Gedung William Booth yang menyisakan arsitektur Belanda |
Berawal dari sebuah klinik mata sederhana di Bugangan, dr Vihelm A Wille mendirikan rumah sakit mata pertama di Semarang. Kini Rumah Sakit William Booth yang diresmikan 23 Juni 1915 oleh PKW Kern ini, masih menjadi jujugan pasien mata, sekaligus juga menjadi rumah sakit umum.
RIWAYAT fasilitas kesehatan milik Bala Keselamatan ini dimulai saat dr. Vihelm, dokter mata sekaligus pendeta kelahiran Denmark, bertugas di Indonesia. Dia membuka klinik sederhana di kawasan Bugangan, persisnya di depan Pasar Dargo.
Selain melayani kalangan bangsawan dan kaum Eropa, dia juga tak menolak pasien dari kalangan pribumi dan rakyat jelata. Meski hanya punya peralatan sederhana, dokter Vihelm cukup mumpuni mengobati penyakit. Keampuhannya tersiar hingga ke luar negeri.
Tak heran pasien berdatangan dari Singapura, Muangthai (Thailand), dan negara-negara Asia lainnya. Salah satu prestasi pendeta ini adalah menemukan xerophtalmia. Penyakit ini kerap menjangkiti anak-anak pribumi yang kurang asupan vitamin A.
Melihat banyaknya penderita penyakit mata di tanah jajahan Hindia Belanda, Vihelm berobsesi membangun rumah sakit yang lebih besar agar menampung lebih banyak pasien. Angannya terkabul ketika seorang pasien yang disembuhkannya berkenan menghibahkan sebidang tanah di sebuah perbukitan yang disebut “Madurangin”.
Ketika lahan tersedia, tapi dana untuk membangun rumah sakit belum tersedia. Maka dokter ini pun berinisiatif meminta donasi kepada kolega dari kalangan bangsawan Belanda.
Lambat laun, sumbangan para donatur terus mengalir, termasuk dari Ratu Wihelmina yang cukup besar, sehingga jumlah dana yang terkumpul mencapai 94.000 gulden.
Setelah berdiri, rumah sakit itu diberi nama William Booth. Nama itu dinisbatkan dari pendeta Inggris kelahiran 1829 pendiri aliran Bala Keselamatan.
Dihentikan Saat Zaman Jepang
Selama puluhan tahun rumah sakit ini melayani masyarakat. Namun pada zaman Jepang, operasionalnya terpaksa dihentikan. Tahun 1947, rumah sakit swasta ini diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah Indonesia. Setahun kemudian, dikembalikan kepada Bala keselamatan. Opsir pertama yang bertugas di klinik itu adalah Mayor Bass Karnbel.
Sampai sekarang, masih ada yang mengira rumah sakit di Jalan S Suparman 5 ini, hanya melayani pengobatan mata. Padahal, sejak 1968 rumah sakit yang menempati lahan seluas 23 ribu meter persegi ini telah membuka klinik umum.
Sayang, bekas gedung kuno tak lagi tersisa di rumas sakit tipe C ini. Semua gedung telah direnovasi agar sesuai standar bangunan fasilitas kesehatan. Namun jejak sejarahnya masih terekam dari foto-foto jadul yang dipasang menyebar di dinding. Beragam peralatan kesehatan kuno juga bisa dilihat di ruang lobi.
Humas RS William Booth Martha Siagian mengatakan, berbekal pengalaman selama 102 tahun, pihaknya terbilang mumpuni melakukan pengobatan mata. “Kami telah memiliki Central Java Eye Center yang dilengkapi berbagai peralatan modern,” ujarnya.
Setiap hari rumah sakit ini dikunjungi sekitar tak kurang 300 pasien. Khusus warga miskin, dibuka layanan medis dengan tarif terjangkau setiap pagi dari pukul 08.00-10.00. “Warga miskin yang ingin memperoleh pelayanan medis profesional tapi murah, bisa datang pada jam tersebut. Tapi dalam kondisi darurat, kami tetap membuka tangan bagi pasien miskin selama 24 jam per hari,” jelasnya. Zulfikar Prabu/http://www.mediasemarangonline.com/
RIWAYAT fasilitas kesehatan milik Bala Keselamatan ini dimulai saat dr. Vihelm, dokter mata sekaligus pendeta kelahiran Denmark, bertugas di Indonesia. Dia membuka klinik sederhana di kawasan Bugangan, persisnya di depan Pasar Dargo.
Selain melayani kalangan bangsawan dan kaum Eropa, dia juga tak menolak pasien dari kalangan pribumi dan rakyat jelata. Meski hanya punya peralatan sederhana, dokter Vihelm cukup mumpuni mengobati penyakit. Keampuhannya tersiar hingga ke luar negeri.
Tak heran pasien berdatangan dari Singapura, Muangthai (Thailand), dan negara-negara Asia lainnya. Salah satu prestasi pendeta ini adalah menemukan xerophtalmia. Penyakit ini kerap menjangkiti anak-anak pribumi yang kurang asupan vitamin A.
Melihat banyaknya penderita penyakit mata di tanah jajahan Hindia Belanda, Vihelm berobsesi membangun rumah sakit yang lebih besar agar menampung lebih banyak pasien. Angannya terkabul ketika seorang pasien yang disembuhkannya berkenan menghibahkan sebidang tanah di sebuah perbukitan yang disebut “Madurangin”.
Ketika lahan tersedia, tapi dana untuk membangun rumah sakit belum tersedia. Maka dokter ini pun berinisiatif meminta donasi kepada kolega dari kalangan bangsawan Belanda.
Lambat laun, sumbangan para donatur terus mengalir, termasuk dari Ratu Wihelmina yang cukup besar, sehingga jumlah dana yang terkumpul mencapai 94.000 gulden.
Setelah berdiri, rumah sakit itu diberi nama William Booth. Nama itu dinisbatkan dari pendeta Inggris kelahiran 1829 pendiri aliran Bala Keselamatan.
Dihentikan Saat Zaman Jepang
Selama puluhan tahun rumah sakit ini melayani masyarakat. Namun pada zaman Jepang, operasionalnya terpaksa dihentikan. Tahun 1947, rumah sakit swasta ini diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah Indonesia. Setahun kemudian, dikembalikan kepada Bala keselamatan. Opsir pertama yang bertugas di klinik itu adalah Mayor Bass Karnbel.
Sampai sekarang, masih ada yang mengira rumah sakit di Jalan S Suparman 5 ini, hanya melayani pengobatan mata. Padahal, sejak 1968 rumah sakit yang menempati lahan seluas 23 ribu meter persegi ini telah membuka klinik umum.
Sayang, bekas gedung kuno tak lagi tersisa di rumas sakit tipe C ini. Semua gedung telah direnovasi agar sesuai standar bangunan fasilitas kesehatan. Namun jejak sejarahnya masih terekam dari foto-foto jadul yang dipasang menyebar di dinding. Beragam peralatan kesehatan kuno juga bisa dilihat di ruang lobi.
Humas RS William Booth Martha Siagian mengatakan, berbekal pengalaman selama 102 tahun, pihaknya terbilang mumpuni melakukan pengobatan mata. “Kami telah memiliki Central Java Eye Center yang dilengkapi berbagai peralatan modern,” ujarnya.
Setiap hari rumah sakit ini dikunjungi sekitar tak kurang 300 pasien. Khusus warga miskin, dibuka layanan medis dengan tarif terjangkau setiap pagi dari pukul 08.00-10.00. “Warga miskin yang ingin memperoleh pelayanan medis profesional tapi murah, bisa datang pada jam tersebut. Tapi dalam kondisi darurat, kami tetap membuka tangan bagi pasien miskin selama 24 jam per hari,” jelasnya. Zulfikar Prabu/http://www.mediasemarangonline.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar