Bang Timong, Si Arsitek Pelarian
"Saudara-saudara.
Penjaga di sini nggak bisa apa-apa. Anda bisa saja lari. Tapi maafkan
kami kalau kami salah menembak. Yang biasa kami tembak biasanya kaki,
tetapi kenanya selalu kepala." Demikianlah pidato ritual sipir penjara
di Pulau Nusakambangan, setiap kali menyambut serombongan narapidana
yang datang. Kata-kata yang diucapkan dengan nada yang ramah itu diingat
benar oleh Nanggo Kromen alias Bernard Timong, ketika dia datang ke
Nusakambangan pada 1981.
Kabarnya kini
Nanggo menjadi preman di Terminal Kampungrambutan, Jakarta, setelah bisa
meloloskan diri dari Nusakambangan. Bang Timong, demikian nama
ngetopnya, sangat dikenal di seantero terminal. Pokoknya, bila seseorang
dikenal sebagai saudara atau teman Bang Timong, niscaya dia bisa naik
bus dari Kampungrambutan ke kota mana pun, tanpa bayar. Dan, Bang Timong
menceritakan pengalamannya lari dari Nusakambangan, yang secara tidak
sengaja dia menjadi teman sepelarian Johny Indo.
Nanggo, terpidana
10 tahun karena pembunuhan, sudah berniat kabur sejak semula. Pasalnya,
laki-laki berperawakan sedang, berambut keriting, berkulit legam itu
berjanji kepada teman-temannya di Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang-penjaranya sejak 1976, sebelum dia dipindah ke
Nusakambangan-untuk sebentar saja di Nusakambangan.
Menurut Nanggo,
semua hal di Nusakambangan membuat orang ingin kabur. "Makanan membuat
orang memberontak, lari dari Nusakambangan," kata Nanggo. Para napi
seharusnya memperoleh 3,5 ons sehari, tapi dikurangi oleh penjaga.
Ketika napi memprotes soal makanan, sipir memberi pemberat pada
timbangannya, sehingga jumlah makanan tetap seperti seharusnya. "Mereka
juga berjanji memperbaiki, tapi sayur kangkungnya tetap saja hitam
sekotor comberan," kata Nanggo. Setelah delapan bulan di penjara, Nanggo
mulai bersiasat untuk kabur. Tapi pria kelahiran Flores itu tidak
merencanakannya sendirian. Masih ada tujuh orang yang terlibat dalam
rencana pelarian. Komunikasi mereka lakukan saat bekerja di ladang atau
melalui kurir. Mereka "mempekerjakan" Guto, napi asal Semarang sebagai
kurir. Bila berita bocor, si kurir itu yang akan dibunuh.
Selama tiga bulan,
para napi yang akan kabur itu merapikan strategi. Adalah Sugeng, salah
satu napi, yang bertugas menghitung kapan harus kabur berdasar primbon.
Akhirnya, ketemu tanggal 20 Mei 1982, antara pukul 12.00 dan 18.00.
"Lebih dari waktu itu akan sial," kata Nanggo. "Hari itu adalah Kenaikan
Yesus, itu angka baik buat lari," tambahnya.
Tepat di hari H,
semua napi sudah bersiap-siap (semuanya berjumlah 13 orang), tapi
kesempatan tak kunjung tiba. Nanggo tak berhenti berdoa dengan
rosarionya. Akhirnya, mereka melihat seorang napi yang baru pulang dari
ladang, membawa sepikul buah kelapa. Saat si napi masuk, pintu gerbang
akan terbuka dalam waktu yang cukup lama karena pikulan yang dipakai si
napi memang cukup panjang. Saat pintu mulai terbuka, seorang napi loncat
keluar dan memukul kepala seorang sipir hingga pingsan. Lalu, napi
lainnya berhamburan keluar dari persembunyian, ada juga yang mencari
empat orang sipir di sekitar pintu gerbang.
Nah, saat Nanggo
akan melarikan diri, dia bertemu dengan Johny Indo yang sedang buang air
kecil. Sebenarnya, Johny tidak masuk dalam "tim", tapi karena kebetulan
bertemu, Nanggo mengajaknya kabur. Dalam pikiran Nanggo, akan berguna
mengajak Johny karena laki-laki berwajah indo itu punya organisasi, bila
tertangkap tidak ditembak. "Saya, alamat pun tidak punya," kata Nanggo.
Di pos penjagaan,
mereka menemukan tiga pistol tanpa peluru dan sebuah senapan panjang
berisi lima peluru. Senapan itu diserahkan ke Johny Indo, yang paling
mahir menembak. Kabel-kabel telepon yang menghubungkan Penjara Permisan
dengan tempat lain diputuskan. Sebelum pergi, Johny menembakkan satu
peluru ke arah penjara, agar penjaganya tidak mengejar. Setelah keluar
dari penjara, mereka harus memilih untuk belok ke kiri, menyusuri tepian
Laut Indonesia, atau ke kanan, ke Kampung Laut. Lalu, mereka memilih ke
kiri. Jumlah pelarian ternyata membengkak menjadi 34 orang.
Bagian yang paling
berat adalah cara mengisi perut 34 orang. Pada hari pertama, Johny Indo
berhasil menembak seekor monyet. Hari kedua, mereka berhasil menemukan
sebuah pohon kelapa, yang diambil semua buahnya, lalu pohonnya ditebang
dan diambil isi perutnya yang putih. Mereka juga minum air rotan. Pada
hari ketiga dan keempat, mereka hanya menemukan siput untuk dimakan.
Mansur, seorang teman mereka yang punya penyakit maag akut, sudah mulai
lemas, jalannya harus dibantu.
Pada hari kelima,
rombongan pelarian melewati bukit batu. Ketika mengitari bukit, mereka
terpisah menjadi dua kelompok, masing-masing mengitari bukit dari sisi
yang berbeda. Salah satu rombongan bertemu dengan sepasukan tentara dari
Kodam Diponegoro. Sejumlah 13 orang tewas di tempat. Setelah itu,
tinggal tujuh orang yang bertahan. Ada yang jelas-jelas mati dibunuh
tentara, ada yang tertinggal. Johny Indo juga sudah tidak ada di antara
rombongan (ternyata dia sudah menyerahkan diri). Sementara itu, sakit
maag Mansur makin berat saja, dan mereka hanya bisa menemukan
buah-buahan yang masih muda untuk dimakan. Akhirnya, Mansur meninggal.
Dia ditinggalkan begitu saja karena tak ada waktu untuk menguburnya. Hari keenam, mereka sudah sampai di tepi pantai, di seberang Kali Pucang. Inilah jalan masuk ke Cilacap. Hanya bertiga: Nanggo, Tasman Amri, dan Budi yang bertahan. Lalu mereka memutuskan membuat rakit dari pohon pisang liar. Mereka menebang enam pohon pisang, lalu diikat dengan tali kulit pohon waru. Mereka mencoba menyeberangi arus berputar yang deras.
Dia ditinggalkan begitu saja karena tak ada waktu untuk menguburnya. Hari keenam, mereka sudah sampai di tepi pantai, di seberang Kali Pucang. Inilah jalan masuk ke Cilacap. Hanya bertiga: Nanggo, Tasman Amri, dan Budi yang bertahan. Lalu mereka memutuskan membuat rakit dari pohon pisang liar. Mereka menebang enam pohon pisang, lalu diikat dengan tali kulit pohon waru. Mereka mencoba menyeberangi arus berputar yang deras.
Nanggo, yang
terbiasa berenang, mencoba menarik rakit yang dinaiki Tasman ke
seberang. Sayang, ketika rakit hampir sampai ke seberang, pegangan
tangan Nanggo di rakit terlepas, hingga rakit meluncur bersama air
deras. Tapi mereka bertiga berhasil selamat.
Hari ketujuh,
mereka berhasil masuk kampung. Nah, saat minta makan ke penduduk, mereka
tertangkap. Untungnya, tentara yang menangkap diberi perintah untuk
menangkap hidup-hidup. Bahkan, sebelum dibawa, kami diizinkan makan oleh
tentara. "Itulah nasi piring pertama yang saya makan dalam enam hari.
Biarlah setelah itu mati, asal saya kenyang," kata Nanggo, yang pada
saat itu terkena pukul popor senapan di tengkuknya. Setelah itu, Nanggo
harus menjalani sisa hukuman hingga 1986, tanpa memperoleh remisi.
Pak Sastro, Si Papillon
Perawakannya
sedang, kumis tipis melintang dan kulit cokelat matang. Sosok
Sastrowiyono bin Wongso, laki-laki 55 tahun, adalah tipikal laki-laki
Jawa. Pak Sastro sama sekali tidak tampak sangar. Kini mendekam di
Penjara Cirebon, Jawa Barat, dia terkesan seperti seorang pemikir,
karena dia punya kegemaran berdiskusi politik dan mendengarkan siaran
radio BBC.
Memang, bila
dilihat penampilannya, tidak ada yang menduga masa lalu gelap pekat
Sastro. Tapi, dari lama hukumannya: 21 tahun (Sastro masuk ke penjara
Cirebon sejak September 1984), bisa dipastikan seberapa berat kejahatan
Sastro. Pria yang sekarang menjadi manajer dapur dan pemuka narapidana
di LP Cirebon itu adalah perampok dan pembunuh serta pernah lari dari LP
Nusakambangan.
Syahdan, Sastro
mengawali karir bukan sebagai penjahat, melainkan sebagai pedagang
pakaian jadi dan bahan pakaian di Sumatra Selatan dan Lampung, sejak
1970-an. Kiprahnya cukup sukses sehingga Sastro mendapat julukan sebagai
"bandar gombal".
Ketika Sastro
sudah menjadi pedagang besar di Pasar Metro Lampung, dia justru ikut
dalam pergaulan yang tidak benar di kalangan para bandar. Sastro mulai
kenal dengan judi, mabuk tuak, dan main perempuan. Dari sinilah kisah
kejahatan Sastro bermula. Dia terlibat dalam perampokan dan pembunuhan.
Pada 1974, Sastro divonis empat tahun penjara di LP Metro Lampung. Tapi,
karena kelakuannya yang brutal-suka berkelahi dan cari perkara di
kalangan para napi-Sastro dipindahkan ke LP Cipinang, lalu dibuang ke
Nusakambangan pada awal 1978. Namun, kesangaran Nusakambangan tidak
menaklukkan keliaran Sastro. Pria yang dikenal dengan julukan Sastro
Perampok itu tetap ditakuti oleh para napi lainnya di lingkungan Penjara
Besi, Nusakambangan.
Setelah menjadi
jagoan di antara para bromocorah, lalu apa? Mulailah muncul ide Sastro
untuk melarikan diri. Dalam waktu setahun dua bulan, Sastro
mempersiapkan diri untuk pelariannya, tanpa bercerita ke seorang teman
pun. "Biasanya, untuk urusan pemberontakan, teman-teman melakukan
kegiatan kolektif," kata Sastro. "Tapi saya tidak mau berisiko
tertangkap," tambahnya.
Selain latihan
bela diri, Sastro latihan yoga setiap malam, terutama untuk melatih
pernapasannya. Pola latihannya adalah 1:1, yaitu menarik napas dalam 15
hitungan dan melepaskannya dalam 15 hitungan; bertambah menjadi 2:1,
yaitu menarik napas dalam 30 hitungan lalu melepaskannya dalam 15
hitungan; atau sebaliknya, 1:2.
Pada Juni 1979,
mirip tokoh dalam novel Papillon, Sastro mulai memperhitungkan
kesempatan terbaik untuk lari. Saat itu adalah musim kemarau. Ketika
purnama, sekitar pukul tujuh malam, Sastro memulai petualangannya dengan
keberhasilannya melompati tembok LP Besi setinggi empat meter. Lalu,
Sastro menggunakan garis edar bulan sebagai petunjuknya menuju pantai.
Sastro yakin, bila dia mengikuti arah bulan ke utara (bila berpatok
dengan arah Pulau Jawa, arah utara yang dimaksud Sastro adalah utara
timur), dia akan menemukan daratan.
Setelah 500 meter
berjalan, Sastro, yang hanya mengenakan sehelai baju preman dan celana
pendek, mulai mengarungi hutan rawa bakau selama dua malam satu hari.
Untuk makanan, Sastro menyantap buah rukem dan jlujon, makanan ular
berbisa yang berasa pahit. Sastro juga mengisap air di dalam tubuh yuyu,
sejenis kepiting. Rasa cairan itu manis dan sama sekali tidak amis.
Beruntung, Sastro
ditahan di LP Besi, yang letaknya paling dekat dengan pantai, sehingga
dia segera bisa membuktikan kemampuannya berenang menyeberangi Segara
Anakan, yang saat kemarau tidak terlalu deras ombaknya. Ketika itu,
Sastro masih mampu berenang hingga satu kilometer dengan gaya punggung
tanpa berhenti. Dia mengaku beberapa kali bertemu dengan perahu nelayan
dan dua kali berpapasan dengan kapal patroli. "Saya bisa menyelam hingga
15 menit, bila ketemu patroli," katanya. Selain itu, Sastro juga bisa
merapatkan tubuhnya di rawa-rawa, yang hanya menyembul bila kemarau.
Setelah semalaman
menyeberang Segara Anakan, Sastro sampai di daratan sekitar saat subuh.
Dengan badan lunglai, Sastro mencoba tetap berjalan cepat mengikuti arah
berjalan orang-orang menuju ke pasar. Dari pembicaraan di antara
penduduk setempat, Sastro tahu bahwa dia berada di Desa Kubangkangkung,
Cilacap.
Setelah itu,
Sastro menghubungi seorang teman agar dibantu pergi ke Jakarta lalu
langsung ke Lampung. Dan pelarian Sastro itu tidak akan terungkap
seandainya dia tidak mengulangi kejahatannya: merampok dan membunuh,
yang menyeret dia ke LP Cirebon, untuk menjalani semua sanksi bui baru
selama empat tahun plus utang hukumannya hingga menjadi 21 tahun.
Demikian kisah
Sastro. Untung saja, laki-laki itu menjadi lunak di LP Cirebon. Dia
bekerja di pabrik pemintalan di dalam LP Cirebon. Upahnya Rp 6.000
hingga Rp 10.000 sebulan. Selain itu, Sastro menjual mi instan dan rokok
di dalam selnya. Alhasil, Sastro punya uang tabungan. Sastro juga rajin
belajar, ikut Kejar Paket B. Prestasinya terbukti dengan menjuarai
lomba Cerdas Cermat antarnapi. Tampaknya, Sastro memang benar-benar
ingin bertobat. Dia tidak pernah mengizinkan sanak keluarganya datang
menengok. "Cukup saya saja yang merasakan dan menebus dosa-dosa ini,"
katanya.
Henky Tupanwael, Eksekusi mati : 5 Januari 1980
MEMANG tidak
setenar Kusni Kasdut. Namun sejarah kejahatan yang dibuatnya cukup
panjang. Setidaknya Henky Tupanwael bukan orang asing bagi penjara. Ia
memulai debutnya sebagai pencuri kecil masuk bui khusus anak-anak karena
mencuri sepotong celana. Pada usia muda, sekitar 17 tahun, ia menembak
seorang polisi militer. Karena kejahatannya tersebut Henky mulai
berkenalan dengan penjara yang sebenarnya di Sukamiskin, Bandung, 1951.
Beberapa tahun
kemudian, 1957, anak muda kelahiran Ende (Flores) 46 tahun lalu itu
meningkatkan kadar kejahatannya. Ia melakukan perampasan hingga harus
masuk penjara lagi selama tiga tahun. Lepas dari hukuman, tidak kapok,
ia berbuat sesuatu "yang lebih berarti": merampok Bank Ekonomi Nasional
di Bandung. Kali ini ia tidak betah menghabiskan masa hukuman yang harus
dijalaninya selama 4 tahun 6 bulan. Ia kabur, 1963, dari penjara
Banceui. Ia tertangkap dan masuk bui lagi, karena terlibat peristiwa
penggarongan di rumah seorang hakim di Bandung. Akibat peristiwa
tersebut Henky dijebloskan ke penjara Nusakambangan.
Mestinya ia harus
mendekam di sana 11 tahun. Tapi belum lagi setahun, ia dapat lari dengan
berenang menyeberangi Segara Anakan. Selepas dari Nusakambangan Henky
kembali bergabung dengan teman-temannya di Jakarta. Dari Kebayoran Lama
(Jakarta) Henky dkk. merencanakan merampok mobil Bank Nusantara. Dan
perampokan mereka itu memang berhasil. "Omset" Henky kali ini kakap: Rp
21 juta lebih. Ia juga menembak mati dua orang. Itulah kejahatan Henky
terakhir. Ia tertangkap. Mula-mula ia memang kembali dapat melarikan
diri dari tempat tahanan polisi: Tapi 13 hari kemudian, ia diringkus
kembali di suatu tempat di Tanah Abang Jakarta.
Duduk terakhir
kalinya sebagai terdakwa, Henky diadili oleh Hakim Thamrin Manan
(sekarang advokad), di Jakarta. Di situ, menurut Thamrin, ia tidak
rewel. Malah, dengan caranya sendiri, pernah membantu kelancaran sidang.
Inilah kisah Thamrin Manan yang menjatuhkan hukuman mati atasnya.
Ketika itu Henky dihadapkan ke muka hakim tunggal (waktu itu belum ada
ketentuan harus hakim majelis) dengan tangan masih terborgol. Hakim,
tentu saja, tak menghendaki yang demikian itu. Tapi perintahnya agar
borgol dibuka tak dapat dituruti sebab petugas lupa membawa kuncinya.
Hakim, yang tak sudi mengadili pesakitan dengan tangan tergari, hampir
saja menunda persidangan. Tapi tiba-tiba Henky angkat tangan kalau
diizinkan ia dapat membuka borgol tanpa kunci. Thamrin Manan tercengang
tapi mengangguk juga. Dan, benar saja: dengan mudah Henky membebaskan
borgol dari tangannya. Pun ketika di penjara Pamekasan belakangan ini,
ia konon dengan mudah bisa minggat.
"Bagi anak saya,
melarikan diri dari penjara sesuatu yang mudah" ujar ayahnya, Jacob
Mathias Tupanwael di Bandung. Ia baru pulang dari membezuk Henky untuk
yang terakhir kalinya. Ayah ini selalu mengancam: "Bila melarikan diri,
(dari penjara terakhir) yang menembak bukan polisi, tapi saya sendiri,
ayahnya." Selain daripada itu, menurut sang bapak, selama 14 tahun di
penjara Henky sudah benar-benar tobat. Yang disesali oleh Tupanwael
sekeluarga bukanlah hukuman matinya itu sendiri, tapi kenyataan, bahwa
harapan yang muncul pada Henky selama berbuat baik di penjara ternyata
tidak menolongnya. Apa boleh buat. Sebagai ayah, kata J.M. Tupanwael,
pendeta Gereja Prorestan pensiunan tentara ini, ia sudah berusaha
berbuat sebaik-baiknya bagi anak-anaknya, termasuk Henky.
Di lingkungan
keluarganya Henky termasuk anak yang penurut. Wataknya periang dan suka
menolong saudara-saudaranya. "Tapi lingkungan pergaulannya di luar
ternyata menyebabkan Henky jadi orang jahat," katanya. Nasihat bukannya
tak sering dituturkannya -- terutama bila diketahui Henky habis berbuat
sesuatu kejahatan. Tapi, ya, "kelemahan saya, sebagai ayah, tidak tahu
dengan siapa ia bergaul." Sekarang semuanya sudah terjadi. Betapa pun
hatinya lapang. Apalagi tampak olehnya Henky menghadapi pelaksanaan
hukuman matinya dengan tabah. "Itu menyebabkan kami berbesar hati," kata
Tupanwael, "saya yakin pada diri Henky ada sesuatu yang menguntungkan
-- dia sudah pasrah dan tobat kepada Tuhan."
Meskipun, dalam kenyataan, Henky menolak untuk berdoa. Pesan Henky tak banyak. Ia minta agar jenazahnya dikuburkan di Bandung -- "biar dekat sama papa, mama dan saudara-saudaraku [ibu kandungnya wafat 1978]," katanya. Barangkali ini tak bisa dipenuhi lekas-lekas. Sebab, menurut Tupanwael, kejaksaan hanya mengizinkan pemindahan makam 5-6 bulan lagi, atau mungkin malah setahun kemudian.
Meskipun, dalam kenyataan, Henky menolak untuk berdoa. Pesan Henky tak banyak. Ia minta agar jenazahnya dikuburkan di Bandung -- "biar dekat sama papa, mama dan saudara-saudaraku [ibu kandungnya wafat 1978]," katanya. Barangkali ini tak bisa dipenuhi lekas-lekas. Sebab, menurut Tupanwael, kejaksaan hanya mengizinkan pemindahan makam 5-6 bulan lagi, atau mungkin malah setahun kemudian.
Pesan lain kepada
keluarganya tak ada. Hanya kepada adiknya, Benny (39 tahun), Henky yang
banyak bergurau berkata serius. Kata Henky menurut Benny: "Hukuman mati
terhadap diri saya, saya kira efeknya positif biar penjahat takut dan
bertobat. Sebab risiko dari kejahatannya adalah hukuman mati. Biarlah
saya jadi tumbal. Asal setelah saya jangan ada lagi kejahatan yang bisa
menyebabkan jatuhnya hukuman mati . . . "
Dan inilah catatannya yang dibuat tengah malam, beberapa jam sebelum mati:
“Megah-megah dalam
penjara hingga segalanya harus ditentang Nyisih dari segala kegelapan
akan pudar Megah-megah dalam penjara hingga datang kemenangan jiwa Aku
bangga aku bangga Karena kelelahan jerih payahku Kan kuperuntukan hanya
bagi kemulyaan Tuhan Di mana tanah tandus di situlah aku bercocok
tanam.”
Henky Tupanwael,
garong kambuhan yang bolak balik masuk penjara karena kasus perampokan
dan pembunuhan, menuliskan paragraf itu pada tengah malam menjelang
eksekusi hukuman matinya pada 1980. Tak begitu jelas apa artinya
–mungkin sajak, mungkin juga do’a.
Kusni Kasdut (“Robin Hood”-nya Indonesia)
eksekusi mati : 16 Februari 1980
Siapa yang tidak
mengenal tokoh ini pada era 70 an, salah satu pejahat Legendaris,
tertangkap dan di vonis hukuman mati atas segala perbuatannya…. Namun
pada saat – saat akhir hayat nya ia bertobat dan dengan “tegar”
menghadapi hukumannya.
Pada masanya Kusni
kasdut adalah penjahat spesialis “barang antik” salah satunya yang
paling spektakuler ia merampok Museum Nasional Jakarta. Dengan
menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi (yang tentunya palsu),
dia pada tanggal 31 Mei 1961 masuk ke Museum Nasional yang dikenal juga
Gedung Gajah. Setelah melukai penjaga dia membawa lari 11 permata
koleksi museum tersebut.
Pernah membunuh
dan merampok seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an.
Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali. Ali Badjened dirampok
sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab
Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari
jeep yang dibawa oleh Kusni Kasdut.
Awalnya Kusni kasdut adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
SUDARTO adalah
penasehat hukum Kusni Kasdut mengatakan dalam pembelaanya : ”Manusia
tidak berhak mencabut nyawa orang,” dan ”Nafsu tidak bisa dibendung
dengan ancaman”. Kusni Kasdut pada saat sedang menunggu keputusan atas
permohonan grasinya sempat melarikan diri kemudian dapat ditangkap
kembali dan akhirnya menjalankan pidana matinya. Dalam keterasingannya
di penjara dan jauh dari orang-orang yang dicintai, ternyata sisi agamis
Kusni Kasdut tumbuh semakin dalam. Apalagi ketika dia di penjara dan
sebelum dieksekusi mati, dia sempat berkenalan dengan seorang pemuka
agama Katolik.
Setelah berkenalan
dengan pemuka agama tersebut, akhirnya dia memutuskan menjadi pengikut
setia. Kusni Kasdut dibaptis sebagai pemeluk Katolik dengan nama
Ignatius Kusni Kasdut. Saat menunggu hari eksekusi, dia menuangkan rasa
cintanya terhadap agama yang telah dia anut dalam sebuah lukisan yang
terbuat dari gedebog pohon pisang. Dalam lukisan tersebut, tergambar
dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur
bangunannya yang unik. Dan sampai sekarang masih tersimpan rapi di
Museum Gerja Katederal Jakarta.
“Setelah lukisan
gedebog pisang itu jadi, sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut
memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral, Jakarta. Beberapa hari
setelah itu, Kusni Kasdut ditembak mati,” ujar pengurus Museum
Katedral, Jakarta, Eduardus Suwito.
Keinginannya
terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya. Itu terpenuhi.
Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim eksekutor, di ruang
kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni Kasdut dikelilingi keluarganya:
Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama),
Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya
yang terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya
orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan.
Kusni, kemudian,
memeluk Ninik. “Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976,” katanya,
seperti direkam seorang pendengarnya. “Situasilah yang membuat ayah jadi
begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada
Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain menangis.
“Diamlah,” lanjut ayahnya, “Ninik ‘kan sudah tahu, ayah sudah pasrah.
Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.”
Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai mengantuk.
Saat-saat terakhir
Kusni Kasdut ini dijadikan ide untuk lagunya God Bless “Selamat Pagi
Indonesia” di album “Cermin”. Lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS,
wartawan musik Kompas yg jagoan menulis lirik lagu. Kusni Kasdut sempat
dijuluki “Robin Hood” Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya
sering di bagi – bagikan kepada kaum miskin. Tangan kanan Kusni Kasdut
adalah Bir Ali, anak Cikini Kecil (sekarang ini letaknya di belakang
Hotel Sofyan). Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama
Kusni Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia
mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir, ia tewas dalam
tembak menembak dengan polisi.Ia menjalani hukuman matinya didepan regu
tembak pada 16 Februari 1980.
Slamet Gundul, Rampok Legendaris
JARANG-jarang
Mabes Polri mengeluarkan perintah paling keras dalam menangkap buronan:
hidup atau mati. Tahun 1989, Direktur Reserse Mabes Polri Koesparmono
Irsan mengeluarkan perintah kepada segenap jajaran Reserse Polri di
Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera Bagian Selatan agar menangkap
seorang buron dengan kata-kata ancaman tadi. "Tangkap Slamet Gundul
hidup atau mati." Siapa Slamet Gundul? Lelaki berpipi tembam, hidung
lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata itu dulu pernah menjadi musuh
polisi nomor satu.
Namanya
berubah-ubah. Kadang Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Tapi
julukannya yang top adalah Slamet Gundul. Dialah tersangka bos kawanan
garong nasabah bank bersenjata api yang belasan kali menggegerkan
berbagai kota di seantero Pulau Jawa. Polisi boleh dibilang sudah
mati-matian mengejar buron itu. Tapi bukan Slamet Gundul namanya, bila
tidak licin.
Ia beberapa kali
lolos dari kepungan polisi. Pernah tertangkap dan diadili, tapi ia kabur
dari halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, begitu vonisnya dibacakan
hakim. Slamet bersama 7 kawanannya pernah dicegat oleh enam jagonya
reserse Polda Ja-Teng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah pompa bensin di
Pandansimping, Klaten, Jawa Tengah, ketika hendak beroperasi. Lewat baku
tembak selama 15 menit, seorang rekan Slamet, Jarot, tewas dengan lima
peluru. Sedangkan dua orang lagi, Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam
keadaan terluka.
Slamet sendiri,
yang sudah kena tembak di kedua bahunya, masih bisa kabur dengan sepeda
motor. Polda Jawa Tengah tentu saja gemas akibat lolosnya buron itu.
Sebab, dalam setahun beroperasi di Semarang, komplotan Slamet bisa
menjarah duit Rp 159,5 juta. Tahun 1989 komplotan itu merampas Rp 23
juta milik pedagang tembakau asal Kendal, Rp 40 juta uang juragan ikan,
dan Rp 34 juta milik Universitas Islam Sultan Agung. Nasabah BCA cabang
Peterongan kena sikat Rp 28,5 juta dan karyawan PT Nyonya Meneer kena
rampok Rp 34 juta.
Setelah kelompok
"Kwini", Slamet agaknya mencatat rekor perampokan dalam frekuensi
kejahatan dan hasil jarahan tertinggi saat ini. Korban utamanya memang
nasabah bank. "Biasanya salah seorang dari kami datang dulu ke bank
dengan sepeda motor, pura-pura jadi nasabah," kata Subagio dan Sugeng,
anggota kelompok Slamet yang tertangkap di Klaten, hampir serempak.
Dengan penyamaran itu, kata kedua orang tadi, mereka bisa mengetahui
nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar. Kalau sudah dapat
sasaran, komplotan Slamet itu akan menguntit mangsanya dengan sepeda
motor. Dengan kode itu, Slamet, yang biasanya menunggu bersama gangnya
di atas mobil di luar halaman bank, segera tahu mangsa yang dituju.
Setelah itu, barulah kelompok Slamet, yang bermobil, menyusul dan
menghadang korban.
Modus ini diduga
juga dilakukan komplotan Slamet ketika merampok di kawasan Kampung Bali,
Jakarta Pusat. Ketika itu mobil Chevrolet dengan penumpang dua karyawan
CV Bambu Gading akan menyetor uang Rp 10 juta ke bank. Kendaraan mereka
tiba-tiba dipepet kendaraan perampok, sebuah minibus dan dua buah
sepeda motor. Mobil korban benar-benar tak bisa bergerak setelah minibus
itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pada waktu itulah perampok yang
bersepeda motor mengacungkan pistol lewat jendela. Ketika komplotan itu
beraksi, dua polisi, di antaranya Letnan Dua Soewito, mencoba menyergap
mereka. Tembak-menembak terjadi. Dua perampok tewas, empat lainnya
kabur. Tapi, di pihak polisi, Soewito roboh dengan peluru bersarang satu
sentimeter di bawah mata kanannya.
Sebelum "main" di
Semarang, pada 1987, reserse Jakarta memang beberapa kali menguber
komplotan itu. Waktu itu rekor Slamet sudah merampok 11 kali nasabah
bank. Pada Januari 1987, dua regu reserse Polda Meto Jaya mengepung
rumah sewaan Slamet di bilangan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Tapi, begitu
pintu rumah diketuk polisi, yang keluar cuma istrinya. Slamet sendiri,
dengan menggenggam dua pistol Colt kaliber 32 dan 38 melompati tembok
dua meter yang membatasi kamar mandinya dengan dapur tetangga. Di rumah
itu sudah ada dua anggota polisi yang menunggunya. Tapi polisi kalah
cepat. Bagai koboi mabuk, ia menembak membabi buta. Ajaib, ia menerobos
pagar puluhan petugas yang mengepungnya. Ia kabur setelah menyambar
sebuah Metromini yang sedang dicuci keneknya. Toh pada awal tahun itu
juga polisi berhasil menjerat belut itu. Bersama dua anggota
komplotannya, Jarot dan Sahut, ia dihadapkan ke meja hijau.
Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Timur mengganjar ketiganya masing-masing hukuman 3 tahun.
Tapi, ketika petugas menggiring ketiga terpidana itu ke mobil tahanan,
mereka mendorong pengawal tersebut dan segera lari. Hanya Sahut yang
bisa diamankan lagi. Tapi Slamet dan Jarot kabur dengan pengendara
sepeda motor, yang anehnya telah menunggu di luar halaman pengadilan.
Menurut Sugeng dan
Subagio, bos mereka selama di LP Cipinang justru berhasil merekrut
anggota baru dari sesama rekan tahanan di sana. "Slamet itu orangnya
pandai mengambil hati, sehingga banyak yang bersedia ikut kelompoknya,"
kata mereka. Sugeng dan Subagio, yang masuk Cipinang juga karena
merampok bank, mengaku ikut Slamet setelah berkenalan di Cipinang
tersebut. Subagio, setelah menjalani hukuman selama 2 tahun, baru
dilepas awal 1989. "Setelah saya keluar LP, saya lalu menghubunginya,"
ujarnya. Menurut mereka, meskipun Slamet yang menyusun skenario
kejahatan dengan kekerasan itu, toh sebenarnya ia tak kejam. "Ia belum
pernah membunuh korban-korbannya," kata Sugeng. Yang kejam itu, kata
mereka, justru Jarot, yang mati tertembak di pompa bensin itu. Slamet
gundul saat ini sudah bebas. Diyakini ia sekarang bekerja untuk Tommy
Winata menurut wawancara Tommy Winata dengan Majalah Gatra.
Johny Indo - Perampok "Baik Hati"
tertangkap : 20 April 1979
vonis hukuman : 14 tahun penjara di Cipinang, dipindahkan ke Nusakambangan.
Dengan tubuhnya
jangkung dengan kulitnya yang bersih. Tutur katanya halus. Mungkin orang
akan mengira dia hanyalah seorang lelaki biasa saja. Seorang ayah yang
baik, yang mengajari PR bagi anak-anaknya, atau suami yang menyayangi
istrinya. Apalagi di masa mudanya di juga tampan. Dan dia indo, lahir di
Garut Garut, 06 November 1948. Tapi siapa sangka dia adalah pimpinan
kawanan perampok yang sangat disegani. Yohanes Hubertus Eijkenboom atau
Johnny Indo.
Johny Indo dan 12
anak buahnya yang ia beri nama “pachinko” alias pasukan china kota
sangat disegani sebagai perampok yang malang melintang di Jakarta dan
sekitarnya. Johnny Indo adalah spesialis perampok toko emas dan selalu
melakukan aksi pada siang hari. Mereka yang merampok toko emas di
Cikini, Jakarta Pusat, pada 1979. Perampokan ini menjadi berita yang
menggemparkan karena gerombolan membawa lima pistol, satu buah granat,
dan puluhan butir peluru. Johnny mengaku mendapatkan senjata api dari
sisa-sisa pemberontakan RMS, PRRI atau DI TII.
Sesungguhnya
Johnny Indo berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil dia suka membaca
buku termasuk petualangan Sunan Kalijaga yang sebelum menjadi wali
merupakan perampok, namun perampok untuk kebaikan semua dengan
membagikan hasil rampokan kepada orang miskin. Atau tentang Si Pitung
seorang perampok budiman dari Jakarta. Robbin Hood yang berkiprah di
desa kecil bernama Nottingham, Inggris.
Berkali-kali pula
Johny Indo mengulangi perbuatannya dan hasil jarahannya dia bagi-bagikan
kepada masyarakat miskin. Namun sepandai-pandai tupai melompat sekali
gagal juga. Pepatah itu nampaknya berlaku juga buat Johny Indo dan
kelompoknya. Karena kekuranghati-hatian salah seorang anggota
kelompoknya yang menjual emas, hasil barang jarahan sembarangan, satu
demi satu anak buah Johny Indo dibekuk petugas. Johny Indo akhirnya
tertangkap di Gua Kiansiantang, Sukabumi, Jawa Barat. Dia diganjar 14
tahun penjara dan dijebloskan ke Nusakambangan.
Ternyata mendekam
di Nusakambangan tidak membuat petualangan Johny Indo berakhir. Bersama
14 tahanan lainnya, Johny Indo membuat geger karena kabur dari sel.
Hampir semua aparat keamanan waktu itu dikerahkan untuk menangkap Johny
Indo dan kelompoknya. Namun setelah bertahan hingga dua belas hari,
Johny Indo pun menyerah. Dia menyerah karena sudah berhari-hari tidak
makan. Selain itu 11 tahanan yang melarikan diri bersamanya tewas
diberondong peluru petugas. Kisah pelarian Johny Indo yang legendaries
itu bahkan sempat diangkat ke layar film dengan Johny Indo sebagai
bintangnya sendiri.
Johnny Indo yang
dalam karirnya merampok pantang melukai korbannya selama di penjara itu
banyak waktu luang, dari sana mulai berfikir tentang jati diri, akhirnya
selama dipenjara banyak belajar agama Islam karena sebelumnya beragama
nasrani.Kini Johny Indo kabarnya tinggal di daerah Sukabumi, Jawa Barat
bersama istrinya, Vinny Soraya dan kedua putra-putrinya. Ia telah
berubah. Ia menjalani kehidupan barunya sebagai seorang juru dakwah. Di
saat senggang ia menghabiskan waktu dengan membenahi rumahnya yang
sederhana sambil menunggu panggilan dakwah.
Johny Indo awalnya
dikenal sebagai perampok toko emas di Jakarta dan sekitarnya pada era
tahun 1970an yang dilakukan pada siang hari bersama kelompoknya Pachinko
(Pasukan China Kota).Aksi paling terkenal Johnny Indo adalah merampok
toko emas di Cikini, Jakarta Pusat, pada 1979.
Setelah Bebas dari Penjara, ia beralih profesi menjadi Aktor. Film yang pernah dibintanginya antara lain :
Johny Indo (1987)
Badai Jalanan (1989)
Langkah-Langkah Pasti (1989)
Titisan Si Pitung (1989)
Laura Si Tarzan (1989)
Misteri Cinta (1989)
Susuk (1989)
Perangkap di Malam Gelap (1990)
Tembok Derita (1990)
Tongkat Sakti Puspanaga (1990)
Diskotik D.J. (1990)
Ajian Ratu Laut Kidul (1991)
Misteri Ronggeng (1991)
Daerah Jagoan (1991)
catatan :
dulu pernah juga
beliau tampil di KickAndy MetroTV. Menariknya, beliau sempat menangis
saat dipertemukan dengan pak Tasbani, Interogator polisi yang
menanganinya dahulu.Pak Tasbani
Pada 20 Mei 1982,
di sebuah sel yang dekil, di LP Nusakambangan. Seorang napi, berinisial
SS, memberi doktrin singkat. Algojo asal Solo itu sudah menyiapkan
kilatan pedang. Sebuah gerakan akan dilakukan. MM ditugasi merampas
senjata petugas portir. Sementara lainnya, ditugasi menjebol pintu
gerbang, menyiapkan api, dan membabat petugas. Yang lain, mengomando
kawan-kawannya agar secepatnya kabur.
Pukul 11.00 WIB,
rencana akan dilakukan. MM juga ditugasi membunuh Johny Indo jika dia
tidak ikut lari. Siang sudah nyaris menunjuk angka 11.00. Itu artinya,
gerakan akan dimulai. Kebetulan, sang kepala LP Permisan, Nusakambangan,
sedang piknik ke Pangandaran. Di luar sel, gemuruh suara "serbu...
serbu... serbu... serang..." disusul rentetan tembakan berjibaku tak
henti-henti. Gerbang jebol. Johny tersadar. Didatangi MM dengan pedang
di tangan. "Mau ikut lari tidak? Kalau tidak, saya akan membunuhmu,"
gertak MM. Sekejap, Johny ikut kabur bersama 34 napi lain dari LP
Permisan, Nusakambangan. Para napi pun kabur masuk hutan yang masih
perawan. Esoknya, masyarakat dibuat gempar. Raja perampok emas berhasil
kabur dari penjara yang mirip "Alcatraz-nya" Indonesia itu. Johny Indo
pun dibaptis sebagai dalang pelarian.
Tiga hari, para
napi terlunta-lunta di hutan. Hutan amat ganas, penuh jurang, binatang
buas, dan alam yang tak ramah. Hari kelima, kondisi makin runyam.
Petugas gabungan polisi, satpam LP, dan tentara, terus melacak. Matahari
belum naik, tiba-tiba suara letusan pistol menyerbu rombongan napi.
Satu, dua orang terjengkang. Tiga, empat lainnya roboh. 17 ditangkap
hidup. Tetapi, Johny Indo lolos. Hari kesepuluh dilewati. Hanya tinggal
dua orang. Empat orang tewas karena sakit. Dua lainnya tewas tenggelam.
Sepuluh lainnya tewas diterjang peluru petugas. Johny berjalan sendiri.
Keluar Nusakambangan teramat susah. Persis hari ke-12 pelariannya, tiga
motor boat mengerang. Seolah-olah menghampirinya. "Saya menyerah, Pak,"
kata Johny gemetar.
Itulah sedikit
kisah pelarian Johny Indo, penjahat kelas kakap, dari LP Permisan
Nusakambangan. Siapa sejatinya Johny Indo? Dia adalah perampok toko emas
yang paling licin. Sedikitnya 7 kali aksinya lolos dari kejaran
petugas. Perampok bukan pembunuh. Haram hukumnya menyakiti wanita dan
membunuh mangsa. Itu larangan tegas di organisasi mafianya. Anak seorang
tentara Belanda Mathias Eijkenboom yang membelot dan kimpoi dengan
Sephia, gadis Banten. Di usianya yang baru 16 tahun, dia sudah kimpoi
dengan Stella (15).
Dia pernah jadi
sopir truk, trailer, hingga tukang bengkel. Lantas, dia berubah drastis
menjadi seorang foto model laris dan artis beken. Lima anak lahir dari
rahim Stella. Namun, hidup glamor gaya Johny Indo membuatnya mabuk. Dia
juga simpanan seorang istri pejabat. Wajahnya memang ganteng, putih,
hidung mancung, dan matanya biru. Itu sebabnya dia dipanggil Johny Indo.
Dari hidupnya yang
mewah itulah, lantas dia selalu kekurangan uang. Honor foto model tak
mencukupi. Lantas, dia diajak kawan-kawannya merampok. Dengan bekal
pistol dan senjata Thomson, dia bersama AA, K, N berhasil membuat gempar
masyarakat Jakarta dan menyiutkan nyali para pedagang emas.
Hingga akhirnya,
20 April 1979, di Sukabumi, di sebuah Gua Kutameneuh, bekas tempat
persemedian Prabu Siliwangi, di Gunung Guruh, Sukabumi, Johny tertangkap
dalam kondisi loyo. Saat itu, dia sedang tirakat. Dia dijebloskan ke
Cipinang 14 tahun lamanya dan dipindahkan ke Nusakambangan. Namun, 9
tahun 10 bulan saja ia alami hukuman itu. Dia pun pernah main film saat
menjadi tahanan di Nusakambangan, setelah pelariannya yang gagal.
Hidup glamor,
dikelilingi cewek cantik, pernah berbuat jahat, disel di Cipinang, lalu
dipindah ke Nusakambangan. Kata Johny, hari-hari berat di Nusakambangan
adalah menyalurkan hubungan seksual. "Ini yang paling berat. Dulu, dia
mengatasinya dengan (maaf) onani. Tetapi, lama-kelamaan itu tak
dilakukannya lagi. "Saya berbuat jahat maka saya harus menjalani hukuman
ini sebagai risiko. Tahun pertama dipenjara, perasaan marah, benci,
dendam selalu menjadi hantu yang menakutkan. Jika tak diatasi, perasaan
ini bisa meledak dan menjadi masalah baru.
“Hasil jarahan itu
tidak dinikmati sendiri dan kelompok, melainkan sebagian dibagikan
kepada warga miskin. Walau saya menggarong tapi saya masih ingat warga
miskin dan kelaparan. Kata Johny Indo yang menganggap apa yang
dilakukannya mengikuti jekak idolanya, Si Pitung yang sering menolong
masyarakat kelas bawah.
Berkali-kali aksi
Johny Indo dan kelompoknya yang ia beri nama “pachinko” alias pasukan
china kota, lolos dari sergapan aparat kepolisian. Namun sepandai-pandai
tupai melompat sekali gagal juga. Pepatah itu nampaknya berlaku juga
buat Johny Indo dan kelompoknya. Karena kekuranghati-hatian salah
seorang anggota kelompoknya yang menjual emas, hasil barang jarahan
sembarangan, satu demi satu anak buah Johny Indo ditangkap petugas.
Johny Indo yang waktu itu mengoleksi berbagai jenis senjata api dan
berkarung-karung peluru sudah mempunyai firasat akan tertangkap. Ia pun
berpindah-pindah tempat mulai dari Pandeglang hingga Cirebon.
“Saya pusing dan
bingung waktu itu, hampir semua koran memberitakan kalau polisi terus
memburu saya dari segala penjuru. Akhirnya saya lari ke daerah Sukabumi,
Jawa Barat. Saya masuk ke sebuah Goa yang gelap dan angker, dengan
harapan bisa menghilang. Eh, saya malah ditangkap Koramil setempat” ujar
Johny tertawa getir mengenang peristiwa itu. Johny Indo akhirnya
diganjar 14 tahun penjara dan dijebloskan ke penjara yang keamannya
ekstra ketat Nusakambangan.
Ternyata mendekam
di Nusakambangan tidak membuat semuanya berakhir. Bersama 14 tahanan
lainya, Johny Indo membuat geger karena kabur dari sel.Hampir semua
aparat keamanan waktu itu dikerahkan untuk menangkap Johny Indo dan
kelompoknya. Namun setelah bertahan hingga sembilan hari, Johny Indo pun
menyerah.
Masih banyak lagi kisah Johny Indo yang menarik untuk disimak, antara lain pengalaman pertama kali saat ia mulai terjun ke dunia rohani untuk berdakwah bersama KH Zainuddin MZ. Ada pengalaman lucu di sini, yaitu tertukarnya amplop honor seusai berdakwah. Amplop yang seharusnya untuk KH Zainuddin MZ oleh panitia diberikan kepada Johny Indo, begitu juga sebaliknya. (http://tetewalanda75.blogspot.com)
Masih banyak lagi kisah Johny Indo yang menarik untuk disimak, antara lain pengalaman pertama kali saat ia mulai terjun ke dunia rohani untuk berdakwah bersama KH Zainuddin MZ. Ada pengalaman lucu di sini, yaitu tertukarnya amplop honor seusai berdakwah. Amplop yang seharusnya untuk KH Zainuddin MZ oleh panitia diberikan kepada Johny Indo, begitu juga sebaliknya. (http://tetewalanda75.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar