Sabtu, 02 Agustus 2014

SMS Pak Bas

fiksi budi nugroho

Punggung bus malam yang mengantarku pulang ke kota ini baru saja lepas dari mata, melanjutkan perjalanan ke terminal pamungkas Kota Madiun. Semburat merah di ufuk timur yang mulai merekah belum mampu mengusir rasa kantuk yang sejak dari Kota Salatiga tak tertahankan. Rasa kantuk baru lenyap bergitu aku melihat sebuah rumah berlantai dua, berteras megah dengan kubah dan dua pilar besar, bergaya modern klasik yang tampak kokoh di jantung kota ini. Kantukku semakin hilang begitu melihat rumah itu dilengkapi kolam renang mini, sangkar ayam bekisar, bonsai asli Negeri Sakura, dan akuarium ikan Lou Han di teras rumah.
Rasanya demikian asing aku berdiri di depan rumah itu sesaat turun dari bus malam. Asing lantaran aku seolah tidak sedang berada di kampung halamanku. Asing karena tanaman dan hewan di pekarangan rumah itu sepertinya bukan klangenan priyayi di kota ini. Asing gara-gara arsitektur rumah itu menghapus memori nostalgiaku di tempat ini puluhan tahun silam. Aku benar-benar alien.
Bernakku bertanya-tanya, siapa ya yang menyulap bangunan antik peninggalan Kolonial Belanda yang sempat menjadi penanda kawasan pusat kota ini. Sayang benar, ciri kota tua sirna begitu saja.
Rasanya orang yang memiliki kekuatan duit untuk merubuhkan dan menyulap penanda kawasan pusat kota ini bisa dihitung dengan jari satu tangan. Orang-orang kota kecil ini yang merantu ke Jakarta, atau ke Arab sekalipun, rasanya belum mampu meruntuhkan bangunan antik penuh kenangan itu. Memang ada pesinden asal kota kecil ini yang berhasil membangun rumah seharga dua miliar. Tapi, rumah itu ada nun jauh di luar kota ini.
Rasanya pula, konglomerat hitam yang pernah nilep dana BLBI tak ada yang lahir dan menghabiskan masa remajanya di kota kecil ini. Ada sih seorang jaksa asal kota ini yang sempat hartanya melejit miliaran namun belakangan tertangkap tangan saat menerima suap dari Ayin. Asal tahu saja, denyut perekonomian kota ini nyaris nihil dari tahun ke tahun. Sejak seperempat abad silam kutinggalkan kota kecil ini, bangunan-bangunan rumah, bank, perkantoran, pasar dan kantor polisi yang begitu-begitu saja. Cuma bangunan bekas warisan zaman kolonial yang satu ini yang sangat mencolok perubahannya.
Belum sirna ketertegunanku pada rumah impian seperti yang biasa dipamerkan di sinertron-sinetron televisi swasta itu, pemilik rumah keluar dengan pakaian senam pagi. Dia berlari-lari kecil di halaman rumah berluas lebih dari 1.500 meter bujursangkar dengan hamparan rumput hijau segar dibasahi sisa-sisa embun dinihari.
Lelaki masih umur 50-an, perawakan sedang,  perut belum terlalu buncit dan wajah sangat nJawani. Sepertinya aku pernah akrab muka dengan lelaki berkumis tebal nan terawat itu. Ya, kalau tidak keliru, dia adalah Mas Bejo –teman sekolah STM kakakku tertua. Hebat betul Mas Bejo, rezeqinya mengalir bagai air bah. Padahal, dia dulu ndak sampai tamat STM dan lari ke Jakarta gara-gara kebobolan sewaktu jadi bandar judi Nalo. Aku kembali membuka-bula lembar memori di benakku.
Aku bertambah yakin dia Mas Bejo setelah kulihat ada tahi lalat sebesar biji kedelai di ujung hidung dan ada jahitan bekas luka di jidat. Yakin, ya haqul yakin, tidak salah lagi dia adalah Mas Bejo. Cara berjalan, gaya berlari-lari kecil dan membungkuk-bungkukkan badan, aku masih ingat betul. Lantas kuberanikan diri menyapanya.
Sugeng enjing, apakah benar njenengan Mas Bejo, teman Mas Sanusi di STM tahun 1976? Sekarang Mas Bejo yang punya dan menempati rumah ini?” tanyaku ingin tahu.
Eh, Dik Paiman, sepagi ini sudah ada di sini. Sepertinya baru datang dari Jakarta ya, ndak biasanya kok langsung ke sini.” Mas Bejo tak hendak menjawab pertanyaanku.
“Kemarin pagi aku mendapat SMS dari Pak Bas, beliau minta pagi ini aku harus bertemu di rumah ini. Bukan rumah ini kediaman Pak Bas?”
“Sudah sekitar lima tahun Pak Bas pindah, Dik.”
***
Kenapa Pak Bas –guru yang memberiku landasan-lanasan moral ke-Indonesia-an semasa SMA dulu—masih memintaku bertemu beliau di rumah ini, aku menyimpan tanya dalam relung batinku. Padahal, Pak Bas cukup berduit, terutama dari isterinya yang juragan batik di Pasar Kidul. Rasa-rasanya cukuplah duit buat merawat rumah antik yang memberi torehan historis pada kota kecil ini. Tak perlu sampai menjualnya sehingga sampai-sampai menghilangkan salah satu noktah sejarah.
Aku jadi teringat kenangan-kenangan lucu di rumah, yang dulu akrab disebut rumah Londo, ini. Masa-masa sekolah SMP dan SMA banyak kuhabiskan bermain ini. Sebab, aku karib sebaya anak kedua Pak Bas, Purwo, yang selalu satu kelas sejak dari kelas satu SMP sampai kelas tiga SMA. Kami baru berpisah setelah masih-masih mesti melanjutkan kuliah di kota yang berbeda.
Berkat keakraban dengan Purwo, aku pun sangat dekat dengan Pak Bas. Aku juga jadi tahu betul bagaimana keseharian Pak Bas sebagai guru moral yang bilamana sudah berdiri di depan kelas tampak demikian berwibawa.
Di rumah, meski kompetensi utamanya guru moral, Pak Bas membuka les matematika dan fisika buat siswa-siswi yang merasa kekurangan waktu di sekolah. Padahal, aku tahu, keluarga Pak Bas berkecukupan berkat topangan Bu Bas yang turunan saudagar batik paling sohor kala itu.
Yang kutahu kemudian, kepada anak didik les, Pak Bas membuat aturan agar membayar biaya les sekali dalam sepekan. Terutama di akhir pekan. Begitu menerima bayaran dari puluhan anak didik les, Pak Bas langsung menghilang. Lihat punya lihat, Pak Bas sudah asyik duduk sambil membanting kartu ceki di rumah Koh Bing yang tak jauh dari rumahnya. Pekan berikutnya di rumah Pak Mar, rumah Pak Pardi dan rumah Koh Kodok Ijo. Sudah terjadwal.
***
“Tragis benar nasib Pak Bas sampai harus melego rumahnya. Kenapa ya Mas?” tanyaku pada Mas Bejo yang mengajakku duduk di kursi teras untuk menikmati kopi pahit dan kue semar mendhem.
“Saya ndak terlalu tahu persisnya. Saya sendiri mendapat rumah ini dari iklan di harian Ibukota. Waktu itu saya baca iklan ‘Dijual murah: rumah antik di jantung kotaJalan Sukowati. Harap hubungi 08901234567’. Sebagai orang asal kampung sini, saya sangat tertarik, terlebih perusahaannku di Jakarta bisa saya kendalikan dari sini. Rupanya rumah ini sudah jatuh ke tangan broker yang pasang harga di atas satu miliar, jauh di atas harga pasaran sini,” jelas Mas Bejo.
“Tapi, Mas kan tahu pemilik lama rumah ini?”
“Benar, rumah ini dulu milik Pak Bas, guru idola siswi-siswi SMA pada zamannya.”
“Mas Bejo tidak mencari tahu mengapa rumah ini sampai pindah tangan.”
“Saya dengar dari tetangga sekitar sini, rumah ini terpaksa dijual untuk menutupi utang-utang Pak Bas. Kira-kira enam tahun lalu Pak Bas kalah judi sampai tiga ratusan juta rupiah. Satu-satunya harta yang masih tersisa adalah rumah ini.”
“Kalau begitu betul-betul dijual murah?”
“Betul, Pak Bas melepas ke Broker itu cuma empat ratus juta. Utang Pak Bas mencapai tiga ratus enam puluh juta rupiah, lalu uang yang tersisa dipakai buat membeli rumah tipe-21 di Plumbungan Permai.”
“Lantas, mengapa rumah ini sampai kehilangan noktah sejarah?”
“Sejarah apanya yang hilang. Saya hanya merenovasi, gayanya masih gaya Belanda, ruang-ruang dalam rumah pun masih mempertahankan model, tata letak dan tata furnitur tetap yang lama. Ini saya lakukan untuk menghormati Pak Bas. Dan beliau saya libatkan penuh dalam proses renovasi. Soal kolam renang, taman depan, dan lapangan golf mini itu sekadar buat mengoptimalkan tata lahan yang ada.”
“Memangnya ada pesan khusus dari Pak Bas, Mas?”
“Bukan pesan khusus, beliau cuma minta agar memori masa silamnya tetap terjaga di dalam rumah ini. Sebab itu beliau bisa kapan saja ke sini, entah sekadar memutar memori lama atau mengajak beberapa kawannya main kartu ceki kecil-kecilan. Sore kemarin baru dari sini.”
***
Aku berjalan dari ruang ke ruang, dari kamar ke kamar rumsh Mas Bejo. Semua masih seperti tigapuluh tahun lampau. Yang membedakan hanya kebaruan cat tembok dan politur pintu dan kusen. Oh, ini ruang yang biasa kupakai bermain catur bersama Purwo. Terus, ini ruang yang biasa dipakai buat bermain bekel anak bungsu Pak Bas bersama kawan-kawan sebayanya. Lalu, kamar kesayangan Pak Bas dan Bu Bas. Makin artistik saja. Harmoni dalam paduan warna krem di tembok dan warna khas politur di pintu.
Lantas aku menuju satu kamar yang dulu tak seorang pun teman Purwo boleh melongok, apalagi memasukinya. Cuma teman-teman Pak Bas yang diizinkan masuk. Ruangannya sama luas dengan ruangan di sebelahnya yang biasa digunakan untuk memberi les anak-anak didik Pak  Bas.
“Mas Bejo, Mas sengaja menutup rapat-rapat kamar spesial Pak Bas ini, tidak boleh sembarang orang melihat atau masuk?”
Ndak Dik Paiman, saya menyadari rumah ini menjadi semacam penanda perjalanan hidup bagi orang-orang tertentu, siapa saja boleh melihat-lihat atau memasukinya.”
“Tapi Mas, kok sampai sesiang ini masih rapat terkunci dari dalam. Apakah semalam ada yang tidur di kamar ini?”
“Tidak ada siapa-siapa dari semalam, Dik Paiman!”
Firasat kurang baik menggelayuti benakku. “Mas Bejo, sepertinya ada yang kurang beres. Bagaimana kalau kita buka saja pintu kamar ini?”
“Baik, saya ambil anak kunci serep dulu.” Berbekal kunci serep, Mas Bejo membuka pintu kamar bersejarah itu. Gagal, karena mentok pada anak kunci yang masih terpasang dari dalam.
Akhirnya, Mas Bejo membuka secara paksa pintu kamar itu. Braaak! Astaga! Pak Bas tergantung dengan kabel di cangkolan lampu yang ada di tengah-tengah ruang kamar. Di bawah telapak kakinya ada secarik kertas wasiat: “Paiman, tolong lunasi utang Pak Bas sebesar seratus juta rupiah kepada Koh Kodok Ijo karena semalam Bapak kalah lagi ...” Kata-katanya persis SMS yang masuk ke ponselku beberapa hari lalu. ***   
Kutho Rejo, awal September 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar