Senin, 04 Agustus 2014

Tamu Mengundang

Fiksi budi nugroho

SELAMAT jalan Pak Marmo, semoga masa-masa pensiun Anda membahagiakan. Jasa Anda sebagai pembawa kota ini meraih penghargaan Adipura tak akan pernah kami lupakan.
Kata-kata penghargaan yang terpampang di pojok kota itu setiap pagi menelusup ke relung hati Pak Marmo yang kini menjalani masa pensiun di rumahnya yang sederhana di pinggiran kota. Dia menghabiskan masa tuanya bersama seorang isteri dan dua orang cucu. Sementara Bondan, anaknya yang telah memberinya dua orang cucu, tengah belajar di Negeri Paman Sam.
 Sederhana, betul-betul sederhana. Rumahnya tak menampakkan sedikit pun bahwa Pak Marmo dulunya seorang walikota sebuah kota yang amat presitius berkait raihan lima piala Adipura.
Rumahnya menyatu dengan perkampungan tak tertata, bukan di sebuah cluster bergengsi yang belakangan tumbuh bagai cendawan pada musim hujan di pinggiran kota itu. Di garasinya pun hanya tampak sebuah mobil butut keluaran tahun 1980. Meja, kursi, dan tempat tidur miliknya bukan terbuat dari kayu jati kualitas wahid. Bukan pula hadiah selamat jalan dari seorang pengusaha yang pernah memenangkan tender di masa dirinya menjadi walikota.
Lantai rumahnya bukan marmer Itali, tapi cuma terbuat dari tegel kecoklatan hasil produksi perajin kecil dari kota itu. Sementara gentengnya bukan pula genteng pabrikan dari Jatiwangi yang amat kokoh. Gentengnya cukup genteng tanah liat buatan perajin Desa Kemiri.
Dia sengaja memilih tinggal di perkampungan dengan gang-gang senggol. Dia ingin menikmati sisa rasa kekeluargaan warga kampung yang kini tak lagi dimiliki warga kota besar. Dan, satu lagi, sindroma pasca berkuasa yang mendera dirinya dapat terobati berkat rasa segan warga kampung.
Warga kampung masih menaruh rasa hormat pada mantan walikota yang dulu dikenal tegas terhadap setiap penyelewengan ini. Masih tersisa rasa segan, sungkan, dan rasa wibawa. Bahkan, beberapa warga tetap memanggilnya Pak Walikota Marmo.
Pak Marmo sadar benar. Dia tak mau masa pensiunnya harus diisi dengan urusan meja bundar dan meja hijau gara-gara menerima hadiah selama jalan atau sekadar  ucapan terima kasih seorang pengusaha pemenang tender.
***
 ADA apa Pak, pagi-pagi kok sudah ngelamun? Apakah semalam tidur salah bantal? Bu Marmo membuyarkan lamunan Pak Marmo yang tengah duduk sendiri di kursi malas di teras rumahnya.
Memangnya pejabat yang sekarang mengungkit-ungkit sisi kelam kepemimpinan Bapak? Bapak kan wajar-wajar saja selama menjadi walikota. Rasanya Bapak tidak pernah korupsi, dan saya tidak pernah merongrong Bapak untuk korupsi demi sebongkah berlian atau menumpuk gunung harta yang tiada habis dicangkul tujuh turunan. Tak ada yang perlu ditakutkan Pak! Bu Marmo terus menceracau.
Sebagai garwo yang telah mendampingi lebih dari 40 tahun, ia tahu betul karakter dan kebiasaan Pak Marmo saban pagi. Pagi itu Pak Marmo tampak murung termenung, ada sesuatu yang terasa mengganjal masa pensiunnya.
Nggak ada apa-apa, apak tak boleh pagi-pagi begini Bapak mengenang masa di mana Bapak dielu-elukan warga kota setelah berhasil membawa kota ini meraih penghargaan kota terbersih lima kali berturut-turut? Apakah kota ini masih mampu menyandang kota terbersih? Pak Marmo berusaha menutupi kemurungannya.
Jangan pernah meremehkan pengganti Bapak! Ibu merasa yakin walikota yang sekarang terus melanjutkan pola dasar pembangunan yang telah Bapak letakkan dulu. Buktinya, tahun ini masih bisa menyabet prestasi sebagai kota terbersih, Bu Marmo mengingatkan.
Ya, mudah-mudahan yang baik-baik terus dilanjutkan oleh pengganti Bapak. Yang buruk-buruk dikubur saja, tidak usah digali-gali lagi, mikul duwur mendhem jero, Pak Marmo menaruh asa.
Lho, memangnya ada yang buruk semasa kepemimpinan Bapak, Bu Marmo agak terperangah.
Namanya juga manusia, tidak pernah luput dari alpa dan kesalahan, Pak Marmo mencoba manusiawi.
Setahu Ibu, Bapak tidak pernah berbuat salah, tak pernah menyalah-gunakan jabatan atau kekuasaan. Tidak ada warna kemewahan sedikit pun dalam kita ini kan Pak, ujar Bu Marmo polos.
Saya kira begitu yang kita jalani selama ini, ucap Pak Marmo lirih.
Kalau begitu adanya, mengapa Bapak kelihatan murung pagi ini? Toh tak ada yang perlu ditakuti kan Pak! Mari kita nikmati masa pensiun Bapak dengan nostalgia yang baik-baik saja, kata Bu Marmo sambil pamit sebentar ke dalam rumah ingin membuatkan teh ginasthel kesukaan Pak Marmo sejak awal berumah-tangga.
Eyang, kapan ayah pulang dari Amerika. Belajar kok lama sekali. Apa sudah tidak sayang sama Danang? Danang sudah kangen ayah, tiba-tiba Danang, cucunya yang baru bangun tidur, menghampirinya.
Oh, ya. Eyang baru menerima surat dari ayah Danang kemarin siang. Ayah Danang mengabarkan sepekan lagi mau pulang, nanti kita jemput sama-sama di bandara ya. Danang mandi dulu, nanti ngobrol lagi dengan Eyang, tutur Pak Marmo.
Danang bergegas ke kamar mandi. Dia betul-betul patuh pada ucapan Eyang Marmo. Bersamaan dengan itu Bu Marmo balik ke teras sembari membawa dua cangkir teh. Pak Marmo kembali murung, termenung.
Bapak kok kembali murung, bener-bener tidak ada apa-apa?kata Bu Marmo memecah lamunan Pak Marmo.
Saya semalam lihat ada kupu-kupu masuk rumah kita!
Itu sih firasat kita akan kedatangan tamu Pak.
Eyang, eyang, Danang sudah mandi dan tidak lupa menggosok gigi. Kita ngobrol lagi ya,pinta Danang yang belum lengkap mengancingkan bajunya itu.
Ngobrol apa lagi, semalam kan Eyang sudah mendongeng Kancil Nyolong Timun Pak Tani. Pagi ini Danang mesti berangkat sekolah, ucap Pak Marmo tak sadar bila cucunya itu tengah libur kenaikan kelas.
Eyang lupa ya, Danang kan lagi libur, Danang mengingatkan.
Oh, iya Eyang lupa, ucap Pak Marmo.
Eyang ... Danang boleh tanya nggak? Siapa sih yang membiayai ayah Danang belajar ke Amerika? Danang yang baru naik kelas enam SD itu mengajukan pertanyaan yang cukup mengagetkan. Pak Marmo sedikit mengernyitkan dahi.
Cucu Eyang ini ada-ada saja pertanyaannya. Tentu Eyang yang membiayai kuliah ayahmu ke Amerika. Ayahmu kan belum bekerja, mau minta duit ke siapa lagi, terang Pak Marmo.
Biaya kuliah di Amrik kan mahal Eyang. Eyang sudah pensiun, uang pensiun Eyang saja nggak cukup buat jajan Danang, sampai-sampai Danang nggak berarni minta PlayStation-3. Dan, Eyang nggak punya usaha bisnis yang mendatangkan banyak duit. Lalu, dari mana asal-muasal duit yang Eyang kirim ke ayah di Amrik, Danang terus mengumbar tanya.
Memangnya mainan Danang belum cukup. Kemarin Eyang baru belikan mobil-mobilan dengan radio control. Apa belum cukup? sela Bu Marmo.
Sudah cukup sih, Cuma nanti siapa yang membiayai Danang sekolah, kalau duitnya habis buat membiayai ayah kuliah di Amrik, Danang merajuk.
Jangan khawatir Danang, simpanan Eyang-mu cukup banyak. Kalau buat menyekolahkan kamu sampai jadi tukang insinyur di Jakarta saja, tentu lebih dari cukup, Pak Marmo berusaha menenangkan cucunya.
Cukup Danang?Bu Marmo menimpali.
Belum cukup, Eyang putri, ucap Danang sambil menggelengkan kepala.
Eyang kung kan sudah menjanjikan, belum cukup bagaimana? tanya Bu Marmo.
Danang nggak mau dibiayai dari hasil bunga simpanan Eyang kung yang tak jelas dari mana asal-muasanya. Eyang sudah pensiun, mana mungkin isi tabungannya terus bertambah, apalagi terus diambil buat dikirim ke Amrik, Danang seakan protes.
Tadi Eyang kung sudah jelaskan, simpanan Eyang cukup buat menyekolahkan Danang sampai jadi tukang insinyur. Danang tidak perlu tahu dari mana simpanan Eyang, halal kok,Pak Marmo kembali menjelaskan.
Sudahlah Danang, main sana. Tuh Kodir sudah menghampirimu, mengajak main ke Alun-alun Gladak, pinta Bu Marmo sembali menunjuk ke arah Kodir yang tampak di pintu pagar.
Oh ... iya. Pamit dulu Eyang, Danang mau bermain bersama-sama dengan reco (Jw: patung) Gladak yang setiap menunggu pintu masuk alun-alun itu, spontan Danang lari menuju Kodir.
Hati-hati ya Danang, sahut Bu Marmo.
***
SI Danang ini pintar betul. Pertanyaannya membuatku nyaris terpojok, gumam Pak Marmo sampai mengeluarkan suara lirih.
Terpojok, terpojok bagaimana Pak? Bu Marmo ingin tahu.
Itu tadi, Danang kan mengungkit-ungkit asal-muasal simpanan Bapak yang dipakai buat membiayai kuliah anak kita di Amerika. Padahal, simpanan itu tak lain hanya kumpulan dari tunjangan jabatan yang kuperoleh selama dua periode memangku jabatan walikota, terang Pak Marmo.
Ibu pikir wajar-wajar saja kalau seorang Danang menanyakan soal pembiayaan kuliah ayahnya di Amerika, sementara ayahnya belum bekerja. Sudah barang tentu dia juga berpikir siapa yang akan membiayainya kelas. Jangan-jangan simpanan Eyang-nya sudah habis, sedangnya ayahnya tidak kunjung memperoleh pekerjaan sepulang dari kuliah di Amerika, Bu Marmo berusaha membawa ketenangan.
Ah, Ibu juga terlalu khawatir. Lulusan Amerika sudah pasti gampang cari kerja di sini, Pak Marmo menenang-nenangkan diri.
Dan, benar kan Pak kalau biaya kuliah di Amerika tuh mahal. Simpanan Bapak mana cukup, sudah begitu anak kita tidak secerdas cucu kita. Jadi makan waktu lama untuk menyelesaikan kuliah, kata Bu Marmo.
Semahal-mahalnya berapa dolar sih! Simpananku lebih dari cukup. Kalau perlu, setelah Danang lulus SD langsung kita kirim melanjutkan pendidikan ke Amerika, Pak Marmo meremehkan kekhawatiran isterinya.
Bila begitu, simpanan Bapak banyak dong, tidak hanya dari tunjangan jabatan? Tunjangan walikota kan nggak seberapa?Bu Marmo balik menyelidik.
Yang penting halal Bu, ucap Pak Marmo singkat.
Halal atau ... Bu Marmo tak melanjutkan.
Percaya lah Bu, suamimu ini tidak berbuat neko-neko. Kalau Bapak berulah, apakah mungkin kota yang Bapak pimpin mampi meraih penghargaan sebagai kota terbersih lima kali berturut-turut? Kita obrolkan soal lain saja, pinta Pak Marmo.
Tadi Bapak katakan ayahnya Danang besok pulang? Bu Marmo mengalihkan obrolan.
Ya, betul.
Masih berapa kalu lagi anak kita kuliah di Amerika, Pak
Tanya saja ke anakmu. Dia mulai kuliah saat Danang masih di TK kecil, mestinya sudah lama selesai, Pak Marmo berusaha mengingat-ingat.
Yah, mudah-mudahan tidak ada apa-apa dan bisa selesai walau tidak bisa tepat waktu, Bu Marmo berharap.
Pak Marmo dan Bu Marmo saling berpandangan. Lalu, seseorang mengetuk pintu pagar rumahnya.
Selamat pagi, Pak. Apakah benar ini rumahnya Bapak Sumarmo yang orang-tuanya saudara Bondan yang kuliah di Amerika, tanya tamu lelaki berseragam itu penuh keramahan.
Benar, ada apa ya Pak? jawab Bu Marmo yang menghampiri ke pintu pagar.
Maaf Bu, saya dari kepolisian, mengantarkan surat pemberitahuan dari kepolisian Amerika bahwa Bondan terbunuh di salah klub malam di New York, jelas tamu berseragam tadi.
Pak Marmo langsung tertunduk lesu. Apa yang dikhawatirkan, bahwa anaknya menghadapi persoalan sehingga tak lulus-lulus kuliah, ternyata tidak meleset. Tamu berseragam itu langsung pamit pulang dan memohon Pak Marmo datang ke kantornya bilamana ada yang kurang jelas dari keterangan surat pemberitahuan tersebut.
Belum usai Pak Marmo membaca isi surat pemberitahuan dari kepolisian, pintu pagar rumahnya kembali diketuk orang.
Selama pagi Pak. Benarkah ini rumah Pak Marmo yang bekas walikota yang sempat membawa kota kita meraih penghargaan tertinggi sebagai kota terbersih itu? lelaki yang juga berseragam itu bertanya pada Pak Marmo yang langsung datang sendiri menghampiri.
Betul... ucap Pak Marmo lirih kehilangan gairah hidup lantaran dia tahu tamu yang datang kali ini jelas akan mempengaruhi sisa umurnya.
Saya dari komusi korupsi Pak. Saya ke sini buat menyampaikan surat panggilan buat Pak Marmo yang sampai saat ini masih kami kenang sebagai pemimpin yang baik dan mengayomi, tutur tamu berseragam itu sembari menyodorkan tanda terima surat dan pamit untuk kembali ke kantornya.
Pak Marmo langsung membuka surat panggilan. Isinya, Kepada Saudara Sumarmo, mantan walikota terbersih, saudara kami mohon menghadap ke kantor komisi korupsi sehubungan dengan kasus pembangunan terminal bus yang sudah hancur belum tiga bulan digunakan dan perjanjian bagi hasil pengelolaan kios-kios di terminal bus antarkota antarprovinsi.”  
Sragen, medio 2011
       

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar