Sabtu, 02 Agustus 2014

Legenda Si Lancang





Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai buruh tani.
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang.
Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.
Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, “Engkau Lancang … anakku! Oh … betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, “mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini.”
Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, “ya Tuhanku … hukumlah si Anak durhaka itu.”
Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.
Once tersebutlah a story, in Kampar district in ancient times
the Lancang lived with his mother. They live with the very poor. They both worked as a laborer.
To improve his life, then the Si Lancang intend to leave. One day he asked permission from the mother and teacher ngajinya. His mother had ordered that in future shoreline Si Lancang people always remember the mother and hometown. His mother told him to Si Lancang do not become a rebellious child.
The Lancang any such promise to his mother. Her mother was moved when Si Lancang worship knees to ask for blessings. His mother was a pack of lumping dodak membekalinya, pastry passion Si Lancang.
After many years wander, apparently very lucky Si Lancang. He became a wealthy merchant. He has dozens and dozens of fruit merchant ships. Dikhabarkan he has seven wives. They all came from a wealthy merchant family. While her mother, still living in Kampar in very poor condition.
On one day, Si Lancang sailed to Newcastle. In a voyage that he brings to seven wives. Together they also brought supplies of luxury and entertainment tools include music. When docked in Kampar, musical instruments were sounded noisy. Meanwhile, various silk and gold and silver ornaments were held. Overall it was prepared to give the impression of luxury and wealth Si Lancang.
News arrivals Si Lancang heard by his mother. With compassion, he rushed to greet the only child. Because the poor, he was only wearing an old cloth scarf, sarong kebaya worn and patched. With courage he climbed into his luxury boat deck Si Lancang.
Once declared that she was his mother Si Lancang, no one ever sailor to believe it. He drove with his rough old mother. But she did not want to move. He insisted to be reunited with his son Si Lancang. The situation caused a commotion.
Hearing the commotion on the deck, accompanied by Si Lancang seventh with his wife came to the place. How shocked he was when watching that women who had been expelled compang camping it was his mother. Lancang’s mother said, “You Lancang … my son! Oh … what a heart longing for Mother to you. Hearing the greeting that, in the pride of Lancang dismissed. Even this rebellious child shouted,” Where could I have the mothers of poor women like you. Seaman! kick this crazy woman. ”
This poor mother finally came home with a feeling devastated. Arriving at home, then he took his inheritance. Heritage was a rice pounder and a mortar nyiru. As she prayed, dimple-swivel that rotated and dikibas-kibaskannya nyiru possessions. He also said, “O my Lord … seized the child’s disobedience.”
In a flash, come down a hurricane. The storm blew so fierce that in a moment destroyed the trading ships of Si Lancang. Not only the ship was shattered, his possessions are also flying everywhere. Floating silk fabrics and the country fell into the Fold fabrics located in Kampar Kiri. Gong was thrown into a river Kampar Kanan and Oguong. Tembikarnya floated into Pasubilah. While Si Lancang flagpole ships until he was thrown in a lake, named Lake Si Lancang. (sumber: http://www.kumpulandongeng.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar