fiksi
budi nugroho
BAYANG
sang mentari belum sepenggalah naik. Rasa kantuk, sebenarnya amat sangat
menggelayut. Semalaman, memang, Dipo tak sedetik pun memejamkan matanya. Dia
mesti menuntaskan semua naskah yang pagi ini sudah harus naik cetak agar
lembaran majalahnya tidak telat di tangan khalayak pembaca setia. Terlebih,
edisi pekan ini majalahnya jualan kabar ihwal kematian seorag elit partai usai
berkencan dengan primadona Jalan Blora. Dipo merasa yakin majalahnya bakal laku
keras di pasaran karena dilengkapi laporan pengakuan sang primadona. Primadona
sintal nan bahenol yang mengaku berasal dari kampung tandus pegunungan kapur
utara Jawa ini menyebut-nyebut tokoh-tokoh elit yang pernah ia layani dengan
servis gratis. Ada pucuk eksekutif, ada dari legislatif lokal dan nasional, adalah
elit perusahaan yang tak goyah oleh badai krisis multidimensi, ada lagi mantan
menteri yang cukup sohor. Imbalannya, sederhana saja, sang primadona selalu
beroleh bocoran bakal digelarnya razia orang-orang pinggiran.
Jualan majalah Dipo mememantik rasa ingin beli
pembaca lantaran memuat hasil penelusuran yang menemukan catatan harian sang
primadona yang merekam semua obrolan sang primadona Jalan Blora dengan para
elit yang pernah dilayaninya. Betul-betul memantik rasa ingin baca. Bahkan,
Dipo merasa optimis akan cetak ulang dan berulang. Semalaman Dipo tidak sekadar
menyelesaikan naskah, dia mesti sampai memelototi satu per satu huruf yang
muncul di print out pracetak.
Rasa kantuk Dipo betul-betul tak tertahankan.
Tapi, Dipo terpaksa mengusirnya. Lebih dari sepuluh kali mengetuk pintu
rumahnya. Isterinya belum tetap jua membukakan. Menyahut pun tidak. “Aneh, ada
dengan isteriku. Tidak biasa-biasanya sesiang ini masih tidur,” gumam Dipo.
“Ketiduran kali, Pak Dipo. Tadi sampai jam tiga
menjelang subuh, isteri Pak Dipo masih ngobrol dengan tamunya yang kira-kira
umurnya sebaya Pak Dipo,” kata Pak Cucuk –tetangga sebelah rumah Dipo.
Dipo bagai disambar petir. “Siapa lelaki itu ya,
kok berani-beraninya bertamu sampai ujung dinihari. Apa yang dilakukan lelaki
itu dengan isteriku?” Dipo larut dalam tanya dan tanya penuh prasangka.
Detak jantung Dipo sampai angka seratus enam
puluh. “Jangan-jangan isteriku sudah ... ,” Dipo tak melanjutkan kalimatnya.
Dia menaruh syakwasangka pada isteri yang mendampinginya dalam sepuluh musim
terakhir.
Belum juga pintu dibuka. Omongan Pak Cucuk kembali
menyergap benaknya. Dipo, bahkan, sampai teringat pada ungkapan tetangga
sebelah rumahnya itu pada satu kesempatan giliran bersama ronda. “Bapak kok
diam saja, bukankah tadi siang isteri Pak Dipo pergi bersama lelaki sebaya
Bapak ke mal. Berdua semobil lagi. Noda di pelupuk mata kok tidak terlihat sih,” ujar Pak Cucuk. “Ah, Pak Cucuk
bisa saja ngarang cerita. Tadi siang aku telepon, isteriku ada di rumah,” balas
Dipo. Ditambah lagi penuturan Toni, bawahannya di lapangan. “Mas, Toni barusan lihat isteri Mas Dipo keluar
dari lobi hotel bersama dengan seorang kader yang tengah berada di atas angin,”
ungkap Toni suatu kali.
Dipo tak hendak menaruh prasangka buruk kendati
Pak Cucuk dan Toni mengaku tidak main-main dengan apa yang diucapkan. Dan,
isterinya selalu di rumah setiap kali ditinggal kerja. Itu diyakininya dengan
saban kali menelepon ke rumah senantiasa isterinya yang mengangkat gagang
telepon. Dipo bertambah yakin pada kelurusan isterinya lantaran anaknya yang
masih balita belum bisa ditinggal-tinggal pergi jauh. Bertambah-tambah yakin
lagi, isterinya selalu siap dihadapkan langsung dengan Toni atau Pak Cucuk
setiap kali Dipo menanyakan kabar miring seputar kelakuan isterinya.
Dipo, sebetulnya, sudah merasa kebal dengan
hal-ihwal begini. Karena, setiap hari dia bergulat dengan kabar-kabar miring.
Mulai dari perselingkuhan artis, serongnya seorang politisi, sampai kelakuan
miring seorang bupati setelah tiba di Jakarta mencopot seragamnya. Sesuatu,
yang di benak Dipo, seakan tak lagi dianggap menyimpang. Sesuatu yang seolah
lumrah. Siapa saja kini dapat melakukannya tanpa rasa sungkan, bahkan penuh
kebanggaan bercerita pada kolega-koleganya.
Tapi, manakala kata-kata itu mengambil subyek
isterinya, Dipo belum sepenuh hati menerimanya. Bahkan, Dipo sempat merasa
tersudut ketika sebait pesan singkat masuk ke ponselnya, “bgmn bila yang tampil polos di cover mjl Anda itu anak perempuan yg
Anda kasihi atau isteri Anda trcinta?” Dipo tak berani menanggapi pesan
singkat dari seorang pembaca ketika majalah yang dia pimpin didemo gara-gara
menampilkan artis tak terlalu kondang namun berani tampil polos.
Di pagi ini, kabar dari tetangga sebelah
benar-benar menyambar-nyambar. Kendati begitu, dengan bekal kabar itu tak
lantas Dipo bisa main sangka bahwa isterinya telah main serong dengan lelaki
yang sepertinya Dipo kenal dekat. Tetangga sebelah rumah pun merasa tidak
menyaksikan langsung apa yang dilakukan isteri Dipo dan tamunya sepanjang malam
sampai ujung dinihari. Tetangganya sekadar melihat ada tamu lelaki masuk rumah Dipo
selepas maghrib dan baru pulang menjelang subuh. Dan, dari beberapa kali
cerita, tamu yang datang lelaki yang itu-itu saja. Saban kali Dipo menanyakan
ke isterinya, jawabnya, “Jangan dengarkan omongan orang lain. Percayalah Mas
Dipo padaku.” Dipon pun tidak memperpanjang keraguannya.
Pagi ini, saat ini, Dipo setengah memergoki.
Ketukan demi ketukan pintu, tetap saja belum berjawab. Dipo kembali merayapi
pada tuduhan bahwa isterinya ada main manakala dirinya keluar rumah memburu
kabar-kabar miring. Terdiam di depan pintu. Ketukannya yang ke-13 teramat
kencang, membangunan isterinya yang ternyata masih lelap.
“Oh Mas Dipo, biasanya jam segini belum pulang,”
kata isteri Dipo sembari membukakan pintu. Tanpa sepatah kata pun, Dipo masuk,
menyisir ruang ke ruang, kolong meja demi kolong ranjang, langit dan langit, loteng
dan loteng, lipatan ke lipatan. Lenyap bayang lelaki sebaya yang dilukiskan
tetangga sebelah rumah. Menguap sudah aroma lelaki seumuran yang biki jakun
Dipo naik-turun. Melesat tapak-tapak kaki lelaki seusia Dipo di keheningan
suam-suam kuku sang mentari pagi. Nihil. Yang ada cuma isterinya dan anak
semata wayang yang juga masih nyenyak.
Amarah Dipo terlanjur memuncak. Dipo menggelandang
isterinya ke rumah tetangga sebelah yang mengaku melihat ada lelaki masuk
rumahnya kemarin usai maghrib. “Pak Cucuk, memang benar ada lelaki ke rumah saya sejak semalam
sampai tadi menjelang subuh?” tanya Dipo setiba di rumah Pak Cucuk.
“Sumpah Mas, aku tidak memasukkan siapapun selama
Mas tidak ada di rumah. Kalau tadi aku terlelap, bangun kesiangan, gara-gara
anak kita rewel semalaman. Masa Mas Dipo tidak percaya,” ujar isteri Dipo. Anak
semata wayang Dipo sendiri masih terlelap setelah menjelang dinihari tadi
meminum obat penurun panas.
Dipo tercenung. Guratan amarahnya sedikit
mengendor. Sebenarnya, dia ingin lebih menegaskan kesaksian Pak Cucuk. Dia
urungkan lantaran isterinya lebih dulu mengangkat sumpah.
Dipo terpaku dalam diam. Isterinya pun tergeming. Pak
Cucuk mematung saja. Pagi dalam bisu. Keringat dingin membasahi Dipo, dia takut
dimakan sumpah. Dia tak punya saksi selain isterinya dan sekadar ucapan Pak
Cucuk. Isterinya meyakini dirinya masih lurus-lurus dalam menjalani
rumah-tangganya bersama Dipo. Sukar, meski membakar.
Dipo gamang, dia tidak ingin rumah-tangganya bubar
gara-gara prasangka dan syakwasangka. Beberapa rekan seprofesinya mengalami
keretakan bahtera rumah tangga cuma lantaran masing-masing pihak bersumpah pada
keyakinan atas sebuah praduga. Sesuatu yang menjadi kebiasaan bagi Dipo dan
rekan-rekan ketika kehabisan isu jualan majalahnya. Mereka mengisukan artis
papan atas ada main dengan pejabat aktif, lalu melakukan pengecekan dengan
hasil: bantahan dari si artis dan sang pejabat yang bersangkutan. Begitu dan
begitu lagi. Ada main tanpa main. Sampai-sampai ada artis kondang benar-benar
pisah cerai setelah sebelumnya dijadikan obyek jualan gonjang-ganjing rumah
tangga orang terkenal. Padahal, sebelum-sebelumnya, biduk rumah tangga mereka
adem ayem, tiada beda prinsip, nihil selingkuh, tak digiyang badai asmara
segilima. Bilamana sudah demikian, Dipo dan rekan-rekannya merasa puas, merasa
majalahnya menjadi panutan terdepan dalam menelisik rumah tangga selebritis.
Kali ini, kepuasan itu bergeser menjadi rasa
bimbang. Dipo beroleh kabar prasangka dari Pak Cucuk, dari rekan sekantor, dari
tetangga jauh. Dipo memahami isterinya sangat setia, ikhlas menerima dirinya
apa adanya. Tapi, Dipo demikian menyelami dunianya saban hari di kantor. Sebuah
persuaan dunia maya dan dunia nyata. Dipo tak sanggup memisahkan, membedakan. Tetap
saja Dipo, sekali lagi, meminta isterinya angkat sumpah. Dan, Pak Cucuk juga
dia minta meyakinkan apa yang telah diucapkannya.
Dalam ketegangan pagi jelang siang itu, dua orang
rekan sekantor Dipo datang. Membawa kabar bahwa seorang pejabat keuangan kawin
lagi dengan seorang artis yang mulai turun pamor. Kabar perceraian sang pejabat
nyaris tak terdengar, tahu-tahu kawin lagi. Kedua rekan Dipo mengusung pula
kabar bahwa mereka melihat isteri Dipo berasyik-asyik di sebuah kafe hotel
berbintang.
Dipo merasa ada tenaga tambahan buat menghapus
noda di pelupuk matanya. Dua rekannya pun sangat meyakinkan. Tapi, isterinya
tetap kukuh pada pendiriannya tidak selingkuh dengan siapapun.
“Ah, isteriku tak bisa dibiarkan lagi, sungguh
terlalu ...” Suara Dipo tercekat. Parau. Menghilang bersama panasnya sang
mentari yang tengah tegak lurus. Melongo. Lidahnya kaku, kelu.
Beberapa jenak Dipo membisu. Dalam galau, kacau,
sekelompok orang datang. Berteriak-teriak. Mendobrak. Penuh amarah yang
memerah. Suara menyambar-nyambar, “Bakar ... bakar, dia membunuh karakter
partai, menebar fitnah ...”
Pentungan mengayun-ayun. Nyaris mengenai dahi
Dipo. Suara masih menyambar-nyambar. “Yang tewas di hotel bukan orang partai
kami ... harus dituntaskan di sini.” Buk .. buk...! Kayu kaso mendarat
bertubi-tubi di punggung Dipo. Babak beluar. Bau bensin mendekat. Dan ...
Jaka
Mulya, akhir 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar