Keberadaan kopi Toraja sebagai salah satu kopi utama dunia, tak lepas dari sejarah panjang biji ajaib ini. Praktek meminum kopi dimulai lebih dari seribu tahun yang lalu di Etiopia. Menurut legenda, seorang penggembala mencoba memakan buah ceri kopi setelah mengamati bahwa kambing-kambing nya tidak tidur ketika mereka makan buah tersebut yang tumbuh secara liar .
Salah satu [dari] catatan pertama menyebutkan kopi menceritakan tentang Sheik Omar, yang membawa kopi ke kota Mekah pada tahun 1258. Kota ini, sekarang disebut Al Mukha, di negara Yemen. Ratusan tahun yang lalu, kopi dari Yemen dicampur dengan kopi dari Indonesia (Jawa), untuk menciptakan Mocha Java yang klasik .
Kedai kopi pertama di dunia dibuka di Mekah pada awal abad 15 . Mereka merupakan tempat-tempat yang nyaman , di mana orang-orang bersantai dan membahas politik selagi menikmati secangkir kopi. Pada waktu itu, kopi dimasak dengan cara merebus bijinya di dalam air. Praktek pembuatan dan penggonsengan kopi dimulai di Turki, sekitar 100 tahun kemudian. Istanbul dahulu terkenal dengan berdirinya ratusan rumah kopi.
Diperkirakan peziarah-peziarah muslim yang kembali dari Timur Tengah membawa biji kopi mereka ke India pada awal tahun 1600. Catatan tertulis menyebutkan bahwa gubernur Belanda di Malabar (India mengirim bibit kopi Yemen atau kopi Arabica kepada Gubernur Belanda Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1696. Bibit pertama yang dikirim gagal tumbuh dikarnakan banjir di Batavia. Pengiriman kedua dari benih kopi ke Batavia dilakukan pada tahun 1696. Tumbuhan tersebut tumbuh, Dan pada tahun 1711, exsport pertama dikirim dari Java ke Eropa oleh Perdagangan Timur India yang dikenal sebagai VOC (Verininging Oogst-Indies Company), yang dibentuk pada tahun 1602. Di dalam 10 tahun, Ekspor meningkat menajdi 60 ton per tahun. Indonesia merupakan tempat pertama diluar Arab dan Etiopia, di mana kopi secara luas ditanami. VOC memonopoli perdagangan kopi pada tahun 1725 sampai 1780.
Kopi dikirimkan ke Eropa dari pelabuhan Batavia. Telah ada pelabuhan pada muara sungai Ciliwung semenjak 397 SM, ketika Raja Purnawarman mendirikan kota tersebut yang ia sebut Sunda Kelapa. Sekarang,di dalam daerah Kota di Jakarta, seseorang dapat menemukan gema-gema dari warisan yang mengarungi laut yang membangun kota tersebut. Sail memandu kapal-kapal tetap mengisi muatan di dalam pelabuhan yang tua . musium Bahari menduduki suatu gudang pendahulu dari VOC, digunakan untuk menyimpan rempah-rempah dan kopi. Menara Syahbandar (atau Lookout Tower) dibuat pada tahun 1839 untuk menggantikan tiang bendera yang berada di kantor kepala syahbandar, di mana kapal kapal VOC mengisi muatan-muatan mereka.
Pada tahun 1700, kopi yang dikirim dari Batavia dijual seharga 3 Gulden per kilogram di Amsterdam. Karena pendapatan tahunan di Holland pada 1700s adalah antara 200 sampai 400 Gulden, yang merupakan sama dengan beberapa ratus dolar per kilogram sekarang ini. Pada akhir abad ke 18 , harga kopi jatuh sampai 0.6 Gulden per kilogram dan kebiasaan meminum kopi menyebar dari kaum elit kepada masyarakat biasa .
Perdagangan kopi merupakan hal yang sangat menguntungkan untuk VOC, namun tidak demikian untuk petani kopi Indonesia yang dipaksa untuk menanam oleh pemerintah kolonial. Teorinya, produksi perkebunan ekspor ditujukan untuk menyediakan uang tunai bagi masyarakat desa di Jawa untuk membayar pajak mereka , hal ini di Belanda dikenal sebagai Cultuurstelsel (Sistim penanaman), dan didalamnya termasuk rempah-rempah dan cakupan luas dari hasil bumi lain yang diproduksi oleh Negara tropis . Cultuur stelsel dimulai pada produkdi kopi di daerah Preanger Jawa Barat. Namun dalam prakteknya, harga yang ditetapkan oleh pemerintah sangat rendah dan mereka mengalihkan tenaga kerja dari produksi beras ke kopi yang menyebabkan penderitaan untuk petani-petani.
Pada pertengahan tahun 1970 VOC memperluas kebun kopi arabica di daerah-daerah Sumatra, Bali, Sulawesi dan Timor. Di Sulawesi, kopi pertama ditanam pada tahun1750. Di dataran tinggi Sumatra Utara kopi pertama ditanama di dekat danau Toba pada tahun 1888 yang diikuti oleh dataran tinggi Gayo (Aceh) dekat danau Laut Tawar Lake pada tahun1924.
Pada tahun 1860, seorang pejabat kolonial Belanda, Eduard Douwes Dekker, menulis suatu buku yang berjudul "Max Havelaar dan lelang Kopi pada perusahaan perdagangan Belanda ",yang mengangkat tentang tekanan kepada orang desa oleh pejabat-pejabat tamak dan koruptor . Buku ini membantu opini masyarakat Belanda pada "Sistim Penanaman "dan kolonialisme secara umum. Baru-baru ini, nama Max Havelaar diadopsi oleh salah satu organisasi perdagangan pasar bebas .
Pada akhir abad delapan belas, kolonialis-kolonialis Belanda mendirikan perkebunan kopi besar di Ijen Plateau di Jawa timur . Namun, bencana terjadi pada tahun 1876, ketika penyakit karat daun menyerang Indonesia yang melenyapkan hampir dari seluruh kultivar Typica. Kopi Robusta (C. canephor variasi robusta) diperkenalkan di Jawa Timur pada tahun1900 sebagai penggantinya terutama pada ketinggian-ketinggian yang lebih rendah , di mana karat daun ini sungguh mematikan.
Pada tahun 1920 petani di seluruh Indonesia mulai menanam kopi sebagai hasil bumi yang diperdagangkan. Perkebunan-perkebunan di Jawa dinasionalisasikan pada hari kemerdekaan dan diperbaharui oleh variasi-variasi baru dari Kopi Arabika pada tahun 1950. Variasi ini juga diadopsi oleh para petani penggarap lewat pemerintah dan berbagai program pembangunan. Dewasa ini, lebih dari 90% dari kopi kopi arabika Indonesia dihasilkan oleh para petani terutama di Sumatra utara, di kebun-kebun yang luas rata ratanya adalah sekitar satu hektar. Produksi kopi arabika tahunan adalah sekitar 75,000 ton dan 90 % ditujukan untuk ekspor. Kopi kopi arabika dari negara kebanyakan mepunyai segmen pasar khusus
Sejarah Kopi Toraja
Di wilayah Indonesia, kopi mulai ditanam pada abad ke-17 dan ini untuk diminum oleh kalangan atas orang Belanda. Pada zaman penjajahan tentara Jepang, pihak Jepang mencoba membuka perkebunan kopi di Toraja namun gagal. Dengan demikian, kopi Toraja hilang di pasar sejak zaman Perang Dunia Dua.
Sesudah perang, seorang Jepang, Mr. Oki, presiden perusahaan perdagangan kopi, mendengar adanya kopi yang bagus di Toraja namun sudah punah. Dia bermimpi membuat ulang kopi Toraja lalu memutuskan untuk mencari bibit-bibit kopi Toraja. Mr. Oki dan timnya datang ke Toraja pada sekitar tahun 1970 dan terus mencari bibit kopi di wilayah pengunungan dengan kuda atau jalan kaki selama satu bulan lebih. Berbagai kesulitan dihadapi oleh mereka. Akhirnya, mereka menemukan beberapa bibit kopi dan mencoba mengembangkannya kembali dan secara pelan-pelan memperbanyak bibitnya. Lalu, mereka bermimpi membuka lahan untuk membuat perkebunan kopi Toraja yang akan diekspor ke pasar dunia.
Mr. Seino, orang Jepang yang baru masuk perusahaan Mr. Oki pada tahun 1976, langsung ditunjuk sebagai utusan pembukaan perkebunan kopi karena dia pernah bekerja di Lampung pada 1971-1973. Memang, ini pertama kali ia ke Toraja. Pada waktu itu, jalan dari Makassar ke Toraja pun sangat buruk. Setiba di Toraja, tidak ada apa-apanya. Mr. Seino harus mulai dari nol, termasuk dalam berkomunikasi dengan masyarakat Toraja, tempat tinggal, dan kantor. Apalagi, kemampuan Bahasa Indonesianya tidak bagus. Penentuan lokasi perkebunan kopi juga mengalami berbagai kesulitan. Memang, waktu itu, PT Toarco Toraja sudah didirikan sebagai PMA antara pihak Jepang dan pihak Indonesia (perusahaan TNI), Mr. Seino bukan sendirian tetapi dukungannya tidak cukup.
Sesudah menentukan lokasi perkebunan kopi, muncul masalah lagi. Belum ada jalan sampai ke lokasinya. Mr. Seino meminta pihak pemerintah daerah setempat untuk membuat jalannya namun ditolak. Apa boleh buat, Seino harus memutuskan membuat sendiri jalan tersebut yang jaraknya 6 km sampai ke bukit Gunung Padamaran di atas. Kopi Arabika bisa berbuah jika ketinggiannya di atas 800 meter. Makin tinggi lokasinya makin bagus kopi Arabikanya. Kondisi saat itu tentu sulit. Semuanya hutan termasuk lokasi rencana perkebunan kopi itu dan jalan sambungannya. Dengan berbagai kesulitan, akhirnya perkebunan kopi di atas ketinggian 1000 meter dan jalan 6 km sampai ke perkebunan diselesaikan. Jalan pegunungan ini dinamakan Jl. Seino, satu-satunya jalan yang bernama orang Jepang di Indonesia.
Mr. Seino bekerja di Toraja sebagai kepala perkebunan kopi yang pertama pada 1977-1984, dan sekali lagi pada 1989-1993. Sesudah kembali ke Jepang, Mr. Seino tetap bertugas sebagai pengawas perkembangan perkebunan kopi di Toraja.
Namun, Mr. Seino merasa belum puas tugasnya itu. Dia selalu menyesal karena merasa belum cukup membalas sesuatu terhadap hati baik dan bantuan dari masyarakat Toraja. Setiap hari, dia pikir apa yang bisa ia berikan kepada masyarakat Toraja yang sangat membantu untuk kegiatan perusahaan kopi tempatnya bertugas. Mr. Seino memcoba belajar teknik khusus penggalian sumur air yang bernama "Kazusa Bori" (penggalian sistem Kazusa. Kazusa adalah nama kuno daerah Chiba Selatan di Jepang), karena banyak masyarakat Toraja kesulitan akses air bersih. Namun, karena usianya dianggap sudah tua dan terasa tidak kuat badannya, Mr. Seino memutuskan tidak bisa lanjut belajar Kazusa Bori. Mr. Seino mencari upaya yang lain untuk mengembalikan sesuatu kepada masyarakat Toraja.
Kebetulan, seorang professor dari suatu universitas swasta menawarkan pembuatan pupuk organik dengan memanfaatkan buangan kulit kopi dan percobaannya berhasil. Maka, Mr. Seino ingin menerapkan pembuatan kopi organik di perkebunan kopi PT Toarco Toraja. Selain itu, Mr. Seino memikirkan penanaman pohon sebagai shade tree buat penanaman kopi para petani (catatan: PT Toarco Toraja lebih banyak membeli kopi dari mpetani daripada produksi di perkebunan sendiri), dikaitkan dengan pendirian pabrik pengelolaan kayu sebagai sumber penghasilan petani dengan pembabatan shade treenya jika sudah besar. Mr. Seino bermimpi menghijaukan Toraja dengan kaitan produksi kopi yang ramah lingkungan, tanpa menyulitkan penghasilan petani.
Mr. Seino adalah potret orang Jepang biasa. Hanya saja, dia mencintai Toraja dan masyarakat Toraja daripada siapa pun di Jepang. Pada 31 Oktober 2008, Mr. Seino akhirnya menutup usia sesudah hidupnya selama 65 tahun karena kanker liver. Sambil merasa minta maaf kepada masyarakat Toraja karena dia tidak bisa cukup mengembalikan sesuatu yang berguna terhadap hati baik dan bantuan masyarakat Toraja selama ini. Meninggalkan mimpi dan keinginan besar untuk Toraja kepada kita semua.
sumber: Torajacybernews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar