George McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu, dalam buku Natsir “70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan”, bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini. Tapi yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. ”Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin.
Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim mengenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri.[1]
Laki-Laki Pintar dan Cerdas
Politisi dan da’i sejati. Itulah sebutan yang nampaknya tidak berlebihan jika disematkan pada sosok laki-laki pejuang Islam: Mohammad Natsir. Ia lahir di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai juru tulis kontrolir di kampungnya. Ibunya bernama Khadijah. Ia dibesarkan dalam suasana kesederhanaan dan dilingkungan yang taat beribadah.
Natsir mulai menuntut ilmu tahun 1916 di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah, Padang kemudian pindah di HIS Solok. Sore hari belajar di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab. Tamat dari HIS tahun 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang. Disanalah ia mulai aktif berorganisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang Sumatra Barat bersama Sanoesi Pane. Aktivitas utama organisasi ini pada saat itu adalah menentang para misionaris kristen di wilayah Sumatra Utara.
Natsir adalah laki-laki cerdas. Sejak muda ia mahir berbahasa Inggris, Arab, Belanda, Prancis, dan Latin. Karena kecerdasannya, tamat dari MULO pada 1927, Natsir mendapat beasiswa studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di Bandung dan lulus tahun 1930 dengan nilai tinggi. Ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.
Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Di kota inilah ia berkenalan dengan H. Agus Salim dari Syarekat Islam, Ahmad Soorkaty pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan A. Hasan, pendiri Persatuan Islam (Persis). Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.[2]
Perjuangan Natsir
Tahun 1945, Muhammad Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia, setelah kemerdekaan, memintanya membantu melawan penjajah. Kemudian menjadi anggota MPRS. Tahun 1946, mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Ia juga menjabat sebagai Menteri Penerangan selama empat tahun.
Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negara serikat. Mohammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Hal ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri-nya. Penyelamat NKRI, demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir pada waktu itu. Tapi, belum genap setahun, ia dipecat karena berseberangan dengan Presiden Soekarno. Dalam pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota parlemen hingga 1957.
Tokoh Dunia Islam
Mohammad Natsir sangat dihormati oleh dunia Islam. Ia adalah ulama, da’i militan yang tidak pernah menyerah kepada lawan, dan selalu membela kebenaran. Dunia Islam mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi.
Dunia mengakuinya, namun di negerinya sendiri mulai dari rezim Soekarno dan Soeharto telah memandang sebelah mata. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuangan Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan. Ia beberapa kali masuk penjara dan sampai dilarang pergi keluar negeri oleh pemerintahan Soeharto karena ketokohannya yang sangat disegani dan dihormati di kancah perpolitikan Islam. Itulah resiko dalam berpolitik, idealisme yang benar tapi berseberangan dengan rezim berkuasa maka ia akan disingkirkan dan sejarah akan diputarbalikkan. Sebaliknya, orang yang mengekor pada rezim berkuasa sekalipun dihatinya ada kemunafikan, maka ia langgeng dan sejarah berusaha membuatnya agar selalu dikenang.
Manhaj Dakwah Mohammad Natsir
Keluar dari penjara, Mohammad Natsir bersama rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang memusatkan aktivitasnya untuk membina masyarakat, mengerahkan para pemuda, dan menyiapkan dai. Kemudian cabang-cabang DDII terbentuk di seluruh Indonesia dan generasi muda dapat mengenyam kehidupan Islami, menikmati suasana ilmiah, mereguk fikrah Islam yang benar, memberi pengarahan kepada masyarakat, mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam (Islamic Center) dan masjid, menyebarkan buku-buku Islam, membentuk ikatan-ikatan pelajar Islam, serta mendirikan beberapa asosiasi professional, para insinyur, para petani, pekerja, dan lain-lain. Ia juga menjalin hubungan dengan gerakan-gerakan Islam Internasional untuk saling tukar pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. Tahun 1967, Mohammad Natsir dipilih menjadi Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional di Pakistan.[3]
Itulah sekelumit tentang Mohammad Natsir. Beliau adalah seorang pahlawan bangsa, politisi, mujahid, sekaligus dai sejati. Sikapnya yang sopan, santun, tawadhu, dan sederhana membuatnya dicintai oleh setiap orang yang mengenalnya dan akrab dengan orang-orang yang bekerja sama dengannya. Tetapi sebagian dari kita telah salah menilai dan melupakan kontribusinya. Selama ini kita lebih mengenal tokoh seperti Soekarno, Muhammad Hatta, WR. Supratman dll. Memang, mereka adalah pahlawan nasional yang perjuangannya tidak perlu diragukan lagi.
Tetapi kadang kita melupakan pahlawan lain seperti Mohammad Natsir, KH. Agus Salim, Buya Hamka, Mohammad Roem dll. Namanya memang tidak terlalu terkenal. Padahal kalau kita mau jeli membaca sejarah perjuangan bangsa, sebagian besar pejuang adalah para tokoh Islam, baik perjuangan pada masa sistem kerajaan maupun era perjuangan mewujudkan kemerdekaan. Apakah sejarah sengaja memperkecil kontribusi mereka dan memutarbalikkan fakta? Padahal nyata, mereka berjuang untuk bangsa Indonesia. Hati nurani mereka selalu ikhlas berjuang tak mengharap jabatan atau kekuasaan, hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Yang pasti ingatlah bahwa Sejarah akan selalu berkata benar. (http://dwiardiyanto.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar