Minggu, 29 November 2015

Muda Baliya, Seniman Hikayat Aceh yang Masih Bertahan


KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Muda Baliya, seniman hikayat Aceh.
 
Bek lee ta ingat e syedara kayee bak jaloh
Cit ka hana boh si umu masa
Bek lee ta ingat e syedara harta meulayang ka gadoh
Cit ka eh nanggroe bak po Rabbana

Meunyoe mantong e syedara e doa teuh gleeh
Mantong na hasee ta kirem doa
Nyoe mantong ta hudep wareh e galom ta mate
Wajeb sabee e wareh e pujo Rabbana,…

(Tidak usah diingat hai saudara pohon ulin
Tidak akan berbuah sepanjang masa
Jangan lagi diingat hai saudara harta melayang yang hilang
Sudah sampai masanya, negara pada Rabbana

Kalau masih hai saudara doa kita bersih
Masih ada hasil kalau kita berdoa
Selagi (semasih) hidup duhai sahabat sebelum mati
Wajib selalu sahabatku puji Rabbana...)

ITULAH sepenggal hikayat yang dilantunkan Muda Baliya pada 26-27 Desember 2009 selama 26 jam nonstop. Acara bertema "Tsunami Aceh – Thanks to The World" itu digelar di kompleks Kapal PLTD Apung untuk memperingati 5 tahun tsunami Aceh.

Sebagai korban tsunami yang melanda Aceh 26 Desember 2004, Muda Baliya masih ingat akan syair yang spontan dilantunkannya saat itu.

"Waktu itu mengisahkan tentang kisah yang saya alami, dengan mata kepala sendiri dan dengar dengan telinga sendiri. Itulah yang saya kupas di panggung saat itu," katanya kepada Aceh Tourism pertengahan November 2014.

Saat itu, Muda meraih Rekor Muri atas prestasinya sebagai pembaca hikayat terlama, yaitu 26 jam nonstop dengan jeda hanya 5 menit di tiap jam.

Ditemui di Museum Aceh, Banda Aceh, Selasa (20/10/2015), Muda Baliya tengah asyik mengisahkan perjalanan dirinya sebagai seniman hikayat Aceh untuk program Idenesia atau Ide untuk Indonesia.

Program Idenesia merupakan kerja sama Bakti Budaya Djarum Foundation bersama Metro TV dan Pendiri Pusat Studi Indonesia Cerdas yang dipimpin musisi Yovie Widianto.

"Dulu seni hikayat berkembang seluruh Aceh. Saat itu seni hikayat berfungsi untuk menyebarkan agama Islam. Selanjutnya para penghikayat tersebut ditarik ke istana kerajaan," tutur Muda Baliya.

Tugas mereka di kerajaan untuk memberi kabar dari raja kepada rakyat dengan bersyair dan sebaliknya. "Dulu tidak ada media surat kabar dan televisi. Makanya perlu banyak penyair yang dilatih," sambungnya.

Program raja disampaikan penyair yang disebar di kampung-kampung. "Gelarnya para penyair ini adalah 'radio begigi' atau 'radio megigau'. Waktu itu radio memang sudah ada, tetapi di Aceh belum ada," kata Muda yang tidak mengetahui persis tanggal kelahirannya itu.

Zaman penjajahan Belanda, lanjut Muda, rakyat Aceh bersatu melawan kaum penjajah. Berkurangnya para penghikayat Aceh sangat terasa ketika meletus peristiwa G-30-S PKI tahun 1965.

"Saat itu terjadi pembantaian luar biasa. Banyak penghikayat hilang. Kebetulan penghikayat pantai selatan (Kabupaten Aceh Selatan) lolos. Dari sinilah mereka berasal sekarang," kata Muda.

Laki-laki kelahiran tahun 1980 di Desa Seunuboek Aluebuluh, Kecamatan Pakongan, Kabupaten Aceh ini mulai berkenalan dengan hikayat gara-gara menonton pertunjukan hikayat pada hajatan perkawinan atau acara khitanan di desanya.

Namun, apa lacur, orangtua malah melarang keras Muda Baliya belajar seni hikayat. Saat itu nyaris tak ada anak muda yang memainkan hikayat, selain karena hikayat tak bisa dijadikan gantungan hidup.

"Orang kampung bilang pekerjaan hikayat itu orang yang malas kerja. Orang seni dianggap tak penting. Kala itu yang penting, pergi ngaji dan sekolah. Padahal sejak SD saya sudah naik panggung. Sekolah diabaikan," tutur ayah dengan dua anak, Lia Santika (kelas 4 SD) dan Ramatullah (kelas 1 SD), ini mengenang.

Muda Baliya prihatin, pemain hikayat semakin langka. "Kalau pembaca hikayat banyak. Mereka sekolah, pergi ke toko buku, cari buku hikayat, tinggal baca di depan banyak orang. Kalau pemain hikayat bisa dihitung dengan jari, karena mereka mainkan kisah lama atau legenda tanpa membaca teks," paparnya.

Keprihatinannya semakin bertambah di mana Pemprov Aceh jarang memintanya tampil membawakan hikayat Aceh.

Malah pihak luar negeri yang selalu mengundangnya. Muda sempat diundang ke Shanghai dan Singapura. Pada Mei 2016, Muda Baliya mengaku diundang ke Jepang.

"Saya berterima kasih kepada media massa yang selalu mengangkat hikayat Aceh," katanya.

Sebagai seniman hikayat Aceh, dia tak ingin hikayat Aceh tinggal kenangan. Untuk itulah Muda Baliya mendirikan Sanggar Jamboe Hikayat untuk melahirkan para penghikayat muda Aceh.

Bagaimana cara belajar hikayat sekaligus bisa bertahan dan menjaga suara agar tetap stabil, Muda tak pelit untuk memberikan saran.

"Boleh berguru (hikayat), tetapi jangan meniru. Bentengi badan dari segala penyakit," katanya seraya meniup bansi (seruling) yang mengalunkan nada-nada merdu Bumi Serambi Mekkah.

Mendengar alunan seruling Muda Baliya, orang yang mendengarnya terasa damai... 
Tugas mereka di kerajaan untuk memberi kabar dari raja kepada rakyat dengan bersyair dan sebaliknya. "Dulu tidak ada media surat kabar dan televisi. Makanya perlu banyak penyair yang dilatih," sambungnya.

Program raja disampaikan penyair yang disebar di kampung-kampung. "Gelarnya para penyair ini adalah 'radio begigi' atau 'radio megigau'. Waktu itu radio memang sudah ada, tetapi di Aceh belum ada," kata Muda yang tidak mengetahui persis tanggal kelahirannya itu.

Zaman penjajahan Belanda, lanjut Muda, rakyat Aceh bersatu melawan kaum penjajah. Berkurangnya para penghikayat Aceh sangat terasa ketika meletus peristiwa G-30-S PKI tahun 1965.

"Saat itu terjadi pembantaian luar biasa. Banyak penghikayat hilang. Kebetulan penghikayat pantai selatan (Kabupaten Aceh Selatan) lolos. Dari sinilah mereka berasal sekarang," kata Muda.

Laki-laki kelahiran tahun 1980 di Desa Seunuboek Aluebuluh, Kecamatan Pakongan, Kabupaten Aceh ini mulai berkenalan dengan hikayat gara-gara menonton pertunjukan hikayat pada hajatan perkawinan atau acara khitanan di desanya.

Namun, apa lacur, orangtua malah melarang keras Muda Baliya belajar seni hikayat. Saat itu nyaris tak ada anak muda yang memainkan hikayat, selain karena hikayat tak bisa dijadikan gantungan hidup.

"Orang kampung bilang pekerjaan hikayat itu orang yang malas kerja. Orang seni dianggap tak penting. Kala itu yang penting, pergi ngaji dan sekolah. Padahal sejak SD saya sudah naik panggung. Sekolah diabaikan," tutur ayah dengan dua anak, Lia Santika (kelas 4 SD) dan Ramatullah (kelas 1 SD), ini mengenang.

Muda Baliya prihatin, pemain hikayat semakin langka. "Kalau pembaca hikayat banyak. Mereka sekolah, pergi ke toko buku, cari buku hikayat, tinggal baca di depan banyak orang. Kalau pemain hikayat bisa dihitung dengan jari, karena mereka mainkan kisah lama atau legenda tanpa membaca teks," paparnya.

Keprihatinannya semakin bertambah di mana Pemprov Aceh jarang memintanya tampil membawakan hikayat Aceh.

Malah pihak luar negeri yang selalu mengundangnya. Muda sempat diundang ke Shanghai dan Singapura. Pada Mei 2016, Muda Baliya mengaku diundang ke Jepang.

"Saya berterima kasih kepada media massa yang selalu mengangkat hikayat Aceh," katanya.
sumber: http://travel.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar