fiksi
budi nugroho
Tiada satu pun pengunjung menjejali ruang sidang
utama pengadilan negeri di kabupaten yang wilayahnya dibelah Kali Bengawan Solo
pagi itu. Kursi-kursi tempat bersandar para pengunjung siap menjadi saksi bisu
persidangan.
Tidak ada bisik-berbisik sesama pengunjung atau
sorak-sorai penonton bilamana terdaksi sedikit mengingkari fakta yang telah
terjadi. Pun tak ada cekikikan penggembira sidang saat seorang saksi
menjelaskan peristiwa yang mengundang tawa.
Yang ada hanya Pak Sarno yang duduk di kursi
pesakitan. Lalu, majelis hakim yang beranggotakan tiga orang hakim, pencatat
notulen persidangan, dan jaksa penuntut umum yang bersiap membacakan nota
dakwaan.
Dulu, sepuluh tahun silam, saban hari Pak Sarno
duduk di singgasana ketua majelis hamim memimpin jalannya roda perkara. Bahkan,
dia sempat menjadi ketua pengadilan negeri di kabupaten itu. Karirnya terus
menanjak saat dia sukses memutuskan perkara salah tangkap pelaku pembunuhan
sadis di Kampung Jatipurno yang menewaskan lima anggota keluarga pengusaha kaya
Liem Oey Kun alias Kuntaryadi. Dia berhasil membebaskan terdakwa dari segala
bentuk tuntutan hukum dan merehabilitasi nama baik si terdakwa yang buta huruf
itu.
Pak Sarno lalu mendaat apresiasi diangkap menjadi
hakim tinggi di ibukota provinsi. Prestasinya makin mengkilap lantaran dia
mampu mendorong program keluarga sadar hukum di lingkungan kerjanya. Di tingkat
ini pula, dapat dikatakan, dia meraih prestasi gemilang. Kaca mata nuraninya
kerap memihak pada mereka yang tertindas dan terhempas. Banyak terdakwa yang
dipidana di tingkat pertama, dia bebaskan pada tingkat banding. Soal nanti
kalah lagi di kasasi, bukanlah urusan Pak Sarno.
Pak Sarno dikenal sebagai hakim yang cukup
kontroversial bagi kalangan mafia peradilan. Putusan-putusannya banyak yang
menggegerkan pada pencari keadilan dan peramal vonis meja hijau. Banyak pencari
keadilan yang sudah merasa pesimistis tiba-tiba bersikap optimistis menghadapi
hari depan. Mereka tak jadi meringkuk di balik jeruji besi bertahun-tahun,
mereka tidak sampai menyandang predikat terpidana penjara dengan seragam
biru-biru.
Karenanya, Pak Sarno sangat dekat dengan kalangan
tak berpunya. Dia lekat dengan para pencari keadilan yang tidak sanggup
membayar arti sebuah keadilan dengan segepok uang kertas atau transfer miliaran
antar-rekening bank.
Setiap pencari keadilan tak berpunya selalu merasa
gembira bila perkaranya ditangani oleh Pak Sarno.
Sebagai cerminan keberpihakannya pada kaum
tertindas dan terhempas, saat memasuki masa pensiun sekitar lima tahun lalu,
dia belum juga memiliki rumah pribadi yang layak huni bagi seorang mantan hakim
tinggi. Bahkan, sampai sekarang Pak Sarno masih menempati rumah sederhana gaya
pedesaan warisan orang-tuanya yang berdiri di atas lahan seluas 10.000
meter-persegi, jauh di pinggiran kota, tak jauh dari Jembatan Ganefo.
Dan, tanah yang sebagian besar ditumbuhi ilalang
dan putri malu itu pula yang membawa ke ruang sidang utama pengadilan negeri
yang pernah dipimpinnya. Oleh sekelompok orang yang mengaku suruhan dari PT
Inti Aman Ribut, Pak Sarno dituduh menyerobot dan menggunakan lahan itu tanpa
hak. Lalu, mereka melaporkan ke polisi dan proses pemberkasan pun berjalan
dengan penuh siksaan, baik lahir maupun batin.
Pak Sarno terpaksa menanda-tangani berita acara
pemeriksaan dan mengaku telah menyerobot tanah seluas 10.000 meter-persegi.
Kendati, dalam hati kecil, dia tak mau menerima perlakuan seperti itu.
Kabarnya, PT Inti Aman Ribut telah membebaskan
lahan berupa ilalang dan sawah tadah hujan untuk dibangun menjadi perumahan kelas
atas yang dilengkapi dengan lapangan golf 18 hole.
***
Pagi ini, Pak Sarno duduk di kursi pesakitan
mengikuti persidangan, menghadapi tuduhan PT Inti Aman Ribut. Padahal, dia
masih berada di masa berkabung, belum lama melepas kepulangan anak satu-satunya
yang meninggal lantaran serangan penyakit saraf sporadis yang dikenal dengan
nama Lou Gehrig.
Ketua majelis mengtuk palu. Sidang baru saja
bergulir, jaksa penuntut umum membacakan nota dakwaannya setebal 100 halaman.
Kata demi kata, kalimat demi kalimat, lembar demi lembar.
Kursi-kursi sandaran pengunjung tetap saja banyak
yang melompong. Tak sepenuh dibanding saat digelar kasus Karsinem –yang
diperkosa anak majikannya—yang sempat menggegerkan warga kabupaten itu beberapa
tahun lampau.
Pak Sarno terbayang-bayang, “Siapa ya, yang
menjuang tanah itu ke pengembang PT Inti Aman Ribut? Rasanya aku tak punya
saudara sekandung, aku ini anak tunggal seperti anakku yang baru saja pulang ke
haribaan-Nya. Aku anak tunggal dari keluarga kaya Raden Mas Hardosoekojo yang
begitu mashur di kabupaten ini.” Pak Sarno merenung-renung, mengingat-ingat
masa silam, dan menebak-nebak siapa sebenarnya yang memainkan bayang-bayang
tanahnya sehingga lepas tangan ke PT Inti Aman Ribut. Alam pikirannya tidak ke
dalam ruang sidang.
“Raden Mas Hardosoekojo sebelum meninggal tidak
meninggalkan wasiat apa-apa. Setahuku dia tidak punya anak angkat, atau
jangan-jangan punya anak haram sebelum menikahi ibuku?” Pak Sarno hanyut dalam
lamunannya, sampai terkantuk-kantuk di kursi pesakitan.
“Saudara Sarno, apakah saudara sedang kurang
sehat?” tanya hakim ketua saat melihat Pak Sarno hampir terlelap.
“Tidak, Pak Hakim! Saya sehat-sehat saja,” Pak
Sarno sedikit tergeragap.
“Duduk yang tegap, siap. Dengarkan baik-baik
dakwaan jaksa!” ujar hakim ketua.
Pak Sarno sontak duduk tegak, namun benak
pikirannya entah ke mana. Jaksa penuntut umum terus membacakan dakwaan.
“Lho siapa itu Mariyem, Mardiyono, Kasiman dan
Tukijo? Aku tak kenal mereka, kenapa mereka tiba-tiba tampil dalam kesaksian.
Mengapa mereka muncul sebagai saksi penguat bahwa tanah itu sudah jadi milik PT
Inti Aman Ribu?” Pak Sarno sedikit terperangah mendengarkan nota dakwaan.
“Betul kami sudah menjual tanah itu ke PT Inti Aman
Ribut. Jelek-jelek begini, saya ini anaknya Raden Mas Hardosoekojo dari
selirnya di lereng Gunung Kemukus.” Demikian ucapan Mariyem dalam kesaksiannya
yang terketik rapi pada bagian awal nota dakwaan.
“Kok, bapak tidak bercerita?” Pak Sarno bergumam
sendiri.
“Benar, kami pernah menjual tanah itu ke PT Inti
Aman Ribut beberapa tahun lalu. Aku ini masih ada bau-bau sedikit dari Raden
Mas Hardosoekojo. Ketika Mbah Hardo muda jalan-jalan ke Sambungmacan, beliau
sempat mengawini ibuku dan lahirlah aku. Kami berhak atas tanah itu, tidak
hanya Pak Sarno yang hakim tinggi. Kami sudah bagi rata sewaktu Mbah Hardo
masih sugeng,” tutur Tukijo.
Pak Sarno kembali tercengang. Dia terasa kaget
mendengar penuturan Tukijo yang telah ditulis lengkap dalam nota dakwaan
sebagai saksi penguat.
“Masih berapa lagi selir-selir bapak yang terus
membayangi tanah itu?” Pak Sarno tercenung.
“Saya memang menjadi pihak yang ikut mengoperkan
tanah itu ke PT Inti Aman Ribut. Saat itu saya mewakili Mardiyem, saudara
kembar saya, yang pernah diperistri oleh Raden Mas Hardosoekojo. Ini cap jempol
surat kuasanya, cukup kuat kan?” jelas Mardiyono pada jaksa penuntut umum yang
meminta keterangannya guna melengkapi penulisan nota dakwaan.
Mardiyono menceritkan pula bahwa perkawinan
Mardiyem dengan Raden Mas Hardosoekojo berlangsung di bawah tangan. Mardiyem
tidak bisa memberikan keturunan pada Mas Hardo yang datang rumah Mardiyem di
Desa Pungkruk Cuma sekali sebulan. Dia mengaku tidak tahu bagaimana akhir kisah
mahligai pasangan Raden Mas Hardosoekojo dan Mardiyem. Yang jelas, kata
Mardiyono, Mas Hardo menulis surat wasiat bahwa Mardiyem punya sedikit hak atas
tanah seluas 10.000 meter-persegi tak jauh dari Jembatan Ganefo.
“Ah, siapa lagi yang akan mengaku-aku ahli waris
Raden Mas Hardosoekojo?” tanpa sadar Pak Sarno berucap keras-keras.
“Saudara belum diminta bicara, harap tenang,” pinta
ketua majelis hakim.
***
Jaksa penuntut umum tanpa jeda, terus membacakan
nota dakwaannya yang masih tersisa 40 halaman lagi. Pak Sarno balik pada posisi
duduknya, tenang tak bergumam, apalagi berbicara.
“Kalau saya Pak, jelas tetap punya hak atas tanah
di dekat Jembatan Ganefo itu. Memang, saya bukan apa-apanya Den Mas
Hardosoekojo. Saya cuma abdidalem yag telah mengabdi sejak Den Mas Hardosoekojo
kawin dengan ibunya Pak Sarno, ya ... Pak Sarno yang hakim tinggi di Semarang
itu. Selama jadi abdidalem, saya tidak pernah diupah. Sebagai gantinya, saya
punya sedikit hak atas tanah itu. Bisa kan, meski tidak ada wasiat seperti
itu,” Kasiman menuturkan panjang-lebar pada halaman 55-59 keterangan
saksi-saksi nota dakwaan jaksa.
“Dan atas dasar itu pula, saya ikut menanda-tangani
akta jual-beli tanah itu ke pengembang PT Inti Aman Ribut,” lanjut Kasiman pada
halaman 60 noa dakwaan.
“Rupanya banyak bayang-bayang di padang ilalang
gersang itu. Mengapa tidak aku perjelas dulu bayang-bayang itu sewaktu bapakku
baru sakit ringan sebelum ajal menjemput,” ucap Pak Sarno menyesali diri.
“Tapi, sepertinya kala itu aku tidak punya banyak
waktu luang. Kasus-kasus salah tangkap, salah ketik dakwaan, salah vonis,
demikian menumpuk. Tak mungkin aku tinggalkan begitu saja hanya demi sejengkal
ilalang padang gersang dekat Jembatan Ganefo ini. Bagaimana nanti nasib rakyat
yang tertindas dan terhempas di hadapan kerasnya mafia peradilan,” Pak Sarno
larut dalam masa lalunya.
“Sungguh perih rasanya. Ilalang padang gersang itu penuh
bayang-bayang petualangan masa muda bapakku Raden Mas Hardosoekojo,” gumam Pak
Sarno dengan tatap mata kosong pada ketua majelis hakim. ***
Sragen, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar