Kamis, 12 Februari 2015

Hanoman, Sang Pembela Kebenaran

Hanoman, sosok yang mungkin tidak asing lagi bagi para pembaca sekalian. Dia adalah seorang kesatria yang gagah berani dan pembela kebenaran. Meski dalam bentuk fisik sebagai seekor kera putih, tetap saja kisah kehidupannya sangat masyur di dunia. Sebuah kisah yang menceritakan seorang kesatria yang gagah perkasa, tulus, berani, tanggung jawab dan juga welas asih. Ia adalah seorang pahlawan yang senantiasa berada di garis depan bila terdapat ketidakadilan dan keangkaramurkaan.
Dengan kekuatan besarnya, Hanoman akan senantiasa siap dalam memperjuangkan kebenaran. Meski harus mempertaruhkan nyawa dan sulitnya menghadapi hambatan, ia akan terus maju dan berusaha untuk meraih kemenangan sejati. Dimanapun ia berada, bila ada kebajikan yang memanggilnya, maka dengan segera ia akan menunaikannya tanpa pamrih. Semua dilakukan hanya demi menegakkan rasa cinta dan kebenaran sejati.
Ya. Itulah Hanoman, seekor kera putih pemberantas kebatilan dan penegak kebenaran. Dan karena sikap kesatrianya inilah, maka ia pun menjadi ikon kebenaran dalam kehidupan dunia. Meski sosoknya hanyalah seekor manusia berwujud kera putih, namun pribadi yang dimilikinya layaknya manusia sempurna. Ia pun menjadi tokoh yang patut dihormati dan menjadi panutan kehidupan manusia di sepanjang sejarah dunia. Bahkan kisahnya pun kerap di pertunjukkan dalam sendra tari kolosal di kawasan candi Prambanan, dalam lakon cerita Ramayana. Dan termuat pula di dalam film-film layar lebar di Indonesia dan India.


Kisah kehidupan Hanoman merupakan salah satu legenda kesatria yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Ia seolah-olah tidak pernah habis untuk dibahas manfaatnya, apalagi mengenai kebesaran dan keagungan pribadinya. Cobalah tengok ketika dengan sendirian dan beraninya ia meluluhlantakkan – membakarnya – negeri Alengka (Di negeri Alengka ini, segala bentuk kejahatan dan kemungkaran tumbuh dengan subur. Sehingga jarang sekali ada kebenaran disana, karena mereka telah hidup dengan kemunafikan dan jauh dari nilai-nilai kebenaran Tuhan). Dengan tanpa berpikir panjang – bila ia merasa benar – maka Hanoman pun langsung menuju Alengka demi menemukan keberadaan Dewi Sinta, istri Sri Rama yang di culik oleh Rahwana. Begitu pula saat ia membantu Sri Rama ketika harus berperang melawan pasukan Rahwana saat menaklukkan Alengka. Semua itu ia lakukan demi menegakkan kebenaran, sehingga menjadi mulialah hidupnya.

Namun, pada akhir-akhir ini kita saksikan bersama bahwa kebenaran sangat sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaanya mungkin sudah pergi jauh entah kemana, sehingga saat ini terus membuat dunia berada di pinggir jurang kehancuran. Bahkan, kebenaran itu telah menjadi sesuatu yang langka dan mahal harganya. Ia pun sudah tidak lagi terjangkau oleh kehidupan peradaban manusia modern. Karena jika diperhatikan dengan seksama, maka kebenaran adalah keseimbangan/kesesuaian antara pengetahuan yang benar dengan objek yang mengalir dalam kenyataan hidup sehari-hari. Ia lawan dari kekeliruan dan musuh dari perilaku binatang. Dengan kata lain, maka kebenaran adalah kenyataan dalam kesesuaian antara ucapan dan tindakan, kenyataan dengan kondisi yang semestinya, dan semua bentuk aturan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sungguh, kebenaran yang dicari di dalam setiap waktu adalah kebenaran yang mutlak. Karena kebenaran ini adalah sesuatu yang hakiki dan tidak bisa lagi di tawar. Ia merupakan sesuatu yang sudah tidak bisa disalahkan lagi. Atau dengan kata lain yaitu sesuatu yang benar dengan faktanya tidak dapat lagi disangkalkan.
Berusaha menegakkan kebenaran mutlak inilah yang menjadi tujuan hidup seorang Hanoman. Meskipun dengan sulitnya ujian dan pahitnya perjuangan, tetapi prinsip kebenaran ini tetap saja ia pengang erat. Di hatinya ia tidak ragu sedikitpun akan nilai kebenaran yang mesti ia amalkan. Semua dilakukan demi tatanan kehidupan yang mampu berjalan dengan harmonis dan penuh kedamaian.
Hanoman terus berpegang pada kebenaran, karena baginya dengan berjalan di atas kebenaran sajalah maka keselamatan dan kedamaian hidup akan didapatkan. Tanpa kebenaran, mustahil dunia akan mampu bertahan. Dimana ada kejahatan dan ketidakadilan merajalela, maka kebenaran harus atau akan tampil memeranginya. Meski pun sedikit, maka pejuang kebenaran ini akan tetap ada sepanjang waktu untuk mengiringi perjalan dunia.
Tapi, pada saat ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa banyak manusia yang sudah tidak mau lagi memperjuangkan kebenaran. Sudah jarang ada orang yang mempertimbangkan moralitas dan akhlak terhadap tindakan yang telah, sedang dan akan mereka lakukan. Kalau pun ada, mereka hanya merasa bahwa yang mereka lakukan itu sudah benar menurut anggapan mereka sendiri – tanpa dilandasi nilai-nilai agama -. Tidak memikirkan bahwa apa yang diperbuatnya itu apakah benar menurut tatanan sosial dan kepada Tuhan. Sehingga yang tersisa hanyalah bermewah-mewah, kezaliman, kemunafikan dan perbuatan dosa yang sulit diampuni.
Ya. Berusaha untuk hidup secara benar adalah tantangan terbesar dalam kehidupan. Karena hidup benar sama halnya kita berperang dengan diri sendiri yang cenderung menyukai pelanggaran dan kesenangan sia-sia duniawi. Dengan berjalan pada jalur yang benar, maka secara otomatis seseorang tentu menyakini akan Dzat Tuhan sehingga selalu patuh kepada-Nya. Cinta sejati akan mendiami relung hatinya, sehingga hidayah Ilahi tentu senantiasa menemani kehidupan.
Kebenaran itu adalah bukan suatu letupan perasaan hati – terlebih hanya keinginan akal – semata, tetapi sesuatu yang tersimpan di dalam diri dan terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pada saat kini, tampak tidak sedikit dari pribadi yang berlaku munafik dalam perbuatannya. Karena apa yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan tindakannya (dusta), atau bila di percaya maka ia berkhianat. Mengakunya sih sangat percaya kepada keagungan Tuhan, tetapi sejatinya – di dalam hati – tidak jauh berbeda dengan orang ateis.
Sehingga dapat dijelaskan secara etimologi bahwa kata “munafiq” diambil dari kata nafiqa` al-yarbu` (sarang tikus). Ada yang mengatakan bahwa sarang tikus mempunyai dua lubang, yang satu disebut nafi`a` dan yang lain disebut qashi`a`. Tikus itu akan menampakkan diri pada lubang yang satu dan keluar dari lubang yang lain. Oleh karena itu, orang munafik disebut “munafiq” karena ia menampakkan diri sebagai Muslim, tetapi keluar dari Islam menuju kekufuran dengan atau tanpa disadari orang lain.
O.. Sang Penguasa Hidup ini telah berfirman di dalam kitab-Nya surat An-nisa [4] ayat 145, bahwa: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu tempatnya ada di tingkat yang paling bawah di Neraka. Engkau tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka”. Lantas mengapa ini tidak membuat mereka (pelaku munafik) tidak ketakutan? Karena tampak jelas bahwa mereka mengetahui kewajiban dalam menjalankan kebenaran, tapi tidak mau melakukannya.
Sungguh, apabila Allah SWT menghendaki kebaikan hamba-Nya, maka Dia akan menampakkan kepadanya aib-aib dirinya. Dan barangsiapa yang pandangan (bashirah)-nya terbuka, aibnya itu tidak akan membuatnya takut. Justru ketika aib-aibnya di bongkar, maka ia akan segera mengobatinya dengan penuh kesadaran dan usaha yang maksimal. Ia pun akan terus memohon ampunan dari Yang Maha Kuasa, karena rasa takut dan malunya. Sehingga ia tidak perlu mencari kotoran yang ada pada diri orang lain, karena baginya kotoran yang ada pada dirinya sendiri sudah membuatnya cemas dan sibuk membersihkannya.
Ya. Orang yang memilih kebenaran sebagai jalan hidupnya akan merasa seperti sahabat Rasulullah SAW, yaitu Umar bin Khaththab RA yang pernah berkata; “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan kepadaku aib-aibku”. Sehingga setiap harinya ia selalu sibuk dengan mengoreksi diri. Dan bila terdapat kesalahan terjadi, maka ia akan cepat mencari kebenaran dan berusaha memperbaiki kesalahan tersebut. Hal ini karena kemampuan ilmunya dan ketinggian kedudukannya di hadapan Tuhan. Sebab, seorang yang tinggi kedudukannya dan mumpuni ilmunya akan sedikit membanggakan diri. Perhatian terhadap dirinya memang besar, tapi bukan untuk menonjolkan diri di depan manusia. Melainkan demi rasa cinta dan patuhnya kepada aturan Sang Ilahi.
Untuk itu kekasih, bercerminlah kepada sosok Hanoman ini karena ia adalah sang pembela kebenaran. Meski ia ditakdirkan dengan kondisi fisik seekor kera putih, namun tindakannya melebihi manusia pada umumnya. Kemuliaannya layak di katakan agung, karena apa yang telah ia lakukan bertolak belakang dengan seorang yang mengaku manusia tapi tindakannya tidak jauh berbeda dari seekor kera di dalam hutan. Tidak usahlah kau melihat bentuk tubuhnya Hanoman ini, tetapi perhatikan dan contohlah perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga baiklah kehidupanmu nanti.
Semoga kita senantiasa bisa melangkah di atas jalan kebenaran sejati. Karena hanya dengan itulah kehidupan ini menjadi berarti, penuh kedamaian dan kehormatan sejati.
Yogyakarta, 24 Nopember 2011
Mashudi Antoro (Oedi`)
(https://oediku.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar