fiksi
budi nugroho
Sepenggal jalan hayat Dipodisastro, semalam, seolah
memanggang ulu hatinya. Hayat yang kelam nan menghanyutkan saat masih timur.
Dan baru, baru berhenti ketika dokter memberi pilihan: stop bertualang ataukah
hidup nihil kekebalan tubuh. Yang tersisa kini cuma rasa sesal dan sesal di
benak yang berbenak. Semakin berbenak bertambah tebal rasa sesal.
Dipodisastro jadi merasa betapa ikhtiarnya selama
ini sia-sia belaka. Betapa kebanggaan itu sesuatu yang fana. Bahkan, Dipodisastro
sampai tidak berani tegak muka di hadapan mertua-mertuanya.
Dipodisastro menyesali diri, mengapa sepenggal
jalan hayatnya diwarnai oleh tingkah nikmat membawa sengsara. Sesal senantiasa
datang belakangan. Sungguh panas memanggang ulu hati.
Beberapa hari belakangan hati Dipodisastro terasa
seakan terpanggang. Isteri-isteri cantik yang selalu sigap melayani.
Rumah-rumah mewah yang berpendingin dengan embusan angin hutan cemara.
Pengakuan diri yang tengah berada di puncaknya puncak. Nikmat-nikmat yang
membanggakan. Tak berguna, tiada manfaat.
***
Sebetulnya Dipodisastro telah berusaha mengubur
dalam-dalam. Agar dirinya tetap wangi. Supaya tak kecipratan bau bacin. Agar
tak menjadi kayu bakar yang membawa bedebah. Terlebih, kendati sudah berada di
senja hari, Dipodisastro masih eksis di puncak kebanggaan, belum ada tanda-tanda
segera turun.
Yah, Dipodisastro cukup sempurna dalam mengubur
sepenggal jalan hayatnya. Tapi, walau kecil, bara tetaplah bara, sedikit
terpercik bensin tersulut pula seluruh isi rumah Dipodisastro.
Dipodisastro tidak habis pikir. Mengapa tiba-tiba
bara yang telah terpendam dalam-dalam muncul ke permukaan lagi. Siapa yang
menabur sekam di bara yang di mata Dipodisastro telah padam. Siapa pula yang
memercikkan bensin. Dipodisastro tidak mengerti. Entah!
***
Bila saja Tina, anak Dipodisastro dari isteri pertama,
tidak terlalu gaul, Dipodisastro merasa adem ayem. Terlebih lagi dia tinggal
menikmati sisa umur yang tinggal menunggu beduk maghrib.
Tina memang anak gaul, anak dunia gemerlap. Kendati
bapaknya orang terhormat, ia akrab-akrab dengan kaum papa kota. Walau bapaknya
orang dihormat, ia sangat dekat pada dunia nikmat orang-orang sarat syahwat.
Meski bapaknya gila hormat, ia justru kerap merangkul orang-orang marjinal di
titik sasar operasi sadar.
Aha, Tina memang hebat. Sampai-sampai ia tak
mengenali lagi satu per satu karib kenalan. Bahkan, acapkali ia menjadi tameng
dunia nikmat orang-orang berkalang hidung belang. Dan, inilah awal pangkal Dipodisastro
harus cepat-cepat memadamkan bara yang boleh jadi ada bara demi bara
susul-menyusul.
Suatu waktu Tina berkenalan dengan seorang pemasok berbagai
kebutuhan orang-orang penikmat syahwat duniawi. Seorang perempuan yang supel,
ia tidak menaruh sedikit pun syakwasangka. Lebih-lebih orang yang minta
berkenalan itu, di mata umum, baik-baik saja. Dan, memang, predikat baik-baik
itu yang masuk menusuk telinga Tina.
Petang baru saja bergeser ke malam. Tina belum juga
pulang. Kepada ibunda, ia berkabar, akan pulang agak telat. Ada persuaan dengan
kawan spesial yang tak dapat ditunda. Entahlah, belakangan ini Tina kerap telat
pulang. Bahkan, acap tidak bermalam di rumah. Ibunda maklum, beginilah jalan
hidup anak muda sosialita.
Dentang jam di dinding ruang keluarga rumah Dipodisastro
tepat di angka duabelas. Tina belum pula menapakkan langkah di rumah. Was-was
ibunda. Sedikit lega setelah Tina menambahi kabar, ia sedang ada omong-omong
dengan beberapa kolega. Bisnis dan bisnis, Tina yang kini telah memiliki petak
apartemen di jantung kota menapaki hari-harinya.
Naluri ibunda terusik. Sampai paruh malam itu,
ibunda masih sulit memejamkan mata. Iseng-iseng ibunda menghidupkan layar
televisi tepat pada channel yang
khusus berisi berita selama 24 jam. Ibunda sedikit terkaget-kaget, sebuah headline news: seorang lelaki tampan
baik-baik ditangkap di sebuah apartemen mewah selagi mengisap dunia nikmat
bersama pacarnya. “Haah, bukankah perempuan itu Tina?” ibunda terperanjat
melihat tayangan lengkap sinema kriminal Indonesia itu.
“Ah, mudah-mudahan bukan Tina, mana mungkin Tina
terjerumus kesana. Apalagi, Tina kan belum punya pacar,” gumam ibunda.
Namun, ibunda tak dapat lagi menyembunyikan rasa
was-was. Terlebih, Tina adalah satu-satunya perempuan di antara enam anak
ibunda dari Dipodisastrodisastro. Ibunda kembali mencoba memejamkan mata.
Rasa-perasaan keibuannya bergolak. Mata tetap saja terbuka walau rasa kantuk
sangat menggelayut.
Pagi-pagi pun cepat-cepat merayap. Layar gelas
berita 24 jam kembali dengan aneka warna kabar. Degup jantung ibunda meninggi, apa
yang telah didengarnya tengah malam tadi lagi-lagi mengusik. Perempuan yang
wajahnya persis Tina menghiasi kembali menghiasi layar gelas. Dibumbui
warna-warni kehidupannya, termasuk ketidak-jelasan asal-usul nasabnya. Bumbu
semakin pedas karena adanya pengakuan bahwa perempuan mirip Tina itu anak keturunan
seorang pejabat yang terhormat.
“Jangan-jangan memang Tina beneran,” ibunda kembali bergumam. Tapi, baru saja Tina berkabar
lewat pesan pendek bahwa dirinya baik-baik saja di apartemennya. Ibunda rada
tenang. Sebentar menit, Tina menampakkan batang hidungnya. Lusuh, kuyu, tak
berjiwa. Gundah gelisah. Ibunda pikir, bedebah apa yang menyelusup ke diri Tina
semalam.
Kabar di layar gelas memukul-mukul benak ibunda.
Bertambah keras. Ditingkahi koran-koran pagi yang mengangkat tema utama ihwal
penangkapan seorang lelaki tampan baik-baik pemasok segala kebutuhan
orang-orang pemuja nikmat duniawi.
***
Dipodisastro bangun dari tidurnya. Ibunda masih
meratap-ratap, mengapa ada perempuan berparas persis Tina, anaknya. Cara
berkursi. Gaya melenggang. Tinggi semampai.sampai pada intonasi suara di saat
menjawab pertanyaan lawan bicara.
Boleh perempuan itu memang betul-betul Tina. Namun,
setahu ibunda, dari isteri-isteri muda, Dipodisastro belum dikaruniai anak
seumuran Tina. Hampir semuanya masih di bawah delapan-belas.
“Sudahlah Bu, ndak
ada yang perlu diratapi,” tutur Dipodisastro berusaha menenangkan ibunda. Ibunda
malah bertambah meratap-ratap.
“Toh, Tina sudah pulang selamat kan. Ayo kita
sarapan,” ajak Dipodisastro sembari terus menyirami hati ibunda.
Dipodisastro tetap tenang. Persoalan telah selesai
dengan kepulangan Tina ke rumah. Dipodisastro merasa yakin anak-anak dari isteri-isterinya
berada di jalan lurus. Termasuk Tina.
***
Episode-episode sinema kriminal pagi itu membuat
cemas hati Dipodisastro. Rasa tenangnya kembali terusik. Episode kali ini tidak
sebatas pada pengakuan perempuan berparas persis Tina. Dibumbui pula oleh
testimoni seorang perempuan paruh baya yang tidak lain adalah ibu dari
perempuan berparas persis Tina.
Aha, berkerut keras kening Dipodisastro. “Oh itu
Winarni yang pernah kujumpa di sekitar Planet Senen tigapuluh tahun lampau.
Jadi ...,” Dipodisastro merasakan jantungnya mau copot, keringat dingin
mengucur deras.
Pada episode kali ini, Winarni berkisah bahwa
anaknya memang tidak jelas siapa ayahnya. Lantaran, Winarni mengaku, di waktu
silam itu dia adalah seorang primadona Planet Senen dan sekitarnya. Yang ia
ingat ada seorang pelanggan setia yang sekarang menjadi seorang pejabat
terhormat, dihormat dan gila hormat. Yang kini ia pun tahu, anaknya berpacaran
dengan lelaki tampan pemasok segala kebutuhan orang-orang pemuja syahwat. Dan
yang sangat ia pahami, anaknya mengenal akrab bandar-bandar sabu sohor seperti
Tina, Ruri, Rivan, Karmel, Baji dan Badrul.
“Rivan, Baji, Badrul, Tina, mereka-kah anak-anakku?
Ruri, Karmel, adakah mereka isteri-isteriku?” Dipodisastro bergumam. Kali ini
dia tidak mampu lolos dari sergapan rasa resah-gelisah. Keringat dingin terus
menderas.
“Tidak Bu, tidak bisa dibiarkan. Ibu harus
menjelaskan, itu semua fitnah,” Dipodisastro menyentak ibunda.
Pada episode lanjut, Ruri dan Karmel angkat bicara.
Ruri mengaku sebagai isteri kelima Dipodisastro. Dan, ia menolak mentah-mentah
dikatikan dengan jejaring pemasok segala kebutuhan orang-orang pemija syahwat.
Karmel, ia mengaku, sebagai isteri keempat Dipodisastro. Ia tidak menerima
perlakuan media massa yang menghubungkan dirinya dengan jalur sutera
Manggadua-Kebayoran.
Dipodisastro semakin kepanasan, cucuran keringat
terus mengucur deras. Teringat dulu tatkala menapak ke puncak tapak karir. Dia
bonsaikan kawan-kawan dan lawan-lawan yang sekiranya bakal jadi perintang. Entah
lewat fitnah di garis terlarang, melanggar undang-undang perkawinnan atau
melindungi bisnis di ranah abu-abu.
Panas semakin membara. Ibunda, kepada insan pers
yang menyambanginya, mengaku dirinya sebagai bagian dari jejaring Winarni,
Karmel dan Ruri. Lengkap sudah tumpukan kayu bakar memanggang hari-hari renta Dipodisastrodisastro.
***
Jaka
Mulya, medio September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar