Fiksi budi nugroho
Kumandang adzan maghrib sayup terdengar dari Langgar
Abu Thahir. Puji demi puji, kesaksian dan kesaksian, ajakan demi ajakan yang
ditutup dengan sebuah kesaksian menyejukkan sekujur tubuh yang sedari tadi
terasa mendidih.
Biasanya, waktu-waktu begini aku tengah bergegas
berburu ledhek tayub. Bersiap memenuhi ajakan main ceki Dik Nar.
Atau, duduk di kursi goyang sepulang dari kalangan adu jago di Dukuh
Ngepringan.
Tapi, sesaat mentari memasuki peraduannya barusan, itu
semua tak lagi dapat kulakukan. Aku tak bisa ke mana-mana. Aku terpasung di
dipan jati kesayanganku. Ketika bayang sang surya mulai bergerak ke timur tadi,
semua sumsum dan darahku naik 100 derajat Celsius. Aku dijaga seorang tukang
pukul dengan godho wesi kuning yang membara. Entah siapa dia? Malaikat
Izrail kah? Malaikat pencabut nyawa kah? Bukan main panasnya hawa memasuki
senja dan malam ini? Namun, kata Jeng Asih isteriku, sekujur badanku dingin
membeku. Si tukang pukul itu makin menyorongkan bara wesi kuning ke
ubun-ubun.
“Hei, kau mau ke mana? Kau tak bisa lagi ke mana-mana,
tangan dan kakimu sudah kuborgol ke dipan kesayanganmu,” hardik si tukang pukul
sembari menambah lekat godho wesi kuning ke ubun-ubunku.
“Nggak, aku nggak ke mana-mana lagi.
Tapi, tolong singkirkan godho wesi kuning ini,” pintaku memelas.
Cuma semili digeser. Masih bukan alang-kepalang
panasnya. Orang-orang berdatangan. Terlihat Dik Amat yang kukenal sebagai imam
Langgar Abu Thahir. Tapi, aku ‘kan nggak lagi ngundang Dik Amat untuk
membacakan doa selapanan cucuku.
Oh, itu Parto, Minto, Pono, Pawiro datang semua.
Apakah mereka mau mengajakku main ceki? Rasanya malam ini aku lagi tidak
ruwatan atau menggelar meja bulat bundar buat main ceki. Aduh, godho
wesi kuning menyenggol ubun-ubunku.
Lho, ada lagi Agus, Parno, Harjo, Darto. Malam-malam
begini apakah mereka mau mengajak adu jago? Waduh, godho wesi kuning
menusuk ubun-ubun sampai masuk kerongkongan.
Heeeh, ada pula Bu Marmo, Bu Har, Lik Tono. Masa aku
lagi begini mereka mau menawariku primadona baru dari Pasar Cilik! Godho
wesi kuning sudah menusuk sampai pangkal paha. Tinggal kakiku yang tak
tersentuh bara godho wesi kuning. Ingin rasanya aku berendam di Sendang
Brambangan.
Jeng Asih bingung. Tiba-tiba kok datang tamu-tamuku
yang sebagian besar tak dikenalnya. Siapa yang mengabarkan ketidak-berdayaanku
di ujung umur ini.
Barangkali cuma Parto, Minto, Pono, Pawiro atau Agus,
Parno, Harjo, Darto yang dikenal baik oleh Jeng Asih. Mereka, memang, terkadang
bertandang ke rumahku. Bahkan, mereka menjadi pantia ketika aku mantu bungsuku
Kustartinah lima tahun silam.
Dari mereka pula, Jeng Asih jadi tahu kalau aku suka
main judi kartu ceki atau adu jago. Pun dari mereka, Jeng Asih jadi
mengerti jika anakku yang kedua, Kustanto, mewarisi klangenanku main ceki
atau sabung ayam. Rupanya Kustanto yang mengabarkan kalau-kalau aku tengah
menghadapi bara godho wesi kuning di tangan tukang pukul nan tak
bersahabat.
Lalu, siapa yang berkabar ke Bu Marmo, Bu Har dan Lik
Tono? Kurasa, tiga orang ini saja yang tahu kalau aku punya hobi berburu daun
muda di Pasar Cilik. Mereka sangat bisa memegang rahasia sepak-terjangku di
lembah hitam paling populer di kota ini.
Masih teringat jelas, dari Wsima Dik Tono, aku biasa
disodori primadona baru sebelum dilempar ke pasar bebas. Pula di Wisma Bu Har.
Kedua induk semang ini selalu mengabariku bilamana ada lelang petik buah durian
di wismanya.
Bu Marmo? Aku sudah bikin perjanjian agar jangan
sekali-sekali datang ke rumahku. Namanya juga perempuan, aku khawatir ia
kelepasan omong pada Jeng Asih. Dulu, ketika aku masih timur, aku naksir berat
Jeng Mirah, primadona Wisma Bu Marmo di masanya. Saking kesengsemnya, aku minta
pada Bu Marmo agar Jeng Mirah tidak melayani tamu lain. Dan, untuk itu, Jeng
Mirah merangkap sebagai orang kedua di Wisma Bu Marmo.
Ya, kata orang, aku nyimpen Jeng Mirah di Wisma
Bu Marmo. Lantaran begitu kerapnya aku menebar benih di ladang Jeng Mirah,
tertanamlah jabang bayi. Bocah lelaki mungin nan ganteng lahir dari rahimnya.
Aku tak ingin ini terjadi. Jeng Mirah pun nggak
ingin direpotkan tangis bayi. Atas persetujuanku, bayi lelaki itu diadopsi oleh
keluarga Asmuni yang waktu itu dikenal sebagai salah satu khatip di masjid
raya. Prahara ini, hanya aku, Jeng Mirah dan Bu Marmo yang tahu. Dan, aku
pesan, jangan beri tahu jika anak itu bertanya siapa bapak-ibunya yang kandung.
Kendati sama-sama pejabat di lingkungan kantor kabupaten, aku kurang begitu
kenal Asmuni. Yang kutahu, ia memang sudah lebih dari sepuluh tahun ingin punya
anak.
Rupanya anakku yang dipungut oleh Asmuni menjadi kawan
sekolah bungsuku di SMAN 1 kota ini. Dari Kustartinah, aku tahu anakku dari
Jeng Mirah itu diberi nama Nur Alam. Dan, Nur Alam sempat menjadi rebutan
siswi-siswi SMAN 1 kala itu. Bahkan, Kustartinah sempat merajut cinta dengan
Nur Alam. Naluri kebapakanku tak bisa menerima Nur Alam berjodoh dengan
Kustartinah.
Syukurlah, selepas SMA, Kustartinah kuliah di Jakarta
dan Nur Alam langsung masuk kerja karena mendapat jatah kursi sesaat Asmuni
memasuki masa pensiun. Kustartinah bisa melupakan Nur Alam dan kemudian menikah
dengan teman sekampus.
***
Aduh … tukang pukul itu main tarik ulur godho wesi
kuning yang tengah memancarkan panas 200 derajat. Slaap … sleeb … sekujur
badanku mendidih rasanya. “Panas … panas … panas … mana air,” aku
berteria-teriak.
Aku tak lagi ingat siapapun yang mengelilingiku.
Apalagi, Parto, Minto, Pono dan Pawiro sudah minggir, mulai menggelar meja ceki.
Agus, Parno, Harjo, Harto baku bincang soal penggerebekan kalangan adu
jago di Dukuh Ngepringan siang tadi. Lamat kudengar, Bu Marmo dekat-dekat Jeng
Asih. Entah apa yang dibicarakan.
“Panas … panas … lepaskan bung!” pintaku dengan nada
tinggi.
Yang kudengar kini hanya alunan nada-nada kata per
kata yang tak kupahami dari mulut Dik Amat. Tapi, kok, anehnya sedikit memberi
kesejukan di sekujur badan yang t’lah terpanggang godho wesi kuning. Apa
ini yang disebut sebagai orang sedang membaca Yaasiin. Ya, mungkin begitu. Dik
Amat yang santri pernah mengajakku belajar bacaan-bacaan seperti itu. Tapi, aku
selalu menjawab, “nanti kalau sudah berumur.” Sebagai seorang muslim, cuma
sekali aku membaca dua kalimah syahadat. Itu pun terpaksa lantaran sebagai
suatu kesaksian wajib di awal prosesi menikahkan bungsuku Kustartinah.
Aku ini hanya abangan, sebagaimana kebanyakan
tetangga-tetangga sekitar rumahku. Aku masih membakar kemenyan di malam Jumat,
biasa mencuci keris di bulan baik, atau menghitung-hitung menghindari bepergian
di hari Selasa. Ini pula yang kemudian menurun ke Kustanto, anakku yang kedua,
yang sampai sekarang masih serumah denganku. Tiga anakku yang lain –Kusmono,
Kusharyono dan Kustartinah—tidak lagi mewarisi keabanganku. Mereka yang sudah
berumah tangga di Semarang, Yogya dan Jakarta itu justru menjadi santri taat.
“Panas … panas … cepat cabut saja nyawaku.”
“Tidak, kamu harus mengakui dulu.”
“Mengakui apa? ‘Kan anak-anak jelas empat orang, satu
isteri …”
“Masih ada yang belum kau akui!”
“Panas … panas … cabut saja.”
Bu Marmo mendekati Jeng Asih. “Jeng, ini ada yang
belum ikhlas atas kepergian bapak,” ujarnya lirih pada Jeng Asih.
“Lho, aku sudah ikhlas. Anak-anak pun demikian,” ucap
Jeng Asih.
“Sepanjang pengetahuanku, kalau begini panas dan
berulang-ulang, ada yang belum ihklas.”
“Lalu, siapa yang belum ikhlas itu?”
“Ini barangkali, Bu, itu Nur Alam yang anaknya Pak
Asmuni, di kampung sebelah pernah sakit hati pada Bapak.”
“Kalau begitu coba kita panggil,” tutur Jeng Asih
sambil meminta Kustanto ke rumah Nur Alam. Nggak sampai setengah jam
berselang, Kustanto sudah menggandeng Nur Alam ke hadapanku.
“Kok persis betul wajah dan perawakannya dengan Mas
Djojo ketika masih timur,” gumam Jeng Asih.
“Dik Nur, mohon maafkan kesalahan Pak Djojo,” pinta
Jeng Asih pada Nur Alam.
“Lupakan saja Bu, saya sudah melupakan bagaimana dulu
Pak Djojo menolak lamaran saya ke Kustartinah. Yang saya belum dapat memaafkan,
penolakan itu tidak disertai alasan yang jelas, apakah itu bobot, bibit atau bebet,”
ucap Nur Alam.
“Ya sudah, lupakan dan maafkan,” lagi-lagi pinta Jeng
Asih.
“Ya, lupakan dan maafkan Bapak, biar jalan Bapak tak
terhalang,” tambah Bu Marmo.
Nur Alam bingung. Batinnya berkecamuk. Benarkah ia
bapak kandungku? Siapa pula ibu kandungku? Bu Djojo? Bu Marmo?
“Yah, Bapak saya maafkan,” Nur Alam tanpa sadar.
Seketika nadiku berhenti. Mataku membelalak. Dingin.
Beku. Kaku dan kelu.
Sragen, awal 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar