Jumat, 29 April 2016

Dongeng, Bukan Sekadar Pengantar Tidur Si Kecil


Dongeng - ilustrasi

Dongeng - ilustrasi
Oleh Muhammad Hafil 

Tanpa diduga-duga sebelumnya, Maha Kirana, gadis cilik berusia empat tahun, mengajukan pertanyaan kepada ibunya, Marlinawati (31). “Ibu, bagaimana kalau yang sombong itu si kura-kura, apakah dia akan tetap menang lomba lari dengan si kancil?”
“Begini, Nak, siapa pun yang sombong pasti akan mendapat kerugian. Makanya, kita tidak boleh sombong walaupun kita punya kemampuan seperti si kancil,” kata Marlina menjawab pertanyaan anaknya.
Meskipun tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu, Marlina senang. Karena, Kirana memiliki kebiasaan untuk bertanya dan mencari tahu. Ini bisa memupuk daya kritisnya terhadap suatu persoalan. 
“Paling tidak, setelah mendengar cerita umum bahwa si kancil itu selalu kalah dalam perlombaan lari dengan si kura-kura, tapi dia mendapat pemahaman inti cerita itu adalah siapa pun yang memiliki sifat sombong bisa mendapat kerugian dan kekalahan,” kata Marlina kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Marlina memang telah membiasakan menceritakan sebuah dongeng kepada Kirana sejak usianya masih 3,5 tahun. Yakni, ketika dia sudah mulai fokus terhadap suatu hal. Awalnya, Marlina hanya memberikan buku-buku bergambar kepada Kirana yang biasanya hanya dirobek-robek. Tetapi, setelah dia mulai bertanya-tanya, ini gambar apa, atau ini kok begini, Marlina pun mulai menceritakan sebuah dongeng kepada Kirana.
Saat ini, hampir setiap hari Kirana meminta dibacakan cerita dongeng oleh ibunya. Biasanya, menjelang tidur siang atau malam. Untungnya, Marlina yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia di SMEA Motivasi Insani, Cibinong, Bogor, itu memiliki waktu luang yang cukup untuk sering berada di rumah. 
Banyak dongeng yang dibacakan oleh Marlina kepada Kirana. Tetapi, biasanya yang diceritakan hanya cerita yang pelakunya hewan. Seperti, si Kancil dan Kura-Kura. Untuk cerita seperti Malin Kundang, anaknya belum terlalu menangkap cerita itu meskipun saat diceritakan, Kirana mendengarkannya.
Marlina sering kali kewalahan karena anaknya sering menantang dia untuk menceritakan suatu cerita yang belum pernah ada di buku-buku. “Bu, kalau cerita gajah dan semut bagaimana?” tanya Kirana suatu ketika kepada ibunya itu.
Untuk menjawab pertanyaan itu, biasanya Marlina mengarang ceritanya sendiri, tetapi tetap dibumbui oleh pesan-pesan yang mengandung kebaikan. “Makanya, saya harus sering rajin membaca biar gak ketinggalan,” kata Marlina.
Ada banyak manfaat lain yang dirasakan Marlina setelah hampir setiap hari membacakan dongeng kepada anaknya. Di antaranya, Marlina menjadi lebih terbuka kepada orang tuanya. “Misalnya, ketika sore setelah ayah dan ibunya pulang, Kirana bercerita kalau hari ini dia main dengan siapa, atau tadi ada temannya yanggangguin dia,” kata Marlina.
Menurut Marlina, hal ini dirasakan penting karena ayah dan ibunya tidak selalu bisa 24 jam hadir di sisi dia. Yakni, Kirana menceritakan apa saja yang dia rasakan dan yang terjadi padanya kepada orang tuanya. 
Di rumah, Kirana juga ditemani oleh neneknya. Oleh neneknya, Kirana juga sering dibacakan dongeng. “Maka itu, saya terapkan dongeng ini kepada anak saya karena dulu ibu saya juga membacakan dongeng kepada saya ketika kecil,” kata Marlina.
Selain itu, Kirana lebih mudah dalam bersosialisasi. Misalnya, ketika sedang ada acara kumpul keluarga yang tidak semuanya dikenal oleh Kirana, dia lebih mudah akrab dengan keluarga besarnya. Karena, ketika ditanya-tanya oleh saudara-saudaranya, Kirana bisa menjawab dengan panjang lebar.

Dilupakan
Psikolog anak, Seto Mulyadi (Kak Seto), berpendapat, dongeng di kalangan orang tua Indonesia sudah mulai dilupakan. Kesimpulan itu diperoleh Kak Seto setelah seringnya dia berinteraksi dengan para orang tua dan anak di sejumlah wilayah Indonesia.
“Sudah dilupakan arti pentingnya. Padahal, dongeng memiliki peran psikologis untuk pengembangan jiwa anak-anak, merangsang kecerdasan, bahasan, perkembangan emosi, moral, dan juga pembangun komunikasi yang kuat antara anak dan orang tua,” kata Kak Seto kepada Republika.
Padahal, budaya dongeng sudah dikenal lama oleh orang tua di Indonesia. Seperti di Riau, budaya Melayu yang memiliki tradisi aktivitas mendongeng yang dikembangkan dengan pantun dan permainan kata-kata. 
Indikator dongeng dalam budaya Indonesia yang telah ada sejak zaman dulu juga bisa dilihat dengan munculnya cerita-cerita rakyat. Di antaranya, kisah Tangkuban Perahu, asal usul Danau Toba, kisah Loro Jonggrang, bahkan di Papua pun memiliki cerita-cerita rakyat. “Ini semuanya adalah bermula dari dongeng-dongeng,” kata Kak Seto.
Menurut Kak Seto, dulu semua nilai moral dan etika ditanamkan orang tua ke anak melalui dongeng. Tetapi, semenjak   pesatnya perkembangan teknologi, seperti televisi, gadget, dan video, membuat budaya mendongeng dilupakan. “Kita harus menghidupkan kembali budaya asli Indonesia ini,” kata Kak Seto.
Di sejumlah negara maju, dongeng bahkan kembali dipopulerkan. Contohnya, di Jepang. Di sana, pemerintahannya mulai menggalakkan kembali dongeng yang dilakukan orang tua kepada anak. Hal ini dilakukan agar anak-anak tidak memiliki ketergantuangan kepada gadget. “Ini supaya anak belajar berkomunikasi antarmanusia, bukan dengan dunia maya,” katanya. 
Dengan dongeng, anak bisa diajari dengan cara yang menyenangkan tentang nilai-nilai kebaikan. Mana yang baik dan mana yang harus diikuti, atau mana yang jelek yang tidak boleh dilakukan. “Justru anak-anak paling senang dengan dongeng karena dia sedang diajak belajar mendengarkan dan berbicara,” kata Kak Seto.
Selain itu, dongeng juga merangsang anak untuk menyukai membaca. Misalnya, orang tua mendongeng dengan membacakan sebuah buku maka anak-anak mengenal dan membaca buku tersebut.
Kak Seto sendiri sejak dulunya membiasakan dongeng kepada anak-anaknya. Pengaruhnya, hingga saat ini komunikasi dia dengan anak-anaknya menjadi sangat dekat. Karena, dongeng ini mengajarkan keterbukaan dan demokrasi. Awalnya, dimulai dengan dongeng, kedekatan, dan terjadilah rapat keluarga. “Jadi, semua perilaku anak-anak bisa diarahkan sejak kecil tanpa kekerasan. Karena, anak tak perlu dibentak-bentak untuk dikasih tahu tentang nilai-nilai kebaikan. Dengan cerita, anak-anak sudah mendapatkan nilai-nilai kebaikan,” katanya.
Untuk para orang tua yang ingin mendongeng, Kak Seto memberikan saran-saranya. Orang tua harus menguasai teknik mendongeng yang benar. Yakni, dengan kesabaran, kreatif, dan dengan cara-cara yang menarik seperti dengan suara yang berbeda-beda atau nada-nada indah seperti menyanyi. “Ini akan membuat anak-anak tertarik,” katanya.
Adapun, untuk klasifikasi usia mendongeng, Kak Seto menggambarkan pada usia awal, yakni tiga-lima tahun, anak-anak senang dengan dongeng dengan tokoh hewan. Misalnya, si Komo, buaya, macan, kancil, kura-kura, atau kelinci. Pada usia enam-delapan tahun, anak-anak mulai tertarik pada contoh manusia, tetapi yang sederhana. Misalnya, kebiasaan yang baik sikat gigi sebelum tidur, cuci tangan sebelum makan, atau intinya yang membangun kebiasaan. Sedangkan, usia tujuh-delapan tahun, anak-anak sudah mulai suka dengan kisah-kisah petualangan, seperti Jenderal Kancil atau Lima Sekawan.
Pemerintah sendiri mengakui manfaat dongeng dalam pendidikan keluarga. Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Ditjen Paudni dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud Sukiman mengatakan, pemerintah kerap mengimbau kepada orang tua untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan melalui dongeng kepada anak. Di laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id, misalnya, disediakan banyak cerita dongeng untuk menjadi referensi bagi orang tua. 
“Kita menyadari bahwa dongeng itu menanamkan nilai-nilai keteladanan dan bisa memperbanyak kosakata untuk anak karena kosakata ini sejalan dengan kecerdasan anak,” kata Sukiman, Senin (25/4).
Di Kurikulum 2013 sendiri saat ini juga dimasukkan materi pendidikan keluarga. Anak-anak yang sudah usia sekolah dianjurkan membaca buku nonakademik 15 menit sebelum pelajaran dimulai. “Nah, jika anak-anak sudah terbiasa mendengarkan dongeng sejak dini, itu akan merangsang minat membacanya,” kata Sukiman. (http://www.republika.co.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar