Sabtu, 25 April 2015

SUKU DAYAK SAMPIT




Sampit adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia. Sampit merupakan salah satu permukiman tertua di Kabupaten Kotawaringin Timur, nama kota ini sudah ada disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663.Sampit sebagai Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi Kalimantan Tengah.
 Di samping karena secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis. Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota Sampit sebelumnya terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi, posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.
Batang Danum Kupang Bulan
Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam bahasa Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan (Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.
Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang adalah asal kata Sampit itu sendiri. Versi Pertama menyatakan bahwa orang pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama kali adalah orang yang bernama Sampit yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan, sekitar awal tahun 1700-an. Sebagai bukti sejarah, makam Datu Sampit sendiri dapat ditemui di sekitar Basirih.
 Datu Sampit mempunyai dua orang anak yaitu Alm. Datu Djungkir dan Datu Usup Lamak. Makam keramat Datu Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir sungai mentaya di Baamang Tengah, Sampit, dengan nisan bertuliskan Djungkir bin Sampit. Sedangkan makam Datu Usup Lamak berada di Basirih.
Menurut sumber lainnya, kata Sampit berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti  31 (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Tionghoa yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.
 Benua Usang
Pada 1836, penduduk kemudian pindah ke Seranau yang dulunya bernama Benua Usang (sekarang: Mentaya Seberang) di mana para pedagang-pedagang Tionghoa waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana. Namun, sesuai kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa suatu kota harus dibangun menghadap matahari terbit. Sedangkan Seranau menghadap matahari terbenam,yang menurut perhitungan hongsui Tionghoa dianggap kurang baik. Karena itulah, mereka membangun pemukiman baru diseberang Seranau (Sampit sekarang) yang menghadap matahari terbit.
Kerajaan Sungai Sampit
Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.
Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Tiongkok, India bahkan Portugis. Diperkirakan, Kerajaan Sungai Sampit berdiri pada masa kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok (abad ke-13). Hal ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan dari Tiongkok yang demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan mereka banyak yang lari ke arah selatan (Kalimantan).
Diceritakan pula, bahwa Puteri Junjung Buih, istri dari Pangeran Suryanata, pernah pula berkunjung ke kerajaan sungai Sampit. Seperti diketahui, Pangeran Suryanata (berkuasa antara 1400-1435) adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Wirakarrama Wardhana sekitar 1389-1435 (Masdipura; 2003). Putri Junjung Buih Bila ditelisik lebih jauh, Kerajaan Sungai Sampit ini usianya lebih tua dari Negara Dipa (abad ke-14),sehingga di buku Negarakertagama, Kesultanan Banjar (1526) tidak tertulis karena merupakan dinasti penerus dari Kerajaan Negara Dipa, kerajaan Hindu yang terletak di tepi sungai Tabalong. Terbukti pula, kala Putri junjung Buih hendak dikawinkan dengan Pangeran Suryanata, 40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Namun, mereka dapat ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal Kerajaan Banjar.
Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di mana Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC. Kota Sampit juga pernah disebut-sebut di dalam buku kuno Negarakertagama. Pada masa itu disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan majapahit, yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu Gajah Mada.Di salah satu bagian buku yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu disebutkan, bahwa pernah dilakukan ekspedisi perjalanan Nusantara di mana salah satu tempat yang mereka singgahi adalah Sampit dan Kuala Pembuang.
Kata Dayak dalam bahasa lokal Kalimantan berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar. Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya bermula di daerah pantai, masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman Kalimantan. Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku.
Menurut J.U. Lontaan, terdapat sekitar 405 sub suku Dayak yang memiliki kesamaan sosiologi kemasyarakatan namun berbeda dalam adat-istiadat, budaya dan bahasa yang digunakan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar. Setiap sub suku Dayak memiliki budaya yang unik dan memberi ciri khusus pada komunitasnya. Misalnya tradisi memanjangkan telinga yang dilakukan oleh wanita suku Dayak Kenyah, Kayan dan Bahau. Lalu ada juga tradisi kayau atau perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh suku Dayak Kendayan.
Itulah sekilas warna-warni sub suku Dayak yang menghuni pulau Borneo. Semoga dengan makin mengenal keragaman budaya bangsa makin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Suku Dayak Sampit adalah subetnis Dayak Ngaju yang mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Sampit atau sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Suku Dayak Sampit merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 9,57% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Sampit tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930.
Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Suku Ngaju merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 18,02% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku Dayak dalam sensus 1930.
Kebudayaan Dayak Sampit
 Bahasa Sampit Bahasa Sampit adalah sebuah bahasa Melayu Dayak/Malayic Dayak (Austroanesi) yang dituturkan di kecamatan Baamang, Seranau dan Mentawa Baru, Kabupaten Kotawaringin Timur, provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Bahasa Sampit salah satu dari 9 bahasa dominan yang terdapat di Kalimantan Tengah. Bahasa Sampit adalah sebuah bahasa yang wilayah pemakaiannya meliputi kecamatan Baamang, Mentawa Baru dan Seranau di kabupaten Kotawaringin Timur yaitu salah satu kabupaten di propinsi Kalimantan Tengah. (dari beberapa sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar