Senin, 22 Desember 2014
Legenda Meriam “Si Jagur”
Pernahkah dengar nama “Si Jagur”? Nama itu juga adalah nama sebuah meriam peninggalan Portugis. Meriam itu punya 3,5 ton dengan panjang 3,85 meter dan diameter laras 25 sentimeter. Para pengunjung Museum Fatahillah tentu tidak akan asing lagi dengan meriam itu. Sebab, meriam itu masih terpajang di salah satu halaman Museum Fatahillah?
Lalu, apa yang membuat meriam ini terkenal? Konon, meriam ini punya kekuatan mistis yang luar biasa. Konon, ketika meriam ini masih tergeletak di dekat kota Intan, meriam ini banyak dikunjungi peziarah.
Paling banyak peziarah itu adalah kaum perempuan. Umumnya, mereka berharap diberi kesuburan. Tetapi juga ada peziarah laki-kali yang merasa dirinya mandul. Konon kabarnya, usai berziarah dan memohon pada meriam ini, para pemohon akan segera mendapat keturunan.
Itu lantaran di pangkal meriam tersebut terdapat kepalan seperti kepalan Bima: kepalan tangan kanan dengan jempol dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengah. Selain itu, di bagian punggung meriam ini terdapat tulisan latin “EX ME IPSA RENATA SUM”—yang kurang lebih berarti: “Dari diriku sendiri, aku dilahirkan lagi”.
Sewaktu masih di dekat Jembatan kota Intan, di sekitar meriam itu sering dipenuhi kembang dan kemenyan. Namun, ketika—pada tahun 1968—dipindah ke depan museum Wayang, peziarah mulai berkurang. Lalu, pada tahun 1974, meriam “Si Jagur” itu dipindah lagi ke halaman Museum Fatahillah.
Bukan cuma mengikat para peziarah, tapi meriam ini juga membuat takut para penjahat. Konon dari cerita, para penjahat Batavia sangat ketakutan jika dibawa ke dekat Si Jagur. Banyak penjahat itu memilih mengakui kejahatannya ketimbang di bawah ke dekat meriam peninggalan portugis ini.
Dari mana datangnya meriam itu? Konon, meriam itu dibuat di Makau pada abad ke-16 oleh orang Purtugis bernama N.T. Bocarro. Kemudian Portugis menggunakan meriam itu untuk mempertahankan kekuasannya di Malaka.
Nama si Jagur kemungkinan karena dulu meriam itu pertama kali diletakkan di benteng Santo Jago de Barra sebelum dipindahkan ke Kota Malaka oleh Portugis.
Pada tahun 1641, Malaka jatuh ke tangan VOC-Belanda. Belanda, yang berhasil merebut benteng Portugis, menemukan meriam itu. Meriam itu kemudian diboyong Belanda ke Batavia.
Akan tetapi, sejak tahun 1810-an meriam si jagur tidak lagi dipergunan. Mungkin karena meriam itu terlalu berat untuk dipakai pasukan artileri Belanda. Meski begitu, meriam Si Jagur pernah menjadi senjata paling hebat di masanya.
Di pantai Karangantu, Banten, ada juga meriam tua yang dikeramatkan. Namanya Si Amuk. Ada kepercayaan sebagian orang kala itu, kalau Si Amuk sudah dipertemukan dengan Si Jagur, maka itu pertanda berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar