Senin, 18 Mei 2015

Taman Remaja Surabaya, Legenda Hiburan yang Sedang Layu

SEPI SAJA: Swinger adalah salah satu wahana permainan di Taman Remaja Surabaya. Terang lampunya tak mampu memikat orang untuk berduyun mencobanya.(Dipta Wahyu/Jawa Pos)
Dianggap tidak bisa memberikan keuntungan optimal, Pemkot Surabaya berniat menutup Taman Remaja Surabaya (TRS). Theme park di kawasan Surabaya Timur itu kini memang tidak segemerlap lampu-lampunya. Meski begitu, rencana penutupan tersebut tetap membuat sedih orang-orang di dalamnya.

WAKTU menunjukkan pukul 13.30 pada Jumat siang itu (24/4). Aktivitas pegawai Taman Remaja Surabaya (TRS) mulai sibuk. Satu per satu persiapan mengawali jam operasional theme park pertama di Surabaya itu. Tak terkecuali Maria Kusuma yang sudah bersiap menempati kursinya sebagai penjaga gate utama.
Maria menyapa beberapa pengunjung yang sudah menunggu gate dibuka. ’’Sebentar ya, Bu, siap-siap dulu,’’ jawabnya kepada seorang pengunjung yang menanyakan kapan gate tersebut dibuka.
Satu per satu pegawai menempati posisi masing-masing. Loket karcis dibuka tepat pukul 14.00. Anak-anak yang terlihat gelisah akhirnya berlari senang sambil menarik ibunya untuk segera membeli karcis masuk.
’’Ya gini tiap hari. Biasanya kami buka pukul tiga sore. Tapi, berhubung ada acara Kartinian untuk anak-anak SD, kami majukan jam bukanya,’’ jelas perempuan yang sudah bekerja di TRS selama 18 tahun itu.
Kurang lebih 30 pengunjung mulai memasuki arena tersebut. Ada satu keluarga dari Semarang yang menunggu TRS buka sejak pukul 11.00. ’’Saya lupa bukan weekend ini. Biasanya kalau weekend, jam segitu sudah buka,’’ ujar Weni Widya yang datang bersama suami dan dua anaknya.
Weni mengatakan rutin berkunjung ke TRS jika berada di Surabaya. Harga tiket yang murah serta lokasi yang gampang dijangkau menjadikan theme park yang berdiri pada 20 Februari 1970 itu sebagai destinasi wisata favorit keuarganya. ’’Sejak anak-anak masih kecil sampai SD seperti sekarang, kalau ke Surabaya ya kami mampir ke Taman Remaja,’’ ujarnya.
Sementara itu, beberapa orang tua yang mengantarkan anak mereka mengikuti acara Kartinian langsung menuju panggung utama. Di sana mereka mempersiapkan make-up dan kostum terbaik untuk para buah hati agar bisa menjadi juara pada ajang tahunan untuk sekolah dasar itu. ’’Saya ngurus keperluan murid-murid untuk pentas nanti,’’ kata Yuliatin, guru SDN Ploso III.
Pukul 15.00 deru mesin dari beberapa wahana berbunyi. Anak-anak yang sudah terlihat rapi dengan beberapa pakaian adat khas daerah di Indonesia mulai merengek. Anak-anak meminta kepada orang tua untuk memperbolehkannya naik beberapa wahana.
’’Nanti nanti, habis adik pentas, boleh naik monorel kok,’’ kata Dian Puspita Sari kepada anak sulungnya.
Meski usianya sudah tua, wahana di TRS tetap mampu membuat pengunjungnya tersenyum. Gemerlap lampu warna-warni –beberapa tampak tidak berfungsi– serta bunyi-bunyi yang bisa dibilang sudah kuno pada tiap wahana masih menjadi magnet untuk menarik minat pengunjung.
Seiring dengan tenggelamnya matahari, taman hiburan dengan luas 1,7 hektare itu memperlihatkan sisa-sisa kejayaannya. Pengunjung terlihat antre menaiki beberapa wahana. Salah satu yang paling banyak peminatnya adalah monorel.
Alat transportasi yang tengah dikaji menjadi transportasi masal di Surabaya tersebut dimiliki TRS sejak tiga puluh tahun lalu. Dengan naik kereta berbentuk ulat, anak-anak terlihat senang menyusuri rute monorel.
Kustiyah, 47, petugas yang mengoperasikan wahana itu, bahagia saat wahananya diserbu pengunjung. Raut wajah ibu satu anak tersebut tidak tampak lelah meski beberapa pengunjung saling menyerobot untuk bisa naik di bangku terdepan. ’’Sabar Ibu, Adik. Gantian, sama saja kok depan dan belakang,’’ katanya berkali-kali dengan ramah.
Tiket masuk dipatok Rp 12 ribu per orang. Dewasa atau anak-anak sama. Untuk menikmati semua permainan, pengunjung bisa membeli tiket terusan seharga Rp 50 ribu. Jika tidak mau membeli tiket terusan, rata-rata harga tiket satu wahana Rp 12 ribu.
Kustiyah mengatakan, pekerjaan yang dijalaninya itu adalah pekerjaan terbaik sedunia. Menurut dia, membuat orang bahagia karena anak-anaknya senang naik monorel itu sudah cukup membuat dirinya ikut bahagia. ’’Saya selalu menikmati tiap detik bekerja di sini,’’ tuturnya.
Disinggung soal isu penutupan TRS, raut wajahnya berubah sedih. Kustiyah, yang sudah pernah mengalami masa jaya TRS dan tetap setia meski begitu banyak theme park serupa bermunculan, hanya bisa berharap isu itu tidak menjadi kenyataan.
’’Ini rumah kedua saya, semua pegawai di sini saya anggap saudara,’’ ujarnya. ’’Orang yang pernah ke sini pasti menolak hal itu (penutupan, Red). TRS itu sudah menjadi bagian dari masyarakat Surabaya,’’ imbuhnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Pegawai lain, Sri Utami, mengungkapkan hal serupa. Perempuan yang bekerja sejak 1983 tersebut berharap penutupan itu tidak terjadi. Bukan hanya tempat mencari nafkah, TRS juga menjadi salah satu tempat dirinya menemukan banyak saudara baru, baik pegawai maupun pengunjung. ’’Berdoa terus, semoga TRS bisa jaya lagi dan nggak jadi ditutup,’’ harapnya.
Sri Utami mengatakan, dari waktu ke waktu jumlah pengunjung turun. Pada hari biasa, jika tidak ada event, rata-rata jumlah pengunjung 200 orang, sedangkan saat ada event 500 orang. Pada Sabtu dan Minggu, ada 700 pengunjung. Jumlah tersebut bisa naik berlipat saat musim libur sekolah atau Lebaran. ”Jumlah pengunjung itu jauh menurun jika dibandingkan dengan masa jaya RTS,” katanya.
Saat masa keemasan, pada hari biasa RTS dikunjungi sekitar 1.000 orang. Jumlahnya berlipat-lipat saat weekend. Meski sepi pengunjung, para pekerja TRS tidak boleh ikut lemas. Oleh pihak manajemen, mereka sudah di-training untuk tetap menjaga wahana yang menjadi wilayah masing-masing. ”Harus tetap semangat, sepi atau ramai,” jelas Sri.
Direktur Taman Remaja Surabaya Didik Harianto mengatakan selalu berupaya agar wacana penutupan tidak terjadi. Sejak hak guna bangunan (HGB) pada 2006 tidak diperpanjang Pemerintah Kota Surabaya, dia hanya bisa pasrah. Yang bisa dilakukan adalah berusaha terus menghidupkan tempat itu dengan kondisi seadanya. ”Kami ingin membangun wahana baru, memperluas lahan, tapi nggak berani karena kontraknya belum disetujui,’’ jelas pria yang menjadi direktur TRS sejak 2009 tersebut.
Didik menambahkan, TRS adalah taman hiburan yang bisa dijangkau masyarakat kalangan menengah ke bawah di Surabaya. Sebuah theme park yang mempunyai sejarah panjang. ’’Kalau anak Surabaya asli, siapa sih yang nggak tahu TRS? Mungkin sebagian besar saat kecil pernah karnaval di sini atau liburan di sini,’’ ujarnya.
Di tengah kondisi TRS yang tidak lagi jaya seperti dulu, pihaknya mempunyai beberapa cara untuk tetap menghidupkan taman hiburan itu. Antara lain, memberikan free pass untuk orang tua yang berumur di atas 60 tahun dan penyandang difabel serta selalu memberikan beberapa keuntungan pada tanggal-tanggal penting nasional.
Beberapa public figure Surabaya yang mempunyai keterikatan dengan taman hiburan itu menolak rencana penutupan tersebut. Seperti diketahui, TRS menyediakan panggung seni di dalam kawasan itu.
Ahmad Noor, misalnya, mengatakan bahwa penutupan TRS adalah keputusan gila. Menurut pria yang akrab dipanggil Cak Mat itu, TRS sudah menjadi ikon dan bagian dari sejarah industri hiburan Kota Surabaya. ’’Banyak musisi dan seniman yang mengawali karir di sana. Gila kalau memang TRS mau ditutup,’’ ungkapnya.
Menanggapi keputusan tersebut, eks vokalis Macan Band itu bersama seniman dan musisi Surabaya yang pernah mengawali karir, berproses, bahkan mengukir sejarah panjang di TRS menentang keras. ’’Ya, kami akan berdemo kalau emang beneran TRS ditutup. Itu sejarah kota, nggak main-main bagi kami para musisi dan seniman,’’ jelas pria yang mengaku pernah perform di TRS dengan bayaran mulai Rp 5 ribu sampai ratusan ribu rupiah tersebut.
Jun Saka, seorang motor penggerak musik rock ’90-an, mengungkapkan hal serupa. Dia menentang keputusan penutupan tersebut. ’’Anak muda yang berkesenian mau berproses di mana lagi?’’ tegasnya. (www.jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar