Selasa, 30 Juni 2015

Robohnya Langgar Abu Tohir



NURANIKU tercederai. Benakku tersayat. Pada subuh itu, setibaku di kampung halaman aku ingin mendirikan shalat subuh di langgar (surau) yang berada di samping rumah warisan nenekku telah rata dengan tanah. Tinggal tersisa fondasi yang masih melukiskan sebuah bangunan dengan ruang imam menuju arah qiblat.
Aku tidak tahu persis kapan langgar yang diberi nama Langgar Abu Tohir itu dirobohkan. Dan, aku juga tidak tahu siapa yang merobohkannya. Tanya demi tanya menusuk-nusuk benakku. Mesti ke mana aku mencari jawaban, karena orang-orang yang punya cerita telah lama berpulang.
Sekilas yang kutahu, dulu di masa kanak-kanak, aku dan kawan-kawan sebaya biasa menghabiskan waktu selepas maghrib sampai menjelang shalat isya mengaji di langgar yang ketika itu belum bernama. Ketika aku remaja, bapak dan bulik merogoh kocek untuk merenovasi langgar yang telah reyot. Usai renovasi, kami memberi label langgar itu dengan nama Abu Tohir, yang tidak lain adalah nama kakek buyut-ku. “Untuk menghormati dan mengenang tekad Mbah Abu Tohir yang telah mewakafkan sebagian tanahnya buat didirikan langgar ini, agar orang-orang yang dalam perjalanan atau musafir bisa shalat di sini,” tutur bulik-ku saat syukuran usai renovasi langgar yang memang berada di pinggir jalan yang cukup besar di kampungku.
Ya, sekitar 25 tahun berlalu renovasi itu. Saat aku pulang kampung, terdengar kabar burung bahwa tanah tempat langgar berdiri telah ditawarkan kepada pembeli. Dan, orang berduit di kampungku kebanyakan adalah etnis bermata sipit alias keturunan Tionghoa. Rupanya, sewaktu proses pembagian tanah waris, tanah langgar itu tetap dihitung sebagai bagian yang dibagi. Padahal tanah itu telah diwakafkan untuk pembangunan langgar. Lalu, jatuhlah tanah itu ke salah seorang adik nenekku. Nenekku telah lama tiada, sementara adik nenekku sudah renta dan punya rumah+tanah yang cukup luas di kampung lain. Lantas, adik nenekku memberikan jatah warisan itu ke salah seorang anaknya –yang juga telah memiliki rumah+tanah buat tempat tinggal di lain kota.
Lantaran seperti orang yang tidak berharap kebutuhan papan itulah, anak dari adik nenekku itu menjual sebidang tanah yang di atasnya berdiri Langgar Abu Tohir. Rasanya, aku ingin membayari agar tidak berpindah tangan ke orang-orang yang hanya mengejar materi-duniawi tapi apa daya aku tak cukup dana. Aku tak bisa berbuat banyak. Aku hanya berusaha mendekati anak dari adik nenekku agar tanah itu jangan dilepas karena kakek buyut telah mewakafkan buat didirikan langgar yang amat bermanfaat dan menjadi jalan pahala yang terus mengalir sepanjang masih ada orang yang shalat, mengaji dan mengkaji di langgar itu.
Nasehat tinggal lah nasehat. Memberikan nasehat merupakan perkara gampang. Yang tersulit adalah kesediaan dan keikhlasan menerima nasehat itu. Anak dari adik nenekku tetap ngotot untuk menjual lahan yang di atasnya berdiri Langgar Abu Tohir.
Aku tak terlalu mengikuti perjalanan Langgar Abu Tohir setelah diterpa simpang-siur penjualan lahan di bawahnya itu. Yang kutahu kemudian, saat beberapa hari lalu aku pulang kampung, Langgar Abu Tohir telah dirobohkan karena pemilik (baru) mau membangun rumah toko (ruko) di atas lahan tersebut. Dan yang kutahu pula, anak dari adik nenekku dipanggil pulang Allah SWT melalui jalan serangan stroke penuh penderitaan tak lama setelah menjual tanah Langgar Abu Tohir.
Terlepas bahwa umur anak manusia menjadi hak prerogatif Allah SWT, tragedi robohnya Langgar Abu Tohir ini jelas memberikan banyak pelajaran. Minimal dari tekad Mbah Abu Tohir yang mewakafkan sebagian tanahnya untuk didirikan sebuah langgar. Bahwa wakaf itu terkadang untuk anak cucu atau karib kerabat, biasa dikenal wakaf dzurri (keluarga). Terkadang pula, wakaf diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata atau dinamakan wakaf khairi (kebajikan).
Allah telah mensyariatkan wakaf, menganjurkan dan menjadikannya sebagai salah satu cara pendekatan diri kepada-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya apa yang dijumpai oleh seorang mukmin dari amalan dan kebaikannya setelah dia mati itu adalah ilmu yang disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnu sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya di waktu sehat dan hidupnya.”
Mbah Abu Tohir telah mewakafkan sebagian tanahnya untuk langgar (surau). Jika wakaf telah berlaku maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang dapat menghilangkan kewakafannya. Ucapan Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar, “Wakaf itu tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan.” Kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hak milik yang ada pada orang yang diberi wakaf itu berpindah kepada Allah SWT, maka ia bukanlah milik orang yang berwakaf dan diberi wakaf.
Hati-hatilah bermain tanah yang telah diwakafkan. Nasehat sesama manusia tak digubris, maka Allah SWT yang langsung berkehendak memberi nasehat. Wallahu a’lam bisshawab. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar