Selasa, 29 Juli 2014

Pembawa Kayu Bakar


fiksi budi nugroho

Sepenggal jalan hayat Dipodisastro, semalam, seolah memanggang ulu hatinya. Hayat yang kelam nan menghanyutkan saat masih timur. Dan baru, baru berhenti ketika dokter memberi pilihan: stop bertualang ataukah hidup nihil kekebalan tubuh. Yang tersisa kini cuma rasa sesal dan sesal di benak yang berbenak. Semakin berbenak bertambah tebal rasa sesal.
Dipodisastro jadi merasa betapa ikhtiarnya selama ini sia-sia belaka. Betapa kebanggaan itu sesuatu yang fana. Bahkan, Dipodisastro sampai tidak berani tegak muka di hadapan mertua-mertuanya.
Dipodisastro menyesali diri, mengapa sepenggal jalan hayatnya diwarnai oleh tingkah nikmat membawa sengsara. Sesal senantiasa datang belakangan. Sungguh panas memanggang ulu hati.
Beberapa hari belakangan hati Dipodisastro terasa seakan terpanggang. Isteri-isteri cantik yang selalu sigap melayani. Rumah-rumah mewah yang berpendingin dengan embusan angin hutan cemara. Pengakuan diri yang tengah berada di puncaknya puncak. Nikmat-nikmat yang membanggakan. Tak berguna, tiada manfaat.
***
Sebetulnya Dipodisastro telah berusaha mengubur dalam-dalam. Agar dirinya tetap wangi. Supaya tak kecipratan bau bacin. Agar tak menjadi kayu bakar yang membawa bedebah. Terlebih, kendati sudah berada di senja hari, Dipodisastro masih eksis di puncak kebanggaan, belum ada tanda-tanda segera turun.
Yah, Dipodisastro cukup sempurna dalam mengubur sepenggal jalan hayatnya. Tapi, walau kecil, bara tetaplah bara, sedikit terpercik bensin tersulut pula seluruh isi rumah Dipodisastro.
Dipodisastro tidak habis pikir. Mengapa tiba-tiba bara yang telah terpendam dalam-dalam muncul ke permukaan lagi. Siapa yang menabur sekam di bara yang di mata Dipodisastro telah padam. Siapa pula yang memercikkan bensin. Dipodisastro tidak mengerti. Entah!
***
Bila saja Tina, anak Dipodisastro dari isteri pertama, tidak terlalu gaul, Dipodisastro merasa adem ayem. Terlebih lagi dia tinggal menikmati sisa umur yang tinggal menunggu beduk maghrib.
Tina memang anak gaul, anak dunia gemerlap. Kendati bapaknya orang terhormat, ia akrab-akrab dengan kaum papa kota. Walau bapaknya orang dihormat, ia sangat dekat pada dunia nikmat orang-orang sarat syahwat. Meski bapaknya gila hormat, ia justru kerap merangkul orang-orang marjinal di titik sasar operasi sadar.
Aha, Tina memang hebat. Sampai-sampai ia tak mengenali lagi satu per satu karib kenalan. Bahkan, acapkali ia menjadi tameng dunia nikmat orang-orang berkalang hidung belang. Dan, inilah awal pangkal Dipodisastro harus cepat-cepat memadamkan bara yang boleh jadi ada bara demi bara susul-menyusul.
Suatu waktu Tina berkenalan dengan seorang pemasok berbagai kebutuhan orang-orang penikmat syahwat duniawi. Seorang perempuan yang supel, ia tidak menaruh sedikit pun syakwasangka. Lebih-lebih orang yang minta berkenalan itu, di mata umum, baik-baik saja. Dan, memang, predikat baik-baik itu yang masuk menusuk telinga Tina.
Petang baru saja bergeser ke malam. Tina belum juga pulang. Kepada ibunda, ia berkabar, akan pulang agak telat. Ada persuaan dengan kawan spesial yang tak dapat ditunda. Entahlah, belakangan ini Tina kerap telat pulang. Bahkan, acap tidak bermalam di rumah. Ibunda maklum, beginilah jalan hidup anak muda sosialita.
Dentang jam di dinding ruang keluarga rumah Dipodisastro tepat di angka duabelas. Tina belum pula menapakkan langkah di rumah. Was-was ibunda. Sedikit lega setelah Tina menambahi kabar, ia sedang ada omong-omong dengan beberapa kolega. Bisnis dan bisnis, Tina yang kini telah memiliki petak apartemen di jantung kota menapaki hari-harinya.
Naluri ibunda terusik. Sampai paruh malam itu, ibunda masih sulit memejamkan mata. Iseng-iseng ibunda menghidupkan layar televisi tepat pada channel yang khusus berisi berita selama 24 jam. Ibunda sedikit terkaget-kaget, sebuah headline news: seorang lelaki tampan baik-baik ditangkap di sebuah apartemen mewah selagi mengisap dunia nikmat bersama pacarnya. “Haah, bukankah perempuan itu Tina?” ibunda terperanjat melihat tayangan lengkap sinema kriminal Indonesia itu.
“Ah, mudah-mudahan bukan Tina, mana mungkin Tina terjerumus kesana. Apalagi, Tina kan belum punya pacar,” gumam ibunda.
Namun, ibunda tak dapat lagi menyembunyikan rasa was-was. Terlebih, Tina adalah satu-satunya perempuan di antara enam anak ibunda dari Dipodisastrodisastro. Ibunda kembali mencoba memejamkan mata. Rasa-perasaan keibuannya bergolak. Mata tetap saja terbuka walau rasa kantuk sangat menggelayut.
Pagi-pagi pun cepat-cepat merayap. Layar gelas berita 24 jam kembali dengan aneka warna kabar. Degup jantung ibunda meninggi, apa yang telah didengarnya tengah malam tadi lagi-lagi mengusik. Perempuan yang wajahnya persis Tina menghiasi kembali menghiasi layar gelas. Dibumbui warna-warni kehidupannya, termasuk ketidak-jelasan asal-usul nasabnya. Bumbu semakin pedas karena adanya pengakuan bahwa perempuan mirip Tina itu anak keturunan seorang pejabat yang terhormat.
“Jangan-jangan memang Tina beneran,” ibunda kembali bergumam. Tapi, baru saja Tina berkabar lewat pesan pendek bahwa dirinya baik-baik saja di apartemennya. Ibunda rada tenang. Sebentar menit, Tina menampakkan batang hidungnya. Lusuh, kuyu, tak berjiwa. Gundah gelisah. Ibunda pikir, bedebah apa yang menyelusup ke diri Tina semalam.
Kabar di layar gelas memukul-mukul benak ibunda. Bertambah keras. Ditingkahi koran-koran pagi yang mengangkat tema utama ihwal penangkapan seorang lelaki tampan baik-baik pemasok segala kebutuhan orang-orang pemuja nikmat duniawi.
***
Dipodisastro bangun dari tidurnya. Ibunda masih meratap-ratap, mengapa ada perempuan berparas persis Tina, anaknya. Cara berkursi. Gaya melenggang. Tinggi semampai.sampai pada intonasi suara di saat menjawab pertanyaan lawan bicara.
Boleh perempuan itu memang betul-betul Tina. Namun, setahu ibunda, dari isteri-isteri muda, Dipodisastro belum dikaruniai anak seumuran Tina. Hampir semuanya masih di bawah delapan-belas.
“Sudahlah Bu, ndak ada yang perlu diratapi,” tutur Dipodisastro berusaha menenangkan ibunda. Ibunda malah bertambah meratap-ratap.
“Toh, Tina sudah pulang selamat kan. Ayo kita sarapan,” ajak Dipodisastro sembari terus menyirami hati ibunda.
Dipodisastro tetap tenang. Persoalan telah selesai dengan kepulangan Tina ke rumah. Dipodisastro merasa yakin anak-anak dari isteri-isterinya berada di jalan lurus. Termasuk Tina.
***
Episode-episode sinema kriminal pagi itu membuat cemas hati Dipodisastro. Rasa tenangnya kembali terusik. Episode kali ini tidak sebatas pada pengakuan perempuan berparas persis Tina. Dibumbui pula oleh testimoni seorang perempuan paruh baya yang tidak lain adalah ibu dari perempuan berparas persis Tina.
Aha, berkerut keras kening Dipodisastro. “Oh itu Winarni yang pernah kujumpa di sekitar Planet Senen tigapuluh tahun lampau. Jadi ...,” Dipodisastro merasakan jantungnya mau copot, keringat dingin mengucur deras.
Pada episode kali ini, Winarni berkisah bahwa anaknya memang tidak jelas siapa ayahnya. Lantaran, Winarni mengaku, di waktu silam itu dia adalah seorang primadona Planet Senen dan sekitarnya. Yang ia ingat ada seorang pelanggan setia yang sekarang menjadi seorang pejabat terhormat, dihormat dan gila hormat. Yang kini ia pun tahu, anaknya berpacaran dengan lelaki tampan pemasok segala kebutuhan orang-orang pemuja syahwat. Dan yang sangat ia pahami, anaknya mengenal akrab bandar-bandar sabu sohor seperti Tina, Ruri, Rivan, Karmel, Baji dan Badrul.
“Rivan, Baji, Badrul, Tina, mereka-kah anak-anakku? Ruri, Karmel, adakah mereka isteri-isteriku?” Dipodisastro bergumam. Kali ini dia tidak mampu lolos dari sergapan rasa resah-gelisah. Keringat dingin terus menderas.
“Tidak Bu, tidak bisa dibiarkan. Ibu harus menjelaskan, itu semua fitnah,” Dipodisastro menyentak ibunda.
Pada episode lanjut, Ruri dan Karmel angkat bicara. Ruri mengaku sebagai isteri kelima Dipodisastro. Dan, ia menolak mentah-mentah dikatikan dengan jejaring pemasok segala kebutuhan orang-orang pemija syahwat. Karmel, ia mengaku, sebagai isteri keempat Dipodisastro. Ia tidak menerima perlakuan media massa yang menghubungkan dirinya dengan jalur sutera Manggadua-Kebayoran.
Dipodisastro semakin kepanasan, cucuran keringat terus mengucur deras. Teringat dulu tatkala menapak ke puncak tapak karir. Dia bonsaikan kawan-kawan dan lawan-lawan yang sekiranya bakal jadi perintang. Entah lewat fitnah di garis terlarang, melanggar undang-undang perkawinnan atau melindungi bisnis di ranah abu-abu.
Panas semakin membara. Ibunda, kepada insan pers yang menyambanginya, mengaku dirinya sebagai bagian dari jejaring Winarni, Karmel dan Ruri. Lengkap sudah tumpukan kayu bakar memanggang hari-hari renta Dipodisastrodisastro. ***

Jaka Mulya, medio September 2012              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar