“Wong sak iki wis arang nang pasar mas, marai wis akeh bakul sayuran kliling,” cerita Wiyono pemilik dokar yang sedang aku tawar harganya. Selain alasan tersebut, menurut pria yang sejak muda menjadi kusir (baca: pengemudi Dokar) alasan lain karena di desa warganya sudah banyak yang memilki sepeda motor.
Memamang, saat itu aku hanya melihat 2 Dokar yang melintas, sementara itu sepeda motor beroda tiga berjajar banyak di sepenjang jalan. Hari itu Dokar yang menuju desa tidak ada. Pemiliknya libur, mungkin karena ini musim panen padi, meraka sibuk di sawah. Aku jadi terenyuh, transportasi yang dulu pernah berjaya, membantu laju ekonomi masyarakat desa, kini tergerus oleh zaman. Dokar-dokar yang selalu memiliki cerita untuk para penduduk desa, dimana kini engkau berada. tiba-tiba aku jadi berfikir demikian. Sedangkan di daerah Jogja, Dokar menjadi salah satu aset untuk pengembangan wisata. Melayani turis dalam menikmati kota.
Setalah ngobrol sambil menawar harga, Dokar  milik Pak Wiyono, tetangga desa jauh, yang tidak sejurusan dengan desaku, terpaksa kami charter, dengan harga 20 ribu.  Kalo harga normal mestinya satu orang hanya akan mengeluarkan biaya 2 sampai 3 ribu saja. Dokar biasnya muat 6-7 orang. “Ah tidak apa-apa, berduaan diatas Dokar akan jadi pengalaman yang seru nan romantis,” pikirku dalam hati.
Selama hampir 30 menit, Dokar pria paruh baya ini melaju menuju arah selatan, memasuki pedalam wilayah Purwosari, melwati desa Gapluk dan akhirnya sampai di Desa Kuniran. Yang unik, desa-desa tersebut, para ibu memanfaatkan saat siang, saat istirahat untuk membuat Ledre. Ledre menjadi home industri, yang disetor ke Daerah Padangan, dekat Cepu. Dari sinilah Bojonegoro dikenal sebagai kota ledre. Dari tangan ibu-ibu yang ada di desa Gapluk, dan Kuniran, Ledre itu dipasok. Tentu todak hanya dua desa itu saja, desa-desa sekitar padangan juga memasoknya.
Sambil menikmati jalanan aku menceritakan kisah dan pengalaman massa lalu yang begitu membekas kepada Margendut. Berdua naik Dokar, sungguh menyenangkan dan semakin membuat mesar hubunganku dengannya. Tapi akankah 5 atau 10 tahun lagi aku masih bisa naik Dokar. Ah tidak tau, aku tidak bisa memprediksi.
Delman atau orang lokal di Bojonegoro menyebutnya Dokar adalah arsip sejarah yang tak akan pernah terhapus dalam jejak kehidupan, kendaraan tradisonal telah membawa penduduk desa dari masa ke masa dalam menjalankan roda ekonominya. Bagiku Dokar, akan bisa mebatu menguak cerita masa laluku. Bukankah dokar juga tidak pernah menyebabkan polusi udara.  (http://lifestyle.kompasiana.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar