Selain pantai, Kota Bangka juga terkenal sebagai kota penghasil timah. Bahkan dahulu, Muhammad Hatta pernah diasingkan di kota ini. Untuk melihat sejarah panjang Bangka, Anda bisa datang langsung ke Museum Timah.
Sepertinya bukan hal yang baru lagi, bila selama ini Pulau Bangka dikenal sebagai daerah pertambangan. Utamanya tambang timah yang memang sudah menjadi komoditas identitas daerah ini.
Film Laskar Pelangi, yang sekalipun berlatar belakang Pulau Belitung, saudara Pulau Bangka, adalah gambaran kondisi sejarah pertambangan timah di sana. Pertambangan timah di Pulau Bangka sudah berlangsung sejak lama. Untuk mengetahui lebih dalam cerita itu, kita bisa mempelajarinya di Museum Timah Indonesia, salah satu museum timah yang ada di Pulau Bangka.
Dalam buku yang berjudul "Toponim Kota Pangkalpinang" yang ditulis oleh Drs Akhmad Elvian, diceritakan mengenai sejarah berdirinya Museum Timah Indonesia. Bermula dari penguasaan Belanda atas Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia kala itu, melalui agresi militer pada tanggal 19 Desember 1948.
Presiden Soekarno, Sultan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, diasingkan di Brastagi dan Parapat. Sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara RS Soerjadarma, Ketua KNIP Mr Assaat, dan Sekretaris Negara Mr AG. Pringgodidgo diturunkan di Kampung Dul, Pulau Bangka, untuk selanjutnya dibawa ke Gunung Menumbing di Muntok, Bangka Barat, dengan pengawalan truk bermuatan tentara Belanda.
Pada 5 Februari 1949, Presiden Pertama RI dan Menteri Luar Negeri kala itu, Haji Agus Salim tiba di pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang, dari pengasingan di Parapat dengan pesawat Catalina. Mereka bergabung dengan pemimpin-pemimpin republik lainnya yang telah diasingkan terlebih dahulu di Gunung Menumbing.
Pada hari berikutnya, datang pula beberapa tokoh seperti dr Darma Setiawan, Prof Soepomo, dan dr J Leimena, serta tiga orang tokoh dari BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg), yakni Mr Soejono, Anak Agung Gde Agung, dan dr Ateng.
Mulanya, perundingan dilakukan di Gunung Menumbing. Namun, karena pesertanya bertambah dengan kehadiran pejabat dari Komisi Tiga Negara (KTN), maka selanjutnya perundingan dipindahkan ke Pangkalpinang, dengan lokasi yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia.
Saat itu, rumah yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia itu terdiri atas lima kamar, satu kamar besar untuk berunding, sedangkan sisanya untuk tempat tidur. Pemimpin yang lama tinggal di rumah ini adalah Bapak TNI Angkatan Udara kita, yakni RS Soerjadarma.
Melalui beberapa kali perundingan atau diplomasi di Pangkalpinang, maka lahirlah Konferensi Roem-Royen atau Roem-Royen Statement, pada tanggal 7 Mei 1949. Salah satu isinya adalah bahwa pemerintah Belanda menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke Yogyakarta. Seraya mengatakan, "Dari Pangkalpinang pangkal kemenangan bagi perjuangan," yang sekarang dijadikan motto Pemerintah Kota Pangkalpinang, pangkal kemenangan.
Setelah masa kemerdekaan, pemerintah daerah bekerja sama dengan perusahaan tambang timah pesangrahan. Tambang timah tersebut diperbaiki untuk dijadikan museum dengan nama Museum Wisma Budaya, satu-satunya museum yang ada di Pulau Bangka saat itu.
Masyarakat pada saat itu pun diminta secara sukarela untuk menyerahkan barang-barang bernilai sejarah untuk selanjutnya disimpan dalam museum. Selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 1997, PT Timah (Persero) Tbk, menjadikan bangunan ini sebagai Museum Timah Indonesia.
Museum Timah Indonesia adalah museum teknologi pertimahan yang saat ini dikelola oleh PT Tambang Timah (Persero) Tbk, yang sebetulnya sudah berdiri sejak tahun 1958. Bertujuan mencatat sejarah pertimahan di Kepulauan Bangka Belitung, sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat perihal pertambangan timah.
Museum ini menempati sebuah gedung bersejarah yang awalnya adalah rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW). Dalam museum ini, ada banyak hal yang bisa kita pelajari, utamanya perihal sejarah pertambangan timah di Indonesia, terlebih tambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung.
Sekalipun tugu prasasti yang asli sekarang tersimpan di Museum Pusat di Jakarta, namun dalam museum ini kita bisa mempelajari lebih jauh tentang prasasti Kota Kapur yang didirikan pada masa Kerajaan Sriwijaya di Kota Kapur, Pulau Bangka. Yang saat itu dikenal dengan nama Mukha Asin atau dalam bahasa China disebut Mo-Ho-Hsin.
Tugu prasasti ini terbuat dari batu pasir, yang diperkirakan diambil dari Bukit Besar, Penagan. Sebuah perkampungan di Pulau Bangka. Prasasti ini merupakan prasasti persumpahan, berisi ancaman bagi mereka yang menentang Raja Sriwijaya.
Selanjutnya kita bisa mempelajari sejarah eksplorasi bijih timah dengan pemboran. Pemboran pada mulanya dilakukan dengan alat bor tusuk yang diperkenalkan oleh pendatang China di awal abad 18.
Orang China menamakannya dengan sebutan Ciam yang berarti ujung runcing. Sedangkan orang Belanda menamakannya dengan sebutan Chinese Stick. Ciam adalah sebuah tongkat yang terbuat dari tembaga, diujungnya terdapat takuk untuk mengambil contoh lapisan tana. Contoh bagaimana alat bernama Ciam ini bisa kita lihat di Museum Timah Indonesia.
Sejak tahun 1885, bor Bangka mulai digunakan para penambang, diciptakan oleh JE Akkeringa, seorang ahli Geologi BTW. Peralatan ini berguna untuk pemboran lapisan alluvial dengan kedalaman kurang dari 40 meter.
Hampir seluruh eksplorasi mineral berat dari lapisan tanah sekunder pada tahap tertentu menggunakan bor Bangka. Namun, memasuki abad 19, mulai ditemukan lapisan alluvial dalam, di mana bor Bangka sudah tidak mampu lagi menembusnya, sehingga diciptakanlah berbagai moiofikasi alat bor yang berbasis bor Bangka.
Penambangan timah pada awalnya sangat bergantung pada tenaga manusia, dengan peralatan sederhana. Penambangan modern diawali sejak digunakannya mesin uap pada pertengahan abad ke-19.
Penggalian timah dengan cara sederhana diperkirakan telah dimulai oleh penduduk pribumi Bangka sekitar abad ke-5, dengan menggunakan linggis sebagai alat untuk menggali sumuran, yang dikenal dengan sebutan Sumur Palembang. Sementara itu pencucian pasir timah dilakukan dengan batok kelapa dan dulang kayu.
Memasuki era modern, yakni di awal tahun 1850-an, penambang mencoba menggunakan alat mesin gali untuk mengganti tenaga kuli sebagai penggali tanah. Mulanya dicoba menggunakan eskavator seperti pada penambangan batubara di Sumatera, namun gagal.
Peralatan cuci (ore dressing) yang semula menggunakan batok kelapa, yang kemudian digantikan oleh dulang, pun diganti dengan mesin pencuci. Mesin pencuci pertama adalah JIG yang diperkenalkan di awal abad 20. Untuk pencucian yang lebih bersih lagi, dicitakan meja goyang, diikuti metode-metode lain pada kurun waktu berikutnya.
Pada penambangan modern, tambang primer (yakni tambang pada deposit timah primer), dilakukan dengan dua pilihan tergantung pada kondisi batuannya, yaitu sistem Underground (Tambang Dalam) dan Open Pit (Tambang Terbuka).
Selanjutnya, masih di museum yang sama, kita pun bisa mempelajari tata cara proses peleburan timah (smelter). Teknologi peleburan timah sudah dikenal manusia sejak zaman Mesir Kuno dan Yunani Kuno.
Peleburan timah di Eropa sudah dikembangkan pada abad ke-14 Masehi oleh Georgius Agricola, yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Pertambangan dan Metalurgi Dunia. Sementara itu, peleburan timah Era Industri di Indonesia di pelopori oleh Dr CR Vlandereen dengan memodernisasi peleburan sistem China.
Apakah cuma sebatas itu isi museum ini? Masih ada lagi ternyata, yakni perihal manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Sejarah Bangka ditulis pertama kali oleh Haji Idris, seorang guru di Muntok, Bangka Barat, pada tahun 1861 silam.
Catatan sejarah ini dimutakhirkan oleh Abang Arifin Tumenggung Kertanegara I pada tahun 1879, dan Abang Muhammad Ali Tumenggung Kertanegara II pada tahun 1879. Dilanjutkan oleh Raden Achmad dan Abang Abdul Jajal pada tahun 1925.
Nah, sungguh banyak bukan hal yang dapat kita pelajari di Museum Timah Indonesia di Pulau Bangka ini? Seraya mempelajarinya, tentu saja secara langsung kita bisa melihat-lihat benda yang dijelaskan tersebut diatas.
Semuanya dikoleksi di Museum Timah Indonesia yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Nomor 179, Pangkalpinang, Bangka. Semua itu bisa kita pejari gratis, sebab pengelola museum tidak memungut biaya sepersen pun dari pengunjung yang datang.
Museum ini buka Senin-Minggu, pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB. Sedangkan khusus hari Jumat, museum ini ditutup untuk umum. (http://travel.detik.com/r)
Sepertinya bukan hal yang baru lagi, bila selama ini Pulau Bangka dikenal sebagai daerah pertambangan. Utamanya tambang timah yang memang sudah menjadi komoditas identitas daerah ini.
Film Laskar Pelangi, yang sekalipun berlatar belakang Pulau Belitung, saudara Pulau Bangka, adalah gambaran kondisi sejarah pertambangan timah di sana. Pertambangan timah di Pulau Bangka sudah berlangsung sejak lama. Untuk mengetahui lebih dalam cerita itu, kita bisa mempelajarinya di Museum Timah Indonesia, salah satu museum timah yang ada di Pulau Bangka.
Dalam buku yang berjudul "Toponim Kota Pangkalpinang" yang ditulis oleh Drs Akhmad Elvian, diceritakan mengenai sejarah berdirinya Museum Timah Indonesia. Bermula dari penguasaan Belanda atas Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia kala itu, melalui agresi militer pada tanggal 19 Desember 1948.
Presiden Soekarno, Sultan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, diasingkan di Brastagi dan Parapat. Sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara RS Soerjadarma, Ketua KNIP Mr Assaat, dan Sekretaris Negara Mr AG. Pringgodidgo diturunkan di Kampung Dul, Pulau Bangka, untuk selanjutnya dibawa ke Gunung Menumbing di Muntok, Bangka Barat, dengan pengawalan truk bermuatan tentara Belanda.
Pada 5 Februari 1949, Presiden Pertama RI dan Menteri Luar Negeri kala itu, Haji Agus Salim tiba di pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang, dari pengasingan di Parapat dengan pesawat Catalina. Mereka bergabung dengan pemimpin-pemimpin republik lainnya yang telah diasingkan terlebih dahulu di Gunung Menumbing.
Pada hari berikutnya, datang pula beberapa tokoh seperti dr Darma Setiawan, Prof Soepomo, dan dr J Leimena, serta tiga orang tokoh dari BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg), yakni Mr Soejono, Anak Agung Gde Agung, dan dr Ateng.
Mulanya, perundingan dilakukan di Gunung Menumbing. Namun, karena pesertanya bertambah dengan kehadiran pejabat dari Komisi Tiga Negara (KTN), maka selanjutnya perundingan dipindahkan ke Pangkalpinang, dengan lokasi yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia.
Saat itu, rumah yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia itu terdiri atas lima kamar, satu kamar besar untuk berunding, sedangkan sisanya untuk tempat tidur. Pemimpin yang lama tinggal di rumah ini adalah Bapak TNI Angkatan Udara kita, yakni RS Soerjadarma.
Melalui beberapa kali perundingan atau diplomasi di Pangkalpinang, maka lahirlah Konferensi Roem-Royen atau Roem-Royen Statement, pada tanggal 7 Mei 1949. Salah satu isinya adalah bahwa pemerintah Belanda menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke Yogyakarta. Seraya mengatakan, "Dari Pangkalpinang pangkal kemenangan bagi perjuangan," yang sekarang dijadikan motto Pemerintah Kota Pangkalpinang, pangkal kemenangan.
Setelah masa kemerdekaan, pemerintah daerah bekerja sama dengan perusahaan tambang timah pesangrahan. Tambang timah tersebut diperbaiki untuk dijadikan museum dengan nama Museum Wisma Budaya, satu-satunya museum yang ada di Pulau Bangka saat itu.
Masyarakat pada saat itu pun diminta secara sukarela untuk menyerahkan barang-barang bernilai sejarah untuk selanjutnya disimpan dalam museum. Selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 1997, PT Timah (Persero) Tbk, menjadikan bangunan ini sebagai Museum Timah Indonesia.
Museum Timah Indonesia adalah museum teknologi pertimahan yang saat ini dikelola oleh PT Tambang Timah (Persero) Tbk, yang sebetulnya sudah berdiri sejak tahun 1958. Bertujuan mencatat sejarah pertimahan di Kepulauan Bangka Belitung, sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat perihal pertambangan timah.
Museum ini menempati sebuah gedung bersejarah yang awalnya adalah rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW). Dalam museum ini, ada banyak hal yang bisa kita pelajari, utamanya perihal sejarah pertambangan timah di Indonesia, terlebih tambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung.
Sekalipun tugu prasasti yang asli sekarang tersimpan di Museum Pusat di Jakarta, namun dalam museum ini kita bisa mempelajari lebih jauh tentang prasasti Kota Kapur yang didirikan pada masa Kerajaan Sriwijaya di Kota Kapur, Pulau Bangka. Yang saat itu dikenal dengan nama Mukha Asin atau dalam bahasa China disebut Mo-Ho-Hsin.
Tugu prasasti ini terbuat dari batu pasir, yang diperkirakan diambil dari Bukit Besar, Penagan. Sebuah perkampungan di Pulau Bangka. Prasasti ini merupakan prasasti persumpahan, berisi ancaman bagi mereka yang menentang Raja Sriwijaya.
Selanjutnya kita bisa mempelajari sejarah eksplorasi bijih timah dengan pemboran. Pemboran pada mulanya dilakukan dengan alat bor tusuk yang diperkenalkan oleh pendatang China di awal abad 18.
Orang China menamakannya dengan sebutan Ciam yang berarti ujung runcing. Sedangkan orang Belanda menamakannya dengan sebutan Chinese Stick. Ciam adalah sebuah tongkat yang terbuat dari tembaga, diujungnya terdapat takuk untuk mengambil contoh lapisan tana. Contoh bagaimana alat bernama Ciam ini bisa kita lihat di Museum Timah Indonesia.
Sejak tahun 1885, bor Bangka mulai digunakan para penambang, diciptakan oleh JE Akkeringa, seorang ahli Geologi BTW. Peralatan ini berguna untuk pemboran lapisan alluvial dengan kedalaman kurang dari 40 meter.
Hampir seluruh eksplorasi mineral berat dari lapisan tanah sekunder pada tahap tertentu menggunakan bor Bangka. Namun, memasuki abad 19, mulai ditemukan lapisan alluvial dalam, di mana bor Bangka sudah tidak mampu lagi menembusnya, sehingga diciptakanlah berbagai moiofikasi alat bor yang berbasis bor Bangka.
Penambangan timah pada awalnya sangat bergantung pada tenaga manusia, dengan peralatan sederhana. Penambangan modern diawali sejak digunakannya mesin uap pada pertengahan abad ke-19.
Penggalian timah dengan cara sederhana diperkirakan telah dimulai oleh penduduk pribumi Bangka sekitar abad ke-5, dengan menggunakan linggis sebagai alat untuk menggali sumuran, yang dikenal dengan sebutan Sumur Palembang. Sementara itu pencucian pasir timah dilakukan dengan batok kelapa dan dulang kayu.
Memasuki era modern, yakni di awal tahun 1850-an, penambang mencoba menggunakan alat mesin gali untuk mengganti tenaga kuli sebagai penggali tanah. Mulanya dicoba menggunakan eskavator seperti pada penambangan batubara di Sumatera, namun gagal.
Peralatan cuci (ore dressing) yang semula menggunakan batok kelapa, yang kemudian digantikan oleh dulang, pun diganti dengan mesin pencuci. Mesin pencuci pertama adalah JIG yang diperkenalkan di awal abad 20. Untuk pencucian yang lebih bersih lagi, dicitakan meja goyang, diikuti metode-metode lain pada kurun waktu berikutnya.
Pada penambangan modern, tambang primer (yakni tambang pada deposit timah primer), dilakukan dengan dua pilihan tergantung pada kondisi batuannya, yaitu sistem Underground (Tambang Dalam) dan Open Pit (Tambang Terbuka).
Selanjutnya, masih di museum yang sama, kita pun bisa mempelajari tata cara proses peleburan timah (smelter). Teknologi peleburan timah sudah dikenal manusia sejak zaman Mesir Kuno dan Yunani Kuno.
Peleburan timah di Eropa sudah dikembangkan pada abad ke-14 Masehi oleh Georgius Agricola, yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Pertambangan dan Metalurgi Dunia. Sementara itu, peleburan timah Era Industri di Indonesia di pelopori oleh Dr CR Vlandereen dengan memodernisasi peleburan sistem China.
Apakah cuma sebatas itu isi museum ini? Masih ada lagi ternyata, yakni perihal manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Sejarah Bangka ditulis pertama kali oleh Haji Idris, seorang guru di Muntok, Bangka Barat, pada tahun 1861 silam.
Catatan sejarah ini dimutakhirkan oleh Abang Arifin Tumenggung Kertanegara I pada tahun 1879, dan Abang Muhammad Ali Tumenggung Kertanegara II pada tahun 1879. Dilanjutkan oleh Raden Achmad dan Abang Abdul Jajal pada tahun 1925.
Nah, sungguh banyak bukan hal yang dapat kita pelajari di Museum Timah Indonesia di Pulau Bangka ini? Seraya mempelajarinya, tentu saja secara langsung kita bisa melihat-lihat benda yang dijelaskan tersebut diatas.
Semuanya dikoleksi di Museum Timah Indonesia yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Nomor 179, Pangkalpinang, Bangka. Semua itu bisa kita pejari gratis, sebab pengelola museum tidak memungut biaya sepersen pun dari pengunjung yang datang.
Museum ini buka Senin-Minggu, pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB. Sedangkan khusus hari Jumat, museum ini ditutup untuk umum. (http://travel.detik.com/r)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar