Senin, 28 Juli 2014

Noda di Pelupuk Mata


fiksi budi nugroho

BAYANG sang mentari belum sepenggalah naik. Rasa kantuk, sebenarnya amat sangat menggelayut. Semalaman, memang, Dipo tak sedetik pun memejamkan matanya. Dia mesti menuntaskan semua naskah yang pagi ini sudah harus naik cetak agar lembaran majalahnya tidak telat di tangan khalayak pembaca setia. Terlebih, edisi pekan ini majalahnya jualan kabar ihwal kematian seorag elit partai usai berkencan dengan primadona Jalan Blora. Dipo merasa yakin majalahnya bakal laku keras di pasaran karena dilengkapi laporan pengakuan sang primadona. Primadona sintal nan bahenol yang mengaku berasal dari kampung tandus pegunungan kapur utara Jawa ini menyebut-nyebut tokoh-tokoh elit yang pernah ia layani dengan servis gratis. Ada pucuk eksekutif, ada dari legislatif lokal dan nasional, adalah elit perusahaan yang tak goyah oleh badai krisis multidimensi, ada lagi mantan menteri yang cukup sohor. Imbalannya, sederhana saja, sang primadona selalu beroleh bocoran bakal digelarnya razia orang-orang pinggiran.
Jualan majalah Dipo mememantik rasa ingin beli pembaca lantaran memuat hasil penelusuran yang menemukan catatan harian sang primadona yang merekam semua obrolan sang primadona Jalan Blora dengan para elit yang pernah dilayaninya. Betul-betul memantik rasa ingin baca. Bahkan, Dipo merasa optimis akan cetak ulang dan berulang. Semalaman Dipo tidak sekadar menyelesaikan naskah, dia mesti sampai memelototi satu per satu huruf yang muncul di print out pracetak.
Rasa kantuk Dipo betul-betul tak tertahankan. Tapi, Dipo terpaksa mengusirnya. Lebih dari sepuluh kali mengetuk pintu rumahnya. Isterinya belum tetap jua membukakan. Menyahut pun tidak. “Aneh, ada dengan isteriku. Tidak biasa-biasanya sesiang ini masih tidur,” gumam Dipo.
“Ketiduran kali, Pak Dipo. Tadi sampai jam tiga menjelang subuh, isteri Pak Dipo masih ngobrol dengan tamunya yang kira-kira umurnya sebaya Pak Dipo,” kata Pak Cucuk –tetangga sebelah rumah Dipo.
Dipo bagai disambar petir. “Siapa lelaki itu ya, kok berani-beraninya bertamu sampai ujung dinihari. Apa yang dilakukan lelaki itu dengan isteriku?” Dipo larut dalam tanya dan tanya penuh prasangka.
Detak jantung Dipo sampai angka seratus enam puluh. “Jangan-jangan isteriku sudah ... ,” Dipo tak melanjutkan kalimatnya. Dia menaruh syakwasangka pada isteri yang mendampinginya dalam sepuluh musim terakhir.
Belum juga pintu dibuka. Omongan Pak Cucuk kembali menyergap benaknya. Dipo, bahkan, sampai teringat pada ungkapan tetangga sebelah rumahnya itu pada satu kesempatan giliran bersama ronda. “Bapak kok diam saja, bukankah tadi siang isteri Pak Dipo pergi bersama lelaki sebaya Bapak ke mal. Berdua semobil lagi. Noda di pelupuk mata kok tidak terlihat sih,” ujar Pak Cucuk. “Ah, Pak Cucuk bisa saja ngarang cerita. Tadi siang aku telepon, isteriku ada di rumah,” balas Dipo. Ditambah lagi penuturan Toni, bawahannya di lapangan. “Mas, Toni barusan lihat isteri Mas Dipo keluar dari lobi hotel bersama dengan seorang kader yang tengah berada di atas angin,” ungkap Toni suatu kali.
Dipo tak hendak menaruh prasangka buruk kendati Pak Cucuk dan Toni mengaku tidak main-main dengan apa yang diucapkan. Dan, isterinya selalu di rumah setiap kali ditinggal kerja. Itu diyakininya dengan saban kali menelepon ke rumah senantiasa isterinya yang mengangkat gagang telepon. Dipo bertambah yakin pada kelurusan isterinya lantaran anaknya yang masih balita belum bisa ditinggal-tinggal pergi jauh. Bertambah-tambah yakin lagi, isterinya selalu siap dihadapkan langsung dengan Toni atau Pak Cucuk setiap kali Dipo menanyakan kabar miring seputar kelakuan isterinya.
Dipo, sebetulnya, sudah merasa kebal dengan hal-ihwal begini. Karena, setiap hari dia bergulat dengan kabar-kabar miring. Mulai dari perselingkuhan artis, serongnya seorang politisi, sampai kelakuan miring seorang bupati setelah tiba di Jakarta mencopot seragamnya. Sesuatu, yang di benak Dipo, seakan tak lagi dianggap menyimpang. Sesuatu yang seolah lumrah. Siapa saja kini dapat melakukannya tanpa rasa sungkan, bahkan penuh kebanggaan bercerita pada kolega-koleganya.
Tapi, manakala kata-kata itu mengambil subyek isterinya, Dipo belum sepenuh hati menerimanya. Bahkan, Dipo sempat merasa tersudut ketika sebait pesan singkat masuk ke ponselnya, “bgmn bila yang tampil polos di cover mjl Anda itu anak perempuan yg Anda kasihi atau isteri Anda trcinta?” Dipo tak berani menanggapi pesan singkat dari seorang pembaca ketika majalah yang dia pimpin didemo gara-gara menampilkan artis tak terlalu kondang namun berani tampil polos.
Di pagi ini, kabar dari tetangga sebelah benar-benar menyambar-nyambar. Kendati begitu, dengan bekal kabar itu tak lantas Dipo bisa main sangka bahwa isterinya telah main serong dengan lelaki yang sepertinya Dipo kenal dekat. Tetangga sebelah rumah pun merasa tidak menyaksikan langsung apa yang dilakukan isteri Dipo dan tamunya sepanjang malam sampai ujung dinihari. Tetangganya sekadar melihat ada tamu lelaki masuk rumah Dipo selepas maghrib dan baru pulang menjelang subuh. Dan, dari beberapa kali cerita, tamu yang datang lelaki yang itu-itu saja. Saban kali Dipo menanyakan ke isterinya, jawabnya, “Jangan dengarkan omongan orang lain. Percayalah Mas Dipo padaku.” Dipon pun tidak memperpanjang keraguannya.
Pagi ini, saat ini, Dipo setengah memergoki. Ketukan demi ketukan pintu, tetap saja belum berjawab. Dipo kembali merayapi pada tuduhan bahwa isterinya ada main manakala dirinya keluar rumah memburu kabar-kabar miring. Terdiam di depan pintu. Ketukannya yang ke-13 teramat kencang, membangunan isterinya yang ternyata masih lelap.
“Oh Mas Dipo, biasanya jam segini belum pulang,” kata isteri Dipo sembari membukakan pintu. Tanpa sepatah kata pun, Dipo masuk, menyisir ruang ke ruang, kolong meja demi kolong ranjang, langit dan langit, loteng dan loteng, lipatan ke lipatan. Lenyap bayang lelaki sebaya yang dilukiskan tetangga sebelah rumah. Menguap sudah aroma lelaki seumuran yang biki jakun Dipo naik-turun. Melesat tapak-tapak kaki lelaki seusia Dipo di keheningan suam-suam kuku sang mentari pagi. Nihil. Yang ada cuma isterinya dan anak semata wayang yang juga masih nyenyak.
Amarah Dipo terlanjur memuncak. Dipo menggelandang isterinya ke rumah tetangga sebelah yang mengaku melihat ada lelaki masuk rumahnya kemarin usai maghrib. “Pak Cucuk, memang  benar ada lelaki ke rumah saya sejak semalam sampai tadi menjelang subuh?” tanya Dipo setiba di rumah Pak Cucuk.
“Sumpah Mas, aku tidak memasukkan siapapun selama Mas tidak ada di rumah. Kalau tadi aku terlelap, bangun kesiangan, gara-gara anak kita rewel semalaman. Masa Mas Dipo tidak percaya,” ujar isteri Dipo. Anak semata wayang Dipo sendiri masih terlelap setelah menjelang dinihari tadi meminum obat penurun panas.
Dipo tercenung. Guratan amarahnya sedikit mengendor. Sebenarnya, dia ingin lebih menegaskan kesaksian Pak Cucuk. Dia urungkan lantaran isterinya lebih dulu mengangkat sumpah.
Dipo terpaku dalam diam. Isterinya pun tergeming. Pak Cucuk mematung saja. Pagi dalam bisu. Keringat dingin membasahi Dipo, dia takut dimakan sumpah. Dia tak punya saksi selain isterinya dan sekadar ucapan Pak Cucuk. Isterinya meyakini dirinya masih lurus-lurus dalam menjalani rumah-tangganya bersama Dipo. Sukar, meski membakar.
Dipo gamang, dia tidak ingin rumah-tangganya bubar gara-gara prasangka dan syakwasangka. Beberapa rekan seprofesinya mengalami keretakan bahtera rumah tangga cuma lantaran masing-masing pihak bersumpah pada keyakinan atas sebuah praduga. Sesuatu yang menjadi kebiasaan bagi Dipo dan rekan-rekan ketika kehabisan isu jualan majalahnya. Mereka mengisukan artis papan atas ada main dengan pejabat aktif, lalu melakukan pengecekan dengan hasil: bantahan dari si artis dan sang pejabat yang bersangkutan. Begitu dan begitu lagi. Ada main tanpa main. Sampai-sampai ada artis kondang benar-benar pisah cerai setelah sebelumnya dijadikan obyek jualan gonjang-ganjing rumah tangga orang terkenal. Padahal, sebelum-sebelumnya, biduk rumah tangga mereka adem ayem, tiada beda prinsip, nihil selingkuh, tak digiyang badai asmara segilima. Bilamana sudah demikian, Dipo dan rekan-rekannya merasa puas, merasa majalahnya menjadi panutan terdepan dalam menelisik rumah tangga selebritis.
Kali ini, kepuasan itu bergeser menjadi rasa bimbang. Dipo beroleh kabar prasangka dari Pak Cucuk, dari rekan sekantor, dari tetangga jauh. Dipo memahami isterinya sangat setia, ikhlas menerima dirinya apa adanya. Tapi, Dipo demikian menyelami dunianya saban hari di kantor. Sebuah persuaan dunia maya dan dunia nyata. Dipo tak sanggup memisahkan, membedakan. Tetap saja Dipo, sekali lagi, meminta isterinya angkat sumpah. Dan, Pak Cucuk juga dia minta meyakinkan apa yang telah diucapkannya.
Dalam ketegangan pagi jelang siang itu, dua orang rekan sekantor Dipo datang. Membawa kabar bahwa seorang pejabat keuangan kawin lagi dengan seorang artis yang mulai turun pamor. Kabar perceraian sang pejabat nyaris tak terdengar, tahu-tahu kawin lagi. Kedua rekan Dipo mengusung pula kabar bahwa mereka melihat isteri Dipo berasyik-asyik di sebuah kafe hotel berbintang.
Dipo merasa ada tenaga tambahan buat menghapus noda di pelupuk matanya. Dua rekannya pun sangat meyakinkan. Tapi, isterinya tetap kukuh pada pendiriannya tidak selingkuh dengan siapapun.
“Ah, isteriku tak bisa dibiarkan lagi, sungguh terlalu ...” Suara Dipo tercekat. Parau. Menghilang bersama panasnya sang mentari yang tengah tegak lurus. Melongo. Lidahnya kaku, kelu.
Beberapa jenak Dipo membisu. Dalam galau, kacau, sekelompok orang datang. Berteriak-teriak. Mendobrak. Penuh amarah yang memerah. Suara menyambar-nyambar, “Bakar ... bakar, dia membunuh karakter partai, menebar fitnah ...”
Pentungan mengayun-ayun. Nyaris mengenai dahi Dipo. Suara masih menyambar-nyambar. “Yang tewas di hotel bukan orang partai kami ... harus dituntaskan di sini.” Buk .. buk...! Kayu kaso mendarat bertubi-tubi di punggung Dipo. Babak beluar. Bau bensin mendekat. Dan ...


Jaka Mulya, akhir 2004    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar