Senin, 14 Juli 2014

CALON MENANTU


Fiksi budi nugroho

Kumandang adzan maghrib sayup terdengar dari Langgar Abu Thahir. Puji demi puji, kesaksian dan kesaksian, ajakan demi ajakan yang ditutup dengan sebuah kesaksian menyejukkan sekujur tubuh yang sedari tadi terasa mendidih.
Biasanya, waktu-waktu begini aku tengah bergegas berburu ledhek tayub. Bersiap memenuhi ajakan main ceki Dik Nar. Atau, duduk di kursi goyang sepulang dari kalangan adu jago di Dukuh Ngepringan.
Tapi, sesaat mentari memasuki peraduannya barusan, itu semua tak lagi dapat kulakukan. Aku tak bisa ke mana-mana. Aku terpasung di dipan jati kesayanganku. Ketika bayang sang surya mulai bergerak ke timur tadi, semua sumsum dan darahku naik 100 derajat Celsius. Aku dijaga seorang tukang pukul dengan godho wesi kuning yang membara. Entah siapa dia? Malaikat Izrail kah? Malaikat pencabut nyawa kah? Bukan main panasnya hawa memasuki senja dan malam ini? Namun, kata Jeng Asih isteriku, sekujur badanku dingin membeku. Si tukang pukul itu makin menyorongkan bara wesi kuning ke ubun-ubun.
“Hei, kau mau ke mana? Kau tak bisa lagi ke mana-mana, tangan dan kakimu sudah kuborgol ke dipan kesayanganmu,” hardik si tukang pukul sembari menambah lekat godho wesi kuning ke ubun-ubunku.
Nggak, aku nggak ke mana-mana lagi. Tapi, tolong singkirkan godho wesi kuning ini,” pintaku memelas.
Cuma semili digeser. Masih bukan alang-kepalang panasnya. Orang-orang berdatangan. Terlihat Dik Amat yang kukenal sebagai imam Langgar Abu Thahir. Tapi, aku ‘kan nggak lagi ngundang Dik Amat untuk membacakan doa selapanan cucuku.
Oh, itu Parto, Minto, Pono, Pawiro datang semua. Apakah mereka mau mengajakku main ceki? Rasanya malam ini aku lagi tidak ruwatan atau menggelar meja bulat bundar buat main ceki. Aduh, godho wesi kuning menyenggol ubun-ubunku.
Lho, ada lagi Agus, Parno, Harjo, Darto. Malam-malam begini apakah mereka mau mengajak adu jago? Waduh, godho wesi kuning menusuk ubun-ubun sampai masuk kerongkongan.
Heeeh, ada pula Bu Marmo, Bu Har, Lik Tono. Masa aku lagi begini mereka mau menawariku primadona baru dari Pasar Cilik! Godho wesi kuning sudah menusuk sampai pangkal paha. Tinggal kakiku yang tak tersentuh bara godho wesi kuning. Ingin rasanya aku berendam di Sendang Brambangan.
Jeng Asih bingung. Tiba-tiba kok datang tamu-tamuku yang sebagian besar tak dikenalnya. Siapa yang mengabarkan ketidak-berdayaanku di ujung umur ini.
Barangkali cuma Parto, Minto, Pono, Pawiro atau Agus, Parno, Harjo, Darto yang dikenal baik oleh Jeng Asih. Mereka, memang, terkadang bertandang ke rumahku. Bahkan, mereka menjadi pantia ketika aku mantu bungsuku Kustartinah lima tahun silam.
Dari mereka pula, Jeng Asih jadi tahu kalau aku suka main judi kartu ceki atau adu jago. Pun dari mereka, Jeng Asih jadi mengerti jika anakku yang kedua, Kustanto, mewarisi klangenanku main ceki atau sabung ayam. Rupanya Kustanto yang mengabarkan kalau-kalau aku tengah menghadapi bara godho wesi kuning di tangan tukang pukul nan tak bersahabat.
Lalu, siapa yang berkabar ke Bu Marmo, Bu Har dan Lik Tono? Kurasa, tiga orang ini saja yang tahu kalau aku punya hobi berburu daun muda di Pasar Cilik. Mereka sangat bisa memegang rahasia sepak-terjangku di lembah hitam paling populer di kota ini.
Masih teringat jelas, dari Wsima Dik Tono, aku biasa disodori primadona baru sebelum dilempar ke pasar bebas. Pula di Wisma Bu Har. Kedua induk semang ini selalu mengabariku bilamana ada lelang petik buah durian di wismanya.
Bu Marmo? Aku sudah bikin perjanjian agar jangan sekali-sekali datang ke rumahku. Namanya juga perempuan, aku khawatir ia kelepasan omong pada Jeng Asih. Dulu, ketika aku masih timur, aku naksir berat Jeng Mirah, primadona Wisma Bu Marmo di masanya. Saking kesengsemnya, aku minta pada Bu Marmo agar Jeng Mirah tidak melayani tamu lain. Dan, untuk itu, Jeng Mirah merangkap sebagai orang kedua di Wisma Bu Marmo.
Ya, kata orang, aku nyimpen Jeng Mirah di Wisma Bu Marmo. Lantaran begitu kerapnya aku menebar benih di ladang Jeng Mirah, tertanamlah jabang bayi. Bocah lelaki mungin nan ganteng lahir dari rahimnya.
Aku tak ingin ini terjadi. Jeng Mirah pun nggak ingin direpotkan tangis bayi. Atas persetujuanku, bayi lelaki itu diadopsi oleh keluarga Asmuni yang waktu itu dikenal sebagai salah satu khatip di masjid raya. Prahara ini, hanya aku, Jeng Mirah dan Bu Marmo yang tahu. Dan, aku pesan, jangan beri tahu jika anak itu bertanya siapa bapak-ibunya yang kandung. Kendati sama-sama pejabat di lingkungan kantor kabupaten, aku kurang begitu kenal Asmuni. Yang kutahu, ia memang sudah lebih dari sepuluh tahun ingin punya anak.
Rupanya anakku yang dipungut oleh Asmuni menjadi kawan sekolah bungsuku di SMAN 1 kota ini. Dari Kustartinah, aku tahu anakku dari Jeng Mirah itu diberi nama Nur Alam. Dan, Nur Alam sempat menjadi rebutan siswi-siswi SMAN 1 kala itu. Bahkan, Kustartinah sempat merajut cinta dengan Nur Alam. Naluri kebapakanku tak bisa menerima Nur Alam berjodoh dengan Kustartinah.
Syukurlah, selepas SMA, Kustartinah kuliah di Jakarta dan Nur Alam langsung masuk kerja karena mendapat jatah kursi sesaat Asmuni memasuki masa pensiun. Kustartinah bisa melupakan Nur Alam dan kemudian menikah dengan teman sekampus.
***
Aduh … tukang pukul itu main tarik ulur godho wesi kuning yang tengah memancarkan panas 200 derajat. Slaap … sleeb … sekujur badanku mendidih rasanya. “Panas … panas … panas … mana air,” aku berteria-teriak.
Aku tak lagi ingat siapapun yang mengelilingiku. Apalagi, Parto, Minto, Pono dan Pawiro sudah minggir, mulai menggelar meja ceki. Agus, Parno, Harjo, Harto baku bincang soal penggerebekan kalangan adu jago di Dukuh Ngepringan siang tadi. Lamat kudengar, Bu Marmo dekat-dekat Jeng Asih. Entah apa yang dibicarakan.
“Panas … panas … lepaskan bung!” pintaku dengan nada tinggi.
Yang kudengar kini hanya alunan nada-nada kata per kata yang tak kupahami dari mulut Dik Amat. Tapi, kok, anehnya sedikit memberi kesejukan di sekujur badan yang t’lah terpanggang godho wesi kuning. Apa ini yang disebut sebagai orang sedang membaca Yaasiin. Ya, mungkin begitu. Dik Amat yang santri pernah mengajakku belajar bacaan-bacaan seperti itu. Tapi, aku selalu menjawab, “nanti kalau sudah berumur.” Sebagai seorang muslim, cuma sekali aku membaca dua kalimah syahadat. Itu pun terpaksa lantaran sebagai suatu kesaksian wajib di awal prosesi menikahkan bungsuku Kustartinah.
Aku ini hanya abangan, sebagaimana kebanyakan tetangga-tetangga sekitar rumahku. Aku masih membakar kemenyan di malam Jumat, biasa mencuci keris di bulan baik, atau menghitung-hitung menghindari bepergian di hari Selasa. Ini pula yang kemudian menurun ke Kustanto, anakku yang kedua, yang sampai sekarang masih serumah denganku. Tiga anakku yang lain –Kusmono, Kusharyono dan Kustartinah—tidak lagi mewarisi keabanganku. Mereka yang sudah berumah tangga di Semarang, Yogya dan Jakarta itu justru menjadi santri taat.
“Panas … panas … cepat cabut saja nyawaku.”
“Tidak, kamu harus mengakui dulu.”
“Mengakui apa? ‘Kan anak-anak jelas empat orang, satu isteri …”
“Masih ada yang belum kau akui!”
“Panas … panas … cabut saja.”
Bu Marmo mendekati Jeng Asih. “Jeng, ini ada yang belum ikhlas atas kepergian bapak,” ujarnya lirih pada Jeng Asih.
“Lho, aku sudah ikhlas. Anak-anak pun demikian,” ucap Jeng Asih.
“Sepanjang pengetahuanku, kalau begini panas dan berulang-ulang, ada yang belum ihklas.”
“Lalu, siapa yang belum ikhlas itu?”
“Ini barangkali, Bu, itu Nur Alam yang anaknya Pak Asmuni, di kampung sebelah pernah sakit hati pada Bapak.”
“Kalau begitu coba kita panggil,” tutur Jeng Asih sambil meminta Kustanto ke rumah Nur Alam. Nggak sampai setengah jam berselang, Kustanto sudah menggandeng Nur Alam ke hadapanku.
“Kok persis betul wajah dan perawakannya dengan Mas Djojo ketika masih timur,” gumam Jeng Asih.
“Dik Nur, mohon maafkan kesalahan Pak Djojo,” pinta Jeng Asih pada Nur Alam.
“Lupakan saja Bu, saya sudah melupakan bagaimana dulu Pak Djojo menolak lamaran saya ke Kustartinah. Yang saya belum dapat memaafkan, penolakan itu tidak disertai alasan yang jelas, apakah itu bobot, bibit atau bebet,” ucap Nur Alam.
“Ya sudah, lupakan dan maafkan,” lagi-lagi pinta Jeng Asih.
“Ya, lupakan dan maafkan Bapak, biar jalan Bapak tak terhalang,” tambah Bu Marmo.
Nur Alam bingung. Batinnya berkecamuk. Benarkah ia bapak kandungku? Siapa pula ibu kandungku? Bu Djojo? Bu Marmo?
“Yah, Bapak saya maafkan,” Nur Alam tanpa sadar.
Seketika nadiku berhenti. Mataku membelalak. Dingin. Beku. Kaku dan kelu.

                                                                                                Sragen, awal 2005 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar