Minggu, 13 Juli 2014

Bayang Ilalang Padang Gersang


fiksi budi nugroho

Tiada satu pun pengunjung menjejali ruang sidang utama pengadilan negeri di kabupaten yang wilayahnya dibelah Kali Bengawan Solo pagi itu. Kursi-kursi tempat bersandar para pengunjung siap menjadi saksi bisu persidangan.
Tidak ada bisik-berbisik sesama pengunjung atau sorak-sorai penonton bilamana terdaksi sedikit mengingkari fakta yang telah terjadi. Pun tak ada cekikikan penggembira sidang saat seorang saksi menjelaskan peristiwa yang mengundang tawa.
Yang ada hanya Pak Sarno yang duduk di kursi pesakitan. Lalu, majelis hakim yang beranggotakan tiga orang hakim, pencatat notulen persidangan, dan jaksa penuntut umum yang bersiap membacakan nota dakwaan.
Dulu, sepuluh tahun silam, saban hari Pak Sarno duduk di singgasana ketua majelis hamim memimpin jalannya roda perkara. Bahkan, dia sempat menjadi ketua pengadilan negeri di kabupaten itu. Karirnya terus menanjak saat dia sukses memutuskan perkara salah tangkap pelaku pembunuhan sadis di Kampung Jatipurno yang menewaskan lima anggota keluarga pengusaha kaya Liem Oey Kun alias Kuntaryadi. Dia berhasil membebaskan terdakwa dari segala bentuk tuntutan hukum dan merehabilitasi nama baik si terdakwa yang buta huruf itu.
Pak Sarno lalu mendaat apresiasi diangkap menjadi hakim tinggi di ibukota provinsi. Prestasinya makin mengkilap lantaran dia mampu mendorong program keluarga sadar hukum di lingkungan kerjanya. Di tingkat ini pula, dapat dikatakan, dia meraih prestasi gemilang. Kaca mata nuraninya kerap memihak pada mereka yang tertindas dan terhempas. Banyak terdakwa yang dipidana di tingkat pertama, dia bebaskan pada tingkat banding. Soal nanti kalah lagi di kasasi, bukanlah urusan Pak Sarno.
Pak Sarno dikenal sebagai hakim yang cukup kontroversial bagi kalangan mafia peradilan. Putusan-putusannya banyak yang menggegerkan pada pencari keadilan dan peramal vonis meja hijau. Banyak pencari keadilan yang sudah merasa pesimistis tiba-tiba bersikap optimistis menghadapi hari depan. Mereka tak jadi meringkuk di balik jeruji besi bertahun-tahun, mereka tidak sampai menyandang predikat terpidana penjara dengan seragam biru-biru.
Karenanya, Pak Sarno sangat dekat dengan kalangan tak berpunya. Dia lekat dengan para pencari keadilan yang tidak sanggup membayar arti sebuah keadilan dengan segepok uang kertas atau transfer miliaran antar-rekening bank.
Setiap pencari keadilan tak berpunya selalu merasa gembira bila perkaranya ditangani oleh Pak Sarno.
Sebagai cerminan keberpihakannya pada kaum tertindas dan terhempas, saat memasuki masa pensiun sekitar lima tahun lalu, dia belum juga memiliki rumah pribadi yang layak huni bagi seorang mantan hakim tinggi. Bahkan, sampai sekarang Pak Sarno masih menempati rumah sederhana gaya pedesaan warisan orang-tuanya yang berdiri di atas lahan seluas 10.000 meter-persegi, jauh di pinggiran kota, tak jauh dari Jembatan Ganefo.
Dan, tanah yang sebagian besar ditumbuhi ilalang dan putri malu itu pula yang membawa ke ruang sidang utama pengadilan negeri yang pernah dipimpinnya. Oleh sekelompok orang yang mengaku suruhan dari PT Inti Aman Ribut, Pak Sarno dituduh menyerobot dan menggunakan lahan itu tanpa hak. Lalu, mereka melaporkan ke polisi dan proses pemberkasan pun berjalan dengan penuh siksaan, baik lahir maupun batin.
Pak Sarno terpaksa menanda-tangani berita acara pemeriksaan dan mengaku telah menyerobot tanah seluas 10.000 meter-persegi. Kendati, dalam hati kecil, dia tak mau menerima perlakuan seperti itu.
Kabarnya, PT Inti Aman Ribut telah membebaskan lahan berupa ilalang dan sawah tadah hujan untuk dibangun menjadi perumahan kelas atas yang dilengkapi dengan lapangan golf 18 hole.
***
Pagi ini, Pak Sarno duduk di kursi pesakitan mengikuti persidangan, menghadapi tuduhan PT Inti Aman Ribut. Padahal, dia masih berada di masa berkabung, belum lama melepas kepulangan anak satu-satunya yang meninggal lantaran serangan penyakit saraf sporadis yang dikenal dengan nama Lou Gehrig.
Ketua majelis mengtuk palu. Sidang baru saja bergulir, jaksa penuntut umum membacakan nota dakwaannya setebal 100 halaman. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, lembar demi lembar.
Kursi-kursi sandaran pengunjung tetap saja banyak yang melompong. Tak sepenuh dibanding saat digelar kasus Karsinem –yang diperkosa anak majikannya—yang sempat menggegerkan warga kabupaten itu beberapa tahun lampau.
Pak Sarno terbayang-bayang, “Siapa ya, yang menjuang tanah itu ke pengembang PT Inti Aman Ribut? Rasanya aku tak punya saudara sekandung, aku ini anak tunggal seperti anakku yang baru saja pulang ke haribaan-Nya. Aku anak tunggal dari keluarga kaya Raden Mas Hardosoekojo yang begitu mashur di kabupaten ini.” Pak Sarno merenung-renung, mengingat-ingat masa silam, dan menebak-nebak siapa sebenarnya yang memainkan bayang-bayang tanahnya sehingga lepas tangan ke PT Inti Aman Ribut. Alam pikirannya tidak ke dalam ruang sidang.
“Raden Mas Hardosoekojo sebelum meninggal tidak meninggalkan wasiat apa-apa. Setahuku dia tidak punya anak angkat, atau jangan-jangan punya anak haram sebelum menikahi ibuku?” Pak Sarno hanyut dalam lamunannya, sampai terkantuk-kantuk di kursi pesakitan.
“Saudara Sarno, apakah saudara sedang kurang sehat?” tanya hakim ketua saat melihat Pak Sarno hampir terlelap.
“Tidak, Pak Hakim! Saya sehat-sehat saja,” Pak Sarno sedikit tergeragap.
“Duduk yang tegap, siap. Dengarkan baik-baik dakwaan jaksa!” ujar hakim ketua.
Pak Sarno sontak duduk tegak, namun benak pikirannya entah ke mana. Jaksa penuntut umum terus membacakan dakwaan.
“Lho siapa itu Mariyem, Mardiyono, Kasiman dan Tukijo? Aku tak kenal mereka, kenapa mereka tiba-tiba tampil dalam kesaksian. Mengapa mereka muncul sebagai saksi penguat bahwa tanah itu sudah jadi milik PT Inti Aman Ribu?” Pak Sarno sedikit terperangah mendengarkan nota dakwaan.
“Betul kami sudah menjual tanah itu ke PT Inti Aman Ribut. Jelek-jelek begini, saya ini anaknya Raden Mas Hardosoekojo dari selirnya di lereng Gunung Kemukus.” Demikian ucapan Mariyem dalam kesaksiannya yang terketik rapi pada bagian awal nota dakwaan.
“Kok, bapak tidak bercerita?” Pak Sarno bergumam sendiri.
“Benar, kami pernah menjual tanah itu ke PT Inti Aman Ribut beberapa tahun lalu. Aku ini masih ada bau-bau sedikit dari Raden Mas Hardosoekojo. Ketika Mbah Hardo muda jalan-jalan ke Sambungmacan, beliau sempat mengawini ibuku dan lahirlah aku. Kami berhak atas tanah itu, tidak hanya Pak Sarno yang hakim tinggi. Kami sudah bagi rata sewaktu Mbah Hardo masih sugeng,” tutur Tukijo.
Pak Sarno kembali tercengang. Dia terasa kaget mendengar penuturan Tukijo yang telah ditulis lengkap dalam nota dakwaan sebagai saksi penguat.
“Masih berapa lagi selir-selir bapak yang terus membayangi tanah itu?” Pak Sarno tercenung.
“Saya memang menjadi pihak yang ikut mengoperkan tanah itu ke PT Inti Aman Ribut. Saat itu saya mewakili Mardiyem, saudara kembar saya, yang pernah diperistri oleh Raden Mas Hardosoekojo. Ini cap jempol surat kuasanya, cukup kuat kan?” jelas Mardiyono pada jaksa penuntut umum yang meminta keterangannya guna melengkapi penulisan nota dakwaan.
Mardiyono menceritkan pula bahwa perkawinan Mardiyem dengan Raden Mas Hardosoekojo berlangsung di bawah tangan. Mardiyem tidak bisa memberikan keturunan pada Mas Hardo yang datang rumah Mardiyem di Desa Pungkruk Cuma sekali sebulan. Dia mengaku tidak tahu bagaimana akhir kisah mahligai pasangan Raden Mas Hardosoekojo dan Mardiyem. Yang jelas, kata Mardiyono, Mas Hardo menulis surat wasiat bahwa Mardiyem punya sedikit hak atas tanah seluas 10.000 meter-persegi tak jauh dari Jembatan Ganefo.
“Ah, siapa lagi yang akan mengaku-aku ahli waris Raden Mas Hardosoekojo?” tanpa sadar Pak Sarno berucap keras-keras.
“Saudara belum diminta bicara, harap tenang,” pinta ketua majelis hakim.
***
Jaksa penuntut umum tanpa jeda, terus membacakan nota dakwaannya yang masih tersisa 40 halaman lagi. Pak Sarno balik pada posisi duduknya, tenang tak bergumam, apalagi berbicara.
“Kalau saya Pak, jelas tetap punya hak atas tanah di dekat Jembatan Ganefo itu. Memang, saya bukan apa-apanya Den Mas Hardosoekojo. Saya cuma abdidalem yag telah mengabdi sejak Den Mas Hardosoekojo kawin dengan ibunya Pak Sarno, ya ... Pak Sarno yang hakim tinggi di Semarang itu. Selama jadi abdidalem, saya tidak pernah diupah. Sebagai gantinya, saya punya sedikit hak atas tanah itu. Bisa kan, meski tidak ada wasiat seperti itu,” Kasiman menuturkan panjang-lebar pada halaman 55-59 keterangan saksi-saksi nota dakwaan jaksa.
“Dan atas dasar itu pula, saya ikut menanda-tangani akta jual-beli tanah itu ke pengembang PT Inti Aman Ribut,” lanjut Kasiman pada halaman 60 noa dakwaan.
“Rupanya banyak bayang-bayang di padang ilalang gersang itu. Mengapa tidak aku perjelas dulu bayang-bayang itu sewaktu bapakku baru sakit ringan sebelum ajal menjemput,” ucap Pak Sarno menyesali diri.
“Tapi, sepertinya kala itu aku tidak punya banyak waktu luang. Kasus-kasus salah tangkap, salah ketik dakwaan, salah vonis, demikian menumpuk. Tak mungkin aku tinggalkan begitu saja hanya demi sejengkal ilalang padang gersang dekat Jembatan Ganefo ini. Bagaimana nanti nasib rakyat yang tertindas dan terhempas di hadapan kerasnya mafia peradilan,” Pak Sarno larut dalam masa lalunya.
“Sungguh perih rasanya. Ilalang padang gersang itu penuh bayang-bayang petualangan masa muda bapakku Raden Mas Hardosoekojo,” gumam Pak Sarno dengan tatap mata kosong pada ketua majelis hakim. ***

                                                                             Sragen, Oktober 2012      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar