Fiksi
budi nugroho
“SELAMAT
jalan Pak Marmo, semoga masa-masa pensiun Anda membahagiakan. Jasa Anda sebagai
pembawa kota ini meraih penghargaan Adipura tak akan pernah kami lupakan.”
Kata-kata
penghargaan yang terpampang di pojok kota itu setiap pagi menelusup ke relung
hati Pak Marmo yang kini menjalani masa pensiun di rumahnya yang sederhana di
pinggiran kota. Dia menghabiskan masa tuanya bersama seorang isteri dan dua
orang cucu. Sementara Bondan, anaknya yang telah memberinya dua orang cucu,
tengah belajar di Negeri Paman Sam.
Sederhana, betul-betul sederhana. Rumahnya tak
menampakkan sedikit pun bahwa Pak Marmo dulunya seorang walikota sebuah kota
yang amat presitius berkait raihan lima piala Adipura.
Rumahnya menyatu
dengan perkampungan tak tertata, bukan di sebuah cluster bergengsi yang belakangan tumbuh bagai cendawan pada musim
hujan di pinggiran kota itu. Di garasinya pun hanya tampak sebuah mobil butut
keluaran tahun 1980. Meja, kursi, dan tempat tidur miliknya bukan terbuat dari
kayu jati kualitas wahid. Bukan pula hadiah selamat jalan dari seorang
pengusaha yang pernah memenangkan tender di masa dirinya menjadi walikota.
Lantai rumahnya
bukan marmer Itali, tapi cuma terbuat dari tegel kecoklatan hasil produksi
perajin kecil dari kota itu. Sementara gentengnya bukan pula genteng pabrikan
dari Jatiwangi yang amat kokoh. Gentengnya cukup genteng tanah liat buatan
perajin Desa Kemiri.
Dia sengaja
memilih tinggal di perkampungan dengan gang-gang senggol. Dia ingin menikmati
sisa rasa kekeluargaan warga kampung yang kini tak lagi dimiliki warga kota
besar. Dan, satu lagi, sindroma pasca berkuasa yang mendera dirinya dapat
terobati berkat rasa segan warga kampung.
Warga kampung
masih menaruh rasa hormat pada mantan walikota yang dulu dikenal tegas terhadap
setiap penyelewengan ini. Masih tersisa rasa segan, sungkan, dan rasa wibawa.
Bahkan, beberapa warga tetap memanggilnya “Pak Walikota
Marmo”.
Pak Marmo sadar
benar. Dia tak mau masa pensiunnya harus diisi dengan urusan meja bundar dan
meja hijau gara-gara menerima hadiah selama jalan atau sekadar ucapan terima kasih seorang pengusaha
pemenang tender.
***
“ADA apa Pak,
pagi-pagi kok sudah ngelamun? Apakah
semalam tidur salah bantal?” Bu Marmo membuyarkan
lamunan Pak Marmo yang tengah duduk sendiri di kursi malas di teras rumahnya.
“Memangnya
pejabat yang sekarang mengungkit-ungkit sisi kelam kepemimpinan Bapak? Bapak
kan wajar-wajar saja selama menjadi walikota. Rasanya Bapak tidak pernah
korupsi, dan saya tidak pernah merongrong Bapak untuk korupsi demi sebongkah
berlian atau menumpuk gunung harta yang tiada habis dicangkul tujuh turunan.
Tak ada yang perlu ditakutkan Pak!” Bu Marmo terus menceracau.
Sebagai garwo yang telah mendampingi lebih dari
40 tahun, ia tahu betul karakter dan kebiasaan Pak Marmo saban pagi. Pagi itu Pak Marmo tampak murung termenung, ada sesuatu
yang terasa mengganjal masa pensiunnya.
“Nggak
ada apa-apa, apak tak boleh pagi-pagi begini Bapak mengenang masa di mana Bapak
dielu-elukan warga kota setelah berhasil membawa kota ini meraih penghargaan
kota terbersih lima kali berturut-turut? Apakah kota ini masih mampu menyandang
kota terbersih?” Pak Marmo berusaha menutupi
kemurungannya.
“Jangan
pernah meremehkan pengganti Bapak! Ibu merasa yakin walikota yang sekarang
terus melanjutkan pola dasar pembangunan yang telah Bapak letakkan dulu.
Buktinya, tahun ini masih bisa menyabet prestasi sebagai kota terbersih,” Bu Marmo mengingatkan.
“Ya,
mudah-mudahan yang baik-baik terus dilanjutkan oleh pengganti Bapak. Yang
buruk-buruk dikubur saja, tidak usah digali-gali lagi, mikul duwur mendhem jero,” Pak Marmo
menaruh asa.
“Lho,
memangnya ada yang buruk semasa kepemimpinan Bapak,” Bu
Marmo agak terperangah.
“Namanya
juga manusia, tidak pernah luput dari alpa dan kesalahan,”
Pak Marmo mencoba manusiawi.
“Setahu
Ibu, Bapak tidak pernah berbuat salah, tak pernah menyalah-gunakan jabatan atau
kekuasaan. Tidak ada warna kemewahan sedikit pun dalam kita ini kan Pak,” ujar Bu Marmo polos.
“Saya
kira begitu yang kita jalani selama ini,” ucap Pak
Marmo lirih.
“Kalau
begitu adanya, mengapa Bapak kelihatan murung pagi ini? Toh tak ada yang perlu
ditakuti kan Pak! Mari kita nikmati masa pensiun Bapak dengan nostalgia yang
baik-baik saja,” kata Bu Marmo sambil pamit sebentar ke
dalam rumah ingin membuatkan teh ginasthel
kesukaan Pak Marmo sejak awal berumah-tangga.
“Eyang,
kapan ayah pulang dari Amerika. Belajar kok lama sekali. Apa sudah tidak sayang
sama Danang? Danang sudah kangen ayah,” tiba-tiba
Danang, cucunya yang baru bangun tidur, menghampirinya.
“Oh,
ya. Eyang baru menerima surat dari ayah Danang kemarin siang. Ayah Danang
mengabarkan sepekan lagi mau pulang, nanti kita jemput sama-sama di bandara ya.
Danang mandi dulu, nanti ngobrol lagi dengan Eyang,”
tutur Pak Marmo.
Danang bergegas
ke kamar mandi. Dia betul-betul patuh pada ucapan Eyang Marmo. Bersamaan dengan
itu Bu Marmo balik ke teras sembari membawa dua cangkir teh. Pak Marmo kembali
murung, termenung.
“Bapak
kok kembali murung, bener-bener tidak
ada apa-apa?” kata Bu Marmo memecah lamunan Pak Marmo.
“Saya
semalam lihat ada kupu-kupu masuk rumah kita!”
“Itu
sih firasat kita akan kedatangan tamu Pak.”
“Eyang,
eyang, Danang sudah mandi dan tidak lupa menggosok gigi. Kita ngobrol lagi ya,” pinta
Danang yang belum lengkap mengancingkan bajunya itu.
“Ngobrol
apa lagi, semalam kan Eyang sudah mendongeng Kancil Nyolong Timun Pak Tani. Pagi ini Danang mesti berangkat
sekolah,” ucap Pak Marmo tak sadar bila cucunya itu
tengah libur kenaikan kelas.
“Eyang
lupa ya, Danang kan lagi libur,” Danang mengingatkan.
“Oh,
iya Eyang lupa,” ucap Pak Marmo.
“Eyang
... Danang boleh tanya nggak? Siapa
sih yang membiayai ayah Danang belajar ke Amerika?”
Danang yang baru naik kelas enam SD itu mengajukan pertanyaan yang cukup
mengagetkan. Pak Marmo sedikit mengernyitkan dahi.
“Cucu
Eyang ini ada-ada saja pertanyaannya. Tentu Eyang yang membiayai kuliah ayahmu
ke Amerika. Ayahmu kan belum bekerja, mau minta duit ke siapa lagi,” terang Pak Marmo.
“Biaya
kuliah di Amrik kan mahal Eyang. Eyang sudah pensiun, uang pensiun Eyang saja nggak cukup buat jajan Danang,
sampai-sampai Danang nggak berarni
minta PlayStation-3. Dan, Eyang nggak
punya usaha bisnis yang mendatangkan banyak duit. Lalu, dari mana asal-muasal
duit yang Eyang kirim ke ayah di Amrik,” Danang terus mengumbar
tanya.
“Memangnya
mainan Danang belum cukup. Kemarin Eyang baru belikan mobil-mobilan dengan radio control. Apa belum cukup?” sela Bu Marmo.
“Sudah
cukup sih, Cuma nanti siapa yang membiayai Danang sekolah, kalau duitnya habis
buat membiayai ayah kuliah di Amrik,” Danang merajuk.
“Jangan
khawatir Danang, simpanan Eyang-mu cukup banyak. Kalau buat menyekolahkan kamu
sampai jadi tukang insinyur di Jakarta saja, tentu lebih dari cukup,” Pak Marmo berusaha menenangkan cucunya.
“Cukup
Danang?” Bu Marmo menimpali.
“Belum
cukup, Eyang putri,” ucap Danang sambil menggelengkan
kepala.
“Eyang
kung kan sudah menjanjikan, belum
cukup bagaimana?” tanya Bu Marmo.
“Danang
nggak mau dibiayai dari hasil bunga
simpanan Eyang kung yang tak jelas
dari mana asal-muasanya. Eyang sudah pensiun, mana mungkin isi tabungannya
terus bertambah, apalagi terus diambil buat dikirim ke Amrik,”
Danang seakan protes.
“Tadi
Eyang kung sudah jelaskan, simpanan
Eyang cukup buat menyekolahkan Danang sampai jadi tukang insinyur. Danang tidak
perlu tahu dari mana simpanan Eyang, halal kok,” Pak Marmo kembali menjelaskan.
“Sudahlah
Danang, main sana. Tuh Kodir sudah
menghampirimu, mengajak main ke Alun-alun Gladak,”
pinta Bu Marmo sembali menunjuk ke arah Kodir yang tampak di pintu pagar.
“Oh
... iya. Pamit dulu Eyang, Danang mau bermain bersama-sama dengan reco (Jw: patung) Gladak yang setiap
menunggu pintu masuk alun-alun itu,” spontan Danang
lari menuju Kodir.
“Hati-hati
ya Danang,” sahut Bu Marmo.
***
“SI
Danang ini pintar betul. Pertanyaannya membuatku nyaris terpojok,” gumam Pak Marmo sampai mengeluarkan suara lirih.
“Terpojok,
terpojok bagaimana Pak?” Bu Marmo ingin tahu.
“Itu
tadi, Danang kan mengungkit-ungkit asal-muasal simpanan Bapak yang dipakai buat
membiayai kuliah anak kita di Amerika. Padahal, simpanan itu tak lain hanya
kumpulan dari tunjangan jabatan yang kuperoleh selama dua periode memangku
jabatan walikota,” terang Pak Marmo.
“Ibu
pikir wajar-wajar saja kalau seorang Danang menanyakan soal pembiayaan kuliah
ayahnya di Amerika, sementara ayahnya belum bekerja. Sudah barang tentu dia
juga berpikir siapa yang akan membiayainya kelas. Jangan-jangan simpanan
Eyang-nya sudah habis, sedangnya ayahnya tidak kunjung memperoleh pekerjaan
sepulang dari kuliah di Amerika,” Bu Marmo berusaha membawa
ketenangan.
“Ah,
Ibu juga terlalu khawatir. Lulusan Amerika sudah pasti gampang cari kerja di
sini,” Pak Marmo menenang-nenangkan diri.
“Dan,
benar kan Pak kalau biaya kuliah di Amerika tuh
mahal. Simpanan Bapak mana cukup, sudah begitu anak kita tidak secerdas cucu
kita. Jadi makan waktu lama untuk menyelesaikan kuliah,”
kata Bu Marmo.
“Semahal-mahalnya
berapa dolar sih! Simpananku lebih
dari cukup. Kalau perlu, setelah Danang lulus SD langsung kita kirim
melanjutkan pendidikan ke Amerika,” Pak Marmo
meremehkan kekhawatiran isterinya.
“Bila
begitu, simpanan Bapak banyak dong, tidak hanya dari tunjangan jabatan?
Tunjangan walikota kan nggak
seberapa?” Bu Marmo balik menyelidik.
“Yang
penting halal Bu,” ucap Pak Marmo singkat.
“Halal
atau ...” Bu Marmo tak melanjutkan.
“Percaya
lah Bu, suamimu ini tidak berbuat neko-neko.
Kalau Bapak berulah, apakah mungkin kota yang Bapak pimpin mampi meraih
penghargaan sebagai kota terbersih lima kali berturut-turut? Kita obrolkan soal
lain saja,” pinta Pak Marmo.
“Tadi
Bapak katakan ayahnya Danang besok pulang?” Bu Marmo
mengalihkan obrolan.
“Ya,
betul.”
“Masih
berapa kalu lagi anak kita kuliah di Amerika, Pak”
“Tanya
saja ke anakmu. Dia mulai kuliah saat Danang masih di TK kecil, mestinya sudah
lama selesai,” Pak Marmo berusaha mengingat-ingat.
“Yah,
mudah-mudahan tidak ada apa-apa dan bisa selesai walau tidak bisa tepat waktu,” Bu Marmo berharap.
Pak Marmo dan Bu
Marmo saling berpandangan. Lalu, seseorang mengetuk pintu pagar rumahnya.
“Selamat
pagi, Pak. Apakah benar ini rumahnya Bapak Sumarmo yang orang-tuanya saudara
Bondan yang kuliah di Amerika,” tanya tamu lelaki
berseragam itu penuh keramahan.
“Benar,
ada apa ya Pak?” jawab Bu Marmo yang menghampiri ke
pintu pagar.
“Maaf
Bu, saya dari kepolisian, mengantarkan surat pemberitahuan dari kepolisian
Amerika bahwa Bondan terbunuh di salah klub malam di New York,”
jelas tamu berseragam tadi.
Pak Marmo
langsung tertunduk lesu. Apa yang dikhawatirkan, bahwa anaknya menghadapi
persoalan sehingga tak lulus-lulus kuliah, ternyata tidak meleset. Tamu
berseragam itu langsung pamit pulang dan memohon Pak Marmo datang ke kantornya
bilamana ada yang kurang jelas dari keterangan surat pemberitahuan tersebut.
Belum usai Pak
Marmo membaca isi surat pemberitahuan dari kepolisian, pintu pagar rumahnya
kembali diketuk orang.
“Selama
pagi Pak. Benarkah ini rumah Pak Marmo yang bekas walikota yang sempat membawa
kota kita meraih penghargaan tertinggi sebagai kota terbersih itu?” lelaki yang juga berseragam itu bertanya pada Pak Marmo
yang langsung datang sendiri menghampiri.
“Betul...” ucap Pak Marmo lirih kehilangan gairah hidup lantaran dia
tahu tamu yang datang kali ini jelas akan mempengaruhi sisa umurnya.
“Saya
dari komusi korupsi Pak. Saya ke sini buat menyampaikan surat panggilan buat
Pak Marmo yang sampai saat ini masih kami kenang sebagai pemimpin yang baik dan
mengayomi,” tutur tamu berseragam itu sembari
menyodorkan tanda terima surat dan pamit untuk kembali ke kantornya.
Pak Marmo langsung
membuka surat panggilan. Isinya, “Kepada Saudara
Sumarmo, mantan walikota terbersih, saudara kami mohon menghadap ke kantor
komisi korupsi sehubungan dengan kasus pembangunan terminal bus yang sudah
hancur belum tiga bulan digunakan dan perjanjian bagi hasil pengelolaan
kios-kios di terminal bus antarkota antarprovinsi.”
Sragen,
medio 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar