Jumat, 22 Mei 2015

Pulau Rote, Keindahan Khas dari Selatan

Potensi keindahan alam laut, budaya, dan tradisinya memiliki keunikan tersendiri.
Share
SH / Daniel Tagukawi

Siapa yang tak takjub dengan komodo di Manggarai Barat. Siapa juga yang tidak heran melihat Danau Tiga Warna Kelimutu di Ende atau tradisi Pasola yang hanya ditemukan di Pulau Sumba.
Belum lagi kecantikan alam laut di perairan Komodo, Alor, Laut Sawu, atau Taman Laut Maumere dan Riung di Ngada. Hampir setiap wilayah di NTT menyimpan keunikan, apakah alam, budaya, tradisi, bahasa, makanan, dan sebagainya.
Satu lagi, potensi wisata NTT tersimpan di Pulau Rote, yang merupakan pulau besar di Kabupaten Rote Ndao. Pulau Rote ini yang melindungi pulau paling selatan Indonesia, Pulau Ndana. Siapa pun yang menyusuri Pulau Rote, pasti segera menyadari berbagai keunikan yang ada di pulau yang berbatasan dengan teritorial Australia ini.
Rote sudah sejak lama terkenal dengan alat musik Sasando yang memiliki keunikan tersendiri dengan petikan nada yang merdu. Alat musik ini pernah mendapat tempat khusus di Indonesia, ketika menjadi gambar mata uang pecahan Rp 5.000.
Sebenarnya, bukan cuma Sasando karena daerah ini juga memiliki topi sobrero atau mirip topi koboi yang dikenal dengan topi Ti'i Langga. Tentu juga tidak boleh dilupakan pohon lontar, yang nyaris tidak ada bagian yang terbuang, mulai dari batang, daun, pucuk, sampai nira. Belum lagi varian dari nira yang bisa menjadi gula, tuak sampai minuman beralkohol.
Pulau Rote dapat dijangkau dengan mudah dari Kota Kupang. Transportasi laut dari dan ke Rote cukup lancar, baik menggunakan kapal feri ASDP “lambat” maupun kapal feri cepat. Kapal feri beroperasi pagi dan sore hari.
Kupang-Rote membutuhkan waktu sekitar empat jam kalau menggunakan kapal feri ASDP, sedangkan kapal cepat membutuhkan waktu sekitar dua jam. Kalau menggunakan kapal feri cepat, akan merapat di Dermaga Ba'a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao, sedangkan kapal feri ASDP merapat di Dermaga Pantai Baru.
Ketika tiba di Ba'a, ada pilihan, boleh ke arah timur maupun barat. Mari ke arah Timur. Menyusuri arah timur Pulau Rote pada musim kemarau hanya memperlihatkan rerumputan kering di perbukitan. Tidak berbeda dengan daerah lain di NTT, tapi Rote memiliki kekhasan dengan pohon lontar dan pohon gewang.
Namun ketika musim hujan, daerah perbukitan akan memperlihatkan warna hijau yang sekilas mirip lapangan golf. Namun, di ujung timur Rote, siapa pun akan takjub dengan panorama alam laut dengan bibir pasir putih yang diapit tonjolan batu karang.
Dari kampung nelayan di Pantai Papela, perjalanan bisa diteruskan ke Mulut Seribu, sebuah teluk di ujung timur Pulau Rote. Menyusuri sela-sela pulau kecil atau karang ini menawarkan keunikan tersendiri. Sampan menyusuri selat-selat kecil dengan tebing batu karang hasil ukir dan pahatan alam. Sekilas mirip sungai yang meliuk-liuk di antara bebatuan cadas.
Bahkan, wilayah ini cocok untuk main kucing-kucingan atau petak umpet. Jangan kaget, kalau kemudian nyasar untuk menemukan jalan pulang.
Untuk itu sangat penting dipandu warga sekitar yang memahami seluk-beluk Mulut Seribu. Selain itu, butuh keahlian untuk mengemudikan sampan karena selat yang sempit kian menyempit lagi. Ini karena di sisi kiri dan kanan banyak usaha budidaya rumput laut.
Hamparan pulau karang kecil sekilas tidak berbeda jauh dengan Kepulauan Raja Ampat. Namun, keindahan laut yang membedakan karena terumbu karang tidak mendapat perhatian yang cukup di kawasan ini, kalau tidak mau dibilang diabaikan begitu saja. Kalau saja terumbu karang dan biota laut terjaga, wilayah ini sebenarnya hanya menunggu waktu untuk menjadi primadona.
Bosan bermain di laut, sampan bisa merapat ke Desa Daiama terus meluncur ke Desa Soti Mori di Kecamatan Landu Leko. Di Desa yang berjarak puluhan kilometer dari Ba'a ini tersimpan Laut Mati. “Kalau mau cari Laut Mati jangan jauh-jauh ke Timur Tengah. Di Rote ada Laut Mati,” warga Rote, Yos Fanggidae menjelaskan.
Laut Mati ini sebenarnya merupakan danau berair asin meski kadar garamnya tidak seperti air laut. Air danau tidak seasin air laut. Beberapa jenis ikan air tawar justru bisa hidup di danau ini.
“Ketong Sonde tahu (kami tidak tahu). Dari dulu su bagitu (sudah begitu). Ikan air tawar bisa hidup,” tutur Nimrod Hun (75), ketika ditemui di tepi danau, awal November 2013.
Nimrod memperkirakan danau itu memiliki panjang sekitar 12 kilometer dengan lebar bervariasi. Danau tidak terhubung dengan laut. Jarak dari pantai sekitar satu kilometer. Dia memperkirakan kian berkurangnya rasa asin karena ada mata air tawar di pinggiran danau. “Ternak juga sonde minum air danau karena asin,” ia memaparkan.
Praktis tidak ada kegiatan apa pun untuk memanfaatkan air danau ataupun untuk kegiatan wisata. “Air danau begini-begini saja. Tidak naik, juga tidak berkurang. Ada yang datang kalau libur, tapi belum terlalu banyak,” Nimrod menjelaskan.
Pantai Nembrala
Setelah menyusuri ujung timur, tidak ada salahnya menjajal bagian barat Rote. Sejauh ini, wilayah barat ini yang menjadi sasaran wisatawan mancanegara. Ini karena wilayah barat Rote memiliki alur gelombang Laut Selatan yang menaikkan adrenalin para peselancar. Pantai Nembrala dan Pantai Boa merupakan wilayah favorit bagi peselancar. Bukan hanya gelombang semata, melainkan pantai ini juga memiliki hamparan pasir putih.
Wilayah Pantai Nembrala sudah menunjukkan geliat pariwisata karena sejumlah hotel dan cottage berjejer rapi di sekitar Nembrala.
Bahkan, sepanjang jalan antara Nembrala dan Boa tampak berbagai aktivitas dan bangunan untuk menunjang kebutuhan pariwisata. Di balik potensi luar biasa itu, sebenarnya pemerintah belum memperlihatkan andil untuk mempercepat pengembangan kawasan ini.
“Kami bisa lihat, akses jalan ke wilayah Nembrala ini yang tidak mendapat perhatian sekira beberapa kilometer. Kalau mau jujur, perkembangan wisata di Nembrala ini karena wisatawan mempromosikan sendiri,” tutur Yos Fanggidae.
Potensi wisata alam dan laut Pulau Rote tidak kalah dengan daerah lain, tetapi masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Kunjungan ke Pulau Rote datang dari berbagai negara, seperti Eropa dan Australia.
Namun, kunjungan wisatawan biasanya sepi pada November-Maret. Kemudian, kembali ramai bertepatan musim libur di Eropa. Bahkan, ada operasional penginapan yang ditutup sementara untuk mengantisipasi sepinya pengunjung. “Sekarang ini mau ditutup dulu. Istirahat karena musim hujan. Nanti buka lagi kalau kunjungan ramai,” Ida, pelayan hotel di Nembrala menjelaskan.
Harapan untuk mengembangkan pariwisata di Rote sebenarnya bisa lebih cepat jika didukung infrastruktur dan transportasi yang memadai. Apalagi wisatawan yang berkunjung ke Rote hanya bertahan beberapa hari. Itu juga wisatawan setelah mengunjungi berbagai daerah.
“Pada 1990-an, pesawat Australia ke Indonesia atau sebaliknya masih mampir di Kupang. Sekarang ini, pesawat langsung ke Bali atau sebaliknya, Bali langsung ke Australia,” Gaspar menjelaskan, warga NTT kepada SH.
Menurut Gaspar, kalau saja pesawat singgah di Kupang sebelum ke Bali atau dari Bali ke Australia, akan memberikan peluang lebih cepat berkembangnya pariwisata di NTT. “Ada banyak potensi wisata, tapi wisawatan masih belum terlalu ramai. Kami harap pemerintah mengambil kebijakan agar pesawat singgah di Kupang sebelum ke Australia,” ujarnya.(Daniel Tagukawi)
Perbatasan yang Kaya Hasil Laut
Posisi Pulau Rote yang berbatasan dengan perairan Australia menyebabkan nelayan di Pulau Rote sering tidak sadar memasuki wilayah Australia. Tidak jarang, nelayan digiring ke penjara dan kapal ditenggelamkan.
“Pada masa lalu, tidak ada masalah kalau ke Pulau Pasir, tapi sejak 1990-an sama sekali tidak dibolehkan Australia. Kami dulu sering istirahat di Pulau Pasir tidak ada masalah, sekarang tidak boleh,” kata nelayan di Papela, Juhdar Asenong yang didampingi Dahlan Asrap beberapa waktu lalu.
Namun, sekarang sudah hampir tidak ada lagi nelayan yang ditangkap karena nelayan sudah menggunakan GPS sehingga tahu mana daerah perbatasan. Misalnya, dari Papela sudah diketahui jarak perbatasan sekitar 100 mil laut. “Tapi karena daerah itu kaya ikan, nelayan juga sering memasuki wilayah perairan. Tapi kalau ada patroli, ya kami masuk ke wilayah Indonesia,” tuturnya.
Daerah perbatasan itu memang kaya potensi laut, seperti ikan tuna dan teripang. Bahkan, dulu juga sering mencari sirip hiu. Tapi, sekarang tidak ada yang mencari karena sudah dilarang dan harga juga tidak bagus. “Kalau hasil laut di sini sangat kaya, tapi nelayan kesulitan peralatan tangkap dan menjual hasil laut. Kalau dijual sangat murah,” tutur Juhdar.

Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar