Rabu, 16 Juli 2014

Brem Khas Madiun



* DIPERCAYA SEBAGAI ANTIJERAWAT

PADUAN antara manis dan masam, begitulah rasa makanan padat dengan warna
mulai kuning muda hingga krem. Aromanya yang sedap khas tape, langsung
tercium begitu kotak kemasan brem ini terbuka. Salah satu khasiat
istimewanya, bisa mencegah timbulnya jerawat di wajah. Itu sesuai keyakinan
orang Jawa umumnya, bahwa tape (entah dari bahan ketan maupun ketela pohon)
mengandung zat yang dapat mencegah munculnya jerawat. Keistimewaan itu juga
dimanfaatkan beberapa pengusaha brem. Dalam kemasan makanan diberi tulisan
khasiat brem dan cara penyimpanannya supaya tidak lembek. Makanan yang
banyak dibuat warga Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun ini,
sejak awal dicetak dalam bentuk segi empat. Sampai sekarang bentuk itu
tetap dipertahankan. Bentuk seperti itu yang membuat brem asal Madiun
berbeda dengan bremdari daerah lain.

Brem Solo yang banyak dibuat di daerah Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri,
Jateng, dikenal berbentuk bulat tipis. Rasanya pun tak serupa, lebih manis
ditambah rasa soda yang membuat ia cepat larut di lidah. Brem lain, asal
Bali, lebih dikenal dalam bentuk minuman berasal dari air sari tape ketan
putih. Ia dijual dalam kemasan botol dengan kemasan cukup menarik. Bentuk
segi empat itu terbentuk karena produsen brem Caruban, Madiun umumnya
mencetak di atas papan, lalu memotong-motongnya sampai ukuran 10 x 20
sentimeter. Ada pula yang dipotong-potong dalam ukuran amat mini, 2 x 3
sentimeter, yang dimaksudkan khusus untuk anak-anak.

Bahan berikut resep pembuatannya dari waktu ke waktu juga tak pernah
berubah yakni ketan putih dan ragi tape. Mula-mula ketan putih dibuat tape
hingga masak, lalu diaduk dengan mixer untuk diambil sarinya dan dimasak
dalam waktu sekitar dua jam. Selama dimasak, adonan ini diaduk seperti jika
membuat dodol. Adonan yang sudah jadi dituang ke atas cetakan kayu panjang
dengan tebal satu sentimeter. Sepintas, proses pembuatannya tampak amat
sederhana tetapi kenyataannya tidak demikian. Ia tidak bisa dengan mudah
ditiru untuk mendapat hasil sama seperti produksi brem Kaliabu. "Balai
kesehatan di Surabaya pernah mencoba membuat brem Madiun dengan resep
sesuai petunjuk warga Kaliabu. Tujuan pembuatan itu untuk riset. Usaha itu
tak membawa hasil. Sari tape ketan yang mereka olah tak bisa menjadi brem,"
cerita Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Madiun, S Affandi.

*** 

SAMPAI kini tetap belum jelas bagaimana sejarah pembuatan brem Madiun.
Menurut dua produsen brem di Desa Kaliabu, Hadi Yatno Suparto (52) dan Sumo
Tumiran (51), brem sudah dibuat sejak zaman Belanda oleh orang Kaliabu yang
waktu itu mengungsi ke Moneng, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun
(sekitar 13 km sebelah barat Kaliabu). Begitu kondisi Desa Kaliabu aman
lagi, mereka kembali ke kampungnya dan tetap membuat brem yang hingga kini
menjadi mata pencarian turun-temurun warga desa setempat. Tidak diketahui
persis berapa jumlah produsen industri brem di Kaliabu, 25 km sebelah utara
kota Madiun. Hadi Yatno Suparto, pemilik industri brem merk Madu Rasa yang
juga mantan Kepala Desa Kaliabu periode 1979 - 1990 menyebutkan, pada saat
ia menjabat sekitar 300 KK dari 400 KK penduduk desa setempat memiliki
usaha itu. Usaha ini dikerjakan sebagai industri rumah tangga hingga volume
usahanya tak menentu.

Beberapa warga mengaku, membuat brem hanya untuk pekerjaan sambilan. "Kalau
sawahnya harus digarap ya ndak buat brem seperti hari ini," tutur Sakimin
yang memiliki pabrik mini dan membuat brem sejak enam tahun lalu. Jumlah
tenaga kerja yang bisa ditampung industri tersebut pun tidak besar,
rata-rata antara 4-6 orang/perusahaan. Jumlah terbesar dimiliki Hadi Yatno
Suparto dengan 10 tenaga borongan. Ny Tarmiyati, pengusaha brem bermerk
Tongkat Mas yang sudah lebih dari lima tahun terjun ke bisnis brem dan
perusahaan miliknya termasuk cukup besar, sampai sekarang hanya memiliki
lima karyawan.Keadaan itu yang menyebabkan industri rumah tangga tersebut
tak banyak berkembang, di samping masalah pemasaran yang belum efektif.
Walau brem sudah diperkenalkan sampai ke wilayah lain bahkan menyeberang
pulau, pemasarannya tetap tak pernah membesar. Cara pengemasan yang kurang
menarik agaknya ikut menambah kurang berkembangnya pemasaran makanan itu.

Sekitar tahun 1980-an, pengusaha brem Desa Kaliabu bagai tersentak oleh
munculnya brem dengan warna dan rasa hampir sama namun punya merek dan
dikemas dalam bentuk yang amat rapi. Brem itu diproduksi di Boyolali. Dalam
kemasan kartun warna kuning cerah dipadu biru tua, jenis makanan ini tak
bisa dijumpai di pedagang yang berjualan di pasar-pasar. Si 'cantik' ini
langsung menyeruak, masuk pasar konsumen kelas menengah ke atas di kota
Madiun dan sekitarnya. Harga brem yang dipajang di toko bervariasi dari Rp
500 - Rp 3.500/kemasan. Salah satu kemasan paling menonjol, termahal Rp
3.500 dan telah memiliki hak paten ditampilkan oleh brem merk Suling Gading
asal Boyolali, Jateng. Padahal, brem asal Madiun dalam ukuran sama bisa
diperoleh dengan harga paling mahal Rp 2.500. 

***

MASALAH pemasaran yang mengakibatkan tak bisa berkembangnya industri brem
masih juga melilit kehidupan produsen brem. Yang lebih menyedihkan, guna
mempercepat pemasaran beberapa produsen brem rela dagangannya dibeli
toko-toko makanan di Madiun. Brem yang berukuran besar itu lalu dipotong
sendiri oleh si pemilik toko dan dimasukkan dalam kemasan karton dengan
merk sesuai nama tokonya! Jadilah brem Mirasa, Elmira atau Srikandi. Jangan
heran kalau pembeli sekarang langsung mencari merk-merk tersebut yang
memang desain kemasannya lebih bagus daripada kemasan produsen aslinya.
"Kalau ndak begitu, dagangan saya tidak cepat laku," aku seorang pemilik
usaha pembuatan brem di Kaliabu. Ditanya berapa yang dijualnya kepada toko
langganannya, ia kelihatan enggan menjawabnya. "Ya ndak tentu," jawabnya.
Menurut pengusaha ini, ia sama sekali tak keberatan toko langganannya itu
memakai merknya sendiri. Bagi dirinya yang penting dagangannya terbeli dan
uang hasil penjualan segera di tangan.

Sikap tidak mau repot lalu menempuh jalan pintas inilah yang sering
dilakukan produsen brem. Akibatnya, seluruh produsen menanggung rugi, sebab
toko-toko yang umumnya mengaku punya perusahaan brem sendiri di Kaliabu
tidak mau mempromosikan merk lain selain merk miliknya. Sebenarnya dengan
menampung brem merk produsennya, toko-toko sudah mendapat untung lumayan.
Dari brem kemasan sedang yang oleh produsen dilepas dengan harga Rp
850/pak, oleh pihak toko dijual dengan harga minimal Rp 1.000/pak.
Sedangkan untuk toko-toko yang bermodal merk sendiri berani mematok harga
Rp 1.250/pak. Dengan harga itu, pembeli tetap memilih brem bermerk nama
toko tempatnya membeli makanan itu.

Hadi Yatno yang juga ikut membantu pemasaran brem produksi sesama perajin
di desanya mengaku tahu persis praktek seperti itu, tetapi tak berani
berbuat apa-apa. Guna mempertahankan kehidupan merknya, ia rajin masuk
keluar toko sambil memberi contoh brem produksinya. Harapannya, dengan
mengandalkan mutu yang lebih baik brem miliknya akan bisa laku dijual oleh
toko-toko itu. Beberapa waktu lalu, mantan Kepala Desa Kaliabu itu juga
mengikuti pameran makanan tradisional di Jakarta. "Sambutannya kecil,
karena calon pembeli belum pernah kenal dengan brem Madiun. Suruh merasakan
saja masih takut-takut," katanya. Sekalipun demikian, lewat rekannya, kini
ia mencoba menerobos pasar di Bandung dan Jakarta.

***

CARA pembuatan brem yang masih tradisional seperti yang dilakukan produsen
di Kaliabu sampai satu titik tertentu juga merupakan hambatan. "Kami
sebenarnya ingin berkembang lebih dari sekarang. Tetapi apakah nanti
pemasaran bisa membaik kalau ada modernisasi peralatan, sedangkan mau
menaikkan harga Rp 25/pak saja sudah tak bisa," kata Hadi. Tungku pemasak
pun hidup dari sekam padi, sehingga standar kemasakannya tidak bisa selalu
dipastikan. Akhir-akhir ini para produsen brem mengeluhkan sulitnya mencari
bahan baku ketan putih yang baik. Pengalaman mereka, membeli ketan kepada
pedagang yang telah dikenal sekalipun membawa akibat jatuhnya mutu brem.
"Maklum, dalam sekarung ketan, berasnya bisa sampai seperempat bagian,"
tutur Sumo Tumiran, produsen, menceritakan pengalamannya. Kasimin, produsen
lain, malah punya pengalaman lebih menyedihkan. Dua kuintal tape ketannya
tak bisa diolah menjadi brem. "Jadi kalau ditanya, berapa untung saya dari
usaha ini ya saya jawab ndak tentu. Wong kadang-kadang malah buntung kok,"
lanjut lelaki yang telah merintis usaha membuat brem sejak lima tahun lalu
dan kini memiliki 2-4 karyawan itu. Beberapa produsen brem lebih suka
menanam ketan sendiri di atas sawahnya supaya bahan baku usaha dagangnya
benar-benar terjamin.

***

BEGITULAH, brem yang sejak puluhan tahun lalu diproduksi initernyata tak
juga mampu menaikkan taraf hidup pemilik usaha maupun warga desa setempat.
"Untung bersih dari bahan baku ketan satu kuintal sekitar Rp 10.000," kata
Hadi Yatno. Jadi untuk apa usaha itu dipertahankan? "Sebagai usaha
sampingan saja, selain mengharap omset penjualan daganganya naik pesat,"
jawabnya. Warga Kaliabu boleh berbangga karena nenek moyangnya menciptakan
resep makanan tradisional yang sampai kini masih diproduksi anak cucunya.
Di sisi lain, mereka merasa sedih karena sampai sekarang tak satu pun brem
buatan warga desa setempat telah memiliki hak paten. Brem dari daerah lain
yang konon hasil jiplakan dari Kaliabu, sekarang justru terpajang di
supermarket dengan kemasan lebih menantang dan yang penting sudah memiliki
hak paten. Sampai kapankah warga Kaliabu masih boleh mengaku bahwa brem
memang benar-benar buatan mereka? (tri)



Sumber: KOMPAS, Minggu, 19-12-1993. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar