Situs berita online dan Koran Warta
Kota pada Rabu (19/3/2014) pagi merilis kabar tentang peristiwa pilu AKBP
Pamudji yang diduga tewas di tangan sesama polisi Brigadir S pada Selasa (18/3)
malam di ruang piket pelayanan markas (Yanma) Polda Metro Jaya. Tak terang
mengapa Brigadir Susanto sampai menembak mati atasannya tersebut. Yang pasti, sesaat
setelah peristiwa itu sejumlah awak media dilarang masuk ke Mapolda Metro Jaya
tanpa alasan yang jelas. Ada ketertutupan informasi atas peristiwa ini.
Agak berbeda
halnya dengan Negeri Amerika Serikat yang relatif rapi dan terbuka dalam
mendokumentasikan kasus-kasus polisi yang tewas dalam tugas. Organisasi Law Enforcement Memorial Association Inc
di Wheeling, Illinois, misalkan, telah mendokumentasikan sekitar 7.000 polisi
tewas sepanjang sejarah Amerika. Organisasi itu melaporkan bahwa kematian
polisi pertama kali di Amerika terjadi pada 1724. Data lain, pada 15 Oktober
1991, Presiden George Bush mempersembahkan National
Law Enforcement Officer’s Memorial di Negara Bagian Columbia yang
memberikan penghargaan kepada 13.000 anggota polisi yang tewas dalam rangka
pelayanan publik sepanjang sejarah Amerika.
Dengan catatan
data yang relatif baik dan lengkap maka akan memudahkan para peneliti dan para
pengambil kebijakan untuk mencari mata rantai sebab-musabab fenomena kematian
polisi dalam menjalankan tugas pengabdian masyarakat. Kematian polisi tentu
tidak akan selesai hanya dibalas dengan dendam kesumat mengejar-ngejar para
tersangka pembunuh sampai liang lahat. Ada baiknya kita menarik pelajaran dari
beberapa penelitian terhadap kasus-kasus terbunuhnya polisi yang pernah
dilakukan oleh sejumlah peneliti di Amerika.
Dalam studi
tentang pembunuhan polisi pada rentang waktu 1961–1963, Albert Cardarelli
(1968) menemukan sebab utama pembunuhan polisi di daerah urban yang terkait
dengan investigasi kasus perampokan dan investigasi orang-orang yang dicurigai.
Di daerah dengan kepadatan penduduk relatif rendah, penangkapan dan pemindahan
tahanan menjadi sebab utama kematian polisi. Sebagian besar kematian polisi
bermula dari inisiatif polisi untuk mengontak tersangka.
David Konstanin
(1984), yang meneliti kematian polisi dari 1978 sampai 1980, menemukan bahwa
inisiatif polisi mengontak tersangka menyebabkan 73,3 persen dari total
kematian. Dia menengarai sebab utama pembunuhan polisi adalah investigasi
polisi terhadap orang yang dicurigai.
Samuel G. Chapman
dalam tulisannya berjudul Cops, Killers
and Staying Alive –mengolah data 1960-1990 dari Uniform Crime Reports FBI-- merinci beberapa kondisi saat-saat
terjadinya insiden pembunuhan polisi: 16,3% menjawab panggilan warga yang
bertikai, 5,8% membuntuti pencuri, 23,2% melakukan penahanan terhadap perampok,
0,6% kekacauan sipil, 4,6% memindahkan tahanan, 9,9% menyelidiki orang yang
mencurigakan, 4,7% penyergapan, 4,0% serangan tidak terduga, 2,9% menghadapi
orang yang terganggu secara mental dan 11,3% menggelar razia lalu-lintas.
Bahkan, secara lebih spesifik, dia mencirikan pembunuh polisi sebagai
“seseorang yang mengalami hari buruk, mabuk akibat narkoba, dan berakhir dengan
membunuh polisi”.
Satu hal menarik,
kasus-kasus terbunuhnya polisi di Amerika memperoleh liputan mendalam dari
media massa dan diselidiki secara intensif. Dalam skala nasional, hampir 94%
kasus terbunuhnya polisi pada 1960-1990 dapat dituntaskan. Bahkan di negara
bagian Oklahoma bisa mencapai 100%.
Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut pengakuan seorang pamen polisi, kasus kematian polisi cuma menjadi
berita kecil-kecilan karena dianggap sudah menjadi risiko tugas. Ada baiknya ke
depan, kalau toh ada blogger atau LSM
yang concern pada dunia kepolisian,
sebaiknya juga mencatat kasus-kasus polisi yang terbunuh secara proporsional
dan relatif lengkap. Bila perlu dilengkapi dengan data latar belakang sosial
masyarakat, kondisi personal si terduga pelaku dan keadaan di saat tragedi
berlangsung. Dengan begitu akan tampak polisi yang tidak becus bekerja ataukah
masyarakat kita yang memang telah mengental dalam “subkultur kekerasan”. Dan,
manfaat lebih jauh, pengambil kebijakan dapat membuat kebijakan sosial yang
tepat untuk menciptakan relasi dan komunikasi yang baik polisi-masyarakat. (Budi
Nugroho, warga biasa, tinggal di Bekasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar