Rabu, 17 Desember 2014

Kehidupan Sehari-Hari Di Kota Betawi Tempo Dulu


Untuk sedikit mengetahui kehidupan sehari-hari di kota Betawi tempo dulu, marilah kita ikuti tulisan seorang turis domestik asal Jawa Tengah yang bernama R.A Sastrodarmo yang telah menulis buku berjudul "Kawontenan Ing Nagari Betawi" tahun 1865.  Sastrodarmo menulis, orang-orang laki di Betawi kurang senang berambut gondrong, namun menyukai rambut gundul, barangkali menyesuaikan iklim yang panas.  Peraturan Polisi dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa pandang bulu bangsa.
Bagi pembuang sampah yang sembrono kena denda.  Setiap penduduk yang sudah mencapai umur 15 tahun harus punya KTP dan dikeluarkan oleh Lurah (BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen.  Siapa yang ketangkap tanpa KTP kena denda kurungan 5 hari.  Selewat jam 19.00 malam dilarang bawa senjata tajam misalnya golok dan sebagainya.  Bagi pedagang yang menetap maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya.  Setiap jalan besar dijaga
petugas yang kerjanya keliling kampung juga, mereka inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar peraturan lainnya.  Gardu penjagaan  selalu ada penjaga 2 orang waktu siang, kalau malam 5 orang, bersenjata tombak berujung dua.
Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu.  Demikian juga bila ada orang mengamuk.  Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog.  Kepala penduduk Betawi disebut komendan.  Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan.  Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean.  
1953-1960: Daerah Pecinan di Glodok, Jakarta.

Pembagian wilayah menjadi BEK (asal kata Wyk) berlangsung sejak tahun 1655, tugasnya melaksanakan cacah jiwa.  Penduduk batavia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, disampig bahasa daerahnya juga mengunakan bahasa Melayu.  Orang Betawi berpangkat Ajudan keatas mengunakan celana dan baju laken, bersarung di lipat keatas setinggi lutut, bersepatu.  Baju berpelesir renda leher dan lengannya.  Lebar pelesir menandakan tinggi rendahnya jabatan si pemakai.  Ikat kepalanya disebut Bungkus Kul, tanpa memakai keris.  Para BEK dan bawahannya mengenakan celana panjang, sarung dilipat sampai dengkul, ikat pinggang lebar dan mudah dilepas.  Bajunya mirip setengah jas, ikat kepala bergaya Colak-Calik atau Bungkus Kul tanpa sepatu, tetapi berceripu tanpa keris.  Ciri khas seorang BEK ialah arloji rantai disaku di ganduli kuku macan atau batu mulia lainnya.  Bagi wanitanya, umumnya mengunakan pakaian ala Nyai, yaitu kain sarung sutera, memakai ikat pinggang pending, tidak berkemben baju kebaya longgar, lengkap peniti bersubang kerabu.  Konde bergaya ekor bebek atau ekor udang dan tusuk konde, rimong sutera, selop berbunga emas.  Masyarakat Betawi memang terkenal taat pada agama, itulah sebabnya mereka di sebut "orang Selam" (maksudnya Islam).
Tanah Abang pernah menjadi pangkalan mobil taksi.  Jenis kendaraan lainnya yaitu Ebro, kendaraan bertenda dan beroda 4 ditarik 2 ekor kuda yang dipisahkan terak panjang.  Orang Belanda menyebutnya Brik.  Juga ada kendaraaan Sado yang yang mungkin berasal dari kata Dosados, yaitu kendaraan berpenumpang adu punggung.  Ada lagi Delman seperti yang kita kenal, mungkin dari kata Edelman (perancangnya).  Disetiap ada perempatan dipasang lampu setengah bola yang menyinari di waktu malam, berguna bagi taksi dan sais.  Selain pasar Tanah Abang sampai akhir abad ke-19 disekitarnya belum ada bangunan permanen.

Setelah Jepang menjajah Indonesia, kobaran api peperangan Asia Timur Raya tidak luput menyeret kota Jakarta kedalam kekalutan dan kelumpuhan ekonomi.
Perusahaan dagang milik Belanda maupun Cina terhenti kegiatannya.  Akibatnya kegiatan pasar pun tidak luput dari kekalutan.  Terutama bahan bakar menyusut dengan cepa, karena Jepang juga sangat memerlukan bagi kemenangan peperangannya.
Bahan makan pokok terutama beras semahal dan sesulit emas.  Kesempatan ini menumbuhkan suburnya kaum spekulan dengan menimbun bahan sandang maupun pangan.  Penjualan minyak tanah dilakukan menurut jatah.  Baru setengah tahun Jepang berkuasa harga-harga sudah meningkat, misalnya minyak kelapa yang semula F3 melonjak menjadi F8.  sering terjadi penangkapan oleh pihak Jepang terhadap para spekulan.  Tindakan ini bukannya membantu keadaan namun malah sebaliknya yaitu menghilangnya barang-barang  kebutuhan dari pasaran.  Tekstiel misalnya juga ikut menghilang dari pasar Tanah Abang (T.A).  Toko-toko yang semula penuh dagangan berubah kosong melompong dan tutup.
Untuk menetapkan harga tertinggi beberapa jenis makanan, Jepang mengeluarkan peraturan yang disebut USAMU SEIREI No. 38 tahun 43 diantaranya jenis kacang kedelai, jagung, gaplek, kacang tanah yang berlaku diseluruh Pulau Jawa dan Madura.
Sekalipun hanya 3,5 tahun penjajahan berlangsung, bagi dunia perpasaran khususnya pasar T.A merupakan masa paling suram baikmbagi pedagang maupun pembeli.  Pada zaman Jepang, Jakarta tidak mengalami kemajuan pembangunan kecuali hanya penggantian nama jalan, taman dan daerah saja.  Sekitar 250 nama digantinya.  Dan yang lebih menyedihkan ialah nama-nama tersebut tidak ada hubungannya maupun nilai sejarah Indonesia, semata-mata menuruti menuruti selera Jepang semata-mata.  Sejak 8 Agustus 1942 Batavia menjadi Tokubetu Si semacam Kota Praja luar biasa.

Foto: http://luk.staff.ugm.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar