fiksi
budi nugroho
Punggung bus malam yang mengantarku pulang ke kota
ini baru saja lepas dari mata, melanjutkan perjalanan ke terminal pamungkas
Kota Madiun. Semburat merah di ufuk timur yang mulai merekah belum mampu
mengusir rasa kantuk yang sejak dari Kota Salatiga tak tertahankan. Rasa kantuk
baru lenyap bergitu aku melihat sebuah rumah berlantai dua, berteras megah
dengan kubah dan dua pilar besar, bergaya modern klasik yang tampak kokoh di
jantung kota ini. Kantukku semakin hilang begitu melihat rumah itu dilengkapi
kolam renang mini, sangkar ayam bekisar, bonsai asli Negeri Sakura, dan
akuarium ikan Lou Han di teras rumah.
Rasanya demikian asing aku berdiri di depan rumah
itu sesaat turun dari bus malam. Asing lantaran aku seolah tidak sedang berada
di kampung halamanku. Asing karena tanaman dan hewan di pekarangan rumah itu
sepertinya bukan klangenan priyayi di
kota ini. Asing gara-gara arsitektur rumah itu menghapus memori nostalgiaku di
tempat ini puluhan tahun silam. Aku benar-benar alien.
Bernakku bertanya-tanya, siapa ya yang menyulap
bangunan antik peninggalan Kolonial Belanda yang sempat menjadi penanda kawasan
pusat kota ini. Sayang benar, ciri kota tua sirna begitu saja.
Rasanya orang yang memiliki kekuatan duit untuk
merubuhkan dan menyulap penanda kawasan pusat kota ini bisa dihitung dengan
jari satu tangan. Orang-orang kota kecil ini yang merantu ke Jakarta, atau ke
Arab sekalipun, rasanya belum mampu meruntuhkan bangunan antik penuh kenangan
itu. Memang ada pesinden asal kota kecil ini yang berhasil membangun rumah
seharga dua miliar. Tapi, rumah itu ada nun jauh di luar kota ini.
Rasanya pula, konglomerat hitam yang pernah nilep dana BLBI tak ada yang lahir dan
menghabiskan masa remajanya di kota kecil ini. Ada sih seorang jaksa asal kota
ini yang sempat hartanya melejit miliaran namun belakangan tertangkap tangan
saat menerima suap dari Ayin. Asal tahu saja, denyut perekonomian kota ini
nyaris nihil dari tahun ke tahun. Sejak seperempat abad silam kutinggalkan kota
kecil ini, bangunan-bangunan rumah, bank, perkantoran, pasar dan kantor polisi
yang begitu-begitu saja. Cuma bangunan bekas warisan zaman kolonial yang satu
ini yang sangat mencolok perubahannya.
Belum sirna ketertegunanku pada rumah impian
seperti yang biasa dipamerkan di sinertron-sinetron televisi swasta itu,
pemilik rumah keluar dengan pakaian senam pagi. Dia berlari-lari kecil di
halaman rumah berluas lebih dari 1.500 meter bujursangkar dengan hamparan
rumput hijau segar dibasahi sisa-sisa embun dinihari.
Lelaki masih umur 50-an, perawakan sedang, perut belum terlalu buncit dan wajah sangat nJawani. Sepertinya aku pernah akrab
muka dengan lelaki berkumis tebal nan terawat itu. Ya, kalau tidak keliru, dia
adalah Mas Bejo –teman sekolah STM kakakku tertua. Hebat betul Mas Bejo,
rezeqinya mengalir bagai air bah. Padahal, dia dulu ndak sampai tamat STM dan lari ke Jakarta gara-gara kebobolan
sewaktu jadi bandar judi Nalo. Aku
kembali membuka-bula lembar memori di benakku.
Aku bertambah yakin dia Mas Bejo setelah kulihat
ada tahi lalat sebesar biji kedelai di ujung hidung dan ada jahitan bekas luka
di jidat. Yakin, ya haqul yakin, tidak salah lagi dia adalah Mas Bejo. Cara
berjalan, gaya berlari-lari kecil dan membungkuk-bungkukkan badan, aku masih
ingat betul. Lantas kuberanikan diri menyapanya.
“Sugeng
enjing, apakah benar njenengan
Mas Bejo, teman Mas Sanusi di STM tahun 1976? Sekarang Mas Bejo yang punya dan
menempati rumah ini?” tanyaku ingin tahu.
“Eh, Dik
Paiman, sepagi ini sudah ada di sini. Sepertinya baru datang dari Jakarta ya, ndak biasanya kok langsung ke sini.” Mas Bejo tak hendak menjawab pertanyaanku.
“Kemarin pagi aku mendapat SMS dari Pak Bas, beliau
minta pagi ini aku harus bertemu di rumah ini. Bukan rumah ini kediaman Pak
Bas?”
“Sudah sekitar lima tahun Pak Bas pindah, Dik.”
***
Kenapa Pak Bas –guru yang memberiku
landasan-lanasan moral ke-Indonesia-an semasa SMA dulu—masih memintaku bertemu
beliau di rumah ini, aku menyimpan tanya dalam relung batinku. Padahal, Pak Bas
cukup berduit, terutama dari isterinya yang juragan batik di Pasar Kidul.
Rasa-rasanya cukuplah duit buat merawat rumah antik yang memberi torehan
historis pada kota kecil ini. Tak perlu sampai menjualnya sehingga
sampai-sampai menghilangkan salah satu noktah sejarah.
Aku jadi teringat kenangan-kenangan lucu di rumah,
yang dulu akrab disebut rumah Londo, ini. Masa-masa sekolah SMP dan SMA banyak
kuhabiskan bermain ini. Sebab, aku karib sebaya anak kedua Pak Bas, Purwo, yang
selalu satu kelas sejak dari kelas satu SMP sampai kelas tiga SMA. Kami baru
berpisah setelah masih-masih mesti melanjutkan kuliah di kota yang berbeda.
Berkat keakraban dengan Purwo, aku pun sangat dekat
dengan Pak Bas. Aku juga jadi tahu betul bagaimana keseharian Pak Bas sebagai
guru moral yang bilamana sudah berdiri di depan kelas tampak demikian
berwibawa.
Di rumah, meski kompetensi utamanya guru moral, Pak
Bas membuka les matematika dan fisika buat siswa-siswi yang merasa kekurangan
waktu di sekolah. Padahal, aku tahu, keluarga Pak Bas berkecukupan berkat
topangan Bu Bas yang turunan saudagar batik paling sohor kala itu.
Yang kutahu kemudian, kepada anak didik les, Pak
Bas membuat aturan agar membayar biaya les sekali dalam sepekan. Terutama di
akhir pekan. Begitu menerima bayaran dari puluhan anak didik les, Pak Bas
langsung menghilang. Lihat punya lihat, Pak Bas sudah asyik duduk sambil
membanting kartu ceki di rumah Koh
Bing yang tak jauh dari rumahnya. Pekan berikutnya di rumah Pak Mar, rumah Pak
Pardi dan rumah Koh Kodok Ijo. Sudah terjadwal.
***
“Tragis benar nasib Pak Bas sampai harus melego
rumahnya. Kenapa ya Mas?” tanyaku pada Mas Bejo yang mengajakku duduk di kursi
teras untuk menikmati kopi pahit dan kue semar
mendhem.
“Saya ndak
terlalu tahu persisnya. Saya sendiri mendapat rumah ini dari iklan di harian
Ibukota. Waktu itu saya baca iklan ‘Dijual murah: rumah antik di jantung
kotaJalan Sukowati. Harap hubungi 08901234567’. Sebagai orang asal kampung
sini, saya sangat tertarik, terlebih perusahaannku di Jakarta bisa saya
kendalikan dari sini. Rupanya rumah ini sudah jatuh ke tangan broker yang
pasang harga di atas satu miliar, jauh di atas harga pasaran sini,” jelas Mas
Bejo.
“Tapi, Mas kan tahu pemilik lama rumah ini?”
“Benar, rumah ini dulu milik Pak Bas, guru idola
siswi-siswi SMA pada zamannya.”
“Mas Bejo tidak mencari tahu mengapa rumah ini
sampai pindah tangan.”
“Saya dengar dari tetangga sekitar sini, rumah ini
terpaksa dijual untuk menutupi utang-utang Pak Bas. Kira-kira enam tahun lalu
Pak Bas kalah judi sampai tiga ratusan juta rupiah. Satu-satunya harta yang
masih tersisa adalah rumah ini.”
“Kalau begitu betul-betul dijual murah?”
“Betul, Pak Bas melepas ke Broker itu cuma empat
ratus juta. Utang Pak Bas mencapai tiga ratus enam puluh juta rupiah, lalu uang
yang tersisa dipakai buat membeli rumah tipe-21 di Plumbungan Permai.”
“Lantas, mengapa rumah ini sampai kehilangan noktah
sejarah?”
“Sejarah apanya yang hilang. Saya hanya merenovasi,
gayanya masih gaya Belanda, ruang-ruang dalam rumah pun masih mempertahankan
model, tata letak dan tata furnitur tetap yang lama. Ini saya lakukan untuk
menghormati Pak Bas. Dan beliau saya libatkan penuh dalam proses renovasi. Soal
kolam renang, taman depan, dan lapangan golf mini itu sekadar buat
mengoptimalkan tata lahan yang ada.”
“Memangnya ada pesan khusus dari Pak Bas, Mas?”
“Bukan pesan khusus, beliau cuma minta agar memori
masa silamnya tetap terjaga di dalam rumah ini. Sebab itu beliau bisa kapan
saja ke sini, entah sekadar memutar memori lama atau mengajak beberapa kawannya
main kartu ceki kecil-kecilan. Sore
kemarin baru dari sini.”
***
Aku berjalan dari ruang ke ruang, dari kamar ke
kamar rumsh Mas Bejo. Semua masih seperti tigapuluh tahun lampau. Yang
membedakan hanya kebaruan cat tembok dan politur pintu dan kusen. Oh, ini ruang
yang biasa kupakai bermain catur bersama Purwo. Terus, ini ruang yang biasa
dipakai buat bermain bekel anak
bungsu Pak Bas bersama kawan-kawan sebayanya. Lalu, kamar kesayangan Pak Bas
dan Bu Bas. Makin artistik saja. Harmoni dalam paduan warna krem di tembok dan
warna khas politur di pintu.
Lantas aku menuju satu kamar yang dulu tak seorang
pun teman Purwo boleh melongok, apalagi memasukinya. Cuma teman-teman Pak Bas
yang diizinkan masuk. Ruangannya sama luas dengan ruangan di sebelahnya yang
biasa digunakan untuk memberi les anak-anak didik Pak Bas.
“Mas Bejo, Mas sengaja menutup rapat-rapat kamar
spesial Pak Bas ini, tidak boleh sembarang orang melihat atau masuk?”
“Ndak Dik
Paiman, saya menyadari rumah ini menjadi semacam penanda perjalanan hidup bagi
orang-orang tertentu, siapa saja boleh melihat-lihat atau memasukinya.”
“Tapi Mas, kok sampai sesiang ini masih rapat
terkunci dari dalam. Apakah semalam ada yang tidur di kamar ini?”
“Tidak ada siapa-siapa dari semalam, Dik Paiman!”
Firasat kurang baik menggelayuti benakku. “Mas
Bejo, sepertinya ada yang kurang beres. Bagaimana kalau kita buka saja pintu
kamar ini?”
“Baik, saya ambil anak kunci serep dulu.” Berbekal kunci serep, Mas Bejo membuka pintu kamar
bersejarah itu. Gagal, karena mentok pada anak kunci yang masih terpasang dari
dalam.
Akhirnya, Mas Bejo membuka secara paksa pintu kamar
itu. Braaak! Astaga! Pak Bas tergantung dengan kabel di cangkolan lampu yang
ada di tengah-tengah ruang kamar. Di bawah telapak kakinya ada secarik kertas
wasiat: “Paiman, tolong lunasi utang Pak Bas sebesar seratus juta rupiah kepada
Koh Kodok Ijo karena semalam Bapak kalah lagi ...” Kata-katanya persis SMS yang
masuk ke ponselku beberapa hari lalu. ***
Kutho
Rejo, awal September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar