Jumat, 25 Juli 2014

Lelaki yang Rindu Buah Hati

Fiksi Budi Nugroho

Aku tak ingat lagi sejak kapan tanganku selalu bergerak sendiri. Menunjuk-nunjuk. Meraba-raba. Menonjok-nonjok. Menampar-nampar. Ngawe-awe. Dan, ditambah satu lagi hal baru dalam hidupku, sejak beberapa waktu belakangan ini, tanganku terus saja menulis dan menulis. Sampai-sampai aku harus menahan malu hati. Terutama pada isteriku atau orang-orang yang bertamu ke rumahku. Tembok rumahku tak ada yang lolos dari jamahan tulisan tanganku. Kadang seperti tulisan anak yang baru belajar menulis: ibu pergi ke pasar. Kali lain tulisanku mirip puisi-puisi para sastrawan masa silam atau pantun orang bijak masa lampau: aku ini binatang jalang //dari kumpulan orang terlarang atau bersatu kita teguh //bercerai kawin lagi. Padahal, selama ini, aku paling benci dengan aktivitas tulis-menulis, apalagi menulis karya yang berbau sastra. Sentimetil, kata orang.
 Tapi, aku tak kuasa menolak gerakan-gerakan tanganku yang senantiasa terus menulis, tak kenal waktu, tak peduli tempat. Liburan akhir tahun kemarin, aku menghabiskan waktu di rumah mertuaku. Saat itu, tanganku mulai terasa tak bisa dikendalikan. Tanganku mencoret-coret tembok kamar yang biasa diperuntukkan buat aku dan isteriku selama berlibur di rumah mertua. Dan, bukan karya puisi atau pantun yang keluar dari gerakan tanganku. Berwujud catatan harian, terutama langkah kaki saat dan sepeninggal bapakku. Tulisan pertama di kamarku di rumah mertua itu berkisah:
Tanggal 29 Februari 1999, bapakku Dipodisastro meninggal dunia. Hanya satu warisan yang ditinggalkan, selembar Kartu Tanda Penduduk yang berlaku seumur hidup. Aku simpan rapat-rapat kartu identitas berukuran 9x6,5 sentimeter bujursangkar itu. Terlebih foto yang menempel adalah foto yang dibuat ketika bapakku baru mendekati umur 40 tahun, sangat mirip dengan wajahku kini. Aku bisa gunakan KTP itu untuk apa saja. Untuk membuat sertifikat hak milik rumah. Buat mengatas-namakan kepemilikan mobil. Untuk atas nama saluran telepon rumah. Pokoknya semau aku. Saat kelak aku kaya raya, hartaku tak bakal jatuh ke mana-mana. Ke ibuku atau kakak-kakakku.
 Sungguh, sampai sekarang, tak ada yang tahu kalau aku menyimpan KTP almarhum bapakku. Dan, juga tak ada yang tahu kalau KTP itu sudah kupergunakan untuk bermacam-macam keperluan. Aku merasa aman-aman saja. Yang lebih membuat aku merasa aman lagi, kamarku di rumah mertua itu selalu terkunci rapat, hanya aku dan isteriku yang memegang kuncinya. Nihil duplikat.
 Karena kepenatanku kerja yang terus menyedot benak yang makin sulit berbenak, kira-kira empat bulan setelah liburan akhir tahun lalu, aku dan isteriku kembali menghabiskan waktu di rumah mertuaku dalam lima kali matahari terbit. Benar-benar habis akal aku, tanganku kembali melakukan pekerjaan tulis-menulis yang kubenci itu. Lagi-lagi di kamar yang sama, berwujud catatan harian. Tanganku menulis:
Tanggal 13 September 2001, isteriku ulang tahun. Pintu rezekiku, waktu itu, mulai terbuka lebar. Sebab itu, sebagai hadiah ulang tahunnya, aku membelikan sebuah rumah agak bergengsi di pinggiran kota. Saat syukuran menempati rumah baru sekaligus pesta ulang tahun isteriku, aku mengundang beberapa kolega dan ipar-iparku. Ini rumah hadiah ulang tahun buat isteri tercinta, kataku pada salah satu iparku yang tengah berpamitan. Hadiah kok atas nama Pak Dipo, sahut isteriku, sangat datar.    
 ***
Rupanya, tapak karirku terus mendaki bukit dari hari ke hari. Pintu-pintu rezeki makin tambah banyak saja. Apa saja dapat aku beli. Tanah. Mobil. Sepeda motor. Ponsel pascabayar. Semua dalam geganggamku. Hanya tanah yang langsung aku balik atas nama Pak Dipodisastro. Yang lain, tetap atas nama pemilik lama. Toh, untuk perpanjangan dokumen itu bisa diakal-akali. Dan, aku memang setiap tahun selalu berganti mobil dan sepeda motor. Biar aku tak direpotkan urusan bayar pajak kendaraan bermotor yang wajib menyertakan KTP asli. Di depan mertuaku, pun ipar-iparku, aku selalu menggandeng mesra isteriku. Ditambah lagi kata-kata sayang atau darling selalu kuucapkan setiap kali ngobrol atau memanggil isteriku semata wayang.
 Cuma satu yang belum kumiliki di umur perkawinanku berjalan lewat sewindu: aku belum bisa bercerita seperti ipar-iparku setiap kali pulang kampung. Wah rumahku itu tiap hari seperti kapal pecah, mainan bertebaran di mana-mana. Si Kinanti itu lho Mas, ampun, nggak bisa diam. Baru selesai kuberesi, eh pulang sekolah langsung membawa pasukan satu peleton, langsung deh kapalnya pecah lagi, cerita Dik Ratih. Itu belum seberapa Dik, Wisnu itu, kalau lagi bete, suka melempar semua barang mainannya tanpa tersisa. Ada pistol-pistolan lari ke atas genteng, ada heli nyangsang di atas lemari, dan yang repot lagi lampu kristal di ruang tamuku kini tinggal rangkanya doang, Mbak Rani menimpali. Lain lagi Ismu, Dik. Aku sampai bingung, sehari-hari hanya duduk di depan komputer, buka internet, mencari perkembangan terbaru teknologi otomotif. Kan jadinya nggak punya teman bermain, nggak gaul gitu, tutur Mbak Rahmi sedikit melepas kata hati. Kalau sudah begitu, aku dan isteriku langsung masuk kamar kesayangan.
 Isteriku langsung mendengkur. Tapi, mataku terasa sulit memejam. Tiba-tiba saja tanganku menulis, terus menulis, di tembok-tembok yang masih polos. Lagi-lagi berwujud catatan harian. Tanganku menulis:
Tanggal 21 April 2004, ponakanku Wulan minta tolong untuk ditemani membeli buku-buku di pasar loak, buat tambahan referensi guna menyelesaikan tugas akhir pendidikan sarjana. Dengan enteng kuantar sampai tujuan sekalian kuajak makan kepiting rebus saos tiram di resto tak jauh dari pasar loak. Entah mengapa kok ada pendar-pendar asmara menyelimuti hatiku setelah berjalan bareng ponakanku yang bagai bidadari turun dari kayangan itu. Bukan lagi Wulan yang suka ngompol ketika duduk di pangkuanku beberapa tahun silam. Aku tambah lengket nempel Wulan. Sampailah kemudian kakak iparku bilang, Kasihan Dik Broto, sudah lewat sewindu menikah belum juga diberi momongan. Nikahi saja Wulan, saya jamin Dik Broto segera dapat momongan dari Wulan. Saya ikhlas kok. Hubunganku dengan Wulan pun tak lagi antara ponakan dan paman. Secara diam-diam aku terus merajut kasih dan membelikan sebuah rumah modern minimalis di batas kota.
 Tinggal satu kali dua meter bujursangkar, tembok kamar kesayangan di rumah mertuaku, yang lepas dari jamahan tulisan tanganku. Rasanya tanganku mau terus menulis malam itu. Mengisi sisa-sisa tembok yang masih polos. Entah mengapa, tiba-tiba tanganku bisa kukendalikan. Eh tangan, jangan mempermalukan saya lagi dong, ucapku perlahan.       
 ***
 Acara tahunan pulang kampung pun tiba. Kendati sudah dua kali aku mudik di tahun ini, aku dan isteriku bersiap pulang ke rumah mertuaku di acara yang telah menjadi ritual wajib bagi kaum urban. Apalagi, tahun ini keluarga besar mertuaku berkumpul. Aku sudah diwanti-wanti mesti pulang bawa mobil biar baliknya bisa ditebengi keluarga iparku. Dan, pada pulang kampung kali ini, aku sedang mendapat durian runtuh. Sepekan sebelum pulang kampung, aku membeli mobil baru secara kontan dan dokumennya langsung jadi. Mobil yang masih kinclong bisa kupacu masuk garasi mertuaku. Banyak duit, menantuku yang satu ini, gumam mertuaku kala menyambut jabat erat tanganku penuh keramahan. Ah, enggak Pak, kebetulan ada kolega Pak Dipodisastro memberikan mobil itu sebagai tanda kasih memperingati sewindu kepergian Pak Dipo. Nih, surat kendaraannya atas nama Pak Dipo, balasku.
 Kepenatanku setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer, menyetir tanpa gantian, demikian terasa. Aku tak bisa mengimbangi obrolan mertuaku. Mengangguk dan menggeleng saja yang dapat aku lakukan. Sampai-sampai aku pulas di kursi malas.
 Begitu terbangun, keesokan hari, luar biasa bugar. Aku langsung mendekati mertuaku dan ponakan-ponakanku. Aku berniat mengajak mereka jalan-jalan di seputaran kota kecil itu, sekaligus membawa mertuaku menikmati sepotong nostalgia ke kampung halamannya nun jauh di kaki gunung. Gayung bersambut. Mobilku yang mampu buat mengangkut eyang puteri, eyang kakung, bulik, budhe, ponakan, dan ipar itu langsung sesak.
 Kupacu mobilku ke dusun di kaki gunung. Mertuaku memuji kehebatan mobilku yang stabil melaju di kelokan berkemiringan 45 derajat. Tapi, ah, tiba-tiba, mobilku meluncur mundur. Tak terkendali. Kulihat dari kaca spion kanan, ada tebing yang rasanya bisa untuk menghentikan laju. Kubanting stir ke kanan. Braaak! Aku tak ingat apa-apa lagi, gelap.
 Saat kubuka mata, ponakan, mertua, ipar, bulik dan pakde, sudah mengelilingi tempat tidurku di ruangan yang serba  putih. Semua menatapku dengan mata nanar, muka masam, bibir jauh dari senyum. Mana isteriku? teriakku kencang-kencang sampai mengguncang seluruh isi ruangan.
 Eh, Nak Broto, kamu harus memilih: anakku ataukah cucuku? bentak mertuaku tak kalah kencang. Aku menggerapai hendak bangun, tapi tulang-belakangku terasa patah. Baru kali ini aku melihat mertuaku mata gelap. ***    
                                                  jakarta-wonosobo, 2006



Tidak ada komentar:

Posting Komentar