Solo, periode 1970an sampe 1980an adalah era dimana bioskop berjaya. Lebih dari 10 bioskop berdiri diseluruh penjuru kota. Setiap bioskopnya punya ciri khas sendiri. misalnya, ada bioskop yang khusus memutar film india, ada juga bioskop yang memutar film kung fu. Setiap bioskop tersebut memiliki pelanggan setianya masing-masing. Pecinta film india ya datengnya ke bioskop yang muter film india. Sederhananya seperti itu.
Lambat laun, kejayaan itu dimakan oleh waktu. Sejak tahun 1990an, banyak banget bioskop yang mulai bangkrut dan akhirnya tutup. Gedung bioskop itu kemudian beralih fungsi, ada yang jadi gedung gereja, gedung serba guna, gedung kesenian, dan ada juga yang dibiarkan terbengkalai begitu saja. Ironis. Padahal sepuluh tahun sebelumnya, mereka yang mewarnai kota solo.
Awal tahun 1990an adalah eranya bioskop 21 bermunculan. Nggak ketinggalan, Solo pun punya satu gedung bioskop 21 yaitu Atrium 21. Letaknya sebenarnya nggak di pusat kota Solo, berada dipinggiran, sedikit ke selatan kota solo. Sebuah daerah yang kini dikenal orang dengan nama Solo Baru. Masa itu, Solo baru lagi merintis jalan menjadi pemukiman high-end, bersamaan dengan itu dibangun Atrium 21, sekaligus jadi hiburan rakyat Solo Baru.
Gue dibesarkan di kawasan Solo Baru, pada masa itu, pada masa kejayaan Atrium. Pada jamannya, Atrium adalah bioskop paling modern, bahkan untuk wilayah Jawa Tengah, Atrium yang terbaik. Atrium punya enam studio, dan didukung dengan fasilitas penunjang seperti cafe dan arena bermain untuk anak-anak. Saat itu, rakyat Solo Baru sungguh beruntung memiliki Atrium. Termasuk gue. :D
Mei 1998
Gue inget banget dari rumah gue asap mengepul tinggi, dan gue dikasih tau bokap kalo Atrium dibakar massa. Gue merasa kehilangan banget. Setelahnya sampai pertengahan 2009, Atrium yang ada adalah puing-puing sisa kejayaan masa lalu. Gue sempet sering main kesana buat main airsoft gun, waktu disana gue nyesel banget kenapa Atrium sampe harus dibakar. Kini Atrium udah rata dengan tanah, nggak tau mau dibangun apa, mungkin ada seseorang yang ingin membangkitkan kejayaan masa lalu. Mungkin.
Selain Atrium, pada era 1990an akhir, bioskop yang tersisa, emm, ada beberapa, seinget gue, Ada Solo Theatre, Fajar Theatre, Atrium dan Studio yang juga dibakar massa. Studio itu terletak di Pasar Modern Singosaren yang sekarang lebih dikenal masyarakat Solo sebagai bursa handphone. Beda nasib dengan Atrium, sehabis dibakar masa pada medio 1998, tahun 2000 awal, Studio dibangun lagi.
pada awal 2000, yang gue inget ada tiga bioskop yang eksis. Solo theatre yang letaknya di kompleks Taman Sriwedari, Fajar theatre dan Studio. Karna Atrium udah nggak ada, praktis Studio jadi yang terbaik.
Gue inget banget, gue lihat tiga seri Jurassic-Park di Solo Theatre, begitu juga dengan sekuel Mummy. Gue juga masih inget banget waktu nonton Spiderman 2 di Fajar theatre. Hmm, ya, masa itu memang udah lama banget, tapi masih berkesan sampe sekarang.
Lambat laun, entah mengapa, satu persatu bioskop ini tutup. Dimulai dengan Solo Theatre yang tutup dan kemudian sekarang disulap menjadi Gedung Kesenian Solo. Lalu, Fajar Theatre menyusul ditutup dan sekarang menjadi ruko pusat perkantoran. Ironis.
Dua bioskop itu memang tutup, tapi ada bioskop baru yang menjadi primadona masyarakat Solo mulai medio 2005. Satu lagi bioskop jaringan 21 setelah Atrium dibangun di Solo Grand Mall. Jaman sudah berbeda, melihat bioskop ini, membuat masyarakat Solo sadar kalo bioskop lainnya udah ketinggalan jaman. Gue sempet mikir kalo Grand 21 ini yang bikin Solo dan Fajar tutup. Who knows?
enam tahun dari dibukanya Grand 21, Solo masih tetap sama. Masih ada dua bioskop yang eksis, walau kalo gue boleh bilang, yang satunya mati suri. Emm, kenapa gue bilang begitu? Karna kalo Grand selalu rame, maka Studio selalu sepi. Ini hukum perdagangan, bilamana fasilitas menunjang memuaskan maka permintaan akan tinggi, begitupun sebaliknya. Orang lebih suka membayar sepuluh ribu lebih mahal, dan rela antri berjam-jam buat dapetin tiket Harry Potter di Grand.
Gue, gue bukan orang seperti itu. Gue emang pengen nonton episode terakhir Harry Potter, tapi gue nggak mau ngantri cuma buat nonton. Ini sih prinsip ya, setiap orang bisa beda-beda. Kalo gue, lebih memilih dateng ke Studio, nggak perlu antri, tiketnya lebih murah sepuluh ribu, dan menikmati sisa-sisa kejayaan masa lalu.
kalo elo nonton di studio, sebenernya nggak beda jauh sama bioskop kebanyakan. Bedanya, waktu beli tiket, masih manual nggak pake komputer. Suasana 1990an banget. Sayangnya bioskop pertama di Solo yang pertama kali pake teknologi Dolby Digital ini nggak bisa menjaga kualitas, terutama kualitas suara. Juga, pendingin ruangan, sedikit nggak lazim untuk gedung bioskop.
Terlepas dari semua itu, gue seneng banget bisa nonton Harry Potter, ngirit sepuluh ribu, sekaligus nostalgia masa lalu.
November nanti Solo kedatangan satu bioskop baru, masih jaringan 21, namun satu kelas diatas Grand 21. Semoga bioskop baru ini bisa jadi revolusi didunia bioskop di kota Solo, tapi bagaimanapun saya akan tetap merindukan Studio.
Because sometimes Old School is cool. :D
Ingat ini, waktu mungkin memang harus berlalu, yang baru datang dan yang lama pergi, yang tua mati dan harus ada yang lahir, masa depan itu pasti, namun masa lalu tetap abadi. (dari: http://natanaelandii.tumblr.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar