Rabu, 08 Juli 2015

Polisi yang Terbunuh



Situs berita online  dan Koran Warta Kota pada Rabu (19/3/2014) pagi merilis kabar tentang peristiwa pilu AKBP Pamudji yang diduga tewas di tangan sesama polisi Brigadir S pada Selasa (18/3) malam di ruang piket pelayanan markas (Yanma) Polda Metro Jaya. Tak terang mengapa Brigadir Susanto sampai menembak mati atasannya tersebut. Yang pasti, sesaat setelah peristiwa itu sejumlah awak media dilarang masuk ke Mapolda Metro Jaya tanpa alasan yang jelas. Ada ketertutupan informasi atas peristiwa ini.
Agak berbeda halnya dengan Negeri Amerika Serikat yang relatif rapi dan terbuka dalam mendokumentasikan kasus-kasus polisi yang tewas dalam tugas. Organisasi Law Enforcement Memorial Association Inc di Wheeling, Illinois, misalkan, telah mendokumentasikan sekitar 7.000 polisi tewas sepanjang sejarah Amerika. Organisasi itu melaporkan bahwa kematian polisi pertama kali di Amerika terjadi pada 1724. Data lain, pada 15 Oktober 1991, Presiden George Bush mempersembahkan National Law Enforcement Officer’s Memorial di Negara Bagian Columbia yang memberikan penghargaan kepada 13.000 anggota polisi yang tewas dalam rangka pelayanan publik sepanjang sejarah Amerika.
Dengan catatan data yang relatif baik dan lengkap maka akan memudahkan para peneliti dan para pengambil kebijakan untuk mencari mata rantai sebab-musabab fenomena kematian polisi dalam menjalankan tugas pengabdian masyarakat. Kematian polisi tentu tidak akan selesai hanya dibalas dengan dendam kesumat mengejar-ngejar para tersangka pembunuh sampai liang lahat. Ada baiknya kita menarik pelajaran dari beberapa penelitian terhadap kasus-kasus terbunuhnya polisi yang pernah dilakukan oleh sejumlah peneliti di Amerika.
Dalam studi tentang pembunuhan polisi pada rentang waktu 1961–1963, Albert Cardarelli (1968) menemukan sebab utama pembunuhan polisi di daerah urban yang terkait dengan investigasi kasus perampokan dan investigasi orang-orang yang dicurigai. Di daerah dengan kepadatan penduduk relatif rendah, penangkapan dan pemindahan tahanan menjadi sebab utama kematian polisi. Sebagian besar kematian polisi bermula dari inisiatif polisi untuk mengontak tersangka.
David Konstanin (1984), yang meneliti kematian polisi dari 1978 sampai 1980, menemukan bahwa inisiatif polisi mengontak tersangka menyebabkan 73,3 persen dari total kematian. Dia menengarai sebab utama pembunuhan polisi adalah investigasi polisi terhadap orang yang dicurigai.
Samuel G. Chapman dalam tulisannya berjudul Cops, Killers and Staying Alive –mengolah data 1960-1990 dari Uniform Crime Reports FBI-- merinci beberapa kondisi saat-saat terjadinya insiden pembunuhan polisi: 16,3% menjawab panggilan warga yang bertikai, 5,8% membuntuti pencuri, 23,2% melakukan penahanan terhadap perampok, 0,6% kekacauan sipil, 4,6% memindahkan tahanan, 9,9% menyelidiki orang yang mencurigakan, 4,7% penyergapan, 4,0% serangan tidak terduga, 2,9% menghadapi orang yang terganggu secara mental dan 11,3% menggelar razia lalu-lintas. Bahkan, secara lebih spesifik, dia mencirikan pembunuh polisi sebagai “seseorang yang mengalami hari buruk, mabuk akibat narkoba, dan berakhir dengan membunuh polisi”.
Satu hal menarik, kasus-kasus terbunuhnya polisi di Amerika memperoleh liputan mendalam dari media massa dan diselidiki secara intensif. Dalam skala nasional, hampir 94% kasus terbunuhnya polisi pada 1960-1990 dapat dituntaskan. Bahkan di negara bagian Oklahoma bisa mencapai 100%.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut pengakuan seorang pamen polisi, kasus kematian polisi cuma menjadi berita kecil-kecilan karena dianggap sudah menjadi risiko tugas. Ada baiknya ke depan, kalau toh ada blogger atau LSM yang concern pada dunia kepolisian, sebaiknya juga mencatat kasus-kasus polisi yang terbunuh secara proporsional dan relatif lengkap. Bila perlu dilengkapi dengan data latar belakang sosial masyarakat, kondisi personal si terduga pelaku dan keadaan di saat tragedi berlangsung. Dengan begitu akan tampak polisi yang tidak becus bekerja ataukah masyarakat kita yang memang telah mengental dalam “subkultur kekerasan”. Dan, manfaat lebih jauh, pengambil kebijakan dapat membuat kebijakan sosial yang tepat untuk menciptakan relasi dan komunikasi yang baik polisi-masyarakat.  (Budi Nugroho, warga biasa, tinggal di Bekasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar