fiksi
budi nugroho
MENTARI baru sepenggalah naik. Lalu
lalang pengojek dan pembecak tak seberapa lagi denyutnya. Satu dua pengojek
mulai mangkal di ujung jalan. Bising knalpot motor pengojek tak lagi terdengar.
Pun gesekan bel becak, yang terangkai dari kepingan-kepingan besi, dengan aspal
jalan yang khas. Gesekan khas yang
biasanya datang bersamaan dengan kokok ayam di subuh hari itu mulai sirna.
Lelaki pekerja dan beberapa perempuan
karir telah bergegas meninggalkan rumah masing-masing. Bahkan, barangkali,
sudah ada yang tiba di tempat kerja di pusat-pusat kota dan kawasan industri. Bisa
jadi pula ada yang baru sampai di mulut jalan tol, menanti omprengan plat hitam
yang siap ditumpangi.
Tak lagi terlihat canda ria anak-anak
berseragam putih-biru atau remaja putih – abu-abu yang saban pagi meramaikan
jalan utama perumahan di pinggiran kota itu. Yang tampak tinggal anak-anak lima
tahunan yang berangkat menuju TK di pojok perumahan yang telah menyingkirkan
penduduk asli semakin menjauh dari pusat kota. Juga beberapa pembecak yang
mengais penumpang ibu-ibu rumah tangga yang hendak belanja ke pasar tradisional.
Selepas jam sibuk orang-orang berangkat kerja itu, becak lebih disukai ibu-ibu
rumah tangga.
Bising knalpot motor pengojek berganti
dengan teriakan para pedagang sayur, denting mangkok bubur ayam dan kacang ijo.
Mereka menapaki blok demi blok, menyusuri rumah ke rumah, dari jalan ke jalan
dalam perumahan.
***
BU Jum, yang tinggal di Jalan Palem I,
memberhentikan gerobak sayur. Saban pagi ia menjadi orang pertama yang menyetop
gerobak pedagang sayur keliling. Maklum, rumahnya berada paling depan di blok
belakang perumahan yang dibangun pada akhir 1980-an namun pembebasan tanahnya
sudah berlangsung sejak 1979 itu.
“Masih komplit, Bang?” tanya Bu Jum
–yang punya nama lengkap Juminten—begitu si pedagang sayur meminggirkan
gerobaknya.
“Tentu, ibu kan penglaris jualan saya
pagi ini,” jawab si pedagang sayur yang mengaku asli Tegal itu.
Bu Jum lantas memilih-milih,
memilah-milah sayuran dan bumbu dapur yang sekiranya sesuai dengan menu yang
direncanakan dimasak hari ini buat keluarganya. Cermat, ia mengamati setiap
ikat bayam dan daun singkong, setiap butir kelapa, setiap ekor ikan mas, setiap
bungkus bawang putih, dan setiap plastik minyak sayur curah. Ia terlihat
bingung menentukan pilihannya hari ini karena yang ada cuma sayur-sayur itu,
tak banyak pilihan. Tak banyak variasi sebagaimana disajikan oleh pasar
swalayan.
Di tengah keasyikan Bu Jum memilih
sayuran, Bu Dirman yang tinggal di Jalan Palem II dan Bu Komar yang rumahnya
berseberangan dengan bu Jum datang ikut nimbrung. Tidak ketinggalan pula Bu
Bandi yang biasa menjadi sumber kabar burung di blok belakang perumahan itu.
“Eh, Bu Jum, tetangga kita yang
tinggal di Blok ZZ Nomor 13 itu kok nggak
pernah nimbrung bersama kita ya? Ngapain
aja di dalam rumah, suaminya juga jarang kelihatan,” Bu Bandi membuka rerumpian
ibu-ibu yang tengah mengitari gerobak sayur dipagi yang sedikit tersaput
mendung itu.
“Ya, mungkin saja lagi kurang biasa
gaul dengan kita,” sahut Bu Dirman.
“Ibunya kembar itu terlalu sibuk
mengurusi anak-anaknya yang sedang senang-senangnya melempar-lempar mainan ke
atap genteng. Kalau ada arisan, ibunya kembar itu selalu datang, tidak pernah
absen,” Bu Komar berucap.
“Saya juga nggak abis pikir, mengapa
ibunya kembar tahan bener seharian
tidak keluar rumah,” ujar Bu Jum sambil memilih-milih bumbu dapur.
“Sesibuk-sibuknya orang kan masih bisa
menyisakan sedikit waktu buat bertetangga, minimal untuk melepaskan diri dari
kepenatan mengasuh anak. Ibunya kembar memang tidak mau bergaul,” tutur Bu
Bandi yang baru dua tahun tinggal berdampingan dengan Bu Jum.
“Suami-isteri di rumah itu cukup baik,
tidak pernah ketinggalan kalau ada kegiatan sumbangan dan kerja bakti di hari libur,”
Bu Dirman –bendahara di RT 13 itu—kembali angkat bicara.
“Saya dengar, suami-isteri yang
tinggal di Blok ZZ Nomor 13 itu cuma ngontrak,” ucap Bu Bandi sedikit nyinyir.
“Ngontrak atau milik sendiri memang masalah
buat kita? Namanya juga hidup di kota besar seperti Jakarta ini ane kira wajar-wajar saja sebuah
keluarga muda masih ngontrak rumah.
Banyak juga yang sudah kakek-nenek masih ngontrak,” Bu Komar bertutur.
“Sssst, ibunya kembar ke mari,” kata
Bu Jum setengah berbisik ke ibu-ibu yang tengah mengerumuni gerobak sayur.
Benar saja, ibunya kembar berusaha
nimbrung mengelilingi gerobak sayur. Kendati terlihat kelelahan, sedikit pucat,
ibunya kembar yang memperkenalkan diri sebagai Bu Yeni itu berusaha ramah. Ia
berusaha berakrab-akrab dengan ibu-ibu yang lebih dulu nimbrung rerumpian.
“Eh, sudah lama kita tidak ngobrol,”
tegur Bu Komar menepis kekakuan ibu-ibu lainnya.
“Iya nih, sibuk urus si kembar, minggu
lalu si Edi kena polip, tiga hari berselang si Edo kena gejala tipus. Jadinya nggak sempat keluar rumah. Belum lagi
Bang Siman, suami saya, proyeknya macet. Tambah stres saja,” ucap Bu Yeni.
“Lho, memangnya suami Bu Yeni bekerja
di proyek apa, kok smapai macet,” tanya Bu Bandi dan Bu Bandi berbarengan.
“Borongan bangun rumah atau renovasi kecil-kecilan
bersama kawan-kawan sekampungnya dulu,” Bu Yeni berusaha ramah menjawab
keingin-tahuan Bu Bandi dan Bu Jum yang selama ini dikenal paling ingin tahu
urusan dapur orang lain di perumahan itu.
“Oooo ...kecil sih. Begitu harga semen
bergejolak langsung macet proyeknya. Makanya, suruh tuh suami kerja di proyek
besar, proyek pembangunan jalan tol, proyek pengeboran minyak lepas pantai, atau
proyek pembangunan terminal terpadu,” kata Bu Bandi agak sedikit cemooh.
“Atau, kerja di proyek perluasan
bandara,” Bu Jum –yang perusahaan tempat suaminya bekerja pernah mengerjakan
pembangunan perluasan Bandara Cengkareng—menimpali.
“Sudahlah Bu Jum dan Bu Bandi, stop
mengolok-olok Bu Yeni. Tak mau bergabung dengan kita, dikomentari yang nggak-nggak. Bergabung pun dicemooh,
bagaimana sih ibu-ibu ini,” tukas Bu
Komar berusaha mengajak bijak.
“Kita obrolkan yang lain saja,
barangkali bu Bandi punya gosip terbaru,” ujar Bu Dirman mengalihkan obrolan.
“Bu Dirman seperti wartawan saja,
pertanyaan langsung menohok,” elak Bu Bandi.
“Biasanya Bu Bandi kan yang paling
cepat menangkap gosip di perumahan ini,” tegas Bu Dirman.
“O ya, kemarin kabarnya ada gosip
perselingkuhan antara perempuan di blok belakang sana dan seorang lelaki dari
kampung atas itu,” Bu Jum memancing naluri bergosip Bu Bandi sembari menunjuk
satu rumah di kampung atas yang berbatasan langsung dengan perumahan mereka.
“Bener Bu Jum,kalau tidak keliru
perempuan itu isteri orang yang tinggal di Blok ZA Nomor 007 itu, suaminya
sedang berlayar ke Honolulu, sementara anak-naknya yang telah beranjak remaja
asyik main di warnet di ujung jalan itu,” terang Bu Bandi.
“Memangnya Bu Bandi melihat sendiri
perselingkuhan itu?” tanya Bu Komar.
“Saya memperoleh kabar dari tetangga
sebelah rumahnya,” jawab Bu Bandi meyakinkan.
“Berbahaya itu Bu Bandi, menuduh orang
serong tanpa saksi mata yang kuat, bisa-bisa Bu Bandi yang kena tuduhan balik
mencemarkan nama baik,” Bu Dirman mengingatkan.
“Ah, mana pernah saya berbohong,
ibu-ibu,” sergah Bu Bandi.
“Tadi, Bu Bandi katakan bahwa Bu Yeni
tidak mau bergaul dengan kita. Ternyata, Bu Yeni mau juga nimbrung bersama kita
kan,” tukas Bu Dirman.
Bu Bandi merah padam, pucat pasi. Ia
tak bisa berkata-kata. Rasanya ia ingin cepat-cepat meninggalkan gerobak sayur.
Tapi, rupanya, ia belum mendapatkan sayuran dan bumbu dapur menu cah kangkung –
ayam pop kesukaan suaminya.
“Terus, sekarang senyampang ada Bu
Yeni, mari kita tanyakan langsung apakah yang bersangkutan benar ngontrak di
Blok ZZ Nomor 13 itu?” tanya Bu Dirman seakan terkesan semakin memojokkan Bu
Bandi.
“Saya menempati rumah itu setahun
silam setelah mengambil oper dari pemilik pertama. Saya bayar Rp10 juta lalu
melanjutkan cicilan ke Bank BTN selama sembilan musim,” jelas Bu Yeni.
***
RASANYA Bu Bandi ingin cepat-cepat
lari pulang ke rumah. Namun, ia mengurungkan niatnya, karena belum jua
menemukan sayuran dan bumbu buat cah kangkung – ayam pop kesukaan suamnya. Ia
harus betul-betul cermat memilih sayur yang terhampar di gerobak. Bu Bandi pun
tetap bertahan di rerumpian gerobak sayur.
Bersamaan dengan itu, sebuah Kijang
komando berwarna hijau khas memasuki Jalan Palem I. Beberapa orang berpakaian
preman berada di dalam mobil itu. Ada pula dua orang dengan tangan terborgol.
Tepat di depan rerumpian ibu-ibu di gerobak
sayur, sopir menghentikan laju mobil, salah seorang penumpang menanyakan alamat
rumah Bandyono. “Aduh, setahu saya di sini tidak ada warga yang bernama
Bandyono,” jawab diamini ibu-ibu yang
lain.
“Mas, ada polisi mencarimu,” teriak Bu
Bandi kepada suaminya yang masih berada di dalam rumah.
Serta merta, Pak Bandi –dengan nama
lengkap Bandyono—kabur lewat pintu belakang dengan mengayun sepeda gunung. Dua
orang polisi berpakaian preman yang saat masih berada di dalam mobil langsung
menghambur ke Jalan Palem II yang merupakan bagian belakang rumah Bu Bandi.
“Petugas telah mengepung, menyerahlah,
kawan-kawanmu sudah tertangkap,” seru seorang polisi sembari menembakkan
pistolnya ke atas. Bandyono, yang dalam dua tahun terakhir mengontrak di
samping rumah Bu Jum, tetap tak mau menyerahkan diri. Polisi terus memburu
lelaki yang merupakan pentolan komplotan penjambret spesialis jam tangan mewah.
Tak mau kehilangan buronannya, polisi mengarahkan moncong pistolnya ke kaki
Bandyono yang terus memacu sepedanya. Malang bagi Bandyono yang terus bergerak
dan bergerak, sebutir peluru menembus bagian belakang kepalanya. Bandyono roboh
bersimbah darah di samping sepeda gunung seharga Rp20 juta dan raungan
isterinya. ***
Bekasi, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar