Jumat, 18 Juli 2014

Rerumpian Gerobak Sayur

fiksi budi nugroho

MENTARI baru sepenggalah naik. Lalu lalang pengojek dan pembecak tak seberapa lagi denyutnya. Satu dua pengojek mulai mangkal di ujung jalan. Bising knalpot motor pengojek tak lagi terdengar. Pun gesekan bel becak, yang terangkai dari kepingan-kepingan besi, dengan aspal jalan yang khas.  Gesekan khas yang biasanya datang bersamaan dengan kokok ayam di subuh hari itu mulai sirna.
Lelaki pekerja dan beberapa perempuan karir telah bergegas meninggalkan rumah masing-masing. Bahkan, barangkali, sudah ada yang tiba di tempat kerja di pusat-pusat kota dan kawasan industri. Bisa jadi pula ada yang baru sampai di mulut jalan tol, menanti omprengan plat hitam yang siap ditumpangi.
Tak lagi terlihat canda ria anak-anak berseragam putih-biru atau remaja putih – abu-abu yang saban pagi meramaikan jalan utama perumahan di pinggiran kota itu. Yang tampak tinggal anak-anak lima tahunan yang berangkat menuju TK di pojok perumahan yang telah menyingkirkan penduduk asli semakin menjauh dari pusat kota. Juga beberapa pembecak yang mengais penumpang ibu-ibu rumah tangga yang hendak belanja ke pasar tradisional. Selepas jam sibuk orang-orang berangkat kerja itu, becak lebih disukai ibu-ibu rumah tangga.
Bising knalpot motor pengojek berganti dengan teriakan para pedagang sayur, denting mangkok bubur ayam dan kacang ijo. Mereka menapaki blok demi blok, menyusuri rumah ke rumah, dari jalan ke jalan dalam perumahan.
***
BU Jum, yang tinggal di Jalan Palem I, memberhentikan gerobak sayur. Saban pagi ia menjadi orang pertama yang menyetop gerobak pedagang sayur keliling. Maklum, rumahnya berada paling depan di blok belakang perumahan yang dibangun pada akhir 1980-an namun pembebasan tanahnya sudah berlangsung sejak 1979 itu.
“Masih komplit, Bang?” tanya Bu Jum –yang punya nama lengkap Juminten—begitu si pedagang sayur meminggirkan gerobaknya.
“Tentu, ibu kan penglaris jualan saya pagi ini,” jawab si pedagang sayur yang mengaku asli Tegal itu.
Bu Jum lantas memilih-milih, memilah-milah sayuran dan bumbu dapur yang sekiranya sesuai dengan menu yang direncanakan dimasak hari ini buat keluarganya. Cermat, ia mengamati setiap ikat bayam dan daun singkong, setiap butir kelapa, setiap ekor ikan mas, setiap bungkus bawang putih, dan setiap plastik minyak sayur curah. Ia terlihat bingung menentukan pilihannya hari ini karena yang ada cuma sayur-sayur itu, tak banyak pilihan. Tak banyak variasi sebagaimana disajikan oleh pasar swalayan.
Di tengah keasyikan Bu Jum memilih sayuran, Bu Dirman yang tinggal di Jalan Palem II dan Bu Komar yang rumahnya berseberangan dengan bu Jum datang ikut nimbrung. Tidak ketinggalan pula Bu Bandi yang biasa menjadi sumber kabar burung di blok belakang perumahan itu.
“Eh, Bu Jum, tetangga kita yang tinggal di Blok ZZ Nomor 13 itu kok nggak pernah nimbrung bersama kita ya? Ngapain aja di dalam rumah, suaminya juga jarang kelihatan,” Bu Bandi membuka rerumpian ibu-ibu yang tengah mengitari gerobak sayur dipagi yang sedikit tersaput mendung itu.
“Ya, mungkin saja lagi kurang biasa gaul dengan kita,” sahut Bu Dirman.
“Ibunya kembar itu terlalu sibuk mengurusi anak-anaknya yang sedang senang-senangnya melempar-lempar mainan ke atap genteng. Kalau ada arisan, ibunya kembar itu selalu datang, tidak pernah absen,” Bu Komar berucap.
“Saya juga nggak abis pikir, mengapa ibunya kembar tahan bener seharian tidak keluar rumah,” ujar Bu Jum sambil memilih-milih bumbu dapur.
“Sesibuk-sibuknya orang kan masih bisa menyisakan sedikit waktu buat bertetangga, minimal untuk melepaskan diri dari kepenatan mengasuh anak. Ibunya kembar memang tidak mau bergaul,” tutur Bu Bandi yang baru dua tahun tinggal berdampingan dengan Bu Jum.
“Suami-isteri di rumah itu cukup baik, tidak pernah ketinggalan kalau ada kegiatan sumbangan dan kerja bakti di hari libur,” Bu Dirman –bendahara di RT 13 itu—kembali angkat bicara.
“Saya dengar, suami-isteri yang tinggal di Blok ZZ Nomor 13 itu cuma ngontrak,” ucap Bu Bandi sedikit nyinyir.
“Ngontrak atau milik sendiri memang masalah buat kita? Namanya juga hidup di kota besar seperti Jakarta ini ane kira wajar-wajar saja sebuah keluarga muda  masih ngontrak rumah. Banyak juga yang sudah kakek-nenek masih ngontrak,” Bu Komar bertutur.
“Sssst, ibunya kembar ke mari,” kata Bu Jum setengah berbisik ke ibu-ibu yang tengah mengerumuni gerobak sayur.
Benar saja, ibunya kembar berusaha nimbrung mengelilingi gerobak sayur. Kendati terlihat kelelahan, sedikit pucat, ibunya kembar yang memperkenalkan diri sebagai Bu Yeni itu berusaha ramah. Ia berusaha berakrab-akrab dengan ibu-ibu yang lebih dulu nimbrung rerumpian.
“Eh, sudah lama kita tidak ngobrol,” tegur Bu Komar menepis kekakuan ibu-ibu lainnya.
“Iya nih, sibuk urus si kembar, minggu lalu si Edi kena polip, tiga hari berselang si Edo kena gejala tipus. Jadinya nggak sempat keluar rumah. Belum lagi Bang Siman, suami saya, proyeknya macet. Tambah stres saja,” ucap Bu Yeni.
“Lho, memangnya suami Bu Yeni bekerja di proyek apa, kok smapai macet,” tanya Bu Bandi dan Bu Bandi berbarengan.
“Borongan bangun rumah atau renovasi kecil-kecilan bersama kawan-kawan sekampungnya dulu,” Bu Yeni berusaha ramah menjawab keingin-tahuan Bu Bandi dan Bu Jum yang selama ini dikenal paling ingin tahu urusan dapur orang lain di perumahan itu.
“Oooo ...kecil sih. Begitu harga semen bergejolak langsung macet proyeknya. Makanya, suruh tuh suami kerja di proyek besar, proyek pembangunan jalan tol, proyek pengeboran minyak lepas pantai, atau proyek pembangunan terminal terpadu,” kata Bu Bandi agak sedikit cemooh.
“Atau, kerja di proyek perluasan bandara,” Bu Jum –yang perusahaan tempat suaminya bekerja pernah mengerjakan pembangunan perluasan Bandara Cengkareng—menimpali.
“Sudahlah Bu Jum dan Bu Bandi, stop mengolok-olok Bu Yeni. Tak mau bergabung dengan kita, dikomentari yang nggak-nggak. Bergabung pun dicemooh, bagaimana sih ibu-ibu ini,” tukas Bu Komar berusaha mengajak bijak.
“Kita obrolkan yang lain saja, barangkali bu Bandi punya gosip terbaru,” ujar Bu Dirman mengalihkan obrolan.
“Bu Dirman seperti wartawan saja, pertanyaan langsung menohok,” elak Bu Bandi.
“Biasanya Bu Bandi kan yang paling cepat menangkap gosip di perumahan ini,” tegas Bu Dirman.
“O ya, kemarin kabarnya ada gosip perselingkuhan antara perempuan di blok belakang sana dan seorang lelaki dari kampung atas itu,” Bu Jum memancing naluri bergosip Bu Bandi sembari menunjuk satu rumah di kampung atas yang berbatasan langsung dengan perumahan mereka.
“Bener Bu Jum,kalau tidak keliru perempuan itu isteri orang yang tinggal di Blok ZA Nomor 007 itu, suaminya sedang berlayar ke Honolulu, sementara anak-naknya yang telah beranjak remaja asyik main di warnet di ujung jalan itu,” terang Bu Bandi.
“Memangnya Bu Bandi melihat sendiri perselingkuhan itu?” tanya Bu Komar.     
“Saya memperoleh kabar dari tetangga sebelah rumahnya,” jawab Bu Bandi meyakinkan.
“Berbahaya itu Bu Bandi, menuduh orang serong tanpa saksi mata yang kuat, bisa-bisa Bu Bandi yang kena tuduhan balik mencemarkan nama baik,” Bu Dirman mengingatkan.
“Ah, mana pernah saya berbohong, ibu-ibu,” sergah Bu Bandi.
“Tadi, Bu Bandi katakan bahwa Bu Yeni tidak mau bergaul dengan kita. Ternyata, Bu Yeni mau juga nimbrung bersama kita kan,” tukas Bu Dirman.
Bu Bandi merah padam, pucat pasi. Ia tak bisa berkata-kata. Rasanya ia ingin cepat-cepat meninggalkan gerobak sayur. Tapi, rupanya, ia belum mendapatkan sayuran dan bumbu dapur menu cah kangkung – ayam pop kesukaan suaminya.
“Terus, sekarang senyampang ada Bu Yeni, mari kita tanyakan langsung apakah yang bersangkutan benar ngontrak di Blok ZZ Nomor 13 itu?” tanya Bu Dirman seakan terkesan semakin memojokkan Bu Bandi.
“Saya menempati rumah itu setahun silam setelah mengambil oper dari pemilik pertama. Saya bayar Rp10 juta lalu melanjutkan cicilan ke Bank BTN selama sembilan musim,” jelas Bu Yeni.
***
RASANYA Bu Bandi ingin cepat-cepat lari pulang ke rumah. Namun, ia mengurungkan niatnya, karena belum jua menemukan sayuran dan bumbu buat cah kangkung – ayam pop kesukaan suamnya. Ia harus betul-betul cermat memilih sayur yang terhampar di gerobak. Bu Bandi pun tetap bertahan di rerumpian gerobak sayur.
Bersamaan dengan itu, sebuah Kijang komando berwarna hijau khas memasuki Jalan Palem I. Beberapa orang berpakaian preman berada di dalam mobil itu. Ada pula dua orang dengan tangan terborgol.
Tepat di depan rerumpian ibu-ibu di gerobak sayur, sopir menghentikan laju mobil, salah seorang penumpang menanyakan alamat rumah Bandyono. “Aduh, setahu saya di sini tidak ada warga yang bernama Bandyono,” jawab  diamini ibu-ibu yang lain.
“Mas, ada polisi mencarimu,” teriak Bu Bandi kepada suaminya yang masih berada di dalam rumah.
Serta merta, Pak Bandi –dengan nama lengkap Bandyono—kabur lewat pintu belakang dengan mengayun sepeda gunung. Dua orang polisi berpakaian preman yang saat masih berada di dalam mobil langsung menghambur ke Jalan Palem II yang merupakan bagian belakang rumah Bu Bandi.
“Petugas telah mengepung, menyerahlah, kawan-kawanmu sudah tertangkap,” seru seorang polisi sembari menembakkan pistolnya ke atas. Bandyono, yang dalam dua tahun terakhir mengontrak di samping rumah Bu Jum, tetap tak mau menyerahkan diri. Polisi terus memburu lelaki yang merupakan pentolan komplotan penjambret spesialis jam tangan mewah. Tak mau kehilangan buronannya, polisi mengarahkan moncong pistolnya ke kaki Bandyono yang terus memacu sepedanya. Malang bagi Bandyono yang terus bergerak dan bergerak, sebutir peluru menembus bagian belakang kepalanya. Bandyono roboh bersimbah darah di samping sepeda gunung seharga Rp20 juta dan raungan isterinya. ***      
                                                                   Bekasi, Oktober 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar