Fiksi
budi nugroho
KRIIING ...kriiiing ...kriiing...
Di tengah keasyikan memasak di dapur, siang itu, Sumi
buru-buru lari kecil ke telepon yang ada di ruang tamu rumahnya. Ia hafal betul
tatkala tengah hari begini, Baskoro (suaminya) menelepon dari kantornya di
menanyakan hal-ihwal yang ada di rumah. Ihwal anaknya, ihwal menu hari ini,
sampai ihwal kedatangan juru tagih yang kadang menghardik tanpa basa-basi.
Dalam umur perkawinanya yang mendekati sewindu
itu, Baskoro masih memperlihatkan keintimannya pada Sumi seperti ketika masih
berpacaran. Sapa intim dan sentuhan halus ragawi tetap saja menyelimuti bahtera
rumah tangga yang telah dikarunia seorang anak itu.
Baskoro betul-betul tampil sebagai suami yang baik
hati, penuh perhatian, sayang anak dan kasih isteri. Bahkan, di mata mertuanya,
Baskoro bagai dewa enolong yang menghidupi keseharian pertuanya yang telah
pensiun namun masih harus membiayai sekolah dua adik Sumi --satu masih di
bangku SMA dan satu lagi sedang menyelesaikan skripsi.
Pun demikian di mata orang-tuanya sendiri, Baskoro
selalu menjadi tumpuan asa bagi adik-adiknya seusai melewati bangku sekolah di
kampung asalnya. Dan, dia nyaris tak pernah gagal mencarikan koneksi buat
adik-adiknya memasuki dunia kerja di Ibukota. Dia memang memiliki banyak kawan
dan kenalan yang punya pengaruh di perusahaan-perusahaan besar dan instansi
pemerintah.
“Sugeng siang Dik Sumi, bagaimana keadaan Andri?
Jam berapa pulangnya, suruh langsung kerjakan PR-nya?” suara sedikit
serak-serak berat menyapa dari seberang telepon.
“Belum, ya biasanya sebentar lagi. Aku lagi
menyiapkan makan siang. Mas Bas makan siang di rumah saja ya,” pinta Sumi
basa-basi.
“Ah, jalan ke rumah saja tak cukup satu jam,
sementara jam istirahat kantor cuma sejam,” jawab Baskoro serius.
“Terus, Mas Bas makan siang di mana?”
“Gampang, di lantai 23 ada kantin murah dan enak.”
“Jangan lupa makan siang, jangan ngoyo, aku dan Andri kan tidak minta
gaya hidup mewah,” Sumi mengingatkan.
“Dik Sumi, cukup dulu ya, nanti kamu tidak jadi
menyiapkan makan siang Andri. Aku juga mau cepat-cepat makan siang di kantin,
pekerjaanku hari ini cukup banyak. Kalau ada apa-apa telepon saja ke kantor,”
Baskoro menutup telepon siangnya.
***
MENTARI siang itu menampakkan kegarangannya.
Menyengat siapa saja yang ada di halaman gedung jangkung di pusat bisnis
Ibukota itu. Kendati begitu, Baskoro tak hendak mengurungkan niatnya
menghabiskan jam istirahat di luar kantor.
Baskoro tinggalkan mobil pribadi yang sehar-hari
menemaninya pergi-pulang dari rumahnya di pinggiran Ibukota ke kantor. Dia
bergegas keluar halaman perkantoran dan menyetop taksi. Sebuah taksi berwarna
biru menderit minggir.
“Selamat siang, Pak,” ucap si sopir sesaat Baskoro
memasuki taksi.
“Ke Tanah Abang, Bang,” pinta Baskoro.
Sebelum menelepon isterinya, Baskoro menerima
pesan singkat melalui ponselnya bahwa seseorang ingin bertemu di satu lobil
hotel melati. Setelah lima tahun perkawinannya, Baskoro mulai biasa menerima
pesan serupa dan senantiasa minta datang atau bertemu di lobi hotel. Isterinya
tidak sampai mencium aroma ini karena Bas selalu berpesan pada operator telepon
kantornya untuk tidak memberitahukan kepergiannya makan siang ke luar kantor.
Isteri pun tak banyak bertanya-tanya ketika si operator telepon kantor
menjawab, “Mas Bas sedang makan siang di lantai 23, Mbak Sumi.”
Kendati Baskoro termasuk eksekutif muda masa kini,
dia tetap tak ingin isterinya turut berkarir di luar, apalagi membantu menopang
ekonomi keluarga. Isterinya cukup di rumah saja, jadi ibu rumah tangga sejati,
mendidik anak semata wayang Andri. Gajinya sudah lebih dari cukup untuk
menghidupi anak dan isterinya secara wajar. Dengan begitu, isterinya nggak banyak rasa ingin tahu.
Sumi memang mwakili sosok yang dimimpikannya jauh-jauh
hari sebelum membina rumah tangga. Sumi adalah isteri yang setia menunggu di
rumah, tanpa banyak rasa ingin tahu bila suami pulang sedikit terlambat,
menerima apa adanya, pasrah saja bila ada yang menggunjingkan suaminya ada main
dengan wanita lain di luar rumah. “Yah, kalau di rumah, Mas Bas suami saya.
Kalau sudah kelaur dari rumah, aku tak berharap banyak. Biarlah isi itu lepas
dari botolnya ke mana-mana, yang penting botolnya pulang ke rumah,” begitu Sumi
berseloroh saban kali ibu-ibu arisan menggunjingkan kelakuan Baskoro di luar
rumah.
Selama di rumah, Baskoro memang menunjukkan
perannya sebagai suami yang baik. Mau membantu pekerjaan rumah, membersihkan
perabot tiap akhir pekan, ikut mencuci pakaian bilama Yu Yem pulang kampung atau
mengajak Andri jalan-jalan saat libur.
Juga manakala di kantor. Pada jam istirahat selalu
menelepon Sumi. Menanyakan kabar rumah, mengabarkan kesibukan di kantor, atau
memberitahukan akan pulang telat lantaran ada lembur. Dia benar-benar suami
ideal di mata Sumi.
Kemarin siang, setelah rehat siang di hotel di
Mangga Besar, Baskoro menerima pesan singkat dari perempuan sintal yang biasa
mengenakan gaun berwarna merah jambu. Dan, siang ini, sesuai pesan singkat
sebelum jam istirahat tadi, perempuan itu telah menunggu di lobi hotel di Tanah
Abang. Kesejukan kabin taksi rupanya membuat Baskoro sedikit terlelap, berminpi
ingin cepat-cepat bertemu perempuan sintal bergaun merah jambu.
***
“MAS,
sudah sampai Tanah Abang, tujuan Mas ke mana?” ucap taksi membangunkan
mimpin-mimpi Baskoro.
“Ooo, ke hotel yang itu, kita masuk dari pintu
depan sebelah kiri,” jawab Baskoro yang langsung tersadar.
Spontan sopir taksi menginjak pedal rem. Langsung
membelokkan taksinya masuk pelataran hotel melati yang ditunjuk Baskoro.
Baskoro pun merogoh koceknya mengeluarkan selembar lima-puluh ribuan tanpa
minta kembalian. Dia bergegas turun menuju pintu lobi hotel.
Baskoro terpaku di depan pintu. Matanya menyapu
setiap sudut lobi. Petugas penerima tamu hotel langsung menyapa. Sepasang insan
berlainan jenis berakra-akrab di sofa pojok lobi. “Mana ya, perempuan bergaun
merah jambu yang mengirim pesan singkat ke ponselku tadi,” Baskoro sedikit
menggumam.
“Kok lama sekali, masih bingung ya, masih
mencari-cari. Kan gampang cari hotel ini,” sapa ramah perempuan bergaun merah
jambu yang sedang duduk di dofa tengah.
“Tante seperti tidak tahu Jakarta saja,” Baskoro
berusaha mengakrab-akrabkan diri dengan perempuan bergaun merah jambu.
“Memangnya jam segini macet,” perempuan bergaun
merah jambu merajuk.
“Sudahlah, tak perlu diperpanjang lagi. Tante
sudah pesan?” tanya Baskoro setengah tidak sabar.
“Bukankah kamu yang mesti pesan, kamu yang butuh
kan?” perempuan bergaun merah jambu menggoda.
“Tapi orang sperti Tante ini biasanya sudah punya
langganan pesan atau pesanan spesial di hotel seperti ini,” Baskoro tak kalah
menggoda.
“Sok tahu kamu,” ucap perempuan bergaun merah
jambu.
“Kalau aku yang pesan mana lah mungkin, hotel mana
yang mau sewa jam-jaman buat tamu yang belum terlalu dikenal. Ini hotel cukup
bagus, Tante,” Baskoro sedikit terpancing.
“Gitu aja marah. Aku sudah pesan tadi. Dan itu
kamar spesial yang senantiasa kupakai sehari-hari di hotel ini. Aku jamin tak
ada yang mengendus hubungan kita,” ujar perempuan bergaun merah jambu.
“Kalu begitu, kita langsung saja, waktunya semakin
mepet.”
Baskoro langsung menggandeng perempuan bergaun
merah jambu menuju kamar 313. Petugas penerima tamu hotel cuma senyum-senyum
melihat tingkah laku Baskoro dan perempuan bergaun merah jambu. Mereka mafhum.
Memasuki kamar 313, Baskoro langsung menutup
rapat-rapat dan perempuan bergaun merah jambu menghubungi kafe hotel. “Mau
pesan minum apa, Mas?” ucap perempuan bergaun merah jambu sembari menarik
lengan Baskoro agar duduk di sampingnya.
“Terserah Tante saja, yang penting bikin kuat,”
jawab Baskoro, merekati perempuan bergaun merah jambu.
“Minuman bertenaga dua botol, jangan lupa
ramuannya yang jossss,” pinta perempuan bergaun merah jambu pada penerima di
seberang telepon.
Tak berapa lama seorang anak muda mengetuk pintu
kamar 313 dan membawakan ramuan pesanan perempuan bergaun merah jambu.
“Taruh di meja situ. Ambil semua kembaliannya,”
kata perempuan bergaun merah jambu pada si anak muda.
Baskoro dan perempuan bergaun merah jambu telah
telanjur larut dalam syahwat mereka. Tak risih lagi silih-selisih sekeliling. Rehat
Baskoro benar-benar penuh gelora. Gelora perempuan bergaun merah jambu yang
kesepian. ***
Bekasi,
awal 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar