Konon pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti Mataram (1575-1601). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" (telur dunia) untuk dimakan. Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi, dengan sebutan Kyai Sapujagad. Sebagai perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu mistisnya yaitu Karaton Kidul (di Samodera Indonesia) dan Karaton Merapi ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan.
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram (Yogyakarta dan Surakarta)
ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME agar karaton
dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran. Labuhan biasanya
diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : G. Merapi, Pantai
Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya dilaksanakan untuk
memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan Jumenengan.
Barang-barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan solok,
semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan kenoko
selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro.
Disamping
labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang dilakukan oleh
masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan Ternak,
Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari Orang
Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan
Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua
diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar
berikut ini.
Upacara
Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali yang berarti
memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta
hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan Kepuharjo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat penting bagi
penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan
upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka
lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging
kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara
lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong.
Penyelenggaraannya
dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh
(di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, Upacara
Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus
di masing-masing dusun. Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon
hujan kepada Tuhan YME agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi
sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan
pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika
pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso
kalimo, sebab hari itu dianggap keramat. Upacara ini dipimpin oleh
seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa
seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum
laki-laki dan sesaji, sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita
serta kambing jantan untuk sesaji .
Upacara
Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung berapi, khususnya dalam
menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa disaksikan di Dusun
Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman,
sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana lahar (dingin atau
panas) dari Gunung Merapi.
Upacara
ini berupa doa mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME
bagi segenap penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan
peletakan sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan
dilewati lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda-tanda alam
akan datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun
temurun.
Penduduk
yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi
kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing
suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Karaton
Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk
mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut Kidul.
Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan
terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka
yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan
penyelamatan.
Tujuan
dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah
untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME
serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak
mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga
tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila
perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.
Konsep
keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi
merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para
penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar
dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang
disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal
(menyimpang) dari kaedah-kaedah keseimbangan alam, yang selalu selaras
serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.
sumber: http://blog-sejarah.blogspot.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar