fiksi budi nugroho
Orang-orang
sekampung mengenali dan memanggil namanya Sus Yeni. Ia bekerja pada sebuah
rumah sakit bersalin, tidak seberapa lama menumpang angkot dari tempatnya
tinggalnya. Saban hari, hampir seluruh waktu hidup Sus Yeni dihabiskan di rumah
sakit bersalin. Orang-orang di kampung yang sebagian besar warganya biasa
melaut itu tahunya sepintas-sepintas. Tak paham sebagai apa Sus Yeni di rumah
sakit bersalin itu. Ada yang menyebut ia mantri tukang nyuntik, ia bidan, ia
perawat ...bahkan ada yang sampai menyebut ia dokter.
Tidak
penting benar sebagai apa Sus Yeni bekerja, bagi orang-orang di kampung yang
amat miskin itu. Yang telah pasti, Sus Yeni sangat akrab dan senantiasa datang
tepat waktu saat orang kampung membutuhkan dirinya. Di kala nelayan tak bisa
melaut karena diterpa angin barat, Sus Yeni menyambangi dengan setumpuk karton
mie instan, berkarung gula putih dan berkaleng minyak curah. Di waktu pedagang
es keliling diguyur hujan berhari-hari, Sus Yeni datang dengan
berkantong-kantong kopi tubruk, berplastik gula pasir dan berbungkus-bungkus
teh. Mengajak mereka alih dagang, membuka warung kopi.
Bukan
sesuatu yang rutin memang, tetesan-tetesan kemakmuran dan kesejahteraan Sus
Yeni pada kaum papa harta dan pangan di kampung yang berada di titik pertemuan
antara Bekasi dan Karawang itu. Tapi, setidaknya, kemurahan hati Sus Yeni
menjadi oase di padang gersang. Orang-orang kampung sini tidak harus
bercapek-capek mengantre beras miskin yang lebih pantas buat pakan ayam.
Rumahnya
yang sepenuhnya tempok dengan lantai granit putih salju dan dua mobil terparkir
di garasinya tidak lantas membuat Sus Yeni menjaga jarak dengan orang-orang
kampung. Saban hari ada saja yang menghambur ke rumah Sus Yeni, minta uluran
tangan kemurahan pangan. Ada atau tiada Sus Yeni di rumah, tetes kemakmuran dan
kesejahteraan siap dikucurkan. Biasanya Sus Yeni selalu berpesan kepada orang
rumahnya, “Nanti kalau ada yang datang, ambilkan saja
di gudang belakang.”
Gudang
pangan di bagian belakang rumah Sus Yeni selalu penuh terisi. Di sana ada beras
enak pandanwangi, ada mie instan merek kesohor, ada gula putih lokal yang amat
manis, ada berjerigen-jerigen minyak curah dari produsen terkenal, dan ada lagi
pakaian-pakaian baru buat anak-anak yang kedinginan di musim hujan.
***
Kesohoran
Sus Yeni rupanya telah menembus batas kampung. Ia dikenal pula di kalangan kaum
miskin kota. Memang, belakangan kabar ihwal kemurahan hati Sus Yeni menyebar
dari mulut ke mulut. Dari mulut pedagang es keliling, pedagang mi dog-dog,
tukang ojek, tukang becak, loper koran, sampai pemulung sampah.
Kendati
telah tenar dan menjadi figur publik, Sus Yeni tidak mengubah laku-lagak dan
penampilan. Masih pendiam, bicara seperlunya, pakaian sederhana tanpa merek dan
menumpang angkot ke tempat kerjanya. Suatu kali ada seorang pedagang es
keliling bertanya soal mengapa mobilnya dibiarkan saja parkir di garasi
rumahnya, Sus Yeni cuma berucap: “Biarlah mobil itu
buat mengantarkan beras buat orang yang membutuhkan.”
Sungguh
amat gemar berderma. Hidupnya senantiasa diselimuti rasa kasih, rasa peduli,
rasa kesetia-kawanan dan kerekatan sosial.
Agaknya
kepopuleran Sus Yeni tak sekadar menembus batas kampung dan menusuk-nusuk
relung-relung kota. Ketenarannya juga sempat meresap ke jantung orang-orang
kaya harta, kaya sandang, kaya papan namun miskin hati. Di mana pun berada dan
kapan pula senggang, siapa juga ingin bersua Sus Yeni. Di rumah sakit bersalin
tempatnya bekerja, nama Sus Yeni paling laris disebut-sebut. Telepon di
rumahnya berdering nyaris tanpa putus, para penelepon menanyakan ihwal sepenggal
waktu dapat bertemu dengan Sus Yeni.
Sus
Yeni sungguh hebat. Ia tidak mempu membawa kecemburuan sosial ke rumahnya.
Sebab itu, Sus Yeni hanya bersedia menerima tamu-tamunya yang kaya namun miskin
hati di luar rumah. Sus Yeni bersedia berjumpa mereka di lobi rumah sakit, mal,
plasa, pusat jajan serba ada, atau kafe-kafe sosialita yang bertebaran di
sudut-sudut kota. Paling tidak, hal ini buat menghindari pertanyaan usil dari
orang-orang miskin yang telah ia guyuri air kemakmuran dan kesejahteraan selama
ini.
Di
zaman di mana keluarga cukup dua anak telah mengalami degradasi popularitas,
Sus Yeni bertambah dicari-cari orang. Sus Yeni sudah lupa kapan ia menuai
popularitas di tengah-tengah semakin merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat
kebanyakan. Yang Sus Yeni ingat bahwa ia tidak pernah membuka praktik klinik
kesehatan, membantu klinik aborsi, atau menolong memasang alat kontrsepsi di
klinik-klinik bidan.
Sus
Yeni teringat lima tahun silam, sewaktu bertemu dengan Suhut yang tengah
menunggu isterinya hendak melahirkan. Suhut, yang seorang pengusaha pakaian
jadi, ketika itu menanti kelahiran anaknya yang kelima. Empat anaknya yang
duluan lahir, semuanya perempuan. Suhut merasa belum lengkap dan dianggap belum
punya penerus penyandang trah selama belum memiliki anak lelaki.
Entahlah,
jalan pikir apa yang mengubah perilakunya, di ambang petang itu Sus Yeni
tiba-tiba jadi periang dan sedikit sok akrab pada setiap orang yang dijumpai. Sus
Yeni mendekati Suhut yang tengah tercenung seorang diri.
“Nungguin isteri, Pak?”
“Iiiiya,”
jawab Suhut terbata-bata tanpa tenaga.
“Sepertinya Bapak tengah
khawatir, apakah ibu atau bayinya tidak bisa diselamatkan?”
“Bukan, aku cuma khawatir
jangan-jangan anak saya perempuan lagi. Empat anakku semua perempuan. Aku ingin
sekali punya anak lelaki, kalau ini perempuan lagi, habislah harapanku. Sudah
tiga kali isteriku melahirkan lewat bedah sesar.”
“Bapak ndak perlu cemas, nanti saya bantu.”
“Kau bantu bagaimana?”
Tiba-tiba
tangis bayi memecah keheningan menjelang maghrib itu. Kekhawatiran Suhut pun
muncul nyata. Bayi mungil perempuan dengan rambut hitam ikal lebat bakal
menambah keramaian keluarga Suhut. Suhut tertunduk, kehilangan semangat.
“Gampang, Pak! Nanti saya
bantu. Bapak ingin anak lelaki kan?” Sus Yeni
menghampiri Suhut.
“Yah, terserah kau lah!”
Sus
Yeni hafal betul kapa ruang perawatan bayi sepi. Apalagi hanya orang-orang
rumah sakit bersalin yang boleh masuk menjenguk. Selepas maghrib itu Sus Yeni
menukarkan gelang plastik bayi berlabel nama Ny. Suhut dengan gelang plastik
orok lelaki bertuliskan Ny. Irma. Sus Yeni dan Suhut semata yang tahu perkara
ini. Sebab, Ny. Irma sendiri belum tahu apa jenis kelamin jabang bayi yang baru
dilahirkan siang tadi. Dan, Sus Yeni yang membantu persalinan sengaja menutupi
informasi perihal bayinya Ny. Irma.
Beberapa
hari setelah perawatan, Ny. Suhut diizinkan pulang. Suhut berbinar-binar, kali
ini ia berhasil mendapatkan anak lelaki yang bakal menyandang kebesaran trah
kakek-moyangnya. Garus trahnya terus berlanjut tiada putus.
Sebagai
tanda terima kasih, Suhut mengeluarkan duit tanpa henti ke rekening Sus Yeni.
Mulai saat itu kehidupan Sus Yeni berubah 180 derajat. Yang semula nyaris
kekurangan terus, sedikit demi sedikit terlihat gradasinya. Ia mampu membeli
rumah yang awalnya dikontrak, dari setengah tempok menjadi tembok penuh dengan
lantai granit putih salju. Terlebih Suhut banyak menjual nama Sus Yeni kepada
para kenalannya, kerabatnya, relasinya, mitranya, sampai keluarga besar
paguyuban.
Ada
orang semacam Suhut terus menghampiri Sus Yeni. Pesanan tidak terbatas mesti
orok lelaki, bisa saja buat mereka yang menginginkan anak perempuan. Mereka
yang minta tolong pada Sus Yeni kebanyakan orang-orang berkantong tebal. Ada
pengusaha sukses, ada politisi elit, ada birokrat yang kelebihan uang
formulir,ada sudagar yang kekenyangan barang timbunan, ada pokrol bambu yang
biasa membela koruptor malang, ada pula pemilik kafe kelas dunia.
***
Tak
sebagaimana biasa, Sus Yeni di pagi buta itu sudah bersiap ke tempat kerjanya.
Kalau pun mendapat giliran shift
pagi, biasanya ia baru siap tatkala sang mentari telah sepenuhnya
menampakkan wajahnya. Pagi ini rupanya
merupakan pagi yang istimewa bagi Sus Yeni. Ia mendapat pesanan dari seorang
anak penguasa kota.
“Sus tolong tukarkan anakku
yang ke-13 ini.” Begitu pesan pendek yang masuk ke
ponselnya tengah malam tadi. Isteri dari anak penguasa kota itu melahirkan
menjelang tengah malam.
Dalam
tempo bersamaan, pasien lain di rumah sakit itu, Ny. Rustin, juga melahirkan
jabang bayi. Dokter yang menolong persalinannya berbisik, “Anak
ibu perempuan, sehat dan cantik pula.”
Sang
mentari baru menampakkan tiga per empat wajahnya, Sus Yeni telah berada di
ruang kerjanya. Pun dia segera menukar gelang plastik bayi lelaki atas nama
isteri anak penguasa kota dengan gelang plastik bayi perempuan atas nama Ny.
Rustin.
Lantaran
merasa kekurangan biaya, ketika sang mentari di atas ubun-ubun, Ny. Rustin
minta pulang. Sebagai perawat jaga, Sus Yeni pun harus rela mengizinkan meski
sebetulnya kurang tega. Betapa kaget Ny. Rustin, saat mengganti popok rumah
sakit dengan popok bawaan dari rumah, bayinya berganti kelamin.
“Pak, ini tidak bisa
dibiarkan, kita harus selesaikan secara hukum. Ada yang telah sengaja menukar
bayi kita,” pinta Ny. Rustin kepada suaminya yang sudah
tahun ini luntang-luntung gara-gara perusahaan tempatnya bekerja jatuh
bangkrut.
Ny.
Rustin lansgung mengontak lewat pesan pendek ke kenalannya di kantor Polsek,
yang berada tak jauh dari rumah sakit bersalin. Hanya berselang hitungan menit,
dua orang berseragam sudah berada di hadapan Ny. Rustin. Setelah baku bincang,
mereka mencari Sus Yeni yang sedari pagi dan siang itu giliran jaga.
“Sus Yeni, kami mohon Anda
ikut ke kantor. Kami perlu beberapa informasi dari Anda,”
kata Inspektur Yudha dengan sopan lagi santun.
“Lho, memangnya ada apa,
Pak?”
“Kami sangat membutuhkan
informasi Anda.” Sekali lagi Inspektur Yudha memohon.
Sus
Yeni serta merta dibawa ke kantor Inspektur Yudha. Ia harus memberikan
keterangan ihwal pergantian kelamin bayi Ny. Rustin. Belum sampai masuk ruang
kerja Inspektur Yudha, sembari menunjuk-nunjuk ruang tahanan yang berada di
seberang ruang kerja Inspektur Yudha, Sus Yeni berteriak-teriak, “Api...api...apinya mau menggulung aku.”
Inspektur
Yudha dan Ny. Rustin berusaha menenangkan Sus Yeni. Tetap saja Sus Yeni
menunjuk-nunjuk, “Api...api...api sudah dekat, mau
menjilati aku.” Berulang-ulang kata-kata itu keluar
dari mulut Sus Yeni. Dan, Sus Yeni lari ketakutan menghindari gulungan dan
jilatan api yang terus mengular dengan ujung ekor di ruang tahanan.
“Api...api...api, aku nggak mau kamu gulung, aku tak mau kamu
jilat.” Suara Sus Yeni terus menusuk-nusuk telinga
orang yang dilewatinya, orang-orang yang mengenalinya, orang-orang yang pernah
menerima jasanya. Dan, orang-orang yang pernah menerima dermanya. ***
Jaka Mulya, awal Oktober
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar