Fiksi
Budi Nugroho
Aku tak ingat lagi sejak kapan tanganku selalu
bergerak sendiri. Menunjuk-nunjuk. Meraba-raba. Menonjok-nonjok. Menampar-nampar.
Ngawe-awe. Dan, ditambah satu lagi
hal baru dalam hidupku, sejak beberapa waktu belakangan ini, tanganku terus
saja menulis dan menulis. Sampai-sampai aku harus menahan malu hati. Terutama
pada isteriku atau orang-orang yang bertamu ke rumahku. Tembok rumahku tak ada
yang lolos dari jamahan tulisan tanganku. Kadang seperti tulisan anak yang baru
belajar menulis: “ibu pergi ke pasar”.
Kali lain tulisanku mirip puisi-puisi para sastrawan masa silam atau pantun
orang bijak masa lampau: “aku ini binatang jalang
//dari kumpulan orang terlarang atau bersatu kita teguh //bercerai kawin lagi”. Padahal, selama ini, aku paling benci dengan aktivitas
tulis-menulis, apalagi menulis karya yang berbau sastra. Sentimetil, kata
orang.
Tapi,
aku tak kuasa menolak gerakan-gerakan tanganku yang senantiasa terus menulis,
tak kenal waktu, tak peduli tempat. Liburan akhir tahun kemarin, aku
menghabiskan waktu di rumah mertuaku. Saat itu, tanganku mulai terasa tak bisa
dikendalikan. Tanganku mencoret-coret tembok kamar yang biasa diperuntukkan
buat aku dan isteriku selama berlibur di rumah mertua. Dan, bukan karya puisi
atau pantun yang keluar dari gerakan tanganku. Berwujud catatan harian,
terutama langkah kaki saat dan sepeninggal bapakku. Tulisan pertama di kamarku
di rumah mertua itu berkisah:
Tanggal
29 Februari 1999, bapakku Dipodisastro meninggal dunia. Hanya satu warisan yang
ditinggalkan, selembar Kartu Tanda Penduduk yang berlaku seumur hidup. Aku
simpan rapat-rapat kartu identitas berukuran 9x6,5 sentimeter bujursangkar itu.
Terlebih foto yang menempel adalah foto yang dibuat ketika bapakku baru
mendekati umur 40 tahun, sangat mirip dengan wajahku kini. Aku bisa gunakan KTP
itu untuk apa saja. Untuk membuat sertifikat hak milik rumah. Buat
mengatas-namakan kepemilikan mobil. Untuk atas nama saluran telepon rumah.
Pokoknya semau aku. Saat kelak aku kaya raya, hartaku tak bakal jatuh ke
mana-mana. Ke ibuku atau kakak-kakakku.
Sungguh, sampai sekarang, tak ada yang tahu
kalau aku menyimpan KTP almarhum bapakku. Dan, juga tak ada yang tahu kalau KTP
itu sudah kupergunakan untuk bermacam-macam keperluan. Aku merasa aman-aman
saja. Yang lebih membuat aku merasa aman lagi, kamarku di rumah mertua itu
selalu terkunci rapat, hanya aku dan isteriku yang memegang kuncinya. Nihil
duplikat.
Karena
kepenatanku kerja yang terus menyedot benak yang makin sulit berbenak,
kira-kira empat bulan setelah liburan akhir tahun lalu, aku dan isteriku
kembali menghabiskan waktu di rumah mertuaku dalam lima kali matahari terbit.
Benar-benar habis akal aku, tanganku kembali melakukan pekerjaan tulis-menulis
yang kubenci itu. Lagi-lagi di kamar yang sama, berwujud catatan harian.
Tanganku menulis:
Tanggal
13 September 2001, isteriku ulang tahun. Pintu rezekiku, waktu itu, mulai
terbuka lebar. Sebab itu, sebagai hadiah ulang tahunnya, aku membelikan sebuah
rumah agak bergengsi di pinggiran kota. Saat syukuran menempati rumah baru
sekaligus pesta ulang tahun isteriku, aku mengundang beberapa kolega dan
ipar-iparku. “Ini rumah hadiah ulang tahun buat isteri
tercinta,” kataku pada salah satu iparku yang tengah
berpamitan. “Hadiah kok atas nama Pak Dipo,” sahut isteriku, sangat datar.
***
Rupanya, tapak karirku terus mendaki bukit
dari hari ke hari. Pintu-pintu rezeki makin tambah banyak saja. Apa saja dapat
aku beli. Tanah. Mobil. Sepeda motor. Ponsel pascabayar. Semua dalam
geganggamku. Hanya tanah yang langsung aku balik atas nama Pak Dipodisastro.
Yang lain, tetap atas nama pemilik lama. Toh, untuk perpanjangan dokumen itu bisa
diakal-akali. Dan, aku memang setiap tahun selalu berganti mobil dan sepeda
motor. Biar aku tak direpotkan urusan bayar pajak kendaraan bermotor yang wajib
menyertakan KTP asli. Di depan mertuaku, pun ipar-iparku, aku selalu
menggandeng mesra isteriku. Ditambah lagi kata-kata sayang atau darling selalu
kuucapkan setiap kali ngobrol atau memanggil isteriku semata wayang.
Cuma
satu yang belum kumiliki di umur perkawinanku berjalan lewat sewindu: aku belum
bisa bercerita seperti ipar-iparku setiap kali pulang kampung. “Wah rumahku itu tiap hari seperti kapal pecah, mainan
bertebaran di mana-mana. Si Kinanti itu lho Mas, ampun, nggak bisa diam. Baru selesai kuberesi, eh pulang sekolah langsung
membawa pasukan satu peleton, langsung deh
kapalnya pecah lagi,” cerita Dik Ratih. “Itu belum seberapa Dik, Wisnu itu, kalau lagi bete, suka melempar semua barang
mainannya tanpa tersisa. Ada pistol-pistolan lari ke atas genteng, ada heli
nyangsang di atas lemari, dan yang repot lagi lampu kristal di ruang tamuku
kini tinggal rangkanya doang,” Mbak Rani menimpali. “Lain lagi
Ismu, Dik. Aku sampai bingung, sehari-hari hanya duduk di depan komputer, buka
internet, mencari perkembangan terbaru teknologi otomotif. Kan jadinya nggak punya teman bermain, nggak gaul gitu,”
tutur Mbak Rahmi sedikit melepas kata hati. Kalau sudah begitu, aku dan
isteriku langsung masuk kamar kesayangan.
Isteriku langsung mendengkur. Tapi, mataku
terasa sulit memejam. Tiba-tiba saja tanganku menulis, terus menulis, di
tembok-tembok yang masih polos. Lagi-lagi berwujud catatan harian. Tanganku
menulis:
Tanggal
21 April 2004, ponakanku Wulan minta tolong untuk ditemani membeli buku-buku di
pasar loak, buat tambahan referensi guna menyelesaikan tugas akhir pendidikan sarjana.
Dengan enteng kuantar sampai tujuan sekalian kuajak makan kepiting rebus saos
tiram di resto tak jauh dari pasar loak. Entah mengapa kok ada pendar-pendar
asmara menyelimuti hatiku setelah berjalan bareng ponakanku yang bagai bidadari
turun dari kayangan itu. Bukan lagi Wulan yang suka ngompol ketika duduk di
pangkuanku beberapa tahun silam. Aku tambah lengket nempel Wulan. Sampailah
kemudian kakak iparku bilang, “Kasihan Dik Broto, sudah
lewat sewindu menikah belum juga diberi momongan. Nikahi saja Wulan, saya jamin
Dik Broto segera dapat momongan dari Wulan. Saya ikhlas kok.”
Hubunganku dengan Wulan pun tak lagi antara ponakan dan paman. Secara diam-diam
aku terus merajut kasih dan membelikan sebuah rumah modern minimalis di batas
kota.
Tinggal
satu kali dua meter bujursangkar, tembok kamar kesayangan di rumah mertuaku,
yang lepas dari jamahan tulisan tanganku. Rasanya tanganku mau terus menulis
malam itu. Mengisi sisa-sisa tembok yang masih polos. Entah mengapa, tiba-tiba
tanganku bisa kukendalikan. “Eh tangan, jangan
mempermalukan saya lagi dong,” ucapku perlahan.
***
Acara
tahunan pulang kampung pun tiba. Kendati sudah dua kali aku mudik di tahun ini,
aku dan isteriku bersiap pulang ke rumah mertuaku di acara yang telah menjadi
ritual wajib bagi kaum urban. Apalagi, tahun ini keluarga besar mertuaku
berkumpul. Aku sudah diwanti-wanti mesti pulang bawa mobil biar baliknya bisa
ditebengi keluarga iparku. Dan, pada pulang kampung kali ini, aku sedang
mendapat durian runtuh. Sepekan sebelum pulang kampung, aku membeli mobil baru
secara kontan dan dokumennya langsung jadi. Mobil yang masih kinclong bisa
kupacu masuk garasi mertuaku. “Banyak duit, menantuku
yang satu ini,” gumam mertuaku kala menyambut jabat
erat tanganku penuh keramahan. “Ah, enggak Pak, kebetulan ada kolega Pak
Dipodisastro memberikan mobil itu sebagai tanda kasih memperingati sewindu
kepergian Pak Dipo. Nih, surat kendaraannya atas nama Pak Dipo,” balasku.
Kepenatanku setelah menempuh perjalanan
ratusan kilometer, menyetir tanpa gantian, demikian terasa. Aku tak bisa
mengimbangi obrolan mertuaku. Mengangguk dan menggeleng saja yang dapat aku
lakukan. Sampai-sampai aku pulas di kursi malas.
Begitu
terbangun, keesokan hari, luar biasa bugar. Aku langsung mendekati mertuaku dan
ponakan-ponakanku. Aku berniat mengajak mereka jalan-jalan di seputaran kota
kecil itu, sekaligus membawa mertuaku menikmati sepotong nostalgia ke kampung
halamannya nun jauh di kaki gunung. Gayung bersambut. Mobilku yang mampu buat
mengangkut eyang puteri, eyang kakung, bulik, budhe, ponakan, dan ipar itu
langsung sesak.
Kupacu
mobilku ke dusun di kaki gunung. Mertuaku memuji kehebatan mobilku yang stabil
melaju di kelokan berkemiringan 45 derajat. Tapi, ah, tiba-tiba, mobilku
meluncur mundur. Tak terkendali. Kulihat dari kaca spion kanan, ada tebing yang
rasanya bisa untuk menghentikan laju. Kubanting stir ke kanan. Braaak! Aku tak
ingat apa-apa lagi, gelap.
Saat
kubuka mata, ponakan, mertua, ipar, bulik dan pakde, sudah mengelilingi tempat
tidurku di ruangan yang serba putih.
Semua menatapku dengan mata nanar, muka masam, bibir jauh dari senyum. “Mana isteriku?” teriakku
kencang-kencang sampai mengguncang seluruh isi ruangan.
“Eh, Nak Broto, kamu harus memilih: anakku ataukah cucuku?” bentak mertuaku tak kalah kencang. Aku menggerapai hendak
bangun, tapi tulang-belakangku terasa patah. Baru kali ini aku melihat mertuaku
mata gelap. ***
jakarta-wonosobo, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar