Selasa, 15 Juli 2014

DUA LELAKI PERKASA

cerpen Budi Nugroho ·

Bila saja kado itu terserak di meja lampu tidur kamarnya atau kamar lelaki-lelaki sebayanya, Dipo tidak menaruh rasa ketar-kertir dan was-was. Lelaki-lelaki sepantaran Dipo, dalam mitos masyarakat yang mendewakan kejantanan, banyak mengalami daya tahan, penurunan daya tempur, dan penurunan kekokohan. Lelaki-lelaki seumuran Dipo tak lagi kuat, kokoh, terpercaya. Pun, lelaki-lelaki sezaman Dipo tak bisa lagi 24 jam sehari, tujuh kali sepekan nonstop. Maka dari itu, untuk menyokong gelora petualangannya, Dipo membutuhkan kado buat mama, minyak Cina atau salep Arab.
Persoalan ini biasa-biasa bagi Dipo atau seorang suami setengah baya yang tetap ingin menafkahi batin isteri dengan nostalgia malam pertama. Kendati sampai di umurnya mendekati kepala enam Dipo masih bertualang, kali ini ia demikian tertekan dan menarik nafas dalam-dalam sembari mengernyitkan dahi, “Kok, kado ini bisa ada di kamar Suryo! Apa yang salah pada Suryo?”
Rasanya baru kemarin pagi Suryo tergopoh-gopoh mendatangi dirinya yang belum tersadar dari mimpi. “Pak, pak, Suryo ngompol. Padahal, selama ini Suryo ‘kan tidak ngompol lagi,” ujar Suryo dengan nada agak bersalah.
“Oh, tidak le, kamu bukan ngompol. Pasti kamu semalam bermimpi ketemu wanita cantik. Itu pertanda kamu sudah menjadi lelaki dewasa,” jelas Dipo kepada Suryo yang enam tahun silam itu masuk kelas satu SMP.
Enam tahun t’lah berlalu. Suryo sekarang sudah mahasiswa sebuah universitas. Tampan, ganteng, atletis dengan  bulu-bulu di dadanya nan bidang. Banyak perempuan tergila-gila pada Suryo, dari anak baru gedhe sampai tante-tante yang biasa mengumbar kesenangan syahwati.
Pagi itu Dipo musti ke kamar anaknya, Suryo. Dipo ingat pesan anaknya semata wayang yang minta dibangunkan sebelum jam delapan, karena ada kuliah tambahan. Betapa Dipo terhenyak. Ada kado buat mama di meja lampu tidur kamar Suryo. Di po bertanya-tanya, “Ada apa dengan Suryo? Masihkah Suryo bermimpi? Tidakkah cukup dengan mimpi-mimpinya? Lalu, dengan siapa Suryo menyatakan mimpi-mimpinya?”
Terus-menerus pertanyaan-pertanyaan itu memukul-mukul benak pikiran Dipo. Meski ia kini masih menjadi petualang di umurnya menjelang enampuluh, Dipo tetap terusik manakala melihat Suryo anaknya menunjukkan hal-hal yang kurang lazim bagi usianya.
“ljo, lho, lho, ini apa lagi,” gumam Dipo saat mana melihat beberapa batang suntikan penisilin dengan klasifikasi kerja jangka lama, suntik sekali sepekan. Dipo teringat pada dirinya tigapuluh tahun lampau. Ketika itu Dipo diterkam sang raja singa dan harus berkarib akrab dengan jarum penisilin.
Dipo makin berkerut dan pening. Terlebih-lebih sepagi itu Dipo menemukan onggokan kartu nama di laci alas lampu tidur kamar Suryo. Kalau sebagai mahasiswa, menurut Dipo yang juga pernah jadi mahasiswa, koleksi kartu nama tak akan sebanyak itu. Dan, Suryo bukan aktivis lagi. Apalagi, 95 persen nama yang tertera adalah nama-nama perempuan. Ada Tina, ada Katrin, ada Yulia, ada Titik, ada Santi, ada Merry … ada lagi Adelia.
Mata Dipo tertatap pada kartu nama Adelia, kartu berukuran sembilan kali limasetengah centimeter berlogo lingkaran terbelah tiga dengan mahkota ratu di atasnya. Tertera di bawah nama Adelia, export coordinator. Pojok kiri bawah tertulis alamat kantor di kawasan Tanjung Priok. Lantas, pojok kanan bawah, alamat rumah si empunya kartu di kawasan Pasar Minggu lengkap dengan nomor panggil ponsel dan alamat surat elektronik alias e-mail.
“Adelia … Adel … lia … diakah?” Naluri nostalgia Dipo lari ke masa-masa tigapuluh tahun silam saat ia bertemu dengan perempuan muda dengan kecantikan penuh pesona bernama Adelia. Dipo ingat betul, Adelia lah yang mengenalkan dirinya pertama kali pada perempuan-perempuan yang tengah mengalami pemiskinan pemenuhan nafkah batin. Dipo jadi kenal Tante Vivi yang sudah setahun ditinggal suaminya melaut, Tante Nani yang bersuamikan pejabat tinggi lokal kota, Tante Vera yang ditinggal suami bertugas, atau Tante Voni yang janda kaya raya pengusaha ekospor-impor hasil kerajinan rakyat.
‘Tuk bersua dengan tante-tante itu Dipo mesti lewat broker Adelia. Memang, terkadang Dipo diam-diam menyembunyikan sebagian imbalan dari tante-tante itu. Tidak semuanya harus bagi-hasil dengan Adelia. Namun, walau banyak tante-tante yang royal,  Dipo tetap setia luar-dalam pada Adelia. Dipo sangat berterima kasih pada Adelia yang datang bak dewi penolong kala suatu waktu ia terdesak kebutuhan ekonomi dan luntang-lantung di kota ini. Kesetiaan itu sebagai satu cindera mata atas pertolongan tak terhitungkan dari seorang Adelia. Sampai suatu kala, tanda mata itu Dipo wujudkan dengan kehamilan Adelia. Ketika itu Adel pun berhasrat anak dari Dipo lantaran menganggap Dipo punya garis keturunan yang baik dan masih darah biru. Namun Adelia tak mau direpotkan oleh membesarkan dan mengasuh anak dari rahimnya sebab ia masih ingin punya banyak waktu sebagai broker. Adelia lalu menyerahkanbayi mungil yang dilahirkannya kepada Dipo.
Dipo pasrah, ia beri nama bayi itu Suryo dengan pengharapan si jabang bayi senantiasa menyinari dunia yang gelap. Bayi yang diasuhnya bersama dengan seorang babysitter itu sekarang telah menjelma menjadi lelaki muda, tampan, ganteng, penuh daya pikat.
“Diakah Adel-ku tigapuluh tahun lampau? Diakah Adel yang induk semangku, jangan … jangan … jangan-jangan Suryo jadi …” Dipo membatin sambil memandangi Suryo yang masih terlelap.
Dipo membuang jauh-jauh pikiran was-was itu. Dipo membuka lebar-lebar laci meja tidur kamar Suryo. Lantas, kian sulit lah upayanya menghempang pikiran was-was itu. Dipo menemuka tiga buah ponsel. Dipo membuka-buka memori ponsel-ponsel itu. Telepon pertama: ini dari Tante Santi, habis Tante ndak bisa bayar sih. Telepon kedua:  Dari Tante Merry, ini ongkos tambahan dari Tante. Dan, telepon ketiga: Dari Tante Adel, kamu harus aktifkan terus, setiap waktu Tante punya order.
Jarum pendek jam di dinding kamar Suryo sudah mendekati angka delapan. Mentari masih memberikan kehangatan bervitamin kepada bayi-bayi yang kekuningan. Dipo ingat jika Suryo anaknya hampir-hampir tidak pernah kuliah di hari Sabtu. Di semester gasal ini, Suryo tak pernah mengambil mata kuliah Ibu Yati yang biasa memberikan kuliah di penghujung pekan. Sebab itu, Dipo merelakan waktunya leyeh-leyeh di kursi goyang menikmati suam-suam kuku sinar mentari yang baru sepenggalah. Dipo menepati ikrar membangunkan Suryo. Dan, di pagi dengan sedikti saputan awan putih itu Dipo pun sangat ingin mengantar Suryo ke kampusnya. “Yok, bangun Yok, sudah siang. Ayo,s enyampang bapak libur, bapak antar kamu ke kampus. Bisa irit ongkos dan terhindari sela-sela ketiak orang,” canda Dipo lembut pada Suryo anaknya yang sempat membuat dirinya menghadapi hambatan sewaktu mengurus akta kelahiran atas nama Suryo di Catatan Sipil.
“Eh, bapak, saya tak perlu diantar, nanti apa kata teman-teman di kampus. Saya naik bis kota saja, ongkosnya murah, mahasiswa masih disubsidi kan,” ucap Suryo sembari menggeliatkan badan.
Ndak, bapak hari ini harus antar kamu. Cepat mandi, sudah kesiangan,” Dipo dengan nada agak meninggi.
“Bapak sudah tua, bapak mesti istirahat. Saya bisa jalan sendiri.”
Ndak, pokoknya kali ini bapak harus mengantar kamu. Bapak masih kuat, belum jompo, apalagi loyo.”
“Wah jangan gitu dong pak. Ada apa sih pak, kok ngotot banget.”
“Mestinya bapak yang tanya, kenapa kamu pagi-pagi, bukannya kami semester ini ndak ada perkuliahan di hari Sabtu. Jangan-jangan kamu pergi ke tempat?” Dipo tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan ketar-ketir penuh syakwasangka.
Tiba-tiba ponsel di saku celapan tidur Suryo bergetar. Samar-sama Dipo menguping perbincangan Suryo dengan orang di seberang ponsel. “Bagaimana sih Yok? Ini order besar, nyonya besar yang kekayaannya di atas dua ratus miliar rupiah, isteri seorang pucuk pimpinan sebuah departemen, tolong banget Yok, kamu sudah ditunggu di amar 413.” Pesan spesial itu langsung putus tus. Namun begitu Suryo hafal benar suara si penelepon.
“Dari siapa Yok? Spontan Dipo mencecar.
“Tante Aaaad …”
“Sudah bapak taaah …” Kalimat Dipo terhalang, tercekat. Badannya yang tinggi besar dan masih menyisakan otot-otot atletis rubuh menimpa Suryo. Dingin, beku.

                                                                                                Bekasi, ujung 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar