Rabu, 30 Juli 2014

R e h a t

Fiksi budi nugroho


KRIIING ...kriiiing ...kriiing...
Di tengah keasyikan memasak di dapur, siang itu, Sumi buru-buru lari kecil ke telepon yang ada di ruang tamu rumahnya. Ia hafal betul tatkala tengah hari begini, Baskoro (suaminya) menelepon dari kantornya di menanyakan hal-ihwal yang ada di rumah. Ihwal anaknya, ihwal menu hari ini, sampai ihwal kedatangan juru tagih yang kadang menghardik tanpa basa-basi.
Dalam umur perkawinanya yang mendekati sewindu itu, Baskoro masih memperlihatkan keintimannya pada Sumi seperti ketika masih berpacaran. Sapa intim dan sentuhan halus ragawi tetap saja menyelimuti bahtera rumah tangga yang telah dikarunia seorang anak itu.
Baskoro betul-betul tampil sebagai suami yang baik hati, penuh perhatian, sayang anak dan kasih isteri. Bahkan, di mata mertuanya, Baskoro bagai dewa enolong yang menghidupi keseharian pertuanya yang telah pensiun namun masih harus membiayai sekolah dua adik Sumi --satu masih di bangku SMA dan satu lagi sedang menyelesaikan skripsi.
Pun demikian di mata orang-tuanya sendiri, Baskoro selalu menjadi tumpuan asa bagi adik-adiknya seusai melewati bangku sekolah di kampung asalnya. Dan, dia nyaris tak pernah gagal mencarikan koneksi buat adik-adiknya memasuki dunia kerja di Ibukota. Dia memang memiliki banyak kawan dan kenalan yang punya pengaruh di perusahaan-perusahaan besar dan instansi pemerintah.
“Sugeng siang Dik Sumi, bagaimana keadaan Andri? Jam berapa pulangnya, suruh langsung kerjakan PR-nya?” suara sedikit serak-serak berat menyapa dari seberang telepon.
“Belum, ya biasanya sebentar lagi. Aku lagi menyiapkan makan siang. Mas Bas makan siang di rumah saja ya,” pinta Sumi basa-basi.
“Ah, jalan ke rumah saja tak cukup satu jam, sementara jam istirahat kantor cuma sejam,” jawab Baskoro serius.
“Terus, Mas Bas makan siang di mana?”
“Gampang, di lantai 23 ada kantin murah dan enak.”
“Jangan lupa makan siang, jangan ngoyo, aku dan Andri kan tidak minta gaya hidup mewah,” Sumi mengingatkan.
“Dik Sumi, cukup dulu ya, nanti kamu tidak jadi menyiapkan makan siang Andri. Aku juga mau cepat-cepat makan siang di kantin, pekerjaanku hari ini cukup banyak. Kalau ada apa-apa telepon saja ke kantor,” Baskoro menutup telepon siangnya.
***
MENTARI siang itu menampakkan kegarangannya. Menyengat siapa saja yang ada di halaman gedung jangkung di pusat bisnis Ibukota itu. Kendati begitu, Baskoro tak hendak mengurungkan niatnya menghabiskan jam istirahat di luar kantor.
Baskoro tinggalkan mobil pribadi yang sehar-hari menemaninya pergi-pulang dari rumahnya di pinggiran Ibukota ke kantor. Dia bergegas keluar halaman perkantoran dan menyetop taksi. Sebuah taksi berwarna biru menderit minggir.
“Selamat siang, Pak,” ucap si sopir sesaat Baskoro memasuki taksi.
“Ke Tanah Abang, Bang,” pinta Baskoro.
Sebelum menelepon isterinya, Baskoro menerima pesan singkat melalui ponselnya bahwa seseorang ingin bertemu di satu lobil hotel melati. Setelah lima tahun perkawinannya, Baskoro mulai biasa menerima pesan serupa dan senantiasa minta datang atau bertemu di lobi hotel. Isterinya tidak sampai mencium aroma ini karena Bas selalu berpesan pada operator telepon kantornya untuk tidak memberitahukan kepergiannya makan siang ke luar kantor. Isteri pun tak banyak bertanya-tanya ketika si operator telepon kantor menjawab, “Mas Bas sedang makan siang di lantai 23, Mbak Sumi.”
Kendati Baskoro termasuk eksekutif muda masa kini, dia tetap tak ingin isterinya turut berkarir di luar, apalagi membantu menopang ekonomi keluarga. Isterinya cukup di rumah saja, jadi ibu rumah tangga sejati, mendidik anak semata wayang Andri. Gajinya sudah lebih dari cukup untuk menghidupi anak dan isterinya secara wajar. Dengan begitu, isterinya nggak banyak rasa ingin tahu.
Sumi memang mwakili sosok yang dimimpikannya jauh-jauh hari sebelum membina rumah tangga. Sumi adalah isteri yang setia menunggu di rumah, tanpa banyak rasa ingin tahu bila suami pulang sedikit terlambat, menerima apa adanya, pasrah saja bila ada yang menggunjingkan suaminya ada main dengan wanita lain di luar rumah. “Yah, kalau di rumah, Mas Bas suami saya. Kalau sudah kelaur dari rumah, aku tak berharap banyak. Biarlah isi itu lepas dari botolnya ke mana-mana, yang penting botolnya pulang ke rumah,” begitu Sumi berseloroh saban kali ibu-ibu arisan menggunjingkan kelakuan Baskoro di luar rumah.
Selama di rumah, Baskoro memang menunjukkan perannya sebagai suami yang baik. Mau membantu pekerjaan rumah, membersihkan perabot tiap akhir pekan, ikut mencuci pakaian bilama Yu Yem pulang kampung atau mengajak Andri jalan-jalan saat libur.
Juga manakala di kantor. Pada jam istirahat selalu menelepon Sumi. Menanyakan kabar rumah, mengabarkan kesibukan di kantor, atau memberitahukan akan pulang telat lantaran ada lembur. Dia benar-benar suami ideal di mata Sumi.
Kemarin siang, setelah rehat siang di hotel di Mangga Besar, Baskoro menerima pesan singkat dari perempuan sintal yang biasa mengenakan gaun berwarna merah jambu. Dan, siang ini, sesuai pesan singkat sebelum jam istirahat tadi, perempuan itu telah menunggu di lobi hotel di Tanah Abang. Kesejukan kabin taksi rupanya membuat Baskoro sedikit terlelap, berminpi ingin cepat-cepat bertemu perempuan sintal bergaun merah jambu.
***
MAS, sudah sampai Tanah Abang, tujuan Mas ke mana?” ucap taksi membangunkan mimpin-mimpi Baskoro.
“Ooo, ke hotel yang itu, kita masuk dari pintu depan sebelah kiri,” jawab Baskoro yang langsung tersadar.
Spontan sopir taksi menginjak pedal rem. Langsung membelokkan taksinya masuk pelataran hotel melati yang ditunjuk Baskoro. Baskoro pun merogoh koceknya mengeluarkan selembar lima-puluh ribuan tanpa minta kembalian. Dia bergegas turun menuju pintu lobi hotel.
Baskoro terpaku di depan pintu. Matanya menyapu setiap sudut lobi. Petugas penerima tamu hotel langsung menyapa. Sepasang insan berlainan jenis berakra-akrab di sofa pojok lobi. “Mana ya, perempuan bergaun merah jambu yang mengirim pesan singkat ke ponselku tadi,” Baskoro sedikit menggumam.
“Kok lama sekali, masih bingung ya, masih mencari-cari. Kan gampang cari hotel ini,” sapa ramah perempuan bergaun merah jambu yang sedang duduk di dofa tengah.
“Tante seperti tidak tahu Jakarta saja,” Baskoro berusaha mengakrab-akrabkan diri dengan perempuan bergaun merah jambu.
“Memangnya jam segini macet,” perempuan bergaun merah jambu merajuk.
“Sudahlah, tak perlu diperpanjang lagi. Tante sudah pesan?” tanya Baskoro setengah tidak sabar.
“Bukankah kamu yang mesti pesan, kamu yang butuh kan?” perempuan bergaun merah jambu menggoda.
“Tapi orang sperti Tante ini biasanya sudah punya langganan pesan atau pesanan spesial di hotel seperti ini,” Baskoro tak kalah menggoda.
“Sok tahu kamu,” ucap perempuan bergaun merah jambu.
“Kalau aku yang pesan mana lah mungkin, hotel mana yang mau sewa jam-jaman buat tamu yang belum terlalu dikenal. Ini hotel cukup bagus, Tante,” Baskoro sedikit terpancing.
“Gitu aja marah. Aku sudah pesan tadi. Dan itu kamar spesial yang senantiasa kupakai sehari-hari di hotel ini. Aku jamin tak ada yang mengendus hubungan kita,” ujar perempuan bergaun merah jambu.
“Kalu begitu, kita langsung saja, waktunya semakin mepet.”
Baskoro langsung menggandeng perempuan bergaun merah jambu menuju kamar 313. Petugas penerima tamu hotel cuma senyum-senyum melihat tingkah laku Baskoro dan perempuan bergaun merah jambu. Mereka mafhum.
Memasuki kamar 313, Baskoro langsung menutup rapat-rapat dan perempuan bergaun merah jambu menghubungi kafe hotel. “Mau pesan minum apa, Mas?” ucap perempuan bergaun merah jambu sembari menarik lengan Baskoro agar duduk di sampingnya.
“Terserah Tante saja, yang penting bikin kuat,” jawab Baskoro, merekati perempuan bergaun merah jambu.
“Minuman bertenaga dua botol, jangan lupa ramuannya yang jossss,” pinta perempuan bergaun merah jambu pada penerima di seberang telepon.
Tak berapa lama seorang anak muda mengetuk pintu kamar 313 dan membawakan ramuan pesanan perempuan bergaun merah jambu.
“Taruh di meja situ. Ambil semua kembaliannya,” kata perempuan bergaun merah jambu pada si anak muda.
Baskoro dan perempuan bergaun merah jambu telah telanjur larut dalam syahwat mereka. Tak risih lagi silih-selisih sekeliling. Rehat Baskoro benar-benar penuh gelora. Gelora perempuan bergaun merah jambu yang kesepian. ***
Bekasi, awal 2013     


        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar