Selasa, 04 Agustus 2015

Legenda Bedah Saraf Indonesia: Prof.Dr.dr.Satyanegara, SpBS



prof satyanegara
 Bedah membedah otak mulai dari kasus tumor otak, hidrosefalus, pikun, koma hingga stroke telah dilakoni Prof. Dr. dr. Satyanegara, SpBS dalam separuh lebih perjalanan hidupnya yang kini di usia 73 tahun. Prof Satyanegara tercatat sebagai salah satu maestro bedah saraf Indonesia.
Memang ia bukan pelopor pertama, karena ada dokter-dokter lain yang lebih dulu menjadi pionir bedah saraf di Indonesia seperti Prof. Suwaji, Prof. Handoyo, Prof. Iskarno dan Prof. Padmo.
Tapi nama Prof Satyanegara kian moncer setelah kasus-kasus sulit seputar stroke dan batang otak banyak yang berhasil ditanganinya menjadi pembicaraan banyak orang.
Bukan cuma di Indonesia, di Jepang nama Prof Satyanegara sebagai maestro bedah saraf juga sangat diperhitungkan. Pada tahun 2005 ia pernah mendapat penghargaan The Order of Rising Sun Gold Ray With Neck Ribbon, yang diberikan langsung oleh Kaisar Jepang.
Di dalam negeri, Prof Satyanegara pernah menerima penghargaan yang untuk bidang kedokteran dari Achmad Bakrie Award tahun 2011. Penghargaan ini diberikan atas jasanya dalam menemukan protein dan antibodi spesifik untuk mematikan tumor.
Sejak pulang ke Indonesia pada tahun 1972, Prof Satyanegara yang sejak lulus SMA melanjutkan kuliah kedokterannya di Jepang ini langsung mengemban jabatan dan tanggung jawab yang besar. Selain pernah menjadi direktur RS Pusat Pertamina, ia juga mengetuai tim dokter kepresidenan era Soeharto dan Gus Dur.
Perjalanannya menjadi salah satu pakar bedah otak terbaik cukup panjang. Dimulai ketika setamat SMA di Surabaya, ia sudah punya cita-cita sekolah dokter di Jepang. Walaupun kemungkinannya tipis untuk sekolah dokter di Jepang tapi tekadnya selalu besar, hingga akhirnya bisa sekolah dokter di Kyushu University.
“Tekad berjuang perlu ada motivasinya. Ingin menonjol, ingin diakui oleh orang lain adalah motivasi saya. Langkah pertama akan menjadi awal dari hasil yang diinginkan,” tulis Prof Satyanegara di bukunya ‘Ayat-ayat Filosofi Satyanegara’.
Di Jepang lah ia belajar sungguh-sungguh, hingga kepulangannya ke Indonesia pada tahun 1972 dan Prof Satyanegara selalu mengaku terus belajar meski kini sudah didaulat sebagai pakar bedah otak.
Dalam menangani penyakit-penyakit pembuluh darah otak yang penting menurut Prof Satyanegara adalah mengatasi kelainan atau penyakit yang mendasarinya. Diagnosis tepat dan dini juga tidak kalah penting mengingat pengobatan yang salah dapat menimbulkan keadaan yang lebih buruk pada si penderita, sebab disamping pengobatan konservatif berupa obat-obatan, ada juga pengobatan yang berupa tindakan.
Meskipun penyakit pembuluh darah otak mempunyai angka kematian yang tinggi, bila cepat ditangani masih banyak kesempatan untuk menolong pasien. Untuk penderita stroke akibat penyumbatan jika tiba di rumah sakit dan memulai pengobatan pada golden time (periode emas) yaitu kurang dari 6 jam setelah serangan, akan memperoleh hasil akhir pengobatan yang lebih baik.
Dalam menangani kasus penyakit pembuluh darah, Prof Satyanegara juga mengakui perlu memahami kepribadian dan keadaan keluargnya, lingkungan dan latar belakang si penderita. “Ini perlu karena pada umumnya penderita penyakit tersebut adalah orang dengan usia yang telah matang atau dewasa tua atau juga mereka mempunyai kedudukan penting sebagai tulang punggung keluarga maupun dalam tugasnya,” tulis Prof Satyanegara.
Diakuinya, meskipun penyakit yang berbahaya sudah bisa diatasi atau jiwa pasien selamat, banyak yang masih menderita cacat sisa akibat penyakit stroke yang membuat pasien tidak mampu melakukan tugas maupun pekerjaan seperti semula. Bahkan ada yang begitu berat sisa cacatnya sehingga tidak sanggup merawat dirinya sendiri dan perlu bantuan orang lain untuk melanjutkan kehidupannya. Keadaan ini kata Prof Satyanegara, membuat pasien sangat rentan mengalami gangguan mental dan psikologis sehingga sering jatuh dalam keadaan depresi atau putus asa.
Karena itu lanjut Prof Satyanegara, selain pengobatan penyakit dan rehabilitasi secara medis, perlu adanya pengertian dari lingkungan dan penyesuaian diri si pasien untuk menghadapi lingkungan sekitarnya pada hari-hari selanjutnya yang mungkin akan jauh berbeda dengan sebelumnya.
“Sebetulnya apabila si pasien bisa menerapkan falsafah ‘nrimo‘ akan lebih mudah dan lebih banyak cara untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi kesulitan. Memang idealnya manusia hidup tidak mengganggu orang lain dan terus produkstif. Tetapi manusia juga perlu puas dengan keterbatasannya asalkan tidak mengorbankan orang lain terlalu banyak. Orang yang mampu bisa menolong orang yang tidak mampu, orang yang bisa dapat menolong orang yang tidak bisa,” tulis Prof Satyanegara.
Dalam menghadapi keluarga pasien penyakit otak, Prof Satyanegara juga mengakui harus sabar dan memberikan penjelasan yang logis. Karena seringkali dokter menganjurkan untuk segera dilakukan tindakan operasi untuk mencegah pemburukan dan menyelamatkan nyawa pasien tapi seringkali keluarga terus berusaha menawar agar pengobatan tanpa operasi saja yang dipilih sebagai pengobatan utama. Maka itu satu hal penting yang harus diperhatikan adalah pengertian dan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien, karena relasi keduanya akan turut mempengaruhi hasil pengobatan.
Si Kuntet yang Jadi Pelopor Bedah Saraf Indonesia
Perjalanan hidup Prof Satyanegara sangat panjang dan berliku. Lahir dengan nama Oei Kim Seng ini di Kudus, 1 Desember 1938 dari orangtua yang keduanya berasal dari Shanghai, bahkan ibunya masih ‘totok’ dan tidak bisa berbahasa Indonesia ketika pertama kali datang ke Semarang.
Masa kecilnya dihabiskan di Desa Welahan yang terletak antara Kudus dan Semarang, Jawa Tengah dengan julukan si kuntet karena tinggi badannya lebih rendah dari teman sebaya. Sebenarnya bukan karena pertumbuhannya terhambat, tapi memang perhitungan kalender China memaksanya harus memiliki usia lebih tua dari yang sebenarnya.
Prof Satyanegara yang saat itu masih remaja baru pindah bersama keluarganya ke Surabaya ketika masuk SMA. Selepas SMA, perjalanan panjang dan berliku itu dimulai ketika ia harus hijrah ke Jepang untuk belajar kedokteran dengan menumpang kapal laut selama berhari-hari.
Singkat kata setelah 14 tahun di Jepang, ia kembali lagi ke Indonesia pada 1972 sebagai salah satu dari 5 dokter pelopor bedah saraf di Indonesia. Sejumlah tugas penting langsung diembannya, termasuk memimpin RS Pusat Pertamina dan mengetuai tim dokter kepresidengan era Soeharo dan Gus Dur.
Meski murah senyum dan sangat humoris, Prof Satyanegara tetap bijak dalam menanggapi candaan tentang kesehatan seorang kepala negara. Ketika ditanya apa saja yang sering bikin presiden migrain dan sering sakit kepala, ia menjawab dengan sangat serius meski tetap sambil melempar senyum ramahnya.
“Ini pertanyaan yang sangat berbahaya. Untuk menjawabnya saya harus buka data, dan saya tidak pegang datanya. Jadi maaf, saya tidak bisa jawab,” kata Prof Satyanegara dengan sura lirih nyaris tak terdengar saat ditemui di RS Mayapada Tangerang, seperti ditulis Senin (20/2/2012).
BIOGRAFI
Nama lengkap:
Prof. Dr. dr. Satyanegara, SpBS (Oei Kim Seng)
Tempat dan tanggal lahir:
Kudus, 1 Desember 1938
Pendidikan:
1967: Fakultas Kedokteran Kyushu University
1972: Lulus sebagai Doktor bidang Neurologi di Tokyo University.
Riwayat karir:
Direktur RS Pusat Pertamina Jakarta
Direktur Gleneagles Hospital Jakarta
Direktur RS Pantai Indah Kapuk Jakarta
Direktur RS Satya Negara Sunter Jakarta
Praktik di RS Mayapada Tangerang
Tim dokter kepresidenan.
Penghargaan:
The Order of Rising Sun Gold Ray With Neck Ribbon dari Kaisar Jepang (2005)
Rekor MURI sebagai Penulis Buku Ilmu Bedah Saraf Pertama di Indonesia (2011)
Achmad Bakrie Award bidang kedokteran (2011).
__________________________________________________________________________
Great thanks to:
http://health.detik.com/read/2012/02/20/142820/1846777/1201/prof-dr-satyanegara-maestro-bedah-saraf-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar