Pemegang peranan:
1. Raden Inu Kertapati: putra Raja Kuripan (Kahuripan) yang dipertunangkan dengan putri sulungnya Raja Daha, putri pamannya, Galuh Cendra Kirana. Pertunangannya menemui kesulitankesulitan karena Galuh Ajeng, anak selir Ratu Daha yang ke-2, Paduka Liku, menaruh hati juga kepada Raden Inu.
2. Galuh Cendra Kirana: karena iri hati adiknya, ia meninggalkan istana dengan Maha Dewi, ibu tirinya. Ia menyamar sebagai seorang laki-laki dengan nama samaran Panji Semirang. Setelah menghadapi ujian berat, bertemu jugalah ia dengan tunangannya, Raden Inu, yang diakhiri dengan perkawinan.
3. Galuh Ajeng: Putri Paduka Liku, selir Ratu Daha yang ke-2. Ia dengan ibunya berhasil merampas tunangan kakaknya. Dalam perkawinan ia menemui ketidakpuasan, karena selalu dikesampingkan dan sama sekali tak dihiraukan oleh suami rampasannya, Raden Inu Kertapati.
Riwayat:
Kata yang empunya cerita, tersebutlah perkataan di dalam Kayangan hendak membuat lelakon, supaya menjadi cerita, karena pada tatkala itu alam dunia pun belum ramai dan belum begitu banyak manusia, bermufakatlah penduduk Kayangan hendak turun ke dalam dunia, supaya menjadi panjang lelakon ceritanya. Setelah bermufakat itu lalu masing-masing menjelma dan turunlah ke dalam dunia. Setengah di antara mereka itu masuk ke dalam empat orang ratu, yaitu Ratu Kuripan, Ratu Daha, dan Ratu Gegeleng dan ke dalam tuan Putri Beko Gandasari di Gunung Wilis, yang sedang duduk bertapa di situ.
Jalan cerita:
Dua buah kerajaan dari dua orang kakak beradik, Ratu Daha dan Ratu Kuripan merupakan dua hal jauh berbeda. Ratu Daha saudara yang tertua, ialah seorang tokoh manusia yang tidak teguh pendiriannya. Setiap kali ia dapat mengubah pendiriannya, karena hasutan selirnya Paduka Liku, ibu Galuh Ajeng. Apalagi setelah ibu Cendra Kirana meninggal dunia, karena tapai beracun yang diberikan Paduka Liku. Untuk mendinginkan kemarahan raja. Paduka Liku mencarikan guna-guna, sehingga kasih raja berpindah kepadanya. Galuh Ajeng dimanjakan. Dalam semua hal ia ingin didahulukan. Adiknya, Raja Kuripan, merupakan seorang tokoh yang berhatihati dalam segala tindakannya. Tak putus dari berpikir panjang lebar sebelum ia berbuat sesuatu. Putranya hanya seorang yaitu Raden Inu Kertapati, yang akan dipertunangkan dengan putri saudaranya, Galuh Cendra Kirana. Saudaranya yang lain adalah Ratu Gageleng. Ia berputra seorang pula, Raden Singa Menteri, yang suka dipuji dan disanjung.
Segala-galanya akan diberinya asal ia dipuji sebagai seorang yang tampan dan gagah, yang melebihi orang lain. Saudaranya yang seorang lagi ialah Biku Gandasari, seorang perempuan, menyisihkan diri dari keduniawian dan bertapa di Gunung Wilis. Pada suatu seketika, Raden Inu mengirimkan dua buah boneka. Sebuah dari pada emas yang dibungkus dengan kain biasa, sedang yang lain daripada perak, tetapi dibungkus dengan kain sutera yang mahal harganya. Tentulah Galuh Ajeng yang dapat memilih lebih dahulu dan tentu pula ia akan memilih apa yang terbungkus dengan kain sutera itu.
Setelah ia mengetahui, bahwa boneka Cendra Kirana terbuat dari pada emas ia merajuk kepada ibu dan ayahnya untuk ditukar. Tetapi bagaimanapun juga ayah memaksanya, namun boneka emas itu tak juga diserahkan oleh Galuh Cendra Kirana. Kemarahan ayahnya timbul, sehingga rambut Galuh Cendra Kirana diguntingnya. Sejak itulah ia merasa, bahwa hidup di istana merupakan hidup di bara api. Apalagi sudah ternyata, bahwa ayahnya telah membencinya. Pada suatu malam ia melarikan diri dengan ibu tirinya, selir raja yang pertama, Mahadewi, bersama-sama dengan dua orang pengiringnya Ken Bayan Ken Sengit. Di daerah antara perjalanan Daha dan Kuripan ia mendirikan sebuah keraton, sedang namanya diubah dengan Panji Semirang Asmarantaka. Begitu juga dengan dua pengiringnya menyamar pula sebagai orang laki-laki dan namanya pun berubah. Ken Bayan dengan Kuda Perwira sedang Ken Sengit dengan Kuda Peranca.
Kerajaan baru itu makin besar, karena keberanian kedua orang pengiring Panji Semirang yang merampas harta benda orang yang lalu di situ. Utusan Raja Kuripan ke Daha dapat pula dikalahkan, sehingga Raden Inu sendirilah yang datang untuk menuntut balas. Tetapi apa yang terjadi? Setelah Raden Inu melihat wajah Panji Semirang, ia terpesona dan tak kuasa pula untuk menuntut balas. Malahan terjadi suatu persahabatan. Dengan demikian, Raden Inu dapat meneruskan perjalanannya ke Daha untuk melangsungkan perkawinannya dengan Galuh Cendra Kirana. Bukan kesenangan dan kegembiraan, tetapi penyesalan dan kekecewaan yang didapatinya di Daha, karena Galuh Cendra Kirana sudah tak ada di sana. Walaupun demikian perkawinan itu dilangsungkan juga dengan Galuh Ajeng, karena permintaan yang keras dari ibunya, Paduka Liku, kepada Ratu Daha. Perkawinan itu tidak membawa kebahagiaan kedua belah pihak, karena tak ada benih cinta dan senang yang tertanam di dalamnya. Malahan Raden Inu mulai curiga, bahwa Panji Semirang itu ialah kekasihnya, Galuh Cendra Kirana. Daha ditinggalkannya untuk menyusul Panji Semirang di kerajaan baru itu bersama-sama dengan 3 orang pengiringnya: Jeruje Kartala, Persanta, dan Punta.
Kekecewaan yang kedua tak dapat pula ditolaknya. Kerajaan baru itu sudah kosong. Panji Semirang dengan pengiring-pengiring-nya telah meninggalkan tempat itu menuju Gunung Wilis, tempat pertapaan bibinya. Raden Inu hanya mendapatkan Mahadewi, yang tidak dibawa dalam perjalanan pindah karena sudah tua. Ia didapatinya sedang menangis. Perkataannya yang keluar mengatakan, bahwa Panji Semirang memanglah Galuh Cendra Kirana, putri Ratu Daha. Setelah Mahadewi diantarkan ke Daha kembali, berangkatlah Raden Inu menyusul kekasihnya dengan nama samaran Panji Jayeng Kesuma. Dalam perjalanannya Panji Semirang meninggalkan pakaian lakilakinya. Puspa Juwita dan Puspa Sari, kedua putri pemberian Raja Mentawan yang kalah perang terkejut. Mereka baru mengetahui, bahwa Panji Semirang adalah seorang perempuan. Setelah merintis hutan dan gunung sampailah mereka ke pertapaan Biku Gandasari di Gunung Wilis. Mereka disambut dengan ramah tamah. Beberapa hari mereka tinggal di pertapaan itu. Pada suatu hari Biku Gandasari menyampaikan kata kepada kemenakannya, bahkan cita-citanya akan sampai juga kalau ia pada hari itu berangkat meninggalkan pertapaannya dan menyamar sebagai seorang gambuh (= penari) Panji Semirang dan pengiringnya mengenakan pakaian laki-laki lagi. Galuh Cendra Kirana mengubah namanya lagi dengan Gambuh Warga Asmara.
Banyak sudah negeri yang didatangi dan di mana-mana Gambuh mendapat sambutan yang hangat. Akhirnya sampailah mereka ke Gageleng, kerajaan pamannya. Di daerah itu mereka mempertunjukkan kegambuhannya. Dalam perjalanannya Raden Inu atau Panji Jayeng Kesuma sudah beberapa hari tinggal di kerajaan Gageleng. Raden Inulah yang menambah menggilakan Raden Singa Menteri yang gila sanjung dan dipuji itu. Banyak pegawai istana yang beruntung karena hadiah Raden Singa Menteri karena pujian-pujian, bahwa ia lebih gagah dan tampan dari pada Raden Inu, sepupunya.
Dari pengiring-pengiringnya Raden Inu mendengar, bahwa Gambuh Warga Asmara baik sekali bermain. Mereka minta, agar gambuh itu dapat pula bermain di istana. Rupa Gambuh Warga Asmara menerbitkan prasangka lagi pada Raden Inu. Dalam hatinya ia menyatakan bahwa Gambuh itu Panji Semirang. Tetapi beberapa kali dinya-takan Gambuh Warga Asmara tetap menjawab, bahwa ia tidak kenal kepada Panji Semirang.
Walaupun demikian tak putus-putus Raden Inu untuk mengamatamati Gambuh itu. Rahasia itu lama-lama terbuka juga. Tiap-tiap malam sebelum tidur, boneka emas, pemberian Raden Inu dahulu, selalu ditimang-timang dan dibelai-belai dengan rasa kasih sayang. Pada suatu malam Raden Inu dapat melihat hal itu dalam intaiannya. Dengan tiada menanti lagi dipeluknya Gambuh itu, yang tiada lain daripada Cendra Kirana yang telah lama dikejar-kejar dan dicari-carinya. Perkawinannya dilangsungkan di Kerajaan Kuripan. Dalam perkawinan itu diundang juga Ratu Gageleng dan Raja Daha beserta Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Galuh Ajeng menangis pula dengkinya, karena istri Raden Inu Kertapati tiada lain, selain Galuh Cendra Kirana. Akhirnya ia dikawinkan dengan Raden Singa Menteri, putra Raja Gageleng, yang gila puji itu dan sanjung itu.
Paduka Liku sudah tidak menjadi impian dan kekasih Raja Daha lagi, karena kekuatan guna-gunanya sudah luntur. Mahadewilah yang diangkat menjadi permaisuri. Selanjutnya tampuk pimpinan Kerajaan Kuripan dan Daha dikendalikan oleh Raden Inu Kertapati bersama-sama dengan permaisurinya Galuh Cendra Kirana.
Membangun Negara
MERESMIKAN berdirinya suatu kerajaan baru tiadalah sukar. Dengan beberapa patah kata, dengan pengumuman ringkas, orang bisa lekas tahu. Janji bisa lekas dilupakan orang jika tanpa bukti, tanpa ujud yang dapat dirasakan adanya.
Membangun, memajukan dan mempertahankan kedaulatan Negara merupakan tugas yang maha berat bagi Panji Semirang. Hal itu disadari benar olehnya dan berkat dorongan kemauan yang kuat, segala sesuatunya berjalan baik juga.
Tampak dua orang penjaga pintu gerbang. Elok paras mukanya. Galak-galak sorot matanya. Langkahnya gagah seperti pahlawan yang tak kenal takut.
Itulah Ken Bayan dan Ken Sanggit, dayang-dayang yang berpakaian pria dan berganti nama pula. Yang seorang bernama Kuda Perwira dan yang seorang lagi dipanggilkan Kuda Peranca.
Tugas mereka berat. Mereka harus mencegah orang-orang yang lewat, baik yang datang dari arah Kuripan menuju Daha, maupun sebaliknya. Hanya orang-orang Gagelang dibolehkan terus berjalan tetapi yang lain harus dipaksa menghadap Panji Semirang. Kuda Peranca matanya beringas melihat serombongan pedagang yang hendak lalu. Ujung kumis palsu dipelintir, supaya kelihatan bertambah bengis. Tangan kiri memegang tombak. Tangan kanan bertolak pinggang. Berjalan gagah seperti juara silat. Pangkal tombak ditumbukkan ke tanah. Mulut membentak, “Berhenti!” Para pedagang kecil hatinya melihat tingkah laku Kuda Peranca, lalu berhenti berjalan.
“Kalian dari mana ? Mau ke mana ?”
“Kami dari Gegelang,” jawab seorang kepala rombongan pedagang.
“Semua dari Gagelang ?”
“Betul! Kami hendak berdagang.”
“Hem! Dari Gagelang !” Kuda Peranca berkata sendirian sambil menatap pedagang-pedagang itu seorang demi seorang. Tangan memelintir ujung kumis palsu.
“Kabarkan kepada orang-orang di negeri kalian tentang negeri kami. Raja kami ialah Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Raja gagah perkasa tapi adil.”
Demikian perintah Kuda Peranca kepada pedagang-pedagang itu. Maksudnya agar supaya nama Panji Semirang dikenal orang di mana-mana.
“Baik Raden!” sahut para pedagang itu serentak.
”Kalian boleh lewat,” kata Kuda Peranca.
Kemudian berjalanlah rombongan pedagang itu dengan hati lega, diikuti oleh pandangan mata Kuda Perwira dan Kuda Peranca.
Selang beberapa jam sesudah itu, tampak pula serombongan orang yang hendak lalu. Kuda Peranca dan Kuda Perwira bersiap-siap hendak menegur bersama-sama. Sebab orang-orang yang hendak lewat itu agak besar jumlahnya.
“Berhenti !” teriak Kuda Peranca dan Kuda Perwira dengan suara lantang.
“Kalian dari mana ? Mau ke mana ?”
“Kami dari negeri Mentawan. Kami hendak pergi ke negeri Kuripan, Raden,” sahut kepala rombongan.
“O, dari negeri Mentawan? Apa maksud kalian ke Kuripan?” tegur Kuda Peranca.
“Macam-macam Raden. Ada yang hendak berdagang, ada yang hendak menjual tenaga atau ada juga yang hendak menyelenggarakan tontonan. Seperti lais, ronggeng, debus, sunglap, dan macam-macam lagi pertunjukan.”
Jadi kalian semua dari negeri Mentawan ?” Kuda Perwira minta ketegasan sekali lagi.
“Betul, Raden.”
Kuda Peranca dan Kuda Perwira saling memandang. Kemudian Kuda Perwira berkata, “Kalian dilarang meneruskan perjalanan ke Kuripan. Kalian mesti ikut kami menghadap Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Raja adil dan budiman. Di negeri kami, kalian boleh mencari nafkah hidup. Sumber penghidupan luas terbuka bagi siapa pun.”
Kuda Perwira berhenti berbicara. Memandang muka para pedagang yang tampak tidak setuju dan agak kesal hatinya. Mereka merasa dibegal dan bakal menderita rugi. Berdagang di Kuripan sudah kelihatan untungnya, sebab sudah banyak langganan di sana. Sedangkan di negeri yang baru itu segala-galanya belum tentu.
“Kami tidak setuju, Raden ! Kami harus meneruskan perjalanan ke Kuripan. Langganan menunggu kedatangan kami di sana,” sahut kepala rombongan pedagang. Dan serentak pula pedagang-pedagang itu bangkit hendak berjalan.
Kuda Peranca marah. Sambil menumbukkan pangkal tombaknya ke tanah ia membentak, “Siapa-siapa tidak mau menurut perintah, kami tangkap. Yang berani melawan dengan kekerasan kami bunuh ! Mengerti ?”
“Mengerti, Raden ! Kami menurut saja kehendak Raden.” Demikian sahut orang-orang dari rombongan kesenian. Maka timbullah perpecahan di antara orang-orang negeri Mentawan itu. Segolongan menurut dan segolongan yang lain membangkang.
Enam orang pedagang yang pemberani, serentak mencabut keris masing-masing. Terus menyerang Kuda Peranca dan Kuda Perwira. Timbullah pertikaian. Dua lawan enam! Dengan sigap kedua prajurit itu memainkan tombak masing-masing. Mempertahankan diri. Tangkai tombak dipegang sama tengah. Dengan cara demikian mereka bisa memukul penyerang dengan ujung dan pangkal tombak. Tak! Musuh kena pukul pangkal tombak. Musuh sempoyongan. Cos! Mata tombak ditusukkan ke perut musuh. Sur! Darah membersit membasahi tanah. Musuh jatuh — mengerang kesakitan — berdengus-dengus napasnya — akhirnya mati.
Dua penyerang sudah terang jadi mayat. Yang empat lagi luka-luka berat. Keenam-enamnya bergeletak di tanah tanpa daya.
Orang-orang Mentawan itu menjadi takut semua kepada Kuda Perwira dan Kuda Peranca. Mereka menurut tanpa syarat segala perintah kedua prajurit itu. Kemudian terus digiring untuk menghadap Sri Baginda Panji Semirang.
Dengan kata-kata lemah-lembut, dengan sikap yang menarik, Baginda Raja menyampaikan sabdanya, “Dengan rasa persaudaraan, rakyat kami menyambut kedatangan kalian di negeri kami. Rakyat kami mengajak kalian bekerja bersama-sama; secara gotong royong membangun negeri kami sehingga menjadi bertambah makmur. Kehidupan kalian kami jamin.”
Selanjutnya Sri Baginda memerintahkan rakyat untuk menghibur orang Mentawan dengan makan minum. Tiap keluarga harus menerima dua tiga orang tamu di rumah masing-masing. Kemudian secara gotong royong mendirikan perkampungan baru. Setelah itu mengadakan keramaian di alun-alun.
Orang-orang Mentawan senang hatinya mendengar sabda Sri Baginda sedemikian. Hilanglah takut mereka dan timbul rasa persaudaraan dengan rakyat Baginda Raja Panji Semirang. Lambat laun mereka merasa betah tinggal di negeri baru itu. Dengan sukarela orang-orang Mentawan menyatakan hendak menjadi rakyat Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Dengan demikian bertambah banyaklah rakyat Sri Baginda. Keadilan dan kemakmuran yang dijanjikan Sri Baginda menjadi kenyataan, oleh karena rakyat sendiri patuh dan giat bekerja, rajin usaha; masing-masing menurut kecakapannya sendiri-sendiri. Barangsiapa merasa belum cakap bekerja pasti mendapat bimbingan. Barangsiapa menghadapi kesulitan, pasti diberi pertolongan. Yang sakit, yang papa atau pun cacat dirawat baik-baik. Anak-anak muda dilatih membuat alat perkakas pertanian dan alat perang. Juga dilatih menjaga keamanan negeri. Barangsiapa memperlihatkan kecakapan dan kerajinan bekerja yang luar biasa, pasti dikaruniai hadiah oleh Sri Baginda.
Nama Baginda Panji Semirang semakin harum tersiar ke mana-mana. Semakin banyak rakvat berasal dari Daha, dari Kuripan, dan dari Mentawan pada pindah ke negara Panji Semirang. Banyak di antara orang-orang pendatang itu yang hidup makmur dan beroleh pangkat dalam kerajaan. Ada orang asal Daha menjabat pangkat menteri, ada orang asal Kuripan menjadi demang atau temenggung. Tidak sedikit pula orang-orang asal Mentawan yang menjabat pangkat bupati.
Sementara itu Raja Mentawan bersedih hati, oleh karena rakyat banyak yang pindah ke negeri Baginda Panji Semirang. Tidak hanya rakyat biasa, melainkan juga orang-orang berpangkat pada meninggalkan tempat, kemudian menjabat pangkat di negeri Panji Semirang.
Negeri Mcntawan semakin lemah, semakin mundur. Raja Mentawan cemas hatinya dan merasa takut kalau-kalau negerinya akhimya diserang dan dijajah Baginda Panji Semirang.
Menumt dugaannya Baginda Panji Semirang itu orangnya jahat, ganas. Badannya tinggi besar seperti raksasa. Gagah perkasa tanpa tanding.
“Jika negeriku diserang, rakyatku rusak binasa. Permaisuri dan kedua putriku pasti menjadi korban juga. Dijadikan seperti barang rampasan.” Demikian pikir Raja Mentawan. Perasaannya rusuh. Pikirannya kelam kabut. Lebih-lebih mengingat kepada kedua putrinya, Puspa Juita dan Puspa Sari.
Pada suatu hari isi keraton Mentawan menjadi gempar. Beratus-ratus orang dari desa-desa pinggiran, berbondong-bondong menuju ibu kota. Sebab di perbatasan negeri, tampak pasukan tentara Baginda Panji Semirang. Orang-orang menduga negeri Mentawan akan diserang musuh yang sangat kuat.
Raja Mentawan segera mengutus Patih pergi ke perbatasan untuk menyelidiki benar tidaknya kabar yang disampaikan orang-orang pengungsi itu. Patih bersama-sama hulubalang dan beberapa prajurit segera berangkat ke perbatasan. Betul! Dari jauh sudah kelihatan betapa banyak lasykar musuh yang sedang berkemah di sana. Dengan hati berdebar-debar Patih terus mendapatkan hulubalang pasukan Panji Semirang dan minta izin hendak menghadap Sri Baginda. Permintaan Patih diperkenankan. Dengan dihantarkan Hulubalang Kuda Perwira dan Kuda Peranca, Patih menghadap Sri Baginda Panji Semirang.
Patih terkejut ketika melihat Sri Baginda yang sangat cantik itu. Sungguh di luar dugaan ! Sebab ia menduga akan berhadapan dengan seorang raja yang serba kasar tingkah lakunya; yang jahat dan bengis perangainya. Tetapi kiranya ia berhadapan dengan raja yang gagah perkasa tapi molek cantik. Sangatlah kagum Patih melihat kecantikan paras Sri Baginda Panji Semirang! Serasa menghadap sang Dewa Kamajaya dari keindraan.
“Paman Patih ! Harap Paman sampaikan sembah sujud kami ke hadapan Paduka Sri Baginda Mentawan. Jika Paduka Raja berkenan hati kami bermaksud hendak menghadap untuk mengeratkan silaturahmi kami dengan Paduka Raja. Kami menunggu balasan Paduka Raja, Paman.” Demikian sabda Baginda Panji Semirang.
Bukan main-main lega hati Patih mendengar sabda Baginda Panji Semirang demikian. Dengan khidmat Paman Patih bersembah, “Hamba junjung setinggi-tingginya sabda Paduka. Hamba mohon diri.”
Patih segera naik kuda. Terus kembali ke istana Mentawan.
Kegemparan di istana mendadak menjadi reda. Kegelisahan hati segera hilang lenyap, setelah Patih mempersembahkan berita dari perbatasan itu. Dan segera pula Baginda Raja menitahkan Patih mengatur segala persiapan untuk menyambut kedatangan tamu agung Sri Baginda Panji Semirang. Permaisuri, Puspa Juita dan Puspa Sari berpeluk-pelukan, tertawa-tawa oleh karena hatinya terlalu girang. Girang oleh karena mereka tidak jadi diancam malapetaka, tetapi sebaliknya bakal mendapat kehormatan menerima kunjungan muhibah Sri Baginda Panji Semirang yang sudah masyhur namanya itu.
Tak lama kemudian kedengaranlah suara gamelan dan macam-macam bunyi-bunyian, pertanda tamu agung beserta pengiringnya sudah tiba. Dan kedengaran pulalah sorak sorai rakyat Mentawan yang menyambut tamu agung itu sepanjang jalan.
Rakyat Mentawan berdesak-desakan, berjejal-jejal, karena ingin jelas melihat Sri Baginda yang masyhur karena cantik dan gagah perkasanya itu; yang dikabarkan sebagai penjelmaan Dewa Kamajaya itu.
Raden Panji nan cantik jelita, naik kuda berwarna putih bersih. Menyambut rakyat Mentawan dengan senyum manis. Senyum mesra, tanpa dibuat-buat ke luar dari kalbu bersih sang Nata.
Banyak gadis lupa akan tunangan, karena hati terpikat Raden Panji. Mata memandang tanpa kedip, mulut ternganga lebar. Jantung berdebar-debar, kaki tak berasa capek mengikuti Sri Baginda yang naik kuda. Nenek-nenek lupa akan rambut sudah putih, bertingkah seperti gadis remaja. Hendak berlari menyongsong Baginda jelita, tapi kaki kaku tak mau diajak cepat-cepat melangkah. Tinggallah nenek berdiri sendirian, seperti orang-orangan di tengah sawah. Jika kakek tidak menyeret pulang, maulah nenek menunggu sampai Sri Baginda nanti kembali.
Jika nenek melihat cermin barulah ia sadar, bahwa masa muda sudah lama meninggalkan dia.
Permaisuri mentawan dan kedua putrinya berdiri tertegun. Matanya terbelalak seperti mata belalang melihat Sri Baginda Raja Panji Semirang masuk istana, terus menyembah dengan hormatnya di hadapan Sri Baginda Raja Mentawan. Istana sunyi senyap, orang-orang mulutnya bungkam, berdiri seperti patung-patung; seperti dikuasai tenung.
Tutur kata, gerak-gerik Sri Baginda Panji Semirang sangat menarik perhatian orang-orang Mentawan.
Selesai bersantap sambil beramah-tamah, Panji Semirang mohon diri. Lalu menitahkan bersiap-siap untuk meninggalkan negeri Mentawan. Kunjungan muhibah Sri Baginda Panji Semirang sesungguhnyalah meninggalkan kesan baik yang takkan mudah dilupakan oleh rakyat Mentawan.
Untuk menambah eratnya hubungan persaudaraan, Puspa Juita dan Puspa Sari diizinkan ayahanda Raja untuk turut serta dengan Sri Baginda Panji Semirang ke negerinya. Untuk melayani kedua putri itu, dua emban turut pula, yaitu Ken Pamonang dan Ken Pasirian.
Hari malam ketika Baginda Panji Semirang masuk istana. Mahadewi menyambut dengan senang gembira kedatangan Panji Semirang. Setelah bercakap-cakap sejenak dengan Mahadewi, Panji Semirang pergi bersiram dengan air kembang yang harum baunya. Pakaian prianya ditanggalkan, rambutnya diurai, lalu bersiram dan berlangir. Baginda Panji Semirang beralih rupa kembali menjadi Galuh Cendera Kirana.
Dalam bilik tertutup, di malam sunyi, Cendera Kirana menyepi seorang diri. Putri ayu hendak melepaskan pikiran dari segala kesibukan kerja sebagai raja — ingin kembali menjadi manusia biasa sepanjang malam — ingin menurutkan bisikan hati yang rindu kepada Raden Inu Kartapati di Kuripan. Sambil berbaring di atas tilam empuk yang beralaskan kain sutera indah, Cendera Kirana mencium boneka emasnya. Anak-anakan itu ditimang-timang, didendangkan nyanyian-nyanyian merdu, dipeluk, didekap, diajak berbicara. Semua isi hati dicurahkan Cendera Kirana kepada boneka kencana. Legalah hati Kirana. Kemudian hanya napasnya jugalah yang sayup-sayup sampai kedengaran dalam bilik itu. Putri ayu mengembara di alam mimpi.***
sumber: https://indotim.wordpress.com/cerita-rakyat-nusantara-2/hikayat-panji-semirang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar