Alkisah semenjak jaman dahulu kala, terkenallah sebuah negeri yang subur makmur dan sangat kaya raya dengan segala rupa anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Negeri yang dituturkan oleh para pujangga sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, urip kang sarwa tinandur, tanah subur makmur dan segala yang ditanam serba hidup itu bernama Nusantara. Nusantara ibarat penggalan tanah surga yang kawentar ing sak indenging jagad, terkenal di segala penjuru dunia itu menjadikan para pengelana dari berbagai mancanegara ingin berkunjung dan menikmati keindahannya.
Di kala itu, datanglah di bumi Jawa Dwipa seorang ksatria kecil bernama Narayan dari negeri India. Umurnya memang belum genap sepuluh tahun, namun di negeri asalny ia dikenal sebagai si bocah sakti mandraguna karena konon ia adalah titisan Batara Wisnu di Jonggringsaloka. Dengan mengikuti rombongan para biksu yang ingin berziarah ke Wihara Agung Swambara Budhura, ia ingin menyaksikan kemasyuran bangunan megah karya Dinasti Syailendra. Tak lupa pula, ia ingin sekali menaiki puncak gunung Tidar yang merupakan pakuning tanah Jawa Dwipa sehingga pulau yang dipenuhi tanaman pepadian itu tidak tenggelam akibat ledakan gerbang agung pilar kahyangan di masa purbakala. Tanah surga di persilangan khatulistiwa memang selalu mengundang siapapun untuk menghirup kenikmatan surgawi anugerah ilahi.
Wihara Agung Swambara Budhura merupakan bangunan suci yang terletak pada sebuah pulau mungil di tengah telaga asri diantara gunung Merapi dan Sumbing. Keberadaan bangunan megah dengan seribu patung Sang Gautama itu menggambarkan pertapaan di atas makara daun teratai yang sangat luas. Indah dan sangat menakjubkan bagi siapapun yang pernah menyaksikannya. Pada bangunan berundak itulah para peziarah melakukan lelaku pradaksina untuk meneladani jalan hidup Sang Gautama sebagai panutan hidup utama manusia.
Selepas mengikuti lelaku pradaksina di Wihara Agung Swambara Budhura, Narayan berkelana menuju puncak gunung Tidar. Di sanalah ia bertemu dengan manusia renta yang sangat arif dan penuh welas asih. Dialah yang dikenal sebagai Kiai Semar, sang penjaga ketentraman tanah Jawa Dwipa. Beberapa hari menikmati kesejukan puncak Tidar, Narayan penasaran dengan keberadaan Kali Progo di sisi barat pakuning tanah Jawa itu. Maka sekedar menuruti naluri bocahnya, ksatria bocah itupun membaur dengan para bocah yang asyik bermain di kecipuknya air sungai yang tenang membelah belantara tersebut.
Di tengah canda tawa dan keriangan para bocah yang bermain gethek bambu di siang bolong tersebut, serombongan saudagar terlihat tergesa-gesa menyeberang sungai ke arah barat. Orang-orang dalam rombongan kecil itu nampak panik dan memancarkan wajah ketakutan yang teramat sangat.
Narayan kecil bertanya penuh penasaran, “Bapa Saudagar, kenapa Bapa serombongan terbirit-birit dicekam ketakutan? Apakah ada hantu mengerikan yang berkeliaran di waktu siang bolong?”
Sambil gemetar sang Saudagar menjawab, ”Hai anak kecil, cepatlah dirimu kembali ke rumahmu! Bukan saja hantu yang mengerikan yang telah mengganggu kami, bahkan sosoknya sangat besar dan nggegirisi!”
“Apakah memang demikian hantu di tanah Jawa ini Bapa?”, Narayana justru bertambah penasaran. “Dimanakah Bapa berjumpa dengan makhluk yang nggegirisi itu?”, lanjut pertanyaan Narayan.
“Hai bocah kecil, makhluk nggegirisi itu telah menggegerkan wilayah padukuhan di sekitar lereng Merapi. Lebih baik dirimu jangan bermain di luar rumah, keadaan sedang tidak aman! Maaf kami harus cepat pulang ke lereng Sumbing”, jawab Bapa Saudagar sambil bergegas.
Hmmmm makhluk aneh yang nggegirisi? Apakah gerangan? Bila makhluk itu mengganggu kehidupan manusia, maka ia harus dimusnahkan untuk selama-lamanya. Tetapi seperti apakah wujud makhluk itu? Demikian gejolak batin yang berkecamuk di dalam diri Narayan titisan Batara Wisnu itu.
Akhirnya Narayan memutuskan untuk menyusur balik jejak perjalanan para saudagar yang baru ditemuinya di tepi kali Progo itu. Dengan langkah tegap penuh keberanian, ia melangkah menuju wilayahpadukuhan di tepi Merapi. Dengan sesekali bertanya kepada para petani yang tengah menggarap sawahnya, Narayan tidak mengenal rasa takut sama sekali. Selepas melewati sebuah gumuk yang dipenuhi dengan pring atau pohon bambu dan terkenal sebagai wilayah Gunungpring, telinga tajam Narayan menangkap sesuatu suara aneh dan sangat nyalawadi.
Sssssssst……..sssssst…….ssssst! Demikian suara itu seperti bunyi desisan yang sangat aneh.
“Apakah ini yang dimaksud dengan makhluk raksasa yang nggegirisi itu? Apakah ini suaranya?”, gumam Narayan di dalam hati.
Dengan lantang Narayan menantang, “Hai makhluk aneh, tunjukkanlah siapa dirimu jika kau memang berani menghadapi aku!”
Tidak ada sahutan! Hanya suara desisan itu masih terdengar nyata. Sssssst……..ssssst……ssssst. berkali-kali Narayan mengulangi tantangannya, hingga ia menemukan perwujudan seperti cambuk panjang berwarna putih keperakan di sela bebatuan gumuk.
“Hmmmm rupanya kau di sini, he makhluk jahat!”, teriak Narayan. Dengan sekuat tenaga, tangan kecil Narayan menarik perwujudan cambuk panjang itu. Dan perwujudan cambuk panjang itupun tertarik keluar dari gerumbulan semak belukar. Lalu……….terdengar suara.
“Sssssst………….sssst……..ssst……ssssst! Hei siapa yang telah mengganggu tidur panjangku?”, suara itu terdengar menakutkan!
Kemudian dari balik gerumbul semak muncullah sesosok kepala makhluk raksasa yang nggegirisi. Rupanya perwujudan semacam cambuk itu adalah kumis dari makhluk raksasa yang nggegirisi itu. Dan ternyata makhluk itu adalah seekor ular naga raksasa berwarna putih. Sorot matanya sangat tajam bagaikan bara api neraka. Mulutnya lebar penuh dengan gigi bertaring yang sangat runcing. Dan……lidahnya sangat panjang. Bahkan jika lidah itu menjulur akan bisa mengeluarkan bara api yang sanggup melebur sebuah gunung anakan.
Namun demikian Narayan sedikitpun tiada merasa gentar. Dengan tenang ia bertanya, “Hai naga putih, siapakah gerangan dirimu? Kenapa kau mengganggu manusia di lereng Merapi ini?”
Dengan nada marah si Naga menjawab lantang, “ He bocah nakal! Rupanya kau tidak mengenal aku! Aku adalah ular dari Narokosaloka. Aku bergelar Nagaseta! Akulah yang kini menjadi penguasa segaladhedhemit di sisi Merapi ini! Apa urusanmu, he bocah dungu?”
“Aku mendengar bahwa kau telah mengganggu ketentraman manusia di sini. Tidak hanya menakuti dengan perwujudan raksasamu, kau juga sering memangsa manusia. Apakah begitu paugeran yang dititahkan Sang Hyang Widi kepadamu, he Nagaseta?”, jawab Narayan yakin penuh kewibawaan.
“Aku tidak berurusan dengan Sang Hyang Widi. Aku adalah naga raksasa yang tiada terkalahkan!”, sahut Nagaseta penuh kesombongan.
“Jikapun demikian, kau tidak akan sanggup mengalahkan aku! Kuperintahkan dirimu wahai Nagaseta, untuk kembali ke alam asalmu di Narokosaloka!”, suara Narayan lantang menantang.
Nagaseta menggeram, “Hmmmmmm…..grrrrrrrrrrrr, haaaaaaaaaah! Sikapmu sangat jumawa, hai bocah kecil! Apa yang dapat kau lakukan, he?”
“Hmmmm………bukankah dirimu yang sombong Nagaseta. Kau tidak menghiraukan paugeran Sang Hyang Widi. Aku bertindak membela kebenaran dan keadilan. Tidak ada kekuatan jahat apapun yang akan sanggup mengalahkan kebaikan!”, jawab Narayan penuh bijak.
Bukannya sadar akan sikapnya yang salah, Nagaseta malah semakin menjadi marah. Dengan cepat kepalanya segera mendongak ke atas tinggi-tinggi. Mulutnya segera menganga, menggeram dan menampakkan gigi-gigi taringnya yang runcing. Sejurus kemudian,………….whuuuuuuurrrrrrr! Lidah apinya menyerang Narayan dengan ganas.
Bagaimanapun juga Narayan adalah titisan Batara Wisnu yang perkasa. Dengan tangkas dan cepat Narayan melompat menghindari tikaman-tikaman semburan api Nagaseta. Nagaseta semakin kesetanan. Amarahnya kian memuncak. Semburan api di lidahnya semakin besar dan menimbulkan panas bagaikan kawah gunung Merapi.
Narayan tidak ingin terdesak. Dengan sigap ia melompat, bahkan lompatannya semakin lebar dan tinggi menggapai awan. Akhirnya keduanya bagaikan terbang di atas langit. Terjadilah pertarungan yang sangat dahsyat. Kilatan bara api Nagaseta laksana kilat dan petir yang menderu-deru, menyambar hebat mengejar mangsanya. Burung-burung di angkasa menjadi terkejut dan terbang menjauh. Suara gelegar menimbulkan guncangan yang sanggup menggetarkan gunung Merapi. Langit terang benderang dipenuhi kilatan cahaya yang sangat menyilaukan mata yang memandangnya. Medan di bawah pertempuran menjadi berhawa panas seakan telah datang wedhus gembel turun dari kawah. Manusia hilang nyali dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Pertempuran itu menjadikan bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip. Sangat mengerikan dan tak terbayangkan dahsyatnya.
Tidak ingin memperpanjang waktu, Narayan segera mengeluarkan senjata pamungkasnya. Sebuah panah cakra berujung mata logam berbentuk paruh garudamukha dengan ketajaman seribu kali lipat senjata maut Yamadipati dan berekor bulu merak kencana. Dengan sigap segera direntangkannya gandewa sakti dari Jonggringsaloka. Dan sejurus kemudian………….jeesssssss sssssssssssst, cakra itupun melesat menuju sasarannya. Dengan kecepatan seribu kali kecepatan kilat, cakra itu menerjang ke angkasa, membelah langit dan menampakkan sinar kebiruan yang luar biasa. Bila cakra Narayan telah melesat darigandewa-nya, tiada ada kekuatan yang akan sanggup melawannya. Demikianlah sebagaimana telah dititahkan para dewa.
Akhirnya cakra Narayan dengan sangat mudah menembus kilatan api yang menyembur dari lidah Nagaseta. Mata Nagaseta menjadi silau oleh pamor cahaya kebiruan yang keluar dari cakra sakti itu. Secepat kilat cakra itupun melesat dan menghujam mulut Nagaseta. Bleessssssssssss…….sang cakra mengenai lidah Nagaseta dan terus menembus hingga ke otak, memenggal kepala Nagaseta dan kemudian masuk ke dalam saluran perut dan keluar di bagian ekor.
“Aaaaaaaaaakkkkkkh……!!!!!!!!”, teriak Nagaseta penuh kesakitan. Kepala Nagaseta terpenggal dan jatuh ke dalam kawah gunung Merapi. Tak menunggu lama, tubuh Nagaseta yang panjang membentang antara puncak Merapi dan kali Progo itupun jatuh ke atas tanah. Bedebummmmmmmm, bruuuuuuuuuuk! Demikian akhir hidup si Nagaseta, naga raksasa penebar angkara murka di tlatahMerapi.
Berat tubuh Nagaseta yang jatuh bedebum itu melesak permukaan tanah sampai kedalaman tiga tombak. Bangkai naga raksasa itupun membentang di atas tanah sepanjang puncak Merapi hingga kali Progo.
Tiba-tiba saja terjadi keanehan. Tubuh Nagaseta, si naga raksasa, seakan moksa dan perlahan namun pasti lenyap dari pandangan mata. Lebih ajaib lagi, darah segar berwarna putih mengalir dari bangkai yang perlahan musnah itu. Aliran darah putih itu mengalir sepanjang alur yang terbuat akibat jatuhan bobot tubuh Nagaseta sedalam tiga tombak. Seketika mengalirlah sungai berwarna putih. Sungai itu mengalir sepanjang lereng Merapi hingga kali Progo. Masyarakat sekitar kemudian menamainya Kali Putih.
Ngisor Blimbing, 9 Desember 2012
(http://sangnanang.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar