Dina kiwari ngacik bihari, seja ayeuna sampeureun jaga
Pegunungan Parahyangan disebut orang asing sebagai “The Abode of The Gods“.
Ingin sekali rasanya diriku menjelajahi seluruh keindahan tersebut.
Gunung-gunung yang angkuh, danau-danau yang menenangkan hati, hawa
dingin yang menetralisir stress… Banyak sekali dari daerah ini masih
meninggalkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Waktu seakan-akan berjalan
lambat di sana, walau perubahan yang terjadi menunjukkan kerusakan di
sana-sini.
Jantung Parahiyangan itu disebut
Kabupaten Bandung. Semua keindahan yang kusebutkan di atas masih
tersedia di kawasan ini. Gunung, danau, perkebunan, sungai, dan kabut
yang romantis, kecuali bagi mereka yang berhati dingin tentu akan
menyebut suasana tersebut membosankan. Betapa besar potensi yang bisa
diangkat dari kawasan seluas 1.762,39 km2 itu, tapi sayang kini dikuasai
oleh segelintir pemimpin yang tidak bisa melihat keindahan pada apapun
kecuali pada hijaunya rupiah. Kasihan nasib kabupaten Bandung. Ia
bagaikan seorang gelandangan apabila disandingkan dengan kota Bandung
yang lagi berdandan di bawah pemimpinnya yang baru.
Mari kita membalik halaman waktu ke tahun
1975. Kala itu pemerintah Kabupaten Daerah Tk. II Bandung membuat satu
buku kecil berjudul “Memperkenalkan Kabupaten Bandung Pusat Parahiangan”
(BAPPEMKA, 1975). Buku kecil ini dibuat untuk menyambut hari jadi
ke-334 Kabupaten Bandung yang jatuh pada tanggal 20 April 1975. Usianya
jauh lebih tua dari kota Bandung, tapi perkembangannya jauh lebih
lambat. Buku ini dipersembahkan “kepada masyarakat untuk lebih mengenal
serta mencintai, sesuai dengan pepatah bila tak kenal maka tak sayang
sehingga akan menarik lebih banyak support dan partisipasi
sebagai bukti keikutsertaan masyarakatnya dan sebagai bukti dari rasa
tanggung jawabnya,” sambut Bupati Bandung R.H. Lily Sumantri dalam buku
ini. Bahasanya khas pidato pejabat. Normatif.
Ketika itu Kabupaten Bandung masih jauh
lebih luas dibandingkan sekarang. Kini wilayah tersebut telah terbagi
antara Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Bandung.
Sebagai bayangan, dulu untuk mencapai kabupaten Bandung dari tempat
tinggalku mungkin hanya memerlukan waktu berjalan setengah jam saja
karena area Dago Bengkok sudah termasuk wilayah Kabupaten. Luasnya
wilayah Kabupaten Bandung tersebut menjadi salah satu penyebab sulitnya
pengelolaan. Bahkan pada saat buku ini dibuat, ibu kota Kabupaten
Bandung masih terletak di Kota Bandung, “karena itu telah direncanakan
untuk memindahkannya ke Bale Endah, dekat Dayeuh Kolot”.
Apabila merunut sejarah, sejak Daendels
memerintahkan pemindahan ibu kota “Negorij Bandoeng” ke tepi Cikapundung
yang nantinya bermetamorfosa menjadi Kota Bandung, pembangunan Kota
Bandung sama sekali tidak bisa dilepaskan dari peran kawasan Kabupaten
Bandung. Kawasan Kabupaten Bandung merupakan ladang usaha para Preangerplanters yang kemudian menghabiskan uang dan mewujudkan impiannya di wilayah Kota Bandung sekarang.
Preangerplanters adalah sebutan
bagi para pengusaha perkebunan Eropa yang mengolah lahan di daerah
Parahiangan/Priangan. Mereka sangat kaya dan mencintai alam Priangan.
Begitu eratnya emosi mereka terhadap tanah Priangan sehingga beberapa
dari mereka hendak menghabiskan sisa hidupnya di sini. Mereka enggan
pulang ke Belanda, dan sebagai gantinya mereka membangun “Belanda” kecil
yang dikenal sebagai “Den Haag van Java” alias kota Bandung. Ya,
Bandung tidak hanya dikenal sebagai “Parijs van Java” saja, kota ini
sebenarnya lebih didesain penguasa kolonial sebagai “Den Haag” (The
Hague atau s-Gravenhage) sebagai bandingan Jakarta yang didesain sebagai
“Amsterdam”-nya Pulau Jawa. Bandung memang hendak dijadikan pusat
pemerintahan Hindia Belanda, andai tidak bisa disebut sebagai Ibu Kota
Hindia Belanda. Sayangnya usaha tersebut urung dilakukan karena
pemerintah Kolonial terkena kesulitan keuangan.
Dari seluruh kekayaan potensi alam yang
dimiliki wilayah Kabupaten Bandung, salah satunya yang paling
dieksplorasi adalah tanahnya yang subur. Tanah Kabupaten Bandung sejak
jaman kolonial telah dimanfaatkan sebagai perkebunan. Kaum kolonial
memang lebih visioner dalam melihat potensi ekonomi yang bisa dihasilkan
wilayah ini. Melalui pembukaan perkebunan, mereka bisa mewujudkan
mimpinya untuk mengeksploitasi tanah jajahan untuk waktu yang lama.
Seperti dilihat pada peta di bawah yang menjadi bagian dari buku “Memperkenalkan Kabupaten Bandung Pusat Parahiangan“,
pada tahun 1975 masih banyak perkebunan warisan kolonial yang tersisa
di wilayah Kabupaten Bandung. Luasnya tentu saja sudah mengalami
penyusutan dibandingkan masa sebelumnya. Tapi tetap saja dari perkebunan
yang ada ini masih tampak sisa kejayaan masa lalu.
Salah satu produk unggulan Kabupaten
Bandung yang berhasil mengangkat nama Indonesia dan Bandung khususnya di
kancah internasional adalah Kina. Thank God ternyata buku
kecil ini memuat sepotong sejarah penanaman Kina di Kabupaten Bandung
yang ditulis oleh R. Nana Djajasoempena. Berikut kisahnya.
Jenis Kina adalah sangat banyak dan sukar
untuk membeda-bedakannya. Tanaman ini sangat mudah berkawin (kruising).
Yang ditanam di Pulau Jawa hanya khusus jenis Cinchona Ledgeriana
Moens. Hanya bisa pada ketinggian lebih dari 6000 kaki di atas permukaan
laut dapat ditanam jenis lain.
Kina itu berasal dari pegunungan Andes di
Amerika Selatan, dimana tanaman tersebut tumbuh dengan baik pada hawa
12 derajat celcius terutama di hutan-hutan basah di Ekuador dan Bolivia.
Kina itu mula-mula diketahui oleh orang
Eropa pertama kali pada tahun 1638 sebagai obat yang sangat penting bagi
pemberantasan semacam penyakit demam (malaria), sebagai akibat dari
pada pengalaman-pengalaman tersebut, maka kina ditingkatkan kegunaanya
sebagai bahan konsumsi internasional.
Pohon kina termasuk jenis Rubiaceen
(seperti kopi) dan namanya pohon itu dalam ilmu botani adalah cinchona.
Tentang riwayat nama Chincona terdapat macam-macam penjelasan.
Sebutan Cinchona menurut cerita berasal dari bahasa Inca “quina” atau “china” yang berarti kulit penghindar penyakit demam.Keterangan kedua adalah bahwa sebutan Cinchona itu berasal dari nama seorang pramaisuri Raja Muda Peru, seorang warga Spanyol yang bernama gravin “Del Chincon”.
Singkat cerita, Gravin Del Chincon adalah
orang yang mengenalkan khasiat kulit kina ke Eropa. Dalam waktu singkat
kulit ini diperdagangkan di berbagai negara Eropa, sehingga banyak
sekali hutan-hutan kina di Andes yang habis ditebang.
Kaum Jesuit juga telah memberikan saham
yang besar dalam penyebaran obat kina. Adalah karena itulah selama
beberapa waktu puder kina diberi nama yang aneh yaitu “Puder Jesuit”.
Pada tahun 1700 kina telah populer di Eropa dan dipergunakan sebagai
obat mujarab.
Sebagaimana dikemukakan tadi kina itu
banyak jenisnya dan tidak mudah dibeda-bedakan oleh seorang yang bukan
ahli, bahkan juga dalam penelitian ilmiah pertama.
Orang pertama yang meletakan dasar dalam
penyelidikan jenis kina adalah Von Humboldt, yang pada abad ke-19 telah
menjelajah pegunungan Andes. Akan tetapi baru beberapa puluh tahun
kemudian penggunaan kina berkembang dengan bai karena didapatkannya
pengertian dalam pengolahan kina. Saat itu kina juga mulai ditanam di
Pulau Jawa. Pada pertengahan pertama abad ke-19 harga tiap kilogram
berkisar antara f. 200,- hingga f. 300,-.
Demi kepentingan kesejahteraan manusia
dan ekonomi, maka negara-negara kolonial seperti Belanda dan Inggris
mulai berusaha sekuat tenaga untuk membudidayakan kina di daerah tropis
jajahannya.
Dalam tahun 1852 bibit pertama pohon kina
dipindahkan dari Paris ke Pulau Jawa; disamping itu pemerintah sendiri
mengambil prakarsa untuk mengusahakan mendapatkan bibit-bibit lain dan
telah menugaskan ahli botani Haskarl untuk mengumpulkan bibit kina di
Amerika Selatan dan membawanya ke Jawa.
Haskarl kembali dari Andes dengan membawa
75 pohon kina yang masih kecil. Setelah Haskarl adalah terutama
Junghuhn , yang mengembangkan penanaman kina itu.
Pada tanggal 17 Desember 1955 di bawah
pimpinan Dr. Junghuhn dan dengan biaya pemerintah dimulailah
percobaan-percobaan penanaman kina di daerah Pengalengan, suatu daerah
yang mirip benar dengan daerah asal kina di daerah tropis Amerika
Selatan.
Dalam tahun 1858 dengan semangat
menyala-nyala dan menguasai pengetahuan tanah dan iklim, yang pada waktu
itu umumnya masih sangat kurang, ia meneruskan kerjanya di Cinyiruan
Kabupaten bandung tersebut tadi. Usahanya tidak sia-sia belaka,
pengalaman memperlihatkan bahwa Junghuhn dengan tepat memilih daerah
pegunungan yang sangat baik untuk penanaman kina. Dari Cinyiruan-lah
dimulainya perkembangan usaha penanaman kina di Indonesia.
Antara kina hasil hutan yang selama 250 tahun terdapat secara liar di pegunungan Andes, di sekitar hulu sungai Amazone dan perkebunan kina modern, maka Cinyiruanlah merupakan jembatannya.
Berkat penyelidikan di Cinyiruan, kina
itu telah dapat tersimpan untuk keperluan umat manusia. Luas kebun
percobaan itu tidak lebih dari 100 m2. Dari 139 batang pohon kina yang
ditanam, hanya 103 batang saja yang dapat tumbuh dan akhirnya pada
tanggal 1 April 1856 tinggal 40 batang.
Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam
tahun 1858 usaha Junghuhn dilanjutkan dengan tidak memperdulikan susah
payah dan akhirnya ia berhasil membuat kebuh bibit pohon-pohon kina
varitet baik. Dalam tahun 1863 Cinyiruan telah merupakan suatu
perkampungan kecil di tengah-tengah hutan.
Dalam tahun 1864 Dr. Junghuhn meninggal
dunia dan pekerjaanya diteruskan oleh Dr. van Gorkom, terutama dalam
soal penyelidikan kulit kina secara kimia. Selanjutnya van Gorkom
diganti oleh Moens.
Dalam tahun 1900 kebun percobaan di
Cinyiruan dirobah menjadi perusahaan negara perkebunan kina. Pada tahun
itu di Cinyiruan tercatat kurang lebih 900 ha. dengan produksi 500 ton
kulit kina kering. Perlu diketahui pula bahwa Pabrik Kina Bandung (BKF)
didirikan pada tahun 1899 dan sekarang diberi nama Bhineka Kina Farma.
Selama beberapa puluh tahun terakhir
sebelum perang dunia kedua produksi kina beralih ke pulau Jawa,
sedangkan kebutuhannya terus meningkat. Di sini kita menemui kejadian
yang unik dimana Indonesia menjadi pemegang monopoli dari produksi dunia
atas kina.
Dengan perusahaan sendiri di dekat
Pengalengan dan Lembang, pemerintah telah berhasil merintis jalan yang
telah dilaksanakan oleh seorang Haskarl dan Junghuhn. Pada waktu aksi
komersialisasi dimulai oleh para pengusaha Swasta dalam tahun 1877
mereka menemui sebentar kesulitan-kesulitan.
Kebutuhan kina sebanyak 600 ton setahun
membuktikan bahwa penanaman kina itu jangan merupakan masa produksi,
sehingga penanaman membutuhkan perhitungan secara saksama bila ingin
melaksanakannya secara besar-besaran, meskipun harga pasaran pada waktu
itu sangat menarik. Penanaman besar-besaran dengan tiada perhitungan
akan mengakibatkan overproduksi.
Perlu diketahui bahwa dahulu pengolahan
kulit kina menjadi obat dilakukan di luar Indonesia, terutama di Jerman.
Dengan demikian harga kulit kina itu diserahkan kepada permainan
pengusaha pabrik yang bersangkutan.
Dengan didirikannya Bandoengse Kinine
Fabriek di Bandung keadaan tadi berubah. Kulit kina dapat diolah menjadi
kina sulfaat. Dengan perkembangan seperti diuraikan tadi pulau Jawa
dapat mencapai produksi kina sampai 95% dari kebutuhan dunia.
Dalam tahun 1923 di Indonesia diusahakan
140 perkebunan kina dengan luas tanaman 18.000 ha. Dari jumlah tersebut
128 perkebunan terdapat di pulau Jawa.
Dalam tahun 1940 di Jawa Barat terdapat
51 perkebunan kina dengan luas areal kurang lebih 17.000 ha. Dalam tahun
1955 terdapat 45 perkebunan kina dengan luas areal kurang lebih 6810
ha. Akhirnya pada tahun 1967 di Jawa Barat hanya terdapat areal tanaman
kina kurang lebih 2290 ha saja.
***
Andai diberi kesempatan, walaupun akan
sulit mengingat kondisi kesehatan dan kesibukanku sekarang, aku akan
sangat berbahagia apabila bisa mengunjungi kawasan Kabupaten Bandung,
khususnya Cinyiruan yang memiliki peran dalam menyelamatkan jutaan nyawa
di dunia berkat kina yang dihasilkannya.
Nasib kurang baik melanda tanaman kina
akhir-akhir ini. Pascakemerdekaan (1945), jumlah perkebunan kina di
Jabar menurun pesat. Antara lain disebabkan karena banyak perkebunan
mengganti kina ke tanaman lain yang dinilai lebih menguntungkan secara
ekonomis. Luas perkebunannya menyusut dari tahun ke tahun, hingga
mungkin saja nantinya tanaman kina hanya ada di buku-buku sejarah atau
buku semacam “Memperkenalkan Kabupaten Bandung Pusat Parahiangan” ini untuk mengenang kejayaan masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar