Rabu, 23 Juli 2014

Keris Punakawan


fiksi budi nugroho

 Tubuhnya tampak sangat-sangat renta, kendati umurnya belum sampai pada angka enampuluh. Alih-alih menggerakkan tangan, menggeser-geser bibir buat berucap saja sedemikian muskil. Cuma bahasa mata yang tersisa untuk berkomunikasi dengan setiap orang yang membezuknya. Itupun dengan tatapan yang begitu nihil, sulit dipahami, sukar nyambung. Kalau sudah begini maka tinggal cucuran air mata yang menjadi tali sambung rasa, perekat ikatan perkerabatan.
 Kasihan, sungguh! Masa-masa keemasan, masa penuh gelora muda, masa perburuan harta duniawi dan ukhrawinya begitu cepat berlalu. Oh, Kasman, mengapa engkau demikian tak berdaya, tak lagi kuasa, tak lagi berharta, hilang ruh keakuanmu. Dokter telah memvonis: engkau mati suri. Organ dalam engkau –terutama ginjal—sudah tak mampu lagi menjalankan fungsi sentral sirkulasi dan pembersihan yang kotor-kotor dari tubuhmu.
 Kelima anak engkau Kasman, hanya si sulung Tjutjinah yang masih setia menunggui jasadmu yang tengah menggapai sakaratul maut. Empat lainnya dirasuki keasyikan menikmati pesan-pesan wasiat yang dipaksakan oleh mereka dengan dicap-jempoli jempolmu sepekan silam. Dalam pesan wasiat bertajuk ‘Wasiat untuk Anak-anakku’, engkau Kasman mewariskan angkot pada anak kedua Tjutjimi, puluhan pintu rumah petak kontrakan pada anak ketiga Tjutjimin, puluhan motor ojek pada anak keempat Tjutjiman, dan beberapa vila komersial di Megamendung pada si bungsu Tjutjijani. Hanya di sulung Tjutjinah yang tidak mendapat harta-harta macam dalam pesan wasiat engkau. Lantaran, harta-harta di luar itu seperti rumah dua lantai di atas tanah 1.000 meterpersegi dan dua kios grosir mainan anak-anak di Pasar Gembrong masuk dalam pelukan isterimu Sukarti. Tapi, Tjutjinah seolah menaruh asa atas kesetiaan menemanimu dalam kesendirian di senja buta. Entah, harap macam apa yang ada dalam benak Tjutjinah.
 Di kala semburat merah tinggal sejengkal di horizon langit barat itu, sebagai karibmu sedari kecil, aku mencoba menemani engkau. Barangkali aku dapat menunjukkan jalan terang yang engkau butuhkan. Aku mencoba kontak rasa dengan engkau Kasman. Tatap matamu masih komunikatif atas ajakanku berkontak batin. Bahkan, engkau Kasman, menjadi ceriwis di hadapanku.
 Tapi, sewaktu kutunjukkan jalan terang, engkau berteriak-teriak, “panas … panas … panas!” Tapi pula, manakala kuajak engkau menghitung-hitung hartamu, engkau Kasman sedemikian besar ingatanmu. Sampai-sampai detil di mana saja rumahmu, berapa jumlah angkotmu, di mana lokasi vilamu, berapa banyak pintu rumah petak kontrakan yang menjadi salah satu mesin pencetak uangmu setiap bulan, berapa jumlah pasti kios yang engkau sewakan di pasar-pasar tradisional Depok dan Bekasi, kepada siapa saja kios-kios itu engkau sewakan, engkau sangat hafal dan lancer bercerita. Padahal, selepas dhuhur tadi, mulutmu sudah terkunci rapat-rapat.
 Tanpa kutanya, engkau Kasman nyerocos, “Saya punya lima rumah, masing-masing di Jatikarya, Jatibening dan Jatipetamburan. Semua hak milik atas nama saya. Saya tak mau rumah-rumah itu jatuh ke anak-anakku, biarlah mereka berjuang sendiri-sendiri.”
 Terus saja engkau Kasman menceracau, “Angkot saya sekarang sudah 200 biji. Di STNK dan BPKB semua atas nama saya. Saya tidak percaya pada anak-anakku untuk mengelola angkot sebanyak itu. Biarlah saya sendiri yang terus mengelola.”
 “Apakah engkau masih sanggup mengelola semua itu? Percayakan saja pada anak-anakmu,” tanyaku kemudian.
 “Tidak, kalau cuma segitu saya masih sanggup. Itu masih ada 40 pintu rumah petak kontrakan di Kuningan Setiabudi, tiga vila komersial di Megamendung dan Cibogo. Ada lagi lima kios di Pasar Tradisional Bekasi dan 15 kios di Pasar Tradisional Depok. Semua saya sendiri yang menagih uang sewanya.”
 “Sekarang engkau sudah tidak bisa apa-apa lagi, cuma telentang di atas dipan. Relakan saja berpindah ke anak-anakmu.”
 “Tidak, saya akan hidup seribu tahun lagi. Saya tidak akan mati. Saya akan terus menekuni duniaku. Saya akan terus menikmati harta yang sudah bertahun-tahun saya kumpulkan.”
 “Kawan, manusia ada batas umur. Ingat, kaki langit pasti berbatas cakrawala, di tepian cakrabuana tergambar garis maya horizontal. Dan, ingat lagi, hujan sore-sore biasa berakhir dengan kemunculan pelangi. Cakrawala dan pelangi hanya sebuah pertanda keberakhiran gejala alam. Engkau Kasman, ingat, manusia pun bagian dari alam.”
 “Tidak. Saya bisa menguasai alam, menjinakkan keganasan alam. Jadi, saya berada di atas segala-galanya alam. Jangan bicara batas umur dan batas kedalaman sumur. Saya tak akan berakhir, sudah sejak lama saya siapkan.”
 “Siapkan apa Kasman?”
 “Yah, siapkan duit tentu!”
 “Memangnya ada yang jualan nyawa?”
 Aku mencoba kembali menunjuki jalan terang. Kuajak menyebut nama-Nya, mohon ampunan-Nya. Seketika mulut Kasman terkatup. Tinggal tersisa bahasa mata. Bila sudah begini, aku kembali mengajak Kasman mengobrolkan hartanya, dunianya dan isian yang membuat nyawanya tetap kerasan di raganya yang tak lagi bertenaga.
 “Saya kemarin minta uang dua juta rupiah pada isteriku untuk memperpanjang umur. Tapi, mengapa ia tidak kasih?” Kasman kembali siuman.
 “Untuk apa uang itu Kasman? Engkau tak butuh lagi!”
 “Tidak, saya mesti cuci darah supaya segar dan bertenaga.”
 “Bukankah dokter sudah angkat tangan. Kata isteri engkau, umurmu tinggal menunggu detik. Percuma saja dilakukan tindakan medis, buang-buang ongkos. Lebih baik uang itu disedekahkan kepada anak yatim-piatu. Dengan demikian jalan engkau jadi segar, terang dan lebar.”
 Mulut Kasman serta merta merapat. Mendengar kata-kata sedekah anak yatim mulut Kasman langsung berteriak-teriak, “panas … panas … panas!” Terlebih sesaat setelah aku membacakan Yaasiin. Kata-kata panas kian menyayat-nyayat, memilukan, mengundang iba, menghantar-hantar, lepas tapi tak lepas, dingin namun panas, melolong-lolong, penuh hari biru.
 Aku jadi bingung mesti berbuat apa lagi. Tidak ada siapa-siapa di sini, selain Tjutjinah. Dan, Tjutjinah yang anak kesayangan Kasman tentu tahu luar-dalam bapaknya. Sepertinya Tjutjinah mewarisi hobi Kasman yang suka menyepi di gua-gua, puasa mutih dan ngrowot serta tiap Jumat Kliwon pergi ke paranormal. Memburu lantas memasang isian atau ajian panjang umur.
 “Bagaimana Tjinah, apa yang menghambat bapakmu sampai sulit menemui Sang Maut?”
 “Apa lagi ya, perasaan saya sudah semuanya dikeluarkan, Pakdhe. Nggak tahu kalau masih ada satu atau dua yang tertinggal.”
 “Coba diingat-ingat kembali. Bapakmu tentu pernah bercerita ihwal semua lelaku nyepi dan dunia ajiannya yang selalu dibangga-banggakan itu.”
 “Oh ya Pakdhe, ada yang terlupakan. Itu keris bergagang kepala Semar masih tertinggal di sela-sela tulang rusuk. Tapi, buat tingkatan saya belum akan mampu mengeluarkannya,” jelas Tjutjinah.
 “Siapa yang memasang ajian saat itu? Cepat hubungi pemasangnya sekarang juga.”
 “Kalau tidak keliru, keris itu dari Ki Sobo Alas. Terakhir, dua hari lalu, bapak masih kontak dengan dukun kondang dari Alas Jati itu. Saya coba hubungi nanti, Pakdhe.”
 Aku tidak jelas benar menguping percakapan telepon tanpa kabel antara Tjutjinah dan Ki Sobo Alas. Lamat-lamat kudengar, “Gampang itu, pakai saja keris bertangkai kepala Gareng yang kuberikan pada kamu setahun silam setelah kuanggap kamu mumpuni pegang keris itu. Sesama punakawan pasti bisa bergandengan. Nanti kalau kamu bisa pegang kepala Semar, dua lagi –yang berkepala Petruk dan Bagong—buat kamu.”
 “Pakdhe, Ki Sobo Alas nggak bisa datang. Tapi, dia memberikan resep,” ujar Tjutjinah usai bertelepon.
 “Apa resepnya Tjinah? Langsung saja praktikkan agar bapakmu tidak terlalu lama tersiksa.”
 Tjutjinah langsung menempelkan sesuatu, sebilah keris seukuran empat sentimeter bertangkai kepala Gareng. Dengan wajah memerah, mata melotot, mengerjap-ngerjap, Tjutjinah terus melekatkan keris bertangkai kepala Gareng di sela-sela rusuk paling bawah kanan Kasman. Gosong, menghitam, sedikit berasap, keluarlah keris berukuran sama namun bergagang kepala Semar.
 Tjutjinah tertawa lebar. Puas. Raut mukanya sumringah. Memancarkan satu rasa riang seperti orang usai mendapatkan sesuatu yang telah lama diidam-idamkan sepanjang hayatnya. Tak peduli lagi pada bapaknya yang tengah menunggu detik-detik kedatangan Sang Maut.
 Pun isterimu Sukarti. Seolah merasa plong setelah menahan air bah yang hendak menerjang. Kontan Sukarti terkekeh-kekeh, suka ria, tahu hidup engkau Kasman segera tamat. Hilang sudah beban. Tinggal menikmati segunung harta di depan mata.
 Aku terbengong sesaat. Sebentar detik. Kutuntun Kasman menuju alam pancaroba ke keabadian. “Panas … panas … panas keluarkan saya … mana dua juta rupiah.” Grook … grook … slaap. Mata Kasman membelalak, mulutnya menganga.
 Sembari mengatupkan mulut Kasman, aku membatin, “… dari tanah kembali ke tanah musti benar-benar tanpa besi, tanpa timbal, tanpa kuningan, tanpa emas, tanpa vila, tanpa angkot, tanpa …”
                                                                                                                                            Bekasi, 2005

________
mutih : hanya makan nasih putih tanpa lauk.

ngrowot : semata-mata makan ubi-ubian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar