Bagi kaum tunanetra sosok Louis Braille ini ibarat sosok Prometheus. Berkat perjuangan dari Louis Braille dalam menciptakan huruf yang kini kita kenal dengan huruf Braille ini Louis Braille membuka banyak mata para kaum tunanetra sehingga bisa 'melihat' dunia melalui tulisan. Mari kita simak kisah hidupnya..
Prometheus dalam mitologi Yunani adalah titan yang mencuri api milik para dewa yang kemudian diberikannya kepada manusia agar manusia bisa mengembangkan peradaban. Karakter kepahlawan yang seperti Prometheus ini bisa kita jumpai pada diri Louis Braille ini.
Kira-kira lebih dari 200 tahun yang lampau, di Perancis di sebuah desa kecil disana, hiduplah sebuah keluarga sederhana di sebuah rumah batu yang mungil. Simon Rene Braille, seorang kepala keluarga yang menghidupi istri dan empat orang anaknya dengan bekerja membuat pelana kuda dan sadelnya bagi para petani di daerahnya.
Pada 4 Januari 1809, lahirlah seorang anak terakhir dari keluarga Simon Rene Braille, yang diberi nama Louis Braille. Louis ini semenjak dari kecilnya sudah menunjukkan bakat-bakat menonjol, seperti cerdik, banyak akal dan mempunyai rasa penasaran akan sesuatu yang terus menerus dan seakan tidak ada habisnya.
Saat dirinya masih balita, Louis kecil sering sekali diajak ke bengkel kerja ayahnya, dimana disana ia bermain dengan berbagai peralatan yang ada dan memperhatikan proses pembuatan pelana yang ayahnya kerjakan.
Tak disangka suatu hari keisengan Louis kecil dengan berbagai peralatan yang ada di bengkel ayahnya menimbulkan bencana untuk dirinya. Saat ia sedang bermain dengan benda tajam yang biasanya digunakan ayahnya untuk melubangi bahan dari kulit, benda yang tajam itu tidak sengaja mengenai salah satu matanya. Luka tersebut kemudian menjadi infeksi dan menyebar ke mata yang lain, sehingga dalam waktu satu tahun Louis pun menjadi seorang tuna netra.
Karena saat itu Louis masih begitu kecil, keluarganya bahkan juga ayah dan ibunya menjadi kuatir dengan masa depannya Louis karena kebutaannya itu. Namun pendeta dan guru sekolah tetap mendorong agar Louis tetap diikutkan ke sekolah seperti halnya murid-murid normal yang lainnya. Walaupun saat belajar Louis hanya bisa menangkap pelajaran hanya melalui pendengarannya.
Louis Braille berhasil menjadi juara kelas dan mematahkan anggapan bahwa anak difabel tidak bisa berprestasi. Dengan kemampuannya yaitu daya tangkap Louis yang luar biasa dan juga daya ingatnya yang luar biasa, terutama di bidang sains Louis berhasil menjadi juara kelas.
Prestasi Louis Di Usia 10 Tahun
Di usia 10 tahun Louis berhasil meraih beasiswa dari Royal Institution For Blind Youth di Paris, yang merupakan satu-satunya sekolah tuna netra yang ada saat itu di dunia. Buku-buku di sekolah tersebut dicetak dengan menggunakan sistem emboss, yaitu cetak menonjol sehingga bisa diraba oleh tangan. Sistem ini diciptakan oleh sang pendiri sekolah, Valentin Hauy.
Di Royal Institution For Blind Youth itu lagi-lagi Louis berhasil menjadi siswa brilian, walaupun disitu ia tercatat sebagai siswa termuda. Ia juga ternyata mempunyai bakat bermusik di dalam dirinya, terutama pada instrument piano, organ, biola dan cello.
Di sekolah ini Louis berpikir banyak mengenai sistem emboss yang ada, dia berpikir bagaimana mengembangkan sistem itu karena pada kenyataannya sistem emboss itu masih memiliki kelemahan karena tidak memungkinkan untuk para tuna netra menulis tulisannya sendiri dengan sistem emboss.
Suatu hari Louis datang ke sebuah ceramah dari seorang yang bekerja di kemiliteran yang bernama Charles Barbier. Tentara ini bercerita mengenai apa yang sedang dikerjakannya yaitu mengembangkan sistem sonografi, atau metode pertukaran kode menggunakan sistem emboss. Metode pertukaran kode ini menggunakan simbol-simbol praktis yang mewakili kata-kata tertentu dan bukannya menggunakan alfabet seperti yang ada di sistem emboss.
Metode yang digunakan oleh Charles Barbier ini pada jaman perang digunakan oleh para tentara untuk bertukar informasi. Namun sistem yang digunakan oleh Charles Barbier ini justru diragukan oleh pihak sekolah dan malah salah satu muridnya yang bernama Louis tertarik untuk mempelajari dan mengembangkannya. Louis Braille meneliti sistem yang digunakan oleh Charles Barbier ini selama tiga tahun.
Louis kemudian mengembangkan sistem Charles Barbier ini menjadi sistem yang dapat berguna dan lebih bermanfaat untuk kaum tuna netra. Setelah melalui serangkaian ujicoba akhirnya Louis Braille yang saat itu masih berumur 15 tahun berhasil membuat sebuah sistem yang memakai enam titik dan disesuaikan untuk ke dua puluh enam alfabet. Bahkan ia merancang kode untuk not musik dan matematika.
Kala itu yang menggunakannya baru Louis dan teman-temannya saja, teman-temannya sangat menyukai menggunakan sistem buatan Louis ini karena memudahkan mereka untuk membaca secepat orang yang bisa melihat. Sistem rancangan Louis Braille ini juga memungkinkan teman-teman tuna netranya untuk menulis dengan membuat lubang-lubang di kertas.
Metode yang digunakan oleh Charles Barbier ini pada jaman perang digunakan oleh para tentara untuk bertukar informasi. Namun sistem yang digunakan oleh Charles Barbier ini justru diragukan oleh pihak sekolah dan malah salah satu muridnya yang bernama Louis tertarik untuk mempelajari dan mengembangkannya. Louis Braille meneliti sistem yang digunakan oleh Charles Barbier ini selama tiga tahun.
Louis kemudian mengembangkan sistem Charles Barbier ini menjadi sistem yang dapat berguna dan lebih bermanfaat untuk kaum tuna netra. Setelah melalui serangkaian ujicoba akhirnya Louis Braille yang saat itu masih berumur 15 tahun berhasil membuat sebuah sistem yang memakai enam titik dan disesuaikan untuk ke dua puluh enam alfabet. Bahkan ia merancang kode untuk not musik dan matematika.
Kala itu yang menggunakannya baru Louis dan teman-temannya saja, teman-temannya sangat menyukai menggunakan sistem buatan Louis ini karena memudahkan mereka untuk membaca secepat orang yang bisa melihat. Sistem rancangan Louis Braille ini juga memungkinkan teman-teman tuna netranya untuk menulis dengan membuat lubang-lubang di kertas.
Memperkenalkan Rancangannya Ke Publik
Pada usianya yang ke-20 tahun, Louis Braille memperkenalkan rancangannya kepada publik. Pada 1834, ia melakukan demonstrasi di Paris Exposition of Industry, dan karyanya dipuji oleh pemimpin Perancis pada saat itu yaitu Raja Louis Phillippe. Ironisnya, para guru di sekolah Louis (yang mayoritas bukan tuna netra) menolak sistem tersebut. Jadilah sistem huruf emboss tetap menjadi satu-satunya metode yang diterapkan di sekolah tuna netra itu.
Pantang menyerah, pada 1829 Louis menerbitkan buku untuk memperkenalkan alfabet ciptaannya yang berjudul Method of Writing Words, Music and Plain Song by Means of Dots, for Use by the Blind and Arranged by Them.
Setelah lulus, Louis menjadi pengajar di almamaternya. Ia menjadi guru kesayangan para siswa, meski alfabetnya masih saja belum diterima kaum elit akademisi dengan berbagai alasan. Bahkan, direktur sekolah tempat Louis mengajar pernah membakar buku yang memakai abjad ciptaannya. Alat-alat tulis Louis juga disita dari tangan para siswa. Tak mau kalah, siswa-siswa yang jengkel meneruskan penggunaan hurus Braille dengan memakai jarum rajut, garpu, maupun paku.
Popularitas huruf Braille terlalu besar untuk bisa dibendung. Apalagi, Louis Braille terus memperbaiki dan menyempurnakan sistem kodenya agar semakin praktis untuk digunakan oleh kaum tuna netra.
Akhirnya setelah bertahun-tahun larangan penggunaan huruf Braille di Royal Institution For Blind Youth dicabut.Namun, Louis Braille justru harus mengundurkan diri dan pulang ke desanya di Coupvray karena ia menderita TBC.
Meski sejak kecil sering sakit-sakitan, sekolah tempat Louis mengabdi sebagai guru juga bukan lingkungan yang sehat, walaupun diakui sebagai sekolah tuna netra pertama di dunia, Royal Institution For Blind Youth menggunakan bangunan yang merupakan bekas penjara tua dengan ventilasi yang buruk.
Di kampung halamannya, Louis Braille menghembuskan napas terakhirnya pada 6 Januari 1852, hanya dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-43. Ia dimakamkan dengan sangat sederhana di tanah milik keluarganya, bahkan obituarinya tak muncul di surat kabar Perancis.
Tak lama berselang, ditemukan kotak kayu milik Louis yang diberi label "Untuk dibakar! Jangan dibuka!". Tentu saja orang-orang penasaran dan membukanya. Ternyata, kotak itu penuh berisi catatan utang para siswa kepada Louis yang belum dibayarkan.
Dalam wasiatnya, Louis menulis harapannya agar semua utang para siswa pada dirinya dihapuskan. Louis juga berpesan kepada pihak sekolah untuk membantu para lulusan tuna netra mencari pekerjaan. Sementara itu, penghasilannya sebagai guru yang tidak seberapa diwariskan kepada keluarga dan seorang pemuda yang pernah menjadi asistennya. Dengan penuh rasa hormat, keluarga dan rekannya pun membakar kotak kayu itu.
Pantang menyerah, pada 1829 Louis menerbitkan buku untuk memperkenalkan alfabet ciptaannya yang berjudul Method of Writing Words, Music and Plain Song by Means of Dots, for Use by the Blind and Arranged by Them.
Setelah lulus, Louis menjadi pengajar di almamaternya. Ia menjadi guru kesayangan para siswa, meski alfabetnya masih saja belum diterima kaum elit akademisi dengan berbagai alasan. Bahkan, direktur sekolah tempat Louis mengajar pernah membakar buku yang memakai abjad ciptaannya. Alat-alat tulis Louis juga disita dari tangan para siswa. Tak mau kalah, siswa-siswa yang jengkel meneruskan penggunaan hurus Braille dengan memakai jarum rajut, garpu, maupun paku.
Popularitas huruf Braille terlalu besar untuk bisa dibendung. Apalagi, Louis Braille terus memperbaiki dan menyempurnakan sistem kodenya agar semakin praktis untuk digunakan oleh kaum tuna netra.
Akhirnya setelah bertahun-tahun larangan penggunaan huruf Braille di Royal Institution For Blind Youth dicabut.Namun, Louis Braille justru harus mengundurkan diri dan pulang ke desanya di Coupvray karena ia menderita TBC.
Meski sejak kecil sering sakit-sakitan, sekolah tempat Louis mengabdi sebagai guru juga bukan lingkungan yang sehat, walaupun diakui sebagai sekolah tuna netra pertama di dunia, Royal Institution For Blind Youth menggunakan bangunan yang merupakan bekas penjara tua dengan ventilasi yang buruk.
Di kampung halamannya, Louis Braille menghembuskan napas terakhirnya pada 6 Januari 1852, hanya dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-43. Ia dimakamkan dengan sangat sederhana di tanah milik keluarganya, bahkan obituarinya tak muncul di surat kabar Perancis.
Tak lama berselang, ditemukan kotak kayu milik Louis yang diberi label "Untuk dibakar! Jangan dibuka!". Tentu saja orang-orang penasaran dan membukanya. Ternyata, kotak itu penuh berisi catatan utang para siswa kepada Louis yang belum dibayarkan.
Dalam wasiatnya, Louis menulis harapannya agar semua utang para siswa pada dirinya dihapuskan. Louis juga berpesan kepada pihak sekolah untuk membantu para lulusan tuna netra mencari pekerjaan. Sementara itu, penghasilannya sebagai guru yang tidak seberapa diwariskan kepada keluarga dan seorang pemuda yang pernah menjadi asistennya. Dengan penuh rasa hormat, keluarga dan rekannya pun membakar kotak kayu itu.
Berpuluh tahun setelah kematiannya, barulah huruf Braille diresmikan penggunaannya untuk kaum tuna netra di seluruh dunia.
Dalam peringatan 100 tahun kematian Louis Braille, jenazahnya dipindahkan ke Paris dalam upacara megah, sementara sebuah monumen penghormatan didirikan di Coupvray, desa asalnya.
Rumah batu sederhana yang menjadi tempat tinggal keluarga Braille kini telah menjadi Louis Braille Museum dan dianggap sebagai bangunan bersejarah. (sumber: http://echomouse.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar