Rabu, 07 Januari 2015

Kisah Preman Legendaris Indonesia


Bang Timong, Si Arsitek Pelarian
 
"Saudara-saudara. Penjaga di sini nggak bisa apa-apa. Anda bisa saja lari. Tapi maafkan kami kalau kami salah menembak. Yang biasa kami tembak biasanya kaki, tetapi kenanya selalu kepala." Demikianlah pidato ritual sipir penjara di Pulau Nusakambangan, setiap kali menyambut serombongan narapidana yang datang. Kata-kata yang diucapkan dengan nada yang ramah itu diingat benar oleh Nanggo Kromen alias Bernard Timong, ketika dia datang ke Nusakambangan pada 1981.
 
Kabarnya kini Nanggo menjadi preman di Terminal Kampungrambutan, Jakarta, setelah bisa meloloskan diri dari Nusakambangan. Bang Timong, demikian nama ngetopnya, sangat dikenal di seantero terminal. Pokoknya, bila seseorang dikenal sebagai saudara atau teman Bang Timong, niscaya dia bisa naik bus dari Kampungrambutan ke kota mana pun, tanpa bayar. Dan, Bang Timong menceritakan pengalamannya lari dari Nusakambangan, yang secara tidak sengaja dia menjadi teman sepelarian Johny Indo.
 
Nanggo, terpidana 10 tahun karena pembunuhan, sudah berniat kabur sejak semula. Pasalnya, laki-laki berperawakan sedang, berambut keriting, berkulit legam itu berjanji kepada teman-temannya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang-penjaranya sejak 1976, sebelum dia dipindah ke Nusakambangan-untuk sebentar saja di Nusakambangan.
 
Menurut Nanggo, semua hal di Nusakambangan membuat orang ingin kabur. "Makanan membuat orang memberontak, lari dari Nusakambangan," kata Nanggo. Para napi seharusnya memperoleh 3,5 ons sehari, tapi dikurangi oleh penjaga. Ketika napi memprotes soal makanan, sipir memberi pemberat pada timbangannya, sehingga jumlah makanan tetap seperti seharusnya. "Mereka juga berjanji memperbaiki, tapi sayur kangkungnya tetap saja hitam sekotor comberan," kata Nanggo. Setelah delapan bulan di penjara, Nanggo mulai bersiasat untuk kabur. Tapi pria kelahiran Flores itu tidak merencanakannya sendirian. Masih ada tujuh orang yang terlibat dalam rencana pelarian. Komunikasi mereka lakukan saat bekerja di ladang atau melalui kurir. Mereka "mempekerjakan" Guto, napi asal Semarang sebagai kurir. Bila berita bocor, si kurir itu yang akan dibunuh.
 
Selama tiga bulan, para napi yang akan kabur itu merapikan strategi. Adalah Sugeng, salah satu napi, yang bertugas menghitung kapan harus kabur berdasar primbon. Akhirnya, ketemu tanggal 20 Mei 1982, antara pukul 12.00 dan 18.00. "Lebih dari waktu itu akan sial," kata Nanggo. "Hari itu adalah Kenaikan Yesus, itu angka baik buat lari," tambahnya.
 
Tepat di hari H, semua napi sudah bersiap-siap (semuanya berjumlah 13 orang), tapi kesempatan tak kunjung tiba. Nanggo tak berhenti berdoa dengan rosarionya. Akhirnya, mereka melihat seorang napi yang baru pulang dari ladang, membawa sepikul buah kelapa. Saat si napi masuk, pintu gerbang akan terbuka dalam waktu yang cukup lama karena pikulan yang dipakai si napi memang cukup panjang. Saat pintu mulai terbuka, seorang napi loncat keluar dan memukul kepala seorang sipir hingga pingsan. Lalu, napi lainnya berhamburan keluar dari persembunyian, ada juga yang mencari empat orang sipir di sekitar pintu gerbang.
 
Nah, saat Nanggo akan melarikan diri, dia bertemu dengan Johny Indo yang sedang buang air kecil. Sebenarnya, Johny tidak masuk dalam "tim", tapi karena kebetulan bertemu, Nanggo mengajaknya kabur. Dalam pikiran Nanggo, akan berguna mengajak Johny karena laki-laki berwajah indo itu punya organisasi, bila tertangkap tidak ditembak. "Saya, alamat pun tidak punya," kata Nanggo.
 
Di pos penjagaan, mereka menemukan tiga pistol tanpa peluru dan sebuah senapan panjang berisi lima peluru. Senapan itu diserahkan ke Johny Indo, yang paling mahir menembak. Kabel-kabel telepon yang menghubungkan Penjara Permisan dengan tempat lain diputuskan. Sebelum pergi, Johny menembakkan satu peluru ke arah penjara, agar penjaganya tidak mengejar. Setelah keluar dari penjara, mereka harus memilih untuk belok ke kiri, menyusuri tepian Laut Indonesia, atau ke kanan, ke Kampung Laut. Lalu, mereka memilih ke kiri. Jumlah pelarian ternyata membengkak menjadi 34 orang.
 
Bagian yang paling berat adalah cara mengisi perut 34 orang. Pada hari pertama, Johny Indo berhasil menembak seekor monyet. Hari kedua, mereka berhasil menemukan sebuah pohon kelapa, yang diambil semua buahnya, lalu pohonnya ditebang dan diambil isi perutnya yang putih. Mereka juga minum air rotan. Pada hari ketiga dan keempat, mereka hanya menemukan siput untuk dimakan. Mansur, seorang teman mereka yang punya penyakit maag akut, sudah mulai lemas, jalannya harus dibantu.
 
Pada hari kelima, rombongan pelarian melewati bukit batu. Ketika mengitari bukit, mereka terpisah menjadi dua kelompok, masing-masing mengitari bukit dari sisi yang berbeda. Salah satu rombongan bertemu dengan sepasukan tentara dari Kodam Diponegoro. Sejumlah 13 orang tewas di tempat. Setelah itu, tinggal tujuh orang yang bertahan. Ada yang jelas-jelas mati dibunuh tentara, ada yang tertinggal. Johny Indo juga sudah tidak ada di antara rombongan (ternyata dia sudah menyerahkan diri). Sementara itu, sakit maag Mansur makin berat saja, dan mereka hanya bisa menemukan buah-buahan yang masih muda untuk dimakan. Akhirnya, Mansur meninggal.

Dia ditinggalkan begitu saja karena tak ada waktu untuk menguburnya. Hari keenam, mereka sudah sampai di tepi pantai, di seberang Kali Pucang. Inilah jalan masuk ke Cilacap. Hanya bertiga: Nanggo, Tasman Amri, dan Budi yang bertahan. Lalu mereka memutuskan membuat rakit dari pohon pisang liar. Mereka menebang enam pohon pisang, lalu diikat dengan tali kulit pohon waru. Mereka mencoba menyeberangi arus berputar yang deras.
 
Nanggo, yang terbiasa berenang, mencoba menarik rakit yang dinaiki Tasman ke seberang. Sayang, ketika rakit hampir sampai ke seberang, pegangan tangan Nanggo di rakit terlepas, hingga rakit meluncur bersama air deras. Tapi mereka bertiga berhasil selamat.
 
Hari ketujuh, mereka berhasil masuk kampung. Nah, saat minta makan ke penduduk, mereka tertangkap. Untungnya, tentara yang menangkap diberi perintah untuk menangkap hidup-hidup. Bahkan, sebelum dibawa, kami diizinkan makan oleh tentara. "Itulah nasi piring pertama yang saya makan dalam enam hari. Biarlah setelah itu mati, asal saya kenyang," kata Nanggo, yang pada saat itu terkena pukul popor senapan di tengkuknya. Setelah itu, Nanggo harus menjalani sisa hukuman hingga 1986, tanpa memperoleh remisi.
 
 
Pak Sastro, Si Papillon
 
Perawakannya sedang, kumis tipis melintang dan kulit cokelat matang. Sosok Sastrowiyono bin Wongso, laki-laki 55 tahun, adalah tipikal laki-laki Jawa. Pak Sastro sama sekali tidak tampak sangar. Kini mendekam di Penjara Cirebon, Jawa Barat, dia terkesan seperti seorang pemikir, karena dia punya kegemaran berdiskusi politik dan mendengarkan siaran radio BBC.
 
Memang, bila dilihat penampilannya, tidak ada yang menduga masa lalu gelap pekat Sastro. Tapi, dari lama hukumannya: 21 tahun (Sastro masuk ke penjara Cirebon sejak September 1984), bisa dipastikan seberapa berat kejahatan Sastro. Pria yang sekarang menjadi manajer dapur dan pemuka narapidana di LP Cirebon itu adalah perampok dan pembunuh serta pernah lari dari LP Nusakambangan.
 
Syahdan, Sastro mengawali karir bukan sebagai penjahat, melainkan sebagai pedagang pakaian jadi dan bahan pakaian di Sumatra Selatan dan Lampung, sejak 1970-an. Kiprahnya cukup sukses sehingga Sastro mendapat julukan sebagai "bandar gombal".
 
Ketika Sastro sudah menjadi pedagang besar di Pasar Metro Lampung, dia justru ikut dalam pergaulan yang tidak benar di kalangan para bandar. Sastro mulai kenal dengan judi, mabuk tuak, dan main perempuan. Dari sinilah kisah kejahatan Sastro bermula. Dia terlibat dalam perampokan dan pembunuhan. Pada 1974, Sastro divonis empat tahun penjara di LP Metro Lampung. Tapi, karena kelakuannya yang brutal-suka berkelahi dan cari perkara di kalangan para napi-Sastro dipindahkan ke LP Cipinang, lalu dibuang ke Nusakambangan pada awal 1978. Namun, kesangaran Nusakambangan tidak menaklukkan keliaran Sastro. Pria yang dikenal dengan julukan Sastro Perampok itu tetap ditakuti oleh para napi lainnya di lingkungan Penjara Besi, Nusakambangan.
 
Setelah menjadi jagoan di antara para bromocorah, lalu apa? Mulailah muncul ide Sastro untuk melarikan diri. Dalam waktu setahun dua bulan, Sastro mempersiapkan diri untuk pelariannya, tanpa bercerita ke seorang teman pun. "Biasanya, untuk urusan pemberontakan, teman-teman melakukan kegiatan kolektif," kata Sastro. "Tapi saya tidak mau berisiko tertangkap," tambahnya.
 
Selain latihan bela diri, Sastro latihan yoga setiap malam, terutama untuk melatih pernapasannya. Pola latihannya adalah 1:1, yaitu menarik napas dalam 15 hitungan dan melepaskannya dalam 15 hitungan; bertambah menjadi 2:1, yaitu menarik napas dalam 30 hitungan lalu melepaskannya dalam 15 hitungan; atau sebaliknya, 1:2.
 
Pada Juni 1979, mirip tokoh dalam novel Papillon, Sastro mulai memperhitungkan kesempatan terbaik untuk lari. Saat itu adalah musim kemarau. Ketika purnama, sekitar pukul tujuh malam, Sastro memulai petualangannya dengan keberhasilannya melompati tembok LP Besi setinggi empat meter. Lalu, Sastro menggunakan garis edar bulan sebagai petunjuknya menuju pantai. Sastro yakin, bila dia mengikuti arah bulan ke utara (bila berpatok dengan arah Pulau Jawa, arah utara yang dimaksud Sastro adalah utara timur), dia akan menemukan daratan.
 
Setelah 500 meter berjalan, Sastro, yang hanya mengenakan sehelai baju preman dan celana pendek, mulai mengarungi hutan rawa bakau selama dua malam satu hari. Untuk makanan, Sastro menyantap buah rukem dan jlujon, makanan ular berbisa yang berasa pahit. Sastro juga mengisap air di dalam tubuh yuyu, sejenis kepiting. Rasa cairan itu manis dan sama sekali tidak amis.
 
Beruntung, Sastro ditahan di LP Besi, yang letaknya paling dekat dengan pantai, sehingga dia segera bisa membuktikan kemampuannya berenang menyeberangi Segara Anakan, yang saat kemarau tidak terlalu deras ombaknya. Ketika itu, Sastro masih mampu berenang hingga satu kilometer dengan gaya punggung tanpa berhenti. Dia mengaku beberapa kali bertemu dengan perahu nelayan dan dua kali berpapasan dengan kapal patroli. "Saya bisa menyelam hingga 15 menit, bila ketemu patroli," katanya. Selain itu, Sastro juga bisa merapatkan tubuhnya di rawa-rawa, yang hanya menyembul bila kemarau.
 
Setelah semalaman menyeberang Segara Anakan, Sastro sampai di daratan sekitar saat subuh. Dengan badan lunglai, Sastro mencoba tetap berjalan cepat mengikuti arah berjalan orang-orang menuju ke pasar. Dari pembicaraan di antara penduduk setempat, Sastro tahu bahwa dia berada di Desa Kubangkangkung, Cilacap.
 
Setelah itu, Sastro menghubungi seorang teman agar dibantu pergi ke Jakarta lalu langsung ke Lampung. Dan pelarian Sastro itu tidak akan terungkap seandainya dia tidak mengulangi kejahatannya: merampok dan membunuh, yang menyeret dia ke LP Cirebon, untuk menjalani semua sanksi bui baru selama empat tahun plus utang hukumannya hingga menjadi 21 tahun.
 
Demikian kisah Sastro. Untung saja, laki-laki itu menjadi lunak di LP Cirebon. Dia bekerja di pabrik pemintalan di dalam LP Cirebon. Upahnya Rp 6.000 hingga Rp 10.000 sebulan. Selain itu, Sastro menjual mi instan dan rokok di dalam selnya. Alhasil, Sastro punya uang tabungan. Sastro juga rajin belajar, ikut Kejar Paket B. Prestasinya terbukti dengan menjuarai lomba Cerdas Cermat antarnapi. Tampaknya, Sastro memang benar-benar ingin bertobat. Dia tidak pernah mengizinkan sanak keluarganya datang menengok. "Cukup saya saja yang merasakan dan menebus dosa-dosa ini," katanya.
 
 
Henky Tupanwael, Eksekusi mati : 5 Januari 1980
 
MEMANG tidak setenar Kusni Kasdut. Namun sejarah kejahatan yang dibuatnya cukup panjang. Setidaknya Henky Tupanwael bukan orang asing bagi penjara. Ia memulai debutnya sebagai pencuri kecil masuk bui khusus anak-anak karena mencuri sepotong celana. Pada usia muda, sekitar 17 tahun, ia menembak seorang polisi militer. Karena kejahatannya tersebut Henky mulai berkenalan dengan penjara yang sebenarnya di Sukamiskin, Bandung, 1951.
 
Beberapa tahun kemudian, 1957, anak muda kelahiran Ende (Flores) 46 tahun lalu itu meningkatkan kadar kejahatannya. Ia melakukan perampasan hingga harus masuk penjara lagi selama tiga tahun. Lepas dari hukuman, tidak kapok, ia berbuat sesuatu "yang lebih berarti": merampok Bank Ekonomi Nasional di Bandung. Kali ini ia tidak betah menghabiskan masa hukuman yang harus dijalaninya selama 4 tahun 6 bulan. Ia kabur, 1963, dari penjara Banceui. Ia tertangkap dan masuk bui lagi, karena terlibat peristiwa penggarongan di rumah seorang hakim di Bandung. Akibat peristiwa tersebut Henky dijebloskan ke penjara Nusakambangan.
 
Mestinya ia harus mendekam di sana 11 tahun. Tapi belum lagi setahun, ia dapat lari dengan berenang menyeberangi Segara Anakan. Selepas dari Nusakambangan Henky kembali bergabung dengan teman-temannya di Jakarta. Dari Kebayoran Lama (Jakarta) Henky dkk. merencanakan merampok mobil Bank Nusantara. Dan perampokan mereka itu memang berhasil. "Omset" Henky kali ini kakap: Rp 21 juta lebih. Ia juga menembak mati dua orang. Itulah kejahatan Henky terakhir. Ia tertangkap. Mula-mula ia memang kembali dapat melarikan diri dari tempat tahanan polisi: Tapi 13 hari kemudian, ia diringkus kembali di suatu tempat di Tanah Abang Jakarta.
 
Duduk terakhir kalinya sebagai terdakwa, Henky diadili oleh Hakim Thamrin Manan (sekarang advokad), di Jakarta. Di situ, menurut Thamrin, ia tidak rewel. Malah, dengan caranya sendiri, pernah membantu kelancaran sidang. Inilah kisah Thamrin Manan yang menjatuhkan hukuman mati atasnya. Ketika itu Henky dihadapkan ke muka hakim tunggal (waktu itu belum ada ketentuan harus hakim majelis) dengan tangan masih terborgol. Hakim, tentu saja, tak menghendaki yang demikian itu. Tapi perintahnya agar borgol dibuka tak dapat dituruti sebab petugas lupa membawa kuncinya. Hakim, yang tak sudi mengadili pesakitan dengan tangan tergari, hampir saja menunda persidangan. Tapi tiba-tiba Henky angkat tangan kalau diizinkan ia dapat membuka borgol tanpa kunci. Thamrin Manan tercengang tapi mengangguk juga. Dan, benar saja: dengan mudah Henky membebaskan borgol dari tangannya. Pun ketika di penjara Pamekasan belakangan ini, ia konon dengan mudah bisa minggat.
 
"Bagi anak saya, melarikan diri dari penjara sesuatu yang mudah" ujar ayahnya, Jacob Mathias Tupanwael di Bandung. Ia baru pulang dari membezuk Henky untuk yang terakhir kalinya. Ayah ini selalu mengancam: "Bila melarikan diri, (dari penjara terakhir) yang menembak bukan polisi, tapi saya sendiri, ayahnya." Selain daripada itu, menurut sang bapak, selama 14 tahun di penjara Henky sudah benar-benar tobat. Yang disesali oleh Tupanwael sekeluarga bukanlah hukuman matinya itu sendiri, tapi kenyataan, bahwa harapan yang muncul pada Henky selama berbuat baik di penjara ternyata tidak menolongnya. Apa boleh buat. Sebagai ayah, kata J.M. Tupanwael, pendeta Gereja Prorestan pensiunan tentara ini, ia sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya bagi anak-anaknya, termasuk Henky.
 
Di lingkungan keluarganya Henky termasuk anak yang penurut. Wataknya periang dan suka menolong saudara-saudaranya. "Tapi lingkungan pergaulannya di luar ternyata menyebabkan Henky jadi orang jahat," katanya. Nasihat bukannya tak sering dituturkannya -- terutama bila diketahui Henky habis berbuat sesuatu kejahatan. Tapi, ya, "kelemahan saya, sebagai ayah, tidak tahu dengan siapa ia bergaul." Sekarang semuanya sudah terjadi. Betapa pun hatinya lapang. Apalagi tampak olehnya Henky menghadapi pelaksanaan hukuman matinya dengan tabah. "Itu menyebabkan kami berbesar hati," kata Tupanwael, "saya yakin pada diri Henky ada sesuatu yang menguntungkan -- dia sudah pasrah dan tobat kepada Tuhan."

Meskipun, dalam kenyataan, Henky menolak untuk berdoa. Pesan Henky tak banyak. Ia minta agar jenazahnya dikuburkan di Bandung -- "biar dekat sama papa, mama dan saudara-saudaraku [ibu kandungnya wafat 1978]," katanya. Barangkali ini tak bisa dipenuhi lekas-lekas. Sebab, menurut Tupanwael, kejaksaan hanya mengizinkan pemindahan makam 5-6 bulan lagi, atau mungkin malah setahun kemudian.
 
Pesan lain kepada keluarganya tak ada. Hanya kepada adiknya, Benny (39 tahun), Henky yang banyak bergurau berkata serius. Kata Henky menurut Benny: "Hukuman mati terhadap diri saya, saya kira efeknya positif biar penjahat takut dan bertobat. Sebab risiko dari kejahatannya adalah hukuman mati. Biarlah saya jadi tumbal. Asal setelah saya jangan ada lagi kejahatan yang bisa menyebabkan jatuhnya hukuman mati . . . "
 
Dan inilah catatannya yang dibuat tengah malam, beberapa jam sebelum mati:
 
“Megah-megah dalam penjara hingga segalanya harus ditentang Nyisih dari segala kegelapan akan pudar Megah-megah dalam penjara hingga datang kemenangan jiwa Aku bangga aku bangga Karena kelelahan jerih payahku Kan kuperuntukan hanya bagi kemulyaan Tuhan Di mana tanah tandus di situlah aku bercocok tanam.”
 
Henky Tupanwael, garong kambuhan yang bolak balik masuk penjara karena kasus perampokan dan pembunuhan, menuliskan paragraf itu pada tengah malam menjelang eksekusi hukuman matinya pada 1980. Tak begitu jelas apa artinya –mungkin sajak, mungkin juga do’a.
 
 
Kusni Kasdut (“Robin Hood”-nya Indonesia)
eksekusi mati : 16 Februari 1980
 
Siapa yang tidak mengenal tokoh ini pada era 70 an, salah satu pejahat Legendaris, tertangkap dan di vonis hukuman mati atas segala perbuatannya…. Namun pada saat – saat akhir hayat nya ia bertobat dan dengan “tegar” menghadapi hukumannya.
 
Pada masanya Kusni kasdut adalah penjahat spesialis “barang antik” salah satunya yang paling spektakuler ia merampok Museum Nasional Jakarta. Dengan menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi (yang tentunya palsu), dia pada tanggal 31 Mei 1961 masuk ke Museum Nasional yang dikenal juga Gedung Gajah. Setelah melukai penjaga dia membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut.
 
Pernah membunuh dan merampok seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari jeep yang dibawa oleh Kusni Kasdut.
 
Awalnya Kusni kasdut adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
 
SUDARTO adalah penasehat hukum Kusni Kasdut mengatakan dalam pembelaanya : ”Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang,” dan ”Nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman”. Kusni Kasdut pada saat sedang menunggu keputusan atas permohonan grasinya sempat melarikan diri kemudian dapat ditangkap kembali dan akhirnya menjalankan pidana matinya. Dalam keterasingannya di penjara dan jauh dari orang-orang yang dicintai, ternyata sisi agamis Kusni Kasdut tumbuh semakin dalam. Apalagi ketika dia di penjara dan sebelum dieksekusi mati, dia sempat berkenalan dengan seorang pemuka agama Katolik.
 
Setelah berkenalan dengan pemuka agama tersebut, akhirnya dia memutuskan menjadi pengikut setia. Kusni Kasdut dibaptis sebagai pemeluk Katolik dengan nama Ignatius Kusni Kasdut. Saat menunggu hari eksekusi, dia menuangkan rasa cintanya terhadap agama yang telah dia anut dalam sebuah lukisan yang terbuat dari gedebog pohon pisang. Dalam lukisan tersebut, tergambar dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik. Dan sampai sekarang masih tersimpan rapi di Museum Gerja Katederal Jakarta.
 
“Setelah lukisan gedebog pisang itu jadi, sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral, Jakarta. Beberapa hari setelah itu, Kusni Kasdut ditembak mati,” ujar pengurus Museum Katedral, Jakarta, Eduardus Suwito.
 
Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya. Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan.
 
Kusni, kemudian, memeluk Ninik. “Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976,” katanya, seperti direkam seorang pendengarnya. “Situasilah yang membuat ayah jadi begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain menangis. “Diamlah,” lanjut ayahnya, “Ninik ‘kan sudah tahu, ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.” Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai mengantuk.
 
Saat-saat terakhir Kusni Kasdut ini dijadikan ide untuk lagunya God Bless “Selamat Pagi Indonesia” di album “Cermin”. Lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS, wartawan musik Kompas yg jagoan menulis lirik lagu. Kusni Kasdut sempat dijuluki “Robin Hood” Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering di bagi – bagikan kepada kaum miskin. Tangan kanan Kusni Kasdut adalah Bir Ali, anak Cikini Kecil (sekarang ini letaknya di belakang Hotel Sofyan). Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama Kusni Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir, ia tewas dalam tembak menembak dengan polisi.Ia menjalani hukuman matinya didepan regu tembak pada 16 Februari 1980.
 
 
Slamet Gundul, Rampok Legendaris
 
JARANG-jarang Mabes Polri mengeluarkan perintah paling keras dalam menangkap buronan: hidup atau mati. Tahun 1989, Direktur Reserse Mabes Polri Koesparmono Irsan mengeluarkan perintah kepada segenap jajaran Reserse Polri di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera Bagian Selatan agar menangkap seorang buron dengan kata-kata ancaman tadi. "Tangkap Slamet Gundul hidup atau mati." Siapa Slamet Gundul? Lelaki berpipi tembam, hidung lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata itu dulu pernah menjadi musuh polisi nomor satu.
 
Namanya berubah-ubah. Kadang Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Tapi julukannya yang top adalah Slamet Gundul. Dialah tersangka bos kawanan garong nasabah bank bersenjata api yang belasan kali menggegerkan berbagai kota di seantero Pulau Jawa. Polisi boleh dibilang sudah mati-matian mengejar buron itu. Tapi bukan Slamet Gundul namanya, bila tidak licin.
 
Ia beberapa kali lolos dari kepungan polisi. Pernah tertangkap dan diadili, tapi ia kabur dari halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, begitu vonisnya dibacakan hakim. Slamet bersama 7 kawanannya pernah dicegat oleh enam jagonya reserse Polda Ja-Teng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah pompa bensin di Pandansimping, Klaten, Jawa Tengah, ketika hendak beroperasi. Lewat baku tembak selama 15 menit, seorang rekan Slamet, Jarot, tewas dengan lima peluru. Sedangkan dua orang lagi, Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam keadaan terluka.
 
Slamet sendiri, yang sudah kena tembak di kedua bahunya, masih bisa kabur dengan sepeda motor. Polda Jawa Tengah tentu saja gemas akibat lolosnya buron itu. Sebab, dalam setahun beroperasi di Semarang, komplotan Slamet bisa menjarah duit Rp 159,5 juta. Tahun 1989 komplotan itu merampas Rp 23 juta milik pedagang tembakau asal Kendal, Rp 40 juta uang juragan ikan, dan Rp 34 juta milik Universitas Islam Sultan Agung. Nasabah BCA cabang Peterongan kena sikat Rp 28,5 juta dan karyawan PT Nyonya Meneer kena rampok Rp 34 juta.
 
Setelah kelompok "Kwini", Slamet agaknya mencatat rekor perampokan dalam frekuensi kejahatan dan hasil jarahan tertinggi saat ini. Korban utamanya memang nasabah bank. "Biasanya salah seorang dari kami datang dulu ke bank dengan sepeda motor, pura-pura jadi nasabah," kata Subagio dan Sugeng, anggota kelompok Slamet yang tertangkap di Klaten, hampir serempak. Dengan penyamaran itu, kata kedua orang tadi, mereka bisa mengetahui nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar. Kalau sudah dapat sasaran, komplotan Slamet itu akan menguntit mangsanya dengan sepeda motor. Dengan kode itu, Slamet, yang biasanya menunggu bersama gangnya di atas mobil di luar halaman bank, segera tahu mangsa yang dituju. Setelah itu, barulah kelompok Slamet, yang bermobil, menyusul dan menghadang korban.
 
Modus ini diduga juga dilakukan komplotan Slamet ketika merampok di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat. Ketika itu mobil Chevrolet dengan penumpang dua karyawan CV Bambu Gading akan menyetor uang Rp 10 juta ke bank. Kendaraan mereka tiba-tiba dipepet kendaraan perampok, sebuah minibus dan dua buah sepeda motor. Mobil korban benar-benar tak bisa bergerak setelah minibus itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pada waktu itulah perampok yang bersepeda motor mengacungkan pistol lewat jendela. Ketika komplotan itu beraksi, dua polisi, di antaranya Letnan Dua Soewito, mencoba menyergap mereka. Tembak-menembak terjadi. Dua perampok tewas, empat lainnya kabur. Tapi, di pihak polisi, Soewito roboh dengan peluru bersarang satu sentimeter di bawah mata kanannya.
 
Sebelum "main" di Semarang, pada 1987, reserse Jakarta memang beberapa kali menguber komplotan itu. Waktu itu rekor Slamet sudah merampok 11 kali nasabah bank. Pada Januari 1987, dua regu reserse Polda Meto Jaya mengepung rumah sewaan Slamet di bilangan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Tapi, begitu pintu rumah diketuk polisi, yang keluar cuma istrinya. Slamet sendiri, dengan menggenggam dua pistol Colt kaliber 32 dan 38 melompati tembok dua meter yang membatasi kamar mandinya dengan dapur tetangga. Di rumah itu sudah ada dua anggota polisi yang menunggunya. Tapi polisi kalah cepat. Bagai koboi mabuk, ia menembak membabi buta. Ajaib, ia menerobos pagar puluhan petugas yang mengepungnya. Ia kabur setelah menyambar sebuah Metromini yang sedang dicuci keneknya. Toh pada awal tahun itu juga polisi berhasil menjerat belut itu. Bersama dua anggota komplotannya, Jarot dan Sahut, ia dihadapkan ke meja hijau.
 
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengganjar ketiganya masing-masing hukuman 3 tahun. Tapi, ketika petugas menggiring ketiga terpidana itu ke mobil tahanan, mereka mendorong pengawal tersebut dan segera lari. Hanya Sahut yang bisa diamankan lagi. Tapi Slamet dan Jarot kabur dengan pengendara sepeda motor, yang anehnya telah menunggu di luar halaman pengadilan.
 
Menurut Sugeng dan Subagio, bos mereka selama di LP Cipinang justru berhasil merekrut anggota baru dari sesama rekan tahanan di sana. "Slamet itu orangnya pandai mengambil hati, sehingga banyak yang bersedia ikut kelompoknya," kata mereka. Sugeng dan Subagio, yang masuk Cipinang juga karena merampok bank, mengaku ikut Slamet setelah berkenalan di Cipinang tersebut. Subagio, setelah menjalani hukuman selama 2 tahun, baru dilepas awal 1989. "Setelah saya keluar LP, saya lalu menghubunginya," ujarnya. Menurut mereka, meskipun Slamet yang menyusun skenario kejahatan dengan kekerasan itu, toh sebenarnya ia tak kejam. "Ia belum pernah membunuh korban-korbannya," kata Sugeng. Yang kejam itu, kata mereka, justru Jarot, yang mati tertembak di pompa bensin itu. Slamet gundul saat ini sudah bebas. Diyakini ia sekarang bekerja untuk Tommy Winata menurut wawancara Tommy Winata dengan Majalah Gatra. 
 
 
Johny Indo - Perampok "Baik Hati"
 
tertangkap : 20 April 1979
vonis hukuman : 14 tahun penjara di Cipinang, dipindahkan ke Nusakambangan.
 
Dengan tubuhnya jangkung dengan kulitnya yang bersih. Tutur katanya halus. Mungkin orang akan mengira dia hanyalah seorang lelaki biasa saja. Seorang ayah yang baik, yang mengajari PR bagi anak-anaknya, atau suami yang menyayangi istrinya. Apalagi di masa mudanya di juga tampan. Dan dia indo, lahir di Garut Garut, 06 November 1948. Tapi siapa sangka dia adalah pimpinan kawanan perampok yang sangat disegani. Yohanes Hubertus Eijkenboom atau Johnny Indo.
 
Johny Indo dan 12 anak buahnya yang ia beri nama “pachinko” alias pasukan china kota sangat disegani sebagai perampok yang malang melintang di Jakarta dan sekitarnya. Johnny Indo adalah spesialis perampok toko emas dan selalu melakukan aksi pada siang hari. Mereka yang merampok toko emas di Cikini, Jakarta Pusat, pada 1979. Perampokan ini menjadi berita yang menggemparkan karena gerombolan membawa lima pistol, satu buah granat, dan puluhan butir peluru. Johnny mengaku mendapatkan senjata api dari sisa-sisa pemberontakan RMS, PRRI atau DI TII.
 
Sesungguhnya Johnny Indo berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil dia suka membaca buku termasuk petualangan Sunan Kalijaga yang sebelum menjadi wali merupakan perampok, namun perampok untuk kebaikan semua dengan membagikan hasil rampokan kepada orang miskin. Atau tentang Si Pitung seorang perampok budiman dari Jakarta. Robbin Hood yang berkiprah di desa kecil bernama Nottingham, Inggris.
 
Berkali-kali pula Johny Indo mengulangi perbuatannya dan hasil jarahannya dia bagi-bagikan kepada masyarakat miskin. Namun sepandai-pandai tupai melompat sekali gagal juga. Pepatah itu nampaknya berlaku juga buat Johny Indo dan kelompoknya. Karena kekuranghati-hatian salah seorang anggota kelompoknya yang menjual emas, hasil barang jarahan sembarangan, satu demi satu anak buah Johny Indo dibekuk petugas. Johny Indo akhirnya tertangkap di Gua Kiansiantang, Sukabumi, Jawa Barat. Dia diganjar 14 tahun penjara dan dijebloskan ke Nusakambangan.
 
Ternyata mendekam di Nusakambangan tidak membuat petualangan Johny Indo berakhir. Bersama 14 tahanan lainnya, Johny Indo membuat geger karena kabur dari sel. Hampir semua aparat keamanan waktu itu dikerahkan untuk menangkap Johny Indo dan kelompoknya. Namun setelah bertahan hingga dua belas hari, Johny Indo pun menyerah. Dia menyerah karena sudah berhari-hari tidak makan. Selain itu 11 tahanan yang melarikan diri bersamanya tewas diberondong peluru petugas. Kisah pelarian Johny Indo yang legendaries itu bahkan sempat diangkat ke layar film dengan Johny Indo sebagai bintangnya sendiri.
 
 
Johnny Indo yang dalam karirnya merampok pantang melukai korbannya selama di penjara itu banyak waktu luang, dari sana mulai berfikir tentang jati diri, akhirnya selama dipenjara banyak belajar agama Islam karena sebelumnya beragama nasrani.Kini Johny Indo kabarnya tinggal di daerah Sukabumi, Jawa Barat bersama istrinya, Vinny Soraya dan kedua putra-putrinya. Ia telah berubah. Ia menjalani kehidupan barunya sebagai seorang juru dakwah. Di saat senggang ia menghabiskan waktu dengan membenahi rumahnya yang sederhana sambil menunggu panggilan dakwah.
 
Johny Indo awalnya dikenal sebagai perampok toko emas di Jakarta dan sekitarnya pada era tahun 1970an yang dilakukan pada siang hari bersama kelompoknya Pachinko (Pasukan China Kota).Aksi paling terkenal Johnny Indo adalah merampok toko emas di Cikini, Jakarta Pusat, pada 1979.
 
Setelah Bebas dari Penjara, ia beralih profesi menjadi Aktor. Film yang pernah dibintanginya antara lain :
 
Johny Indo (1987)
Badai Jalanan (1989)
Langkah-Langkah Pasti (1989)
Titisan Si Pitung (1989)
Laura Si Tarzan (1989)
Misteri Cinta (1989)
Susuk (1989)
Perangkap di Malam Gelap (1990)
Tembok Derita (1990)
Tongkat Sakti Puspanaga (1990)
Diskotik D.J. (1990)
Ajian Ratu Laut Kidul (1991)
Misteri Ronggeng (1991)
Daerah Jagoan (1991)
 
 
catatan :
dulu pernah juga beliau tampil di KickAndy MetroTV. Menariknya, beliau sempat menangis saat dipertemukan dengan pak Tasbani, Interogator polisi yang menanganinya dahulu.Pak Tasbani
 
 
Pada 20 Mei 1982, di sebuah sel yang dekil, di LP Nusakambangan. Seorang napi, berinisial SS, memberi doktrin singkat. Algojo asal Solo itu sudah menyiapkan kilatan pedang. Sebuah gerakan akan dilakukan. MM ditugasi merampas senjata petugas portir. Sementara lainnya, ditugasi menjebol pintu gerbang, menyiapkan api, dan membabat petugas. Yang lain, mengomando kawan-kawannya agar secepatnya kabur.
 
Pukul 11.00 WIB, rencana akan dilakukan. MM juga ditugasi membunuh Johny Indo jika dia tidak ikut lari. Siang sudah nyaris menunjuk angka 11.00. Itu artinya, gerakan akan dimulai. Kebetulan, sang kepala LP Permisan, Nusakambangan, sedang piknik ke Pangandaran. Di luar sel, gemuruh suara "serbu... serbu... serbu... serang..." disusul rentetan tembakan berjibaku tak henti-henti. Gerbang jebol. Johny tersadar. Didatangi MM dengan pedang di tangan. "Mau ikut lari tidak? Kalau tidak, saya akan membunuhmu," gertak MM. Sekejap, Johny ikut kabur bersama 34 napi lain dari LP Permisan, Nusakambangan. Para napi pun kabur masuk hutan yang masih perawan. Esoknya, masyarakat dibuat gempar. Raja perampok emas berhasil kabur dari penjara yang mirip "Alcatraz-nya" Indonesia itu. Johny Indo pun dibaptis sebagai dalang pelarian.
 
Tiga hari, para napi terlunta-lunta di hutan. Hutan amat ganas, penuh jurang, binatang buas, dan alam yang tak ramah. Hari kelima, kondisi makin runyam. Petugas gabungan polisi, satpam LP, dan tentara, terus melacak. Matahari belum naik, tiba-tiba suara letusan pistol menyerbu rombongan napi. Satu, dua orang terjengkang. Tiga, empat lainnya roboh. 17 ditangkap hidup. Tetapi, Johny Indo lolos. Hari kesepuluh dilewati. Hanya tinggal dua orang. Empat orang tewas karena sakit. Dua lainnya tewas tenggelam. Sepuluh lainnya tewas diterjang peluru petugas. Johny berjalan sendiri. Keluar Nusakambangan teramat susah. Persis hari ke-12 pelariannya, tiga motor boat mengerang. Seolah-olah menghampirinya. "Saya menyerah, Pak," kata Johny gemetar.
 
Itulah sedikit kisah pelarian Johny Indo, penjahat kelas kakap, dari LP Permisan Nusakambangan. Siapa sejatinya Johny Indo? Dia adalah perampok toko emas yang paling licin. Sedikitnya 7 kali aksinya lolos dari kejaran petugas. Perampok bukan pembunuh. Haram hukumnya menyakiti wanita dan membunuh mangsa. Itu larangan tegas di organisasi mafianya. Anak seorang tentara Belanda Mathias Eijkenboom yang membelot dan kimpoi dengan Sephia, gadis Banten. Di usianya yang baru 16 tahun, dia sudah kimpoi dengan Stella (15).
 
Dia pernah jadi sopir truk, trailer, hingga tukang bengkel. Lantas, dia berubah drastis menjadi seorang foto model laris dan artis beken. Lima anak lahir dari rahim Stella. Namun, hidup glamor gaya Johny Indo membuatnya mabuk. Dia juga simpanan seorang istri pejabat. Wajahnya memang ganteng, putih, hidung mancung, dan matanya biru. Itu sebabnya dia dipanggil Johny Indo.
 
Dari hidupnya yang mewah itulah, lantas dia selalu kekurangan uang. Honor foto model tak mencukupi. Lantas, dia diajak kawan-kawannya merampok. Dengan bekal pistol dan senjata Thomson, dia bersama AA, K, N berhasil membuat gempar masyarakat Jakarta dan menyiutkan nyali para pedagang emas.
 
Hingga akhirnya, 20 April 1979, di Sukabumi, di sebuah Gua Kutameneuh, bekas tempat persemedian Prabu Siliwangi, di Gunung Guruh, Sukabumi, Johny tertangkap dalam kondisi loyo. Saat itu, dia sedang tirakat. Dia dijebloskan ke Cipinang 14 tahun lamanya dan dipindahkan ke Nusakambangan. Namun, 9 tahun 10 bulan saja ia alami hukuman itu. Dia pun pernah main film saat menjadi tahanan di Nusakambangan, setelah pelariannya yang gagal.
 
Hidup glamor, dikelilingi cewek cantik, pernah berbuat jahat, disel di Cipinang, lalu dipindah ke Nusakambangan. Kata Johny, hari-hari berat di Nusakambangan adalah menyalurkan hubungan seksual. "Ini yang paling berat. Dulu, dia mengatasinya dengan (maaf) onani. Tetapi, lama-kelamaan itu tak dilakukannya lagi. "Saya berbuat jahat maka saya harus menjalani hukuman ini sebagai risiko. Tahun pertama dipenjara, perasaan marah, benci, dendam selalu menjadi hantu yang menakutkan. Jika tak diatasi, perasaan ini bisa meledak dan menjadi masalah baru.
 
“Hasil jarahan itu tidak dinikmati sendiri dan kelompok, melainkan sebagian dibagikan kepada warga miskin. Walau saya menggarong tapi saya masih ingat warga miskin dan kelaparan. Kata Johny Indo yang menganggap apa yang dilakukannya mengikuti jekak idolanya, Si Pitung yang sering menolong masyarakat kelas bawah.
 
Berkali-kali aksi Johny Indo dan kelompoknya yang ia beri nama “pachinko” alias pasukan china kota, lolos dari sergapan aparat kepolisian. Namun sepandai-pandai tupai melompat sekali gagal juga. Pepatah itu nampaknya berlaku juga buat Johny Indo dan kelompoknya. Karena kekuranghati-hatian salah seorang anggota kelompoknya yang menjual emas, hasil barang jarahan sembarangan, satu demi satu anak buah Johny Indo ditangkap petugas. Johny Indo yang waktu itu mengoleksi berbagai jenis senjata api dan berkarung-karung peluru sudah mempunyai firasat akan tertangkap. Ia pun berpindah-pindah tempat mulai dari Pandeglang hingga Cirebon.
 
“Saya pusing dan bingung waktu itu, hampir semua koran memberitakan kalau polisi terus memburu saya dari segala penjuru. Akhirnya saya lari ke daerah Sukabumi, Jawa Barat. Saya masuk ke sebuah Goa yang gelap dan angker, dengan harapan bisa menghilang. Eh, saya malah ditangkap Koramil setempat” ujar Johny tertawa getir mengenang peristiwa itu. Johny Indo akhirnya diganjar 14 tahun penjara dan dijebloskan ke penjara yang keamannya ekstra ketat Nusakambangan.
 
Ternyata mendekam di Nusakambangan tidak membuat semuanya berakhir. Bersama 14 tahanan lainya, Johny Indo membuat geger karena kabur dari sel.Hampir semua aparat keamanan waktu itu dikerahkan untuk menangkap Johny Indo dan kelompoknya. Namun setelah bertahan hingga sembilan hari, Johny Indo pun menyerah.

Masih banyak lagi kisah Johny Indo yang menarik untuk disimak, antara lain pengalaman pertama kali saat ia mulai terjun ke dunia rohani untuk berdakwah bersama KH Zainuddin MZ. Ada pengalaman lucu di sini, yaitu tertukarnya amplop honor seusai berdakwah. Amplop yang seharusnya untuk KH Zainuddin MZ oleh panitia diberikan kepada Johny Indo, begitu juga sebaliknya. (http://tetewalanda75.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar