Senin, 22 Desember 2014

Meriam Si Amuk Banten

Di kompleks masjid Agung Banten di Serang, terdapat sebuah meriam yang bernama Si Amuk. Menurut cerita masyarakat setempat, meriam ini merupakan jelmaan dari salah satu kakak beradik yang dikutuk pada masa Kerajaan Banten masih berdiri. Meriam ini amat berjasa saat terjadi perang besar di tanah Banten. Dengan suaranya yang menggelegar bagaikan raksasa mengamuk, banyak musuh-musuhnya yang ciut. Inilah kisah meriam si Amuk yang melegenda itu.

Abad ke XVI merupakan masa kejayaannya perkembangan agama Islam di kawasan Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kerajaan Islam yang pertama tumbuh di Demak, yang kemudian dikenal sebagai pusat kerajaan dan perkembangan Islam. Lalu disusul dengan berdirinya Kerajaan Mataram. Dari Mataram berkembang ke arah Barat, ke Cirebon. Dari Cirebon ke wilayah Banten, yang semula di bawah pemerintahan Kerajaan Hindu Pakuan Padjadjaran.

Saat Banten dibawah pemerintahan Kerajaan Demak inilah, Banten menjadi kota pelabuhan niaga yang cukup terkenal hingga sampai daratan Eropa. Terutama untuk barang niaga jenis rempah-rempah. Keadaan ini tentu saja mengundang orang-orang Eropa untuk datang berniaga ke Banten. Tapi kedatangan mereka di Banten ditolak mentah-mentah oleh Sultan Banten.

Penolakan pertama dilakukan terhadap pedagang berkebangsaan Portugis, yang mengakibatkan timbulnya persengketaan di antara mereka. Sehingga timbullah pikiran orang-orang Portugis untuk menguasai wilayah Banten. Sejak saat itulah cikal bakal perselisihan di antara mereka terjadi, hingga terjadilah cekcok secara fisik dalam peperangan. Dalam pertempuran tersebut Portugis kalah. Dua buah meriam sebagai perlengkapan perang bangsa Portugis berhasil dirampas.

Guna memudahkan membawa kedua meriam itu, oleh seorang tukang pandai besi yang bermukim di kaki sebuah gunung di pedalaman Banten dibuatkan gelang di sebelah kiri dan kanannya. Disamping diberi gelang pada pangkalnya juga diberi tambahan hiasan berbentuk tangan yang sedang mengepal dengan ibu jari menyeruak di antara dua jari.

Pemberian gelang pada kedua meriam tersebut dilakukan oleh seorang pandai besi, desa tempat tinggal pandai besi yang membuat gelang itu lantas dikenal dengan kampung pandai (yang membuat) gelang. Lalu jadilah nama kampung tersebut dikenal dengan kampung Pandaigelang, yang kemudian jadi kota Padegelang. Dan kedua meriam yang diberi gelang itu lalu dikenal sebagai meriam si Amuk dan si Jagur.

Terkena kutukan

Tapi ada juga yang meyakini, bahwa meriam si Amuk dan si Jagur adalah perwujudan dari dua saudara kakak beradik laki-laki dan perempuan yang melanggar larangan. Akibat pelanggaran itu mereka mendapat kutukan dan berubah wujud menjadi dua pasang meriam.

Dikisahkan, pada saat itu wilayah pelabuhan Banten dikenal sebagai pelabuhan niaga rempah-rempah yang cukup terkenal sampai ke daratan Eropa. Munculah suatu bencana peperangan, akibat keinginan bangsa asing (Eropa- Portugis) yang ingin menguasai pelabuhan niaga Banten sebagai wilayah kekuasaannya. Wilayah Banten yang saat itu ada di bawah pemerintahan Kerajaan Demak dalam keadaan terancam.

Sultan Demak lalu mengirim pasukannya ke Banten di bawah pimpinan prajurit-prajurit pilihannya. Di antara prajurit pilihannya itu terdapat tiga bersaudara prajurit yang terjun ke medan laga. Salah satu dari tiga prajurit pilihannya itu ternyata seorang wanita. Dengan gagah berani mereka memimpin anak buahnya menghadang penyerbuan balatentara Portugis yang datang dari arah laut.

Nah, saat menjalankan tugas belanegara itulah dua kakak beradik lelaki dan perempuan yang ternyata kembar itu melanggar larangan. Yakni dengan mandi air laut pada waktu matahari bersinar terik. Akibatnya mereka terkena kutukan leluhur dan berubah wujud menjadi sepasang meriam.

Melihat kejadian yang menimpa saudara kembarnya itu, si adik berniat untuk membawa pulang kedua meriam itu ke Demak untuk dipersembahkan pada rajanya. Untuk memudahkan membawanya, kedua meriam itu lalu dipasangi dua buah gelang oleh seorang pandai besi yang bertempat tinggal disebuah desa di kaki gunung. Ternyata kedua meriam itu juga memberi andil yang cukup besar dalam peperangan yang berkecamuk di pantai Banten.

Kedua meriam itu nampak seperti mengamuk dengan menimbulkan suara menggelegar memuntahkan peluru ke arah musuh-musuhnya. Akibat jasanya itu, kedua meriam itu lalu diberi nama si Amuk dan si Jagur. Sedangkan desa tempat pandai besi yang memberi tambahan gelang pada meriam itu lalu diberi nama Pandaigelang, yang akhirnya menjadi nama kota Pandegelang. Yang menggantikan kota Menes sebagai ibu kota Banten Kulon. (http://ekorisanto.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar