Minggu, 03 Agustus 2014

Sus Yeni

fiksi budi nugroho

Orang-orang sekampung mengenali dan memanggil namanya Sus Yeni. Ia bekerja pada sebuah rumah sakit bersalin, tidak seberapa lama menumpang angkot dari tempatnya tinggalnya. Saban hari, hampir seluruh waktu hidup Sus Yeni dihabiskan di rumah sakit bersalin. Orang-orang di kampung yang sebagian besar warganya biasa melaut itu tahunya sepintas-sepintas. Tak paham sebagai apa Sus Yeni di rumah sakit bersalin itu. Ada yang menyebut ia mantri tukang nyuntik, ia bidan, ia perawat ...bahkan ada yang sampai menyebut ia dokter.
Tidak penting benar sebagai apa Sus Yeni bekerja, bagi orang-orang di kampung yang amat miskin itu. Yang telah pasti, Sus Yeni sangat akrab dan senantiasa datang tepat waktu saat orang kampung membutuhkan dirinya. Di kala nelayan tak bisa melaut karena diterpa angin barat, Sus Yeni menyambangi dengan setumpuk karton mie instan, berkarung gula putih dan berkaleng minyak curah. Di waktu pedagang es keliling diguyur hujan berhari-hari, Sus Yeni datang dengan berkantong-kantong kopi tubruk, berplastik gula pasir dan berbungkus-bungkus teh. Mengajak mereka alih dagang, membuka warung kopi.
Bukan sesuatu yang rutin memang, tetesan-tetesan kemakmuran dan kesejahteraan Sus Yeni pada kaum papa harta dan pangan di kampung yang berada di titik pertemuan antara Bekasi dan Karawang itu. Tapi, setidaknya, kemurahan hati Sus Yeni menjadi oase di padang gersang. Orang-orang kampung sini tidak harus bercapek-capek mengantre beras miskin yang lebih pantas buat pakan ayam.
Rumahnya yang sepenuhnya tempok dengan lantai granit putih salju dan dua mobil terparkir di garasinya tidak lantas membuat Sus Yeni menjaga jarak dengan orang-orang kampung. Saban hari ada saja yang menghambur ke rumah Sus Yeni, minta uluran tangan kemurahan pangan. Ada atau tiada Sus Yeni di rumah, tetes kemakmuran dan kesejahteraan siap dikucurkan. Biasanya Sus Yeni selalu berpesan kepada orang rumahnya, Nanti kalau ada yang datang, ambilkan saja di gudang belakang.
Gudang pangan di bagian belakang rumah Sus Yeni selalu penuh terisi. Di sana ada beras enak pandanwangi, ada mie instan merek kesohor, ada gula putih lokal yang amat manis, ada berjerigen-jerigen minyak curah dari produsen terkenal, dan ada lagi pakaian-pakaian baru buat anak-anak yang kedinginan di musim hujan.
***
Kesohoran Sus Yeni rupanya telah menembus batas kampung. Ia dikenal pula di kalangan kaum miskin kota. Memang, belakangan kabar ihwal kemurahan hati Sus Yeni menyebar dari mulut ke mulut. Dari mulut pedagang es keliling, pedagang mi dog-dog, tukang ojek, tukang becak, loper koran, sampai pemulung sampah.
Kendati telah tenar dan menjadi figur publik, Sus Yeni tidak mengubah laku-lagak dan penampilan. Masih pendiam, bicara seperlunya, pakaian sederhana tanpa merek dan menumpang angkot ke tempat kerjanya. Suatu kali ada seorang pedagang es keliling bertanya soal mengapa mobilnya dibiarkan saja parkir di garasi rumahnya, Sus Yeni cuma berucap: Biarlah mobil itu buat mengantarkan beras buat orang yang membutuhkan.
Sungguh amat gemar berderma. Hidupnya senantiasa diselimuti rasa kasih, rasa peduli, rasa kesetia-kawanan dan kerekatan sosial.
Agaknya kepopuleran Sus Yeni tak sekadar menembus batas kampung dan menusuk-nusuk relung-relung kota. Ketenarannya juga sempat meresap ke jantung orang-orang kaya harta, kaya sandang, kaya papan namun miskin hati. Di mana pun berada dan kapan pula senggang, siapa juga ingin bersua Sus Yeni. Di rumah sakit bersalin tempatnya bekerja, nama Sus Yeni paling laris disebut-sebut. Telepon di rumahnya berdering nyaris tanpa putus, para penelepon menanyakan ihwal sepenggal waktu dapat bertemu dengan Sus Yeni.
Sus Yeni sungguh hebat. Ia tidak mempu membawa kecemburuan sosial ke rumahnya. Sebab itu, Sus Yeni hanya bersedia menerima tamu-tamunya yang kaya namun miskin hati di luar rumah. Sus Yeni bersedia berjumpa mereka di lobi rumah sakit, mal, plasa, pusat jajan serba ada, atau kafe-kafe sosialita yang bertebaran di sudut-sudut kota. Paling tidak, hal ini buat menghindari pertanyaan usil dari orang-orang miskin yang telah ia guyuri air kemakmuran dan kesejahteraan selama ini.
Di zaman di mana keluarga cukup dua anak telah mengalami degradasi popularitas, Sus Yeni bertambah dicari-cari orang. Sus Yeni sudah lupa kapan ia menuai popularitas di tengah-tengah semakin merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat kebanyakan. Yang Sus Yeni ingat bahwa ia tidak pernah membuka praktik klinik kesehatan, membantu klinik aborsi, atau menolong memasang alat kontrsepsi di klinik-klinik bidan.
Sus Yeni teringat lima tahun silam, sewaktu bertemu dengan Suhut yang tengah menunggu isterinya hendak melahirkan. Suhut, yang seorang pengusaha pakaian jadi, ketika itu menanti kelahiran anaknya yang kelima. Empat anaknya yang duluan lahir, semuanya perempuan. Suhut merasa belum lengkap dan dianggap belum punya penerus penyandang trah selama belum memiliki anak lelaki.
Entahlah, jalan pikir apa yang mengubah perilakunya, di ambang petang itu Sus Yeni tiba-tiba jadi periang dan sedikit sok akrab pada setiap orang yang dijumpai. Sus Yeni mendekati Suhut yang tengah tercenung seorang diri.
Nungguin isteri, Pak?
Iiiiya, jawab Suhut terbata-bata tanpa tenaga.
Sepertinya Bapak tengah khawatir, apakah ibu atau bayinya tidak bisa diselamatkan?
Bukan, aku cuma khawatir jangan-jangan anak saya perempuan lagi. Empat anakku semua perempuan. Aku ingin sekali punya anak lelaki, kalau ini perempuan lagi, habislah harapanku. Sudah tiga kali isteriku melahirkan lewat bedah sesar.
Bapak ndak perlu cemas, nanti saya bantu.
Kau bantu bagaimana?
Tiba-tiba tangis bayi memecah keheningan menjelang maghrib itu. Kekhawatiran Suhut pun muncul nyata. Bayi mungil perempuan dengan rambut hitam ikal lebat bakal menambah keramaian keluarga Suhut. Suhut tertunduk, kehilangan semangat.
Gampang, Pak! Nanti saya bantu. Bapak ingin anak lelaki kan? Sus Yeni menghampiri Suhut.
Yah, terserah kau lah!
Sus Yeni hafal betul kapa ruang perawatan bayi sepi. Apalagi hanya orang-orang rumah sakit bersalin yang boleh masuk menjenguk. Selepas maghrib itu Sus Yeni menukarkan gelang plastik bayi berlabel nama Ny. Suhut dengan gelang plastik orok lelaki bertuliskan Ny. Irma. Sus Yeni dan Suhut semata yang tahu perkara ini. Sebab, Ny. Irma sendiri belum tahu apa jenis kelamin jabang bayi yang baru dilahirkan siang tadi. Dan, Sus Yeni yang membantu persalinan sengaja menutupi informasi perihal bayinya Ny. Irma.
Beberapa hari setelah perawatan, Ny. Suhut diizinkan pulang. Suhut berbinar-binar, kali ini ia berhasil mendapatkan anak lelaki yang bakal menyandang kebesaran trah kakek-moyangnya. Garus trahnya terus berlanjut tiada putus.
Sebagai tanda terima kasih, Suhut mengeluarkan duit tanpa henti ke rekening Sus Yeni. Mulai saat itu kehidupan Sus Yeni berubah 180 derajat. Yang semula nyaris kekurangan terus, sedikit demi sedikit terlihat gradasinya. Ia mampu membeli rumah yang awalnya dikontrak, dari setengah tempok menjadi tembok penuh dengan lantai granit putih salju. Terlebih Suhut banyak menjual nama Sus Yeni kepada para kenalannya, kerabatnya, relasinya, mitranya, sampai keluarga besar paguyuban.
Ada orang semacam Suhut terus menghampiri Sus Yeni. Pesanan tidak terbatas mesti orok lelaki, bisa saja buat mereka yang menginginkan anak perempuan. Mereka yang minta tolong pada Sus Yeni kebanyakan orang-orang berkantong tebal. Ada pengusaha sukses, ada politisi elit, ada birokrat yang kelebihan uang formulir,ada sudagar yang kekenyangan barang timbunan, ada pokrol bambu yang biasa membela koruptor malang, ada pula pemilik kafe kelas dunia.
***
Tak sebagaimana biasa, Sus Yeni di pagi buta itu sudah bersiap ke tempat kerjanya. Kalau pun mendapat giliran shift pagi, biasanya ia baru siap tatkala sang mentari telah sepenuhnya menampakkan  wajahnya. Pagi ini rupanya merupakan pagi yang istimewa bagi Sus Yeni. Ia mendapat pesanan dari seorang anak penguasa kota.
Sus tolong tukarkan anakku yang ke-13 ini. Begitu pesan pendek yang masuk ke ponselnya tengah malam tadi. Isteri dari anak penguasa kota itu melahirkan menjelang tengah malam.
Dalam tempo bersamaan, pasien lain di rumah sakit itu, Ny. Rustin, juga melahirkan jabang bayi. Dokter yang menolong persalinannya berbisik, Anak ibu perempuan, sehat dan cantik pula.
Sang mentari baru menampakkan tiga per empat wajahnya, Sus Yeni telah berada di ruang kerjanya. Pun dia segera menukar gelang plastik bayi lelaki atas nama isteri anak penguasa kota dengan gelang plastik bayi perempuan atas nama Ny. Rustin.
Lantaran merasa kekurangan biaya, ketika sang mentari di atas ubun-ubun, Ny. Rustin minta pulang. Sebagai perawat jaga, Sus Yeni pun harus rela mengizinkan meski sebetulnya kurang tega. Betapa kaget Ny. Rustin, saat mengganti popok rumah sakit dengan popok bawaan dari rumah, bayinya berganti kelamin.
Pak, ini tidak bisa dibiarkan, kita harus selesaikan secara hukum. Ada yang telah sengaja menukar bayi kita, pinta Ny. Rustin kepada suaminya yang sudah tahun ini luntang-luntung gara-gara perusahaan tempatnya bekerja jatuh bangkrut.
Ny. Rustin lansgung mengontak lewat pesan pendek ke kenalannya di kantor Polsek, yang berada tak jauh dari rumah sakit bersalin. Hanya berselang hitungan menit, dua orang berseragam sudah berada di hadapan Ny. Rustin. Setelah baku bincang, mereka mencari Sus Yeni yang sedari pagi dan siang itu giliran jaga.
Sus Yeni, kami mohon Anda ikut ke kantor. Kami perlu beberapa informasi dari Anda, kata Inspektur Yudha dengan sopan lagi santun.
Lho, memangnya ada apa, Pak?
Kami sangat membutuhkan informasi Anda. Sekali lagi Inspektur Yudha memohon.
Sus Yeni serta merta dibawa ke kantor Inspektur Yudha. Ia harus memberikan keterangan ihwal pergantian kelamin bayi Ny. Rustin. Belum sampai masuk ruang kerja Inspektur Yudha, sembari menunjuk-nunjuk ruang tahanan yang berada di seberang ruang kerja Inspektur Yudha, Sus Yeni berteriak-teriak, Api...api...apinya mau menggulung aku.
Inspektur Yudha dan Ny. Rustin berusaha menenangkan Sus Yeni. Tetap saja Sus Yeni menunjuk-nunjuk, Api...api...api sudah dekat, mau menjilati aku. Berulang-ulang kata-kata itu keluar dari mulut Sus Yeni. Dan, Sus Yeni lari ketakutan menghindari gulungan dan jilatan api yang terus mengular dengan ujung ekor di ruang tahanan.
Api...api...api, aku nggak mau kamu gulung, aku tak mau kamu jilat. Suara Sus Yeni terus menusuk-nusuk telinga orang yang dilewatinya, orang-orang yang mengenalinya, orang-orang yang pernah menerima jasanya. Dan, orang-orang yang pernah menerima dermanya. ***

Jaka Mulya, awal Oktober 2012  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar