Selasa, 28 Juli 2015

SEJARAH SUAP MENYUAP SEPAKBOLA NASIONAL

Bagi pencinta sepak bola Indonesia, sepertinya perlu mendapat informasi yang lumayan lengkap dari CN, selama mengikuti perjalanan sepak bola nasional, khususnya dalam wadah kompetisi Indonesia atau pun di tim nasional Indonesia, yang selalu dihantui atau pun ditelusup oleh para bandar suap dan kaki tangannya. Sejak tahun 60-an hingga memasuki abad 21, tepatnya sampai musim 2014 ini, wajah sepak bola nasional, masih jalan ditempat dalam membrantas suap menyuap sepak bola nasional. Padahal, dengan teknologi yang super canggih, seharusnya sepak bola Indonesia sudah semakin sulit ditembus para “Mafioso para bandar suap”. Nyatanya. justru sepertinya PSSI sebagai induk cabang olahraga tertua di bumi Nusantara ini, sepertinya dan seolah-olah menutup-nutupi.
1- SKANDAL TIMNAS PERTAMA
Awal-awal berdirinya PSSI sejak 19 April 1930, sebetulnya sudah ada kasus-kasus suap yang melanda di sepak bola Indonesia. "Waktu itu, manajer tim PSSI-nya Adalah seorang wartawan. Bukan main hebatnya wartawan itu, dia mampu memberikan motivasi untuk kami tidak gentar menghadapi Nan Hwa," kata Djawad, legenda PSIM Jogjakarta, tahun 1930-an.
Orangtua itu masih ingat susunan tim PSSI yang tampil dengan pola WM. Penjaga gawang Maladi, bekas Ketua Umum PSSI dan Menteri Olahraga, bek kanan Ahoed (Cirebon), bek tengah Sarjan, dan bek kiri Soemaryo dari Solo. Empat gelandang terdiri dari Soewarno, Sukemi, dan Hoetoro dari Persis Solo, dan Soetrisno (Cirebon). Sebagai barisan penyerang adalah: Moestaram (Cirebon), Djawad (PSIM Yogyakarta), dan Yazid (Persis Solo).
Waktu itu, pemain kunci PSSI adalah kiper Maladi dan penyerang tengah Djawad. Menjelang pertandingan berlangsung di Alun-alun Semarang, seorang Cina menghubungi Djawad dan Maladi. la minta agar kedua pemain itu mau bermain kalah menghadapi Nan Hwa. Kedua pemain menolak maksud penyuap itu.
"Padahal, saat itu kami dijanjikan uang masing-masing 500 gulden. Cukup untuk beli dua rumah tembok di pinggir jalan," kata Djawad mengenang peristiwa lima puluh tahun lalu. Menurut bekas penyerang tengah tim nasional itu, alasan untuk menolaknya sangat sederhana saja. "Kami ingin menang, ingin menunjukkan kepada bangsa lain bahwa kita tak kalah dengan mereka," ujarnya.
Bahkan, menurut Djawad yang pernah menjadi asisten pelatih Belanda Wiel Coerver di Diklat Salatiga, saat itu Maladi marah-marah pada Cina penyuap tersebut. "Kalau saat itu Maladi bawa pistol, mungkin sudah ditembaknya. Dan kami memang tidak terpengaruh, hasil pertandingan 2-2. Maladi dan saya benar-benar main mati-matian," ujarnya.
Pertandingan yang berlangsung di Alun-Alun Semarang itu, PSSI mula-mula kebobolan 2 gol. Maladi silau oleh cahaya matahari. Giliran babak kedua, kiper Nan Hwa yang silau. Dua tendangan lambung menyilang Moestaram, gagal dikuasai kiper lawan. "Kami benar-benar bahagia saat itu," ujar orangtua yang mendapat penghargaan ketika PSSI berulangtahun ke-50 (tahun 1980).
2- SKANDAL SENAYAN
Saat itu, Tim nasional Indonesia yang diasuh Tony Pogaknik adalah satu tim kandidat juara Ganefo 1963
(multievent ciptaan Bung Karno, untuk menandingi Olimpiade ciptaan sekuta Amerira dkk). Dengan kekuatan yang masih memiliki dua tim yaitu Tim Nasional Garuda dan tim nasional Banteng, sepertinya 'racikan' Pogaknik sudah sangat ditakuti lawan-lawannya dari seluruh dunia.
Kalau hanya kawasan Asia saja, sepertinya sulit menandingin tim nasional Indonesia saat itu. Mayoritas pemainnya, adalah tim Persib Bandung yang dekade 1960 - 64 selalu menjadi jawara kompetisi sepak bola nasional. Kiper Jus Efek, Rukman (kanan luar) Fattah Hidayat (playmaker), Omo Suratmo (striker), Wowo Sungkowo (gelandang) serta dua bersaudara Max Timisela (striker dan Hengky Timisela (double stopper). Juga masih menyisakan Suhendra (kiri luar), Anjik Ali Nurdin (libero).
Sementara itu, pemain di luar Persib Bandung, Idris, Sunarto (PSMS Medan), LH Tanoto, Rukma, Ishak Udin, Sanca (Persija Jakarta), Maryoso (PSMS Medan), Idris (PSM Makassar), Bob Hippy (Persebaya). Dan, masih menyimpan nama-nama legendaris lainnya, seperti M. Zaelan, Djamiat Dalhar, Tan Liong Houw dan Ipong Silalahi.
Dengan dibongkarnya 'Skandal Senayan', otomatis tim nasional yang ampil tidak dengan kekuatan penuh, karena para bintangnya dinyatakan terkena kasus tersebut. Sementara, tim nasional yang tampil hanya dengan pemain mudanya, termasuk Bob Hippy. Bahkan, Sutjipto Suntoro yang tidak masuk dalam skuad akhirnya ikut terpanggil.
Menurut Bob Hippy, saat 'Skandal Senayan' dirinya masuk untuk tim Banteng, sedangkan tim Garuda lebih dominan dari para pemain Persib Bandung. Awalnya, setelah ujicoba dengan tim nasional Yugoslavia, juara Olimpiade 1962 sekaligus '8 besar' Piala Dunia 1962 berlaga di Stadion Bung Karno Senayan, ditahan imbang 3 - 3.
Rata-rata istri pemain ikut serta dalam rombongan ujicoba tersebut, yang menginap di Hotel Asri (sekarang jadi hotel Century Atlet Senayan, red). Saat itu, para istri pemain belanja ke Sarinah (mall terbesar saat itu di kawasan Thamrin Jakarta yang dibangun presiden Soekarno), danbdi hotel juga ditemukan banyak uang.
Menurut Bob Hippy saat itu, pemain yang masuk tim nasional itu adalah sebuah prestise dan bergengsi. Namun, pemerintah RI saat itu sedang membangun, oleh sebab itu jarang sekali ada uang saku atau bonus. Walaupun saat itu, uang sakunya Rp 25 perak. Namun, banyak pejabat yang memberi bonus kepada pemain jika menang.
Saat itu, partai persahabatan dengan tim Yugoslavia berakhir 3 - 3. Mosok dengan hasil seri saja, pemain disuap. Itulah yang menjadi. misteri' sampai saat ini. Mereka disuap untuk kalah, tapi hasilnya seri 3 - 3. Ini tidak masuk akal. Sebetulnya, hanya masalah iri karena ada para istri yang belanja, namun ada para istri yang tidak bisa belanja.
Sebetulnya, di dalam sebuah tim, hal-hal tersebut biasa. 'Mungkin saat itu ada pemain yang pelit kepada istrinya, bisa juga karena ada juga pemain yang memberi banyak uang kepada istrinya," lanjut Bob Hippy. Menurut Bob, saat itu Tony Pogacnik bahkan sampai berlinang air mata ketika kepolisian memeriksa dan menahan beberapa pemain atas tuduhan tersebut.
3- SKANDAL MANGGA BESAR
Puasa Tahun 1987, sebagian pemain Pelita Jaya dituduh Bertje Matulapelwa (pelatih timnas Indonesia), seperti Robby Maruanaya, Elly Idris, Louis Mahodin, Noah Meryam dan Bambang Nurdiansyah. Mereka, saat melakukan pelatnas untuk persiapan SEA Games 1987 di Jakarta, kedapatan keluyuran di kawasan Mangga Besar Jakarta. Konon, menurut Bertje Matulapelwa, mereka sedang ‘dugem’ dan ditraktir judi bola di kawasan ‘Pacinan’ Gajamada. Walaupun, saat itu hanya terindikasi, danvbelum terbukti ada transaksi, namun trio pelatih SEA Games 1987, Bertje Matulapelwa, Sarman Pangabean dan Sutan Harhara, lebih berani memilih mencoret mereka, walaupun saat itu Bertje adalah pelatih Pelita Jaya Jakarta sebelumnya.
Bahkan, oleh PSSI, kelima pemain Pelita jaya itu dihukum tiga tahun. Walaupun, akhirnya semua mendapat remisi hukuman. Namun, Bertje sebagai pelatih, sepertinya sangat jeli. Sehingga mayoritas skuad tim SEA Games saat itu berubah drastis. Kalau sebelumnya, lebih dominan pemain Galatama, namun saat menjelang pesta olahraga se-Asia Tenggara itu, didominasi pemain Perserikatan. Terbukti, cara-cara Bertje sangat manjur, dan akhirnya merebut medali emas SEA Games 1987, untuk pertama kalinya.
Dengan mayoritas pemain Perserikatan, seperti PonirinbMeka dan Sutrisno (PSMS Medan), Marzuky Nyak Mad, Patar Tambunan, Azhary Rangkuty, Adityo Darmadi (Persija Jakarta), Robby Darwis (Persib Bandung), Budi Wahyono dan Ribut Waidi (PSIS Semarang). Sehingga, hanya penyisakan tiga pemain Galatama, Jaya Hartono (Niac Mitra), Herry Kiswanto (KTB), Ricky Yacobi dan Nasrul Koto (Arseto) dan Rully Nere (Pelita Jaya).
“Gue harus istirahat satu musim memperkuat Pelita Jaya saat itu. Beruntung, Acub Zainal kasih gue bermain untuk Arema Malang di putaran kedua Galatama 1987-88. Kata Acub, kota Malang butuh pemain bintang, agar penonton bisa berduyun-duyun ke stadion Gajayana, dan Acub dan Lucky Acub Zainal berjanji, kalau gue dijamin tidak diteriaki suap….suap…suap,” tutur Bambang Nurdiansyah.
4- SKANDAL PRA PIALA DUNIA 1989
Pelatih nasional, Trio Basiska - Basri, Iswadi dan Abdul Kadir, juga mengungkap kasus suap menyuap yang terjadi pada para pemain tim nasional yang disiapkan ke Pra Piala Dunia. Buntutnya, Acub Zainal, akhirnya ditunjuk PSSI sebagai Ketua Tim Penelitian dan Penanggulangan Masalah Suap - TPPMS. Saat itu, PSSI mensinyalir banyak pertandingan yang dijual- belikan dalam kompetisi Galatama dan Perserikatan Adalah Suapri, gelandang elegan asal Jayakarta Galatama, setelah gantung sepatu, justru lebih punya hobi sebagai kaki tangan para bandar judi. Sehingga, hampir semua pertandingan Galatama saat itu, sudah terindikasi diatur oleh para Bandar judi. Dampaknya, selama Suapri dipanggil keluar masuk ke TPPMS dibawah komando Acub Zainal, situasi pembentukan tim nasional, asuhan trio Basiska (M. Basri, Iswadi Idris, Abdu Kadir) benar-benar sulit, karena rata-rata pemain Galatama yang dipanggil masuk skuad tim nasional dinilai sulit dipercaya, sehingga prestasi tim nasional benar-benar gagal total. Termasuk, dalam persiapan Pra Olimpiade.
Dalam usia senjanya, bekas pemain nasional itu sangat sedih mendengar berita adanya pemain-pemain PravOlimpiade asuhan Bertje Matulapelwa, yang terlibat suap.
"Ya, mereka memang tidak memperoleh yang sebesar kita dapat dulu. Uang saku kami dulu besar sekali. Kondisi pemain dan zaman pun memang sudah berbeda. Kebutuhan pemain sekarang memang banyak. Dan kalau PSSI menyadari semua itu, pasti tidak akan menghukum mereka seberat itu. Tiga tahun itu lama," komentarnya tentang hukuman lima pemain Pra Olimpiade Barcelona 1992.
Maulwi Saelan, mantan kipper tim nasional Olimpiade 1956 di Melbourne, menjawab CN, bahwa pemain sekaliber Simon Tahamata, salah satu pemain nasional Belanda berdarah Ambon, juga pernah terlibat suap di awal tahun 98-an. "Saat itu, nilanya besar sekali yang diterimanya, tapi toh hanya dihukum 6 bulan. Sementara pemain Indonesia dihukum 3 bulan. Ini controversial."
Memang beda sekali, kondisi sosial dan budaya serta perilaku, para pemain nasional diawal kemerdekaan, dengan jaman sekarang, terutama memasuki millennium ke-3. Mental pemain tim nasional sekarang ini, mentalnya itu bisa dipengaruhi lingkungan, gaya hidup, mau pun pikiran untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Sedangkan, kalau dulu, mentalnya hanya untuk garuda di dadaku.
5- SKANDAR MURSYID EFFENDY
Masih ingat, peristiwa “gol bunuh diri” Mursyid Effendy saat menghadapi tim nasional Thailand, yang berakhir dengan skor 2 – 3, di Piala Tiger 1998 (sekarang berganti nama Suzuki AFF Cup). Untuk menghindari tuan rumah sekaligus favorit juara, Vietnam di semi-final, pasukan Rusdy Bahalwan Dan Thailand "menolak" menang pada pertandingan terakhir babak penyisihan Grup A. Peristiwa itu, berlangsung 31 Agustus 1998, di Stadion Thong Nhat, Ho Chi Minh, yang dipimpin wasit asal Cina, Lu Jun.
Kedua tim, saat itu sudah dipastikan lolos ke semi-final, tetapi hasil imbang saja sudah cukup bagi Thailand untuk menempati posisi runner-up dan terhindar dari laga melawan Vietnam. Ketidakseriusan memuncak usai jeda di babak kedua. Indonesia memimpin dua gol lewan Miro Baldo Bento (52) dan Aji Santoso (84), sebelum disamakan Thailand lewat Kritsada (62) dan Therdsak (86). Namun, ujug-ujug menit 90, Mursyid Effendy dengan “tanpa dosa” Mencetak gol bunuh diri ke gawang sendiri yang dikawal Hendro Kartiko, dan akhirnya Thailand menang 3 – 2, akhirnya “Negri Gajah” itu yang berhadapan menghadapi Vietnam di semi-final.
Ketua Umum PSSI Azwar Anas menyambut kepulangan timnas di bandara dan sambil berlinang air mata menyatakan pengunduran diri karena insiden memalukan itu. Setelahnya, Mursyid juga mendapat sanksi laranganvbermain untuk timnas seumur hidup oleh FIFA. Keluarga Azwar Anas, sepertinya tidak tega melihat bapaknya dihujat tanpa ampun di semua media cetak saat itu, sehingga malamnya mengadu ke Agum Gumelar dan presiden Soeharto, agar segera mengganti dirinya.
Yang masih menjadi ‘tanda tanya’ besar, siapa yang menyuruh Mursyid Effendy melakukan “gol bunuh diri”? Sampai hari ini, Mursyid Effendy tidak pernah mengeluarkan kata-kata untuk pengatur scenario paling memalukan tersebut.
6- SKANDAL BUKIT JALIL
Masih terngiang-ngiang di sekitar telinga kita sebagai pencinta sepak bola nasional. Peristiwa di stadion Bukit Jalil, Malaysia, di final leg pertama, 26 Desember 2010, menghadpi tuan rumah Malaysia, yang berakhir dengan skor telak 0 – 3. Semua penggila bola, tidak percaya pasukan Alfred Riedl dipermalukan di kandang Malaysia, dengan skor telak. Padahal, di penyisihan grup A, Indonesia menggulung Malaysia dengan skor telak 5 – 1. Membabat setengah lusin 6 – 0 atas Laos, dan mengalahkan Thailand 2 – 1.
Sejengkal lagi perjuangan Indonesia mengakhiri puasa gelar sejak 1991, sepertinya dan seolah-olah akan terwujud di Piala AFF 2010. Indonesia selalu menang dalam tiga pertandingan penyisihan grup dan dua laga semi-final melawan tim kejutan Filipina. Namun, malam itu, Malaysia dengan materi U-23 jsutru mengejutkan sekaligus mempermalukan Firman Utina dan kawan-kawan.
Setelah gonjang-ganjing perebutan ‘kursi panas’ PSSI, terkuak, bahwa pertandingan Malaysia vs Indonesia di final leg pertama itu, terindikasi permainan atur mengatur skor. Konon, yang beredar, bahwa rumah judi di Malaysia dan Singapura, menginginkan pertandingan berakhir hanya 0 – 2 untuk kemenangan Malaysia.
Namun, konon katanya lagi, Nirwan Bakrie justru inginkan pertandingan berakhir lebih dari dua gol. Dan, terbukti timbnasional Indonesia kalau lebih dari dua gol. Otomatis, bandarnya Nirwan Bakrie yang menang telak sekaligus untung besar (sekitar Rp 2 triliyun). Masih konon dan desas-desus yang belum terkuak sampai hari ini, adalah bawah tim Indonesia diyakini, masih mampu kembali menang telak di Senayan, saat pertandingan final leg kedua, 29 Desember 2010 saat itu, sehingga Indonesia masih dinilai tetap sebagai juara. Nyatanya, buntung !!!!
* Via : Cocomeo News (CN)
sumber: https://web.facebook.com/permalink.php?story_fbid=796092997128244&id=261694130568136&substory_index=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar