fiksi budi nugroho
Tubuhnya tampak
sangat-sangat renta, kendati umurnya belum sampai pada angka enampuluh.
Alih-alih menggerakkan tangan, menggeser-geser bibir buat berucap saja
sedemikian muskil. Cuma bahasa mata yang tersisa untuk berkomunikasi dengan
setiap orang yang membezuknya. Itupun dengan tatapan yang begitu nihil, sulit
dipahami, sukar nyambung. Kalau sudah begini maka tinggal cucuran air mata yang
menjadi tali sambung rasa, perekat ikatan perkerabatan.
Kasihan, sungguh!
Masa-masa keemasan, masa penuh gelora muda, masa perburuan harta duniawi dan
ukhrawinya begitu cepat berlalu. Oh, Kasman, mengapa engkau demikian tak
berdaya, tak lagi kuasa, tak lagi berharta, hilang ruh keakuanmu. Dokter telah
memvonis: engkau mati suri. Organ dalam engkau –terutama ginjal—sudah tak mampu
lagi menjalankan fungsi sentral sirkulasi dan pembersihan yang kotor-kotor dari
tubuhmu.
Kelima anak engkau
Kasman, hanya si sulung Tjutjinah yang masih setia menunggui jasadmu yang
tengah menggapai sakaratul maut. Empat lainnya dirasuki keasyikan menikmati
pesan-pesan wasiat yang dipaksakan oleh mereka dengan dicap-jempoli jempolmu
sepekan silam. Dalam pesan wasiat bertajuk ‘Wasiat untuk Anak-anakku’, engkau
Kasman mewariskan angkot pada anak kedua Tjutjimi, puluhan pintu rumah petak
kontrakan pada anak ketiga Tjutjimin, puluhan motor ojek pada anak keempat
Tjutjiman, dan beberapa vila komersial di Megamendung pada si bungsu
Tjutjijani. Hanya di sulung Tjutjinah yang tidak mendapat harta-harta macam
dalam pesan wasiat engkau. Lantaran, harta-harta di luar itu seperti rumah dua
lantai di atas tanah 1.000 meterpersegi dan dua kios grosir mainan anak-anak di
Pasar Gembrong masuk dalam pelukan isterimu Sukarti. Tapi, Tjutjinah seolah
menaruh asa atas kesetiaan menemanimu dalam kesendirian di senja buta. Entah,
harap macam apa yang ada dalam benak Tjutjinah.
Di kala semburat
merah tinggal sejengkal di horizon langit barat itu, sebagai karibmu sedari
kecil, aku mencoba menemani engkau. Barangkali aku dapat menunjukkan jalan
terang yang engkau butuhkan. Aku mencoba kontak rasa dengan engkau Kasman.
Tatap matamu masih komunikatif atas ajakanku berkontak batin. Bahkan, engkau
Kasman, menjadi ceriwis di hadapanku.
Tapi, sewaktu
kutunjukkan jalan terang, engkau berteriak-teriak, “panas … panas … panas!”
Tapi pula, manakala kuajak engkau menghitung-hitung hartamu, engkau Kasman
sedemikian besar ingatanmu. Sampai-sampai detil di mana saja rumahmu, berapa
jumlah angkotmu, di mana lokasi vilamu, berapa banyak pintu rumah petak
kontrakan yang menjadi salah satu mesin pencetak uangmu setiap bulan, berapa
jumlah pasti kios yang engkau sewakan di pasar-pasar tradisional Depok dan
Bekasi, kepada siapa saja kios-kios itu engkau sewakan, engkau sangat hafal dan
lancer bercerita. Padahal, selepas dhuhur tadi, mulutmu sudah terkunci
rapat-rapat.
Tanpa kutanya, engkau
Kasman nyerocos, “Saya punya lima rumah, masing-masing di Jatikarya, Jatibening
dan Jatipetamburan. Semua hak milik atas nama saya. Saya tak mau rumah-rumah
itu jatuh ke anak-anakku, biarlah mereka berjuang sendiri-sendiri.”
Terus saja engkau
Kasman menceracau, “Angkot saya sekarang sudah 200 biji. Di STNK dan BPKB semua
atas nama saya. Saya tidak percaya pada anak-anakku untuk mengelola angkot
sebanyak itu. Biarlah saya sendiri yang terus mengelola.”
“Apakah engkau masih
sanggup mengelola semua itu? Percayakan saja pada anak-anakmu,” tanyaku
kemudian.
“Tidak, kalau cuma
segitu saya masih sanggup. Itu masih ada 40 pintu rumah petak kontrakan di
Kuningan Setiabudi, tiga vila komersial di Megamendung dan Cibogo. Ada lagi
lima kios di Pasar Tradisional Bekasi dan 15 kios di Pasar Tradisional Depok.
Semua saya sendiri yang menagih uang sewanya.”
“Sekarang engkau
sudah tidak bisa apa-apa lagi, cuma telentang di atas dipan. Relakan saja
berpindah ke anak-anakmu.”
“Tidak, saya akan
hidup seribu tahun lagi. Saya tidak akan mati. Saya akan terus menekuni
duniaku. Saya akan terus menikmati harta yang sudah bertahun-tahun saya
kumpulkan.”
“Kawan, manusia ada
batas umur. Ingat, kaki langit pasti berbatas cakrawala, di tepian cakrabuana
tergambar garis maya horizontal. Dan, ingat lagi, hujan sore-sore biasa
berakhir dengan kemunculan pelangi. Cakrawala dan pelangi hanya sebuah pertanda
keberakhiran gejala alam. Engkau Kasman, ingat, manusia pun bagian dari alam.”
“Tidak. Saya bisa
menguasai alam, menjinakkan keganasan alam. Jadi, saya berada di atas
segala-galanya alam. Jangan bicara batas umur dan batas kedalaman sumur. Saya
tak akan berakhir, sudah sejak lama saya siapkan.”
“Siapkan apa Kasman?”
“Yah, siapkan duit
tentu!”
“Memangnya ada yang
jualan nyawa?”
Aku mencoba kembali
menunjuki jalan terang. Kuajak menyebut nama-Nya, mohon ampunan-Nya. Seketika
mulut Kasman terkatup. Tinggal tersisa bahasa mata. Bila sudah begini, aku
kembali mengajak Kasman mengobrolkan hartanya, dunianya dan isian yang membuat
nyawanya tetap kerasan di raganya yang tak lagi bertenaga.
“Saya kemarin minta
uang dua juta rupiah pada isteriku untuk memperpanjang umur. Tapi, mengapa ia
tidak kasih?” Kasman kembali siuman.
“Untuk apa uang itu
Kasman? Engkau tak butuh lagi!”
“Tidak, saya mesti
cuci darah supaya segar dan bertenaga.”
“Bukankah dokter
sudah angkat tangan. Kata isteri engkau, umurmu tinggal menunggu detik. Percuma
saja dilakukan tindakan medis, buang-buang ongkos. Lebih baik uang itu
disedekahkan kepada anak yatim-piatu. Dengan demikian jalan engkau jadi segar,
terang dan lebar.”
Mulut Kasman serta
merta merapat. Mendengar kata-kata sedekah anak yatim mulut Kasman langsung
berteriak-teriak, “panas … panas … panas!” Terlebih sesaat setelah aku
membacakan Yaasiin. Kata-kata panas
kian menyayat-nyayat, memilukan, mengundang iba, menghantar-hantar, lepas tapi
tak lepas, dingin namun panas, melolong-lolong, penuh hari biru.
Aku jadi bingung
mesti berbuat apa lagi. Tidak ada siapa-siapa di sini, selain Tjutjinah. Dan,
Tjutjinah yang anak kesayangan Kasman tentu tahu luar-dalam bapaknya.
Sepertinya Tjutjinah mewarisi hobi Kasman yang suka menyepi di gua-gua, puasa
mutih dan ngrowot serta tiap Jumat Kliwon pergi ke paranormal. Memburu lantas
memasang isian atau ajian panjang umur.
“Bagaimana Tjinah,
apa yang menghambat bapakmu sampai sulit menemui Sang Maut?”
“Apa lagi ya,
perasaan saya sudah semuanya dikeluarkan, Pakdhe. Nggak tahu kalau masih ada satu atau dua yang tertinggal.”
“Coba diingat-ingat
kembali. Bapakmu tentu pernah bercerita ihwal semua lelaku nyepi dan dunia
ajiannya yang selalu dibangga-banggakan itu.”
“Oh ya Pakdhe, ada
yang terlupakan. Itu keris bergagang kepala Semar masih tertinggal di sela-sela
tulang rusuk. Tapi, buat tingkatan saya belum akan mampu mengeluarkannya,”
jelas Tjutjinah.
“Siapa yang memasang
ajian saat itu? Cepat hubungi pemasangnya sekarang juga.”
“Kalau tidak keliru,
keris itu dari Ki Sobo Alas. Terakhir, dua hari lalu, bapak masih kontak dengan
dukun kondang dari Alas Jati itu. Saya coba hubungi nanti, Pakdhe.”
Aku tidak jelas benar
menguping percakapan telepon tanpa kabel antara Tjutjinah dan Ki Sobo Alas.
Lamat-lamat kudengar, “Gampang itu, pakai saja keris bertangkai kepala Gareng
yang kuberikan pada kamu setahun silam setelah kuanggap kamu mumpuni pegang
keris itu. Sesama punakawan pasti bisa bergandengan. Nanti kalau kamu bisa
pegang kepala Semar, dua lagi –yang berkepala Petruk dan Bagong—buat kamu.”
“Pakdhe, Ki Sobo Alas
nggak bisa datang. Tapi, dia
memberikan resep,” ujar Tjutjinah usai bertelepon.
“Apa resepnya Tjinah?
Langsung saja praktikkan agar bapakmu tidak terlalu lama tersiksa.”
Tjutjinah langsung
menempelkan sesuatu, sebilah keris seukuran empat sentimeter bertangkai kepala
Gareng. Dengan wajah memerah, mata melotot, mengerjap-ngerjap, Tjutjinah terus
melekatkan keris bertangkai kepala Gareng di sela-sela rusuk paling bawah kanan
Kasman. Gosong, menghitam, sedikit berasap, keluarlah keris berukuran sama
namun bergagang kepala Semar.
Tjutjinah tertawa
lebar. Puas. Raut mukanya sumringah. Memancarkan satu rasa riang seperti orang
usai mendapatkan sesuatu yang telah lama diidam-idamkan sepanjang hayatnya. Tak
peduli lagi pada bapaknya yang tengah menunggu detik-detik kedatangan Sang
Maut.
Pun isterimu Sukarti.
Seolah merasa plong setelah menahan air bah yang hendak menerjang. Kontan
Sukarti terkekeh-kekeh, suka ria, tahu hidup engkau Kasman segera tamat. Hilang
sudah beban. Tinggal menikmati segunung harta di depan mata.
Aku terbengong
sesaat. Sebentar detik. Kutuntun Kasman menuju alam pancaroba ke keabadian.
“Panas … panas … panas keluarkan saya … mana dua juta rupiah.” Grook … grook …
slaap. Mata Kasman membelalak, mulutnya menganga.
Sembari mengatupkan
mulut Kasman, aku membatin, “… dari tanah kembali ke tanah musti benar-benar
tanpa besi, tanpa timbal, tanpa kuningan, tanpa emas, tanpa vila, tanpa angkot,
tanpa …”
Bekasi, 2005
________
mutih : hanya
makan nasih putih tanpa lauk.
ngrowot :
semata-mata makan ubi-ubian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar