A.E. Dumatubun
(Staf Dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih)
A. PENDAHULUAN
Pemilihan aspek pengetahuan dan perilaku
seksual, dalam kebudayaan di Papua, khususnya suku bangsa
Marind-Anim sebagai obyek kajian dalam studi ini dilakukan atas dua
alasan pokok. Alasan pertama berupa alasan teori dan alasan kedua berupa
alasan praktis. Adapun alasan pertama didasarkan pada asumsi bahwa
aspek perilaku seksual, sangat erat dengan aspek budaya lainnya,
sehingga pemahaman tentang kebudayaan dapat dicapai melalui pengkajian
aspek pengetahuan dan perilaku seksual. Sedangkan alasan kedua berupa
alasan praktis ialah belum banyak studi tentang kebudayaan Papua
khususnya suku bangsa Marind-Anim yang menjadikan aspek pengetahuan dan
perilaku seksual sebagai tema khusus dalam kajian-kajiannya. Pemahaman
tentang aspek pengetahuan dan perilaku seksual, suku bangsa Marind-Anim
sangat penting sebab berguna bagi kebijaksanaan pembangunan di bidang
kesehatan terutama didaerah-daerah yang menjadi sasaran pengembangan
kesehatan, yang berhubungan dengan penyakit menular seksual.
Pada abad ke-20 ini para ahli antropologi
mulai lebih kritis melihat secara sempurna ciri-ciri kunci antara
hubungan studi etnografi daerah-daerah dengan masalah pengembangan “big man”,
sistem perubahan kompetisi, kekerabatan, dan heterosexualitas yang
berhubungan dengan “seorang pemimpin besar” (Lindenbaum, 1984, 1987;
Feil 1987:ch.7; Herdt 1984a; Whitehead 1986; Godelier dan Strathern
1991). Kajian ini membuat para ahli antropologi mulai melihat daerah
di sebelah selatan New Guinea (Papua) menjadi suatu perhatian tentang
masalah seksualitas ditinjau dari sesi antropologi. Daerah ini dilihat
sebagai pusat wilayah “homoseksual” dimana penduduknya dikategorikan
sebagai “masyarakat homoseksual” (Feil 1987:ch.7; Lindenbaum 1984,
1987;cf. Herdt 1984a, 1991). Praktek nyata homoseksual dari beberapa
peristiwa khusus masyarakat dapat dikategorikan sebagai tindakan
utama dari kebiasaan, adat istiadat serta kepercayaan di sebagian
besar wilayahnya. Sebagai fakta, sebagian besar penduduk di sebelah
selatan New Guinea (Papua) termasuk masyarakatnya, dimana praktek seks
berupa homoseksualitas dijadikan sebagai bagian dari upacara adat.
Hal ini dapat dilihat disepanjang pantai selatan New Guinea (Papua),
bahwa upacara adat yang berhubungan dengan heteroseksual sangat merata
pada upacara homoseksualitas atau “boy-insemination” (Knauft 1993:80).
Suatu hasil kerja yang penting dari
Gilbert Herdt (1981, 1984a, 1991, 1992) menggambarkan secara khusus
tentang adat istiadat homoerotik pada orang Melanesia. Ia
menggambarkan bahwa homoseksualitas pada orang Melanesia berbeda secara
adat istiadat dan kepercayaan dengan orang luar, dalam suatu
penelitian yang dilakukan mulai pada tahun 1980. Ia menemukan bahwa
hubungan seks sebelum menikah yang menjurus pada heteroseksual itu
berkembang secara luas bila dibandingkan dengan orientasi hubungan seks
secara homoseksual. Herdt menegaskan bahwa kepercayaan-kepercayaan dan
kegiatan nyata homoseksual dan homoerotik merupakan pusat perhatian
khusus kajian antropologi. Hal ini karena analisa penting tentang adat
istiadat serta kepercayaan orang Melanesia telah banyak dikaji oleh
ahli antropologi dalam beberapa periode yang lampau. Lebih jauh Foucault
(1980a:154) dan Hence menegaskan bahwa varian-varian dari kegiatan
seksual dan hubungan gender sebagai suatu dimensi yang besar dari
formasi sosio-kultural. (Knauft 1993:8). Dalam analisis Bruce M.
Knauft (1993:45) menganggap bahwa aktivitas homoseksual laki sebagai
suatu konsep termasuk dalam pandangan perubahan kompetisi,
desentralisasi kepemimpinan, perkawinan tukar yang terbatas, dan
rendahnya status perempuan.
Herdt’s (ed.1984)
menegaskan bahwa inisial pada upacara homoseksualitas di selatan New
Guinea (Papua), merupakan suatu fakta, bahwa homoseksualitas pada
orang Melanesia sudah tertanam dalam
jangka waktu lama di dalam kebudayaan
mereka. Lindenbaum (1984:342) memposisikan masyarakat Pegunungan Tinggi
dan dataran rendah di New Guinea (Papua) dengan kebudayaan
Melanesia, dimana ia kemukakan bahwa “kelompok semen” atau “kelompok air mani” dari kebudayaan dataran rendah dan pegunungan tinggi dalam beberapa “semen”
atau “air mani” itu tidak mengisi aktivitas upacara dalam kehidupan. Ia
menekankan bahwa ”kelompok semen” atau “kelompok air mani” dalam
perilaku homoseksual laki muncul dalam upacara inisiasi dan
masyarakat dengan heteroseksual di belahan tengah dan barat pegunungan
tinggi, pada perubahan “air mani / semen”. (Lindenbaum 1987: 222).
Analogi dari Schiefenhovel (1990:415) mengkategorikan sebagai “sperm cultures”
atau “budaya sperma” seperti pada masyarakat Melanesia
dengan bentuk praktek upacara homoseksualitas. Lindenbaum (1987) juga
berpendapat bahwa “masyarakat homoseksual” ada pada masyarakat di
selatan New Guinea (Papua), demikian pula dengan Herdt (1991: 606)
juga telah menetapkannya demikian.
Lebih jauh Herdt (1984a) menulis satu volume khusus tentang “Ritualized Homosexuality in Melanesian”
menempatkan suatu konsep yang lebih tepat sebagai suatu gelar bagi
dimensi ritual tentang praktek homoseksual. Homoseksual pada orang
Melanesia digariskan sebagai kosmologi yang baik sebagai suatu
orientasi erotik , tugas kepercayaan kehidupan yang kuat bahwa
insiminasi seks selalu mengikuti perkembangan seorang anak laki menjadi
dewasa. Praktek homoseksual selalu dilakukan bersamaan dalam praktek
ritual, khusus sebagai pelopor dalam upacara inisiasi laki-laki dalam
konteks budaya keperkasaan laki, dan menjadi suatu kegiatan yang
universal dalam lingkaran kehidupan laki-laki pada Masyarakat Melanesia,
khususnya juga di sebelah selatan New Guinea (Papua) (lihat Herdt
1984a, 1987a:ch.7, 1987b, 1991:pt.2).
Konsep Herdt tentang homoseksual orang
Melanesia sebagai suatu upacara sangat penting, karena terjadi suatu
transmisi aktual tentang “semen” atau “air mani” dalam suatu
upacara orgasmus , dan dipertegas oleh Dundes (1976, 1978) bahwa birahi
homoseksual mewujudkan tingkah laku seksual secara nyata. Sejauh ini
praktek homoseksual yang ada pada “boy-insemination juga
dinyatakan sebagai upacara homoseksual. Umumnya, upacara homoseksual
terdapat pada suku bangsa-suku bangsa di sebelah pantai selatan New
Guinea (Papua) antara Pantai Kasuari Asmat, Kolepom, Marind-Anim dan
beberapa tempat di sungai Fly (Papua Niguni/PNG) dalam (Knauft 1993:
49-50).
Bruce M. Knauft (1993: 51-53)
mengemukakan bahwa hubungan tidak sah dalam bentuk persetubuhan secara
heteroseksual sebelum menikah atau penerimaan upacara heteroseksual
itu nyata ada pada semua wilayah kebudayaan Papua di daerah pantai
selatan New Guinea (Papua). Kebanyakan dari praktek heteroseksual
sangat tinggi dalam kegiatan upacara, sebagaimana dikemukakan berikut
ini:
(a) Diantara orang
Purari, persetubuhan sebelum menikah selalu diupacarakan secara
rutin dan inti dari upacara ini yaitu pengelompokkan antara laki dan
perempuan. Upacara heteroseksualitas, khusus dinyatakan dalam
keberhasilan mengayau dan penerimaan gelang tangan kerang dari
pasangan seksual perempuan (Williams 1924:211-214; Holmes 1924:172,175)
(b) Dikalangan orang Kiwai,
persetubuhan ditegaskan untuk menghasilkan cairan seksual guna
meningkatkan kesuburan. Persetubuhan dilakukan dengan siapa saja.
Dalam hubungan seksual, yang pada initinya lebih penting dalam ritual kesuburan, mouguru, dan digabungkan dengan peristiwa lain yaitu dengan pengelompokan heteroseksual (Landtman 1927:ch.24).
Upacara persetubuhan juga dilakukan oleh suami dan isteri yang tua
guna menghasilkan cairan seksual di dalam kepentingan spiritual
yang lain.
(c) Pada orang Marind,
persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak terdapat pada
upacara, beberapa pesta adat besar untuk maksud meningkatkan
kesuburan (van Baal 1966: 808-818). Beberapa dari upacara seksual ini
dilakukan oleh lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat
berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan
dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South Pacific Commission (1952-1953, 1955)
menyatakan bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara
heteroseksualitas mengakibatkan adanya suatu tingkatan yang tinggi
dalam sterilisasi, terutama pada wanita Marind di jaman sebelum
kolonial (lihat Vogel dan Richens 1989). Orang Marind, biasanya
sebelum menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah pada rumah laki
dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal, dalam suatu
pesta yang berhubungan dengan upacara seksual. Hal ini selalu dikaitkan
dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan kesuburan adalah
sangat penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan kesuburan,
kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari kegiatan
pengayauan, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan hubungan
seksual selalu dilakukan. Upacara hubungan seks (otiv bombari)
dilakukan secara religius. Dalam peristiwa perkawinan, biasanya calon
penganten perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan
sepuluh laki-laki dari kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada
suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus
diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur (Overweel,
1993:15)
(d) Diantara penduduk Trans
Fly, upacara homoseksual, biasanya dilakukan dengan menukarkan
istrinya kepada laki-laki lain, itu menjadi kenyataan (Williams
1936: 24,159-160).
(e) Pada orang Kolepom, hubungan
seksual dalam upacara, biasanya antara seorang laki yang sudah
menikah dengan seorang perempuan puber yang memasuki masa dewasa dalam
suatu inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu pelengkap dalam upacara
inisiasi untuk membuktikan bahwa ia telah dewasa. Sedangkan hubungan
seks secara heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja diantara
wanita yang telah menikah, setelah mengakhiri suatu kegiatan pesta
kematian, dan kegiatan mengayau (Serpenti 1968,1977, 1984)
(f) Dikalangan orang
Asmat, terjadi penukaran istri dengan lelaki yang disenangi,
kadang-kadang dalam jumlah kecil pada suatu upacara. Secara umum
persetubuhan secara heteroseksual bebas dengan wanita pilihannya,
yang menghias dirinya dalam mengikuti kegiatan mengayau. Di lain pihak
hubungan seks terjadi setelah laki-laki bebas dari rumah
laki-laki, dan pada saat diadakan pengukiran patung nenek
moyang (bis), (Zegwaard dan Boelaars 1982: 21-23; Eyde 1967: 205-210;
Schneebaum 1988: 83; Kuruwaip 1984: 14; Sowada 1961: 95; van Kampen
1956: 73-76).
Bukan saja alasan-alasan teori
seperti tersebut di atas yang menjadi sebab untuk melakukan studi ini,
karena ada juga alasan-alasan yang bersifat lebih praktis. Dengan
didasarkan pada pengetahuan, dan perilaku seksual
dan lebih menjurus pada praktek-praktek ritual , struktur sosial,
serta aktivitas-aktivitas pesta dan status kepemimpinan berdasarkan
kegiatan pengayauan menurut struktur kebudayaan, membawa pada pertanyaan
pokok: “Bagaimana bentuk perilaku seksual suku bangsa Marind-Anim”?
Pertanyaan-pertanyaan ini menimbulkan pertanyaan seperti; bagaimana
suatu sistem perilaku seksual terbentuk serta berfungsi dan
faktor-faktor apa yang turut mendukungnya sehingga perilaku seksual
tersebut berkembang. Dengan didasarkan pada alasan-alasan tersebut
yang telah dikemukakan di atas, maka studi ini bertujuan memberikan
suatu deskripsi dan penjelasan tentang sistem pengetahuan, dan perilaku
seksual yang ada pada suku bangsa Marind-Anim berkenaan dengan
berkembangnya penularan PMS dan HIV/AIDS yang semakin tinggi di
Papua khususnya di kabupaten Merauke.
B. KONSEP KEBUDAYAAN DAN PERILAKU SEKSUAL
Sub disiplin antropologi kesehatan
boleh dikatakan masih relatif muda dibandingkan dengan usia disiplin
antropologi sendiri, namun sejak munculnya spesialisme ini hingga
sekarang telah dikembangkan sejumlah model analisis untuk mengkaji
fenomena kesehatan. Sejak awal tujuan utama dari sub disiplin ini ialah
mengembangkan pemahaman fenomena kesehatan dalam kerangka kebudayaan
tertentu, artinya apa makna serta fungsi kesehatan sebagai salah satu
aspek budaya yang membentuk suatu kebudayaan. Hingga kini telah
dikembangkan pendekatan atau model analisis dalam kajian kesehatan
khususnya seksualitas, yang antara lain adalah dengan pendekatan
analisis kebudayaan; model evolusi; model struktural-fungsionalisme;
model konflik; dan model interaksi simbolik. Penjelasan yang lebih rinci
tentang pendekatan-pendekatan dan model analisis tersebut banyak
dilakukan oleh ahli-ahli antropologi dan sosiologi. Dalam rangka studi
seksualitas ini, dipilih dua pendekatan, yaitu pendekatan kebudayaan dan
pendekatan struktural-fungsionalisme. Pemilihan dua pendekatan ini
didasarkan atas sifat studi ini sendiri, yaitu studi tentang
pengetahuan, dan perilaku seksualitas untuk memahami dan mempelajari
dimensi masyarakat tentang seksualitas.
Sebelum menjelaskan
pendekatan-pendekatan tersebut di atas ada baiknya terlebih dahulu
menjelaskan konsep yang menjadi konsep dasar dalam pendekatan ini.
Konsep seksualitas seperti yang dijelaskan (Kottak, 1979:249-250;
Bock,1979:85-92; Howard,1993:171-180; Gross,1992:333-342;
Ferraro,1995:222-238) yang dikaji berdasarkan analisa Scholars,
bahwa ekspresi seksual itu ditentukan oleh faktor biologi, dimana
terjadi perbedaan keseimbangan hormon heteroseksual dari homoseksual.
Tetapi semua kebudayaan dimana nilai homoseksual melebihi
heteroseksual, kadangkala ada pada beberapa orang dalam waktu dan
tempat tertentu, berdasarkan karakteristik hormon yang abnormal.
Perbedaan antara pilihan seksual dan tingkah laku seksual tergantung
pada perbedaan lingkungan alam dan kebudayaan bukan pada variasi
biologi. Studi yang dilakukan oleh Clellan S. Ford dan Frank A. Beach
(1951) di dalam studi lintas kebudayaan “Patterns of Sexual Behavior”,
menemukan bahwa suatu variasi yang luas dalam bentuk-bentuk seksual
terdapat dalam kebudayaan. Untuk dapat memahami bagaimana refleksi
praktek seksual dipelajari, kami dapat berhubungan dengan variasi
sosio-kultural dalam sikap tentang masturbasi, interspecific sex, dan homoseksualitas. Suatu keputusan sosial tentang homoseksual, masturbasi dan sifat interspecific sex
dalam kebudayaan itu berbeda satu sama lainnya. Menurut beberapa ahli,
(Ford, Beach, Howard, Ferraro, Gross, Bock), bahwa sebagian besar
perilaku homoseksual tinggi di kalangan perempuan berdasarkan
kebudayaan.
Dengan didasarkan pada beberapa
pendapat para ahli tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa faktor
seksualitas tidak hanya ditentukan oleh kematangan biologis saja, tetapi
faktor kebudayaan dan lingkungan sangat besar pengaruhnya dalam
menentukan perilaku seksual individu-individu terutama dalam perilaku
homoseksual, heteroseksual, masturbasi, dan sifat interspecific sex.
Berdasarkan konteks kebudayaan dalam membentuk perilaku seksual
individu-individu penyandang kebudayaannya, maka perlu dianalisis
bagaimana interpretasi perilaku seksual dilihat berdasarkan pendekatan
kebudayaan. Dalam model analisis kebudayaan lebih ditekankan pada
“ideasionalisme” (ideationalism) (Keesing,1981; Sathe,1985). Berbicara
tentang perilaku seksual menurut kebudayaan, maka unsur pengetahuan
merupakan dasar utama pada perilaku seksual individu. Pengetahuan
merupakan unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang
sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dari pengetahuan tersebut
akan melahirkan berbagai dorongan naluri seperti halnya dorongan sex
yang timbul pada tiap individu yang normal tanpa terkena pengaruh
pengetahuan, dan memang dorongan ini mempunyai landasan biologi yang
mendorong mahluk manusia untuk membentuk keturunan guna melanjutkan
jenisnya (Koentjaraningrat,1980:117-124). Hal ini secara kebudayaan
didukung dalam satu sistem kognitif seperti dikemukakan oleh
(Goodenough, dalam Casson, 1981:17) bahwa kebudayaan adalah suatu
sistem kognitif, itu berarti suatu sistem yang terdiri dari
pengetahuan, kepercayaan, dan nilai dan yang berada dalam pikiran
anggota-anggota individu masyarakat. Bila dikaji lebih lanjut, hal ini
berarti kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”
atau kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota
masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi,
perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata
dalam masyarakat.
Lebih jauh (Sathe, 1985:10) sebagai
penganut ideasionalisme mengemukakan bahwa “ kebudayaan terdiri dari
gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi penting yang dimiliki suatu masyarakat
dan mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan perilaku
anggota-anggotanya”
Pada gilirannya dilandasi pada
pemahaman budaya dengan berbagai konsep seperti “dimensi kognitif”,
“pengetahuan”, “materi ideasional” atau “fenomena mental” yang
dikemukakan oleh Goodenough, Keesing dan Moore, Barth dan Vayda (dalam
Borofsky, 1994) itu terwujud dalam aktivitas individu atau kelompok.
Perwujudan budaya dalam praktek dimaksudkan bahwa ide, pengetahuan,
keyakinan, nilai, tujuan dan keinginan akan membimbing dan menentukan
tindakan setiap pelaku seksual yang pada gilirannya bisa membawa akibat
yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Teori yang berkaitan dengan
idesionalisme menekankan konsep utama adalah kebudayaan, bukan perilaku,
tetapi perilaku merupakan konsekuensi logis yang tidak terpisahkan dari
kebudayaan. Bila dikaitkan dengan pendapat James P. Spradley
(1997-11), seorang aliran antropologi kognitif menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh, yang
digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan
melahirkan tingkah laku sosial sekeliling mereka, dan sekaligus
untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling
mereka. Ini berati bahwa dengan membatasi defenisi kebudayaan dengan
pengetahuan yang dimiliki bersama, kita tidak menghilangkan perhatian
pada tingkah laku, adat, objek, atau emosi. Sedangkan konsep
kebudayaan sebagai sistem simbol yang mempunyai makna banyak, mempunyai
persamaan dengan interaksionisme simbolik, sebuah teori yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna interaksionisme simbolik
berakar dari karya Cooley, Mead, dan Thomas. Berdasarkan hal tersebut
maka Blumer (1969) (1997:6-8) mengidentifikasikan tiga premis sebagai
landasan teori, yaitu (1) premis pertama, manusia melakukan berbagai hal
atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu bagi mereka.
Misalnya para pelaku seksual melakukan berbagai hal atas dasar makna
yang terkandung dalam berbagai hal itu kepada mereka, dimana orang
bertindak terhadap berbagai hal itu, tetapi terhadap makna yang
dikandungnya; (2) premis kedua, yang mendasari interaksionisme
simbolik adalah bahwa makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul
dari interaksi seseorang dengan orang lain. Berarti kebudayaan sebagai
suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki,
dipertahankan dan didefenisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.
Seksualitas mempunyai defenisi yang sama mengenai tingkah laku
seksualitas melalui interaksi satu sama lain dan melalui hubungan dengan
perilaku seksualitas dimasa lalu. Hal ini berarti budaya masing-masing
kelompok dalam perilaku seksual, terikat dengan kehidupan sosial
komunitas mereka yang khas; (3) premis ketiga, dari interaksionisme
simbolik adalah bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui
suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya
dengan berbagai hal yang dihadapi. Ini berarti perilaku seksual
dilakukan dengan menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasi situasi
seksualitas tersebut. Pada suatu saat seseorang akan menginterpretasikan
perilaku seksual itu berbeda dengan cara yang agak berbeda sehingga
memunculkan reaksi yang berbeda pula. Dapatlah dilihat aspek penafsiran
perilaku seksual itu secara lebih jelas apabila kita menganggap
kebudayaan sebagai suatu peta berulang-ulang dalam kehidupan
sehari-hari. Peta kognitif berperan sebagai pedoman untuk bertindak dan
menginterpretasikan pengalaman, dan tidak memaksakan untuk mengikuti
suatu urutan tertentu. Dengan demikian kebudayaan memberikan
prinsip-prinsip untuk menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap
perilaku seksual di kalangan individu-individu dalam suatu masyarakat
penyandang kebudayaannya.
Untuk lebih memahami perilaku seksual
secara struktural dan fungsional berdasarkan pemahaman kebudayaan
masyarakat, suatu pendekatan yang perlu digunakan untuk mengkaji
masalah pengetahuan dan perilaku pada suku bangsa Marind-Anim, yaitu
dengan pendekatan Struktural-Fungsional. Model-model analisis
atau pendekatan bagi studi antropologi kesehatan diletakkan pada
gagasan-gagasan yang berasal dari tokoh-tokoh struktural-fungsionalisme
Radcliffe-Brown dan Malinowski. Radcliffe-Brown melihat struktur sosial
sebagai jaringan hubungan dari relasi-relasi yang nyata ada antar
individu atau kelompok dalam masyarakat (Baal, 1987:91-98). Dalam
hubungan dengan seksualitas, pendapat demikian adalah bahwa tingkah laku
seksual merupakan satu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan
oleh hubungan-hubungan antara individu sehingga dengan demikian tingkah
laku seksual merupakan bagian dari struktur masyarakat. Dengan kata lain
pemahaman tentang pengetahuan dan perilaku seksual termasuk dalam
pengetahuan tentang mekanisme perilaku sosial atau akan terwujudnya
tindakan sosial dan tatanan sosial untuk memahami realitas bersama
seperti dikatakan oleh Clifford Geerzt, (1989:75). Budaya merupakan
pabrik pengertian, dengan apa manusia menafsirkan pengalaman dan
menuntun tindakan mereka; struktur sosial ialah bentuk yang diambil
tindakan itu, jaringan hubungan sosial. Jadi budaya dan struktur sosial
adalah abstraksi yang berlainan dari fenomena yang sama.
Selanjutnya Malinowski memberikan
penekanan pentingnya arti elemen satu terhadap elemen-elemen budaya
lainnya dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti bahwa setiap unsur atau
setiap aspek mempunyai fungsi-fungsi dalam hubungannya dengan unsur atau
aspek lainnya dalam kerangka kebudayaan tertentu. Akibatnya, bila
terjadi perubahan, yang terjadi pada satu unsur dari organisasi sosial
dalam rangka penegakan tatanan sosial (Baal, 1989:49-51). Menurut
pendekatan ini jika hendak memahami suatu bagian atau struktur tertentu
maka kita harus melihat fungsi-fungsinya terhadap keseluruhan sistem.
Model ini tidak mempersoalkan sejarah terbentuknya “suatu kebiasaan atau
praktek dalam masyarakat akan tetapi yang dilihat adalah
konsekuensinya” bagi kehidupan dan perkembangan masyarakat
seperti apa yang dikemukakan oleh Spencer dan Durkheim
(Muzaham,1995:9-10). Hal ini berarti bahwa segala praktek serta
struktur dalam masyarakat mempunyai manfaat tertentu bagi kelangsungan
hidup suatu kelompok sosial. Misalnya dalam tatanan adat bahwa budaya
perilaku seksual homoseksual dan heteroseksual pada orang Marind-Anim
berkaitan dengan fungsi dan struktur sosial masyarakat khususnya dalam
simbol kesuburan, dan keperkasaan, itu bisa berubah, akibatnya
keseimbangan struktur dan fungsi sosial secara adat akan terganggu dan
ini bisa tertata kembali secara otomatis.
- GAMBARAN BEBERAPA KASUS SEKSUALITAS DI PAPUA
Kebanyakan studi antropologi mengenai
masyarakat pedesaan menggunakan metode etnografi yang hampir sebagian
besar digunakan oleh para ahli antropologi untuk dapat memahami
kebudayaan masyarakat yang diteliti. Holmes John H. (1924: 172, 175) In
Primitive New Guinea: An Account of a Quarter of a Century Spent
Amongs the Primitive Ipi and Namau groups of Tribes of the Gulf of
Papua, with an Interesting description of their Manner of Living,
their Customs and Habits, Feasts and Festivals,Totems and Cults.
London: Seeley Service. Penelitian tersebut merupakan kajian etnografi
yang mendeskripsikan tentang kelompok primitif Ipi dan Namau di
teluk Papua. Penekanannya pada persoalan kehidupan dan perilaku seksual
(heteroseksual), adat istiadat dan kebiasaannya, pesta-pesta dan
festival-festival, totem dan yang berhubungan dengan perilaku
kebudayaan, terutama dalam aktivitas pesta-pesta serta kehebatan dalam
mengayau.
Williams, Francis E., (1924: 211-214) The Natives of the Purari Delta. Territory of Papua, Anthropology Report No.5.
Port Moresby: Government Printer. Penelitian tersebut merupakan
penelitian etnografi pada penduduk asli Delta Purari. Lebih banyak
mendeskripsikan kondisi kebudayaan yang berhubungan dengan orang
Purari, persetubuhan sebelum menikah yang dikaitkan dengan upacara
secara rutin. Pokok upacara heteroseksual khusus digarap secara cermat
dengan mengikuti tingkat keberhasilan dalam mengayau dan termasuk
perolehan nilai gelang tangan kerang dari pasangan hubungan seksual
perempuan. Williams, Francis E. (1936:24,159-160). Papuans of the Trans-Fly,
Oxford: Clarendon Press. Dalam penelitian etnografi ini, Williams
mendeskripsikan penduduk yang berada di daerah Trans-Fly sebelah selatan
Papua Niguni. Dalam salah satu bagian, dikemukakan tentang
bagaimana situasi homoseksual yang dijalankan oleh penduduk
berdasarkan konsep kebudayaan. Penduduk Trans Fly, melakukan hubungan
seksual berdasarkan hubungan upacara homoseksual dengan suka sama
suka, dan istrinya bisa ditukarkan kepada laki-laki lain untuk
berhubungan seksual, dan itu menjadi kenyataan.
Landtman, Gunnar (1927:ch.24). The Kiwai Papuans of British New Guinea: A Nature-born Instance of Rousseau’s Ideal Community.
London. Macmillan (Reprinted, 1970, Johnson Reprint Co). Penelitian
tersebut merupakan penelitian etnografi pada orang Kiwai di Papua
Niguni yang menggambarkan situasi hubungan seks lebih banyak mengarah
pada aktivitas kebudayaan. Pengungkapan secara nyata tentang perilaku
seks berdasarakan kebudayaan masyarakat tersebut dinyatakan secara
detail. Persetubuhan dilakukan dengan siapa saja dan ditegaskan
terutama untuk menghasilkan cairan seks (sperma) guna meningkatkan
kesuburan. Dalam hubungan seksual, ini lebih penting dalam ritual
kesuburan, mouguru. Upacara persetubuhan juga dilakukan oleh
suami dan isteri yang tua bertujuan untuk menghasilkan cairan sperma
untuk maksud perluasan spiritual.
Baal, Jan van (1966: 808-818). Dema: Description and Analysis of Marind-Anim Culture (South New Guinea), The Hague. Dalam penelitian etnografi ini, Jan van Baal mendeskripsikan dan menganalisa Dema
dalam konteks kebudayaan orang Marind-Anim di selatan Papua. Lebih
jauh dijelaskan dalam salah satu bagian tentang konsep seks
heteroseksual yang ada dalam kebudayaan orang Marind-Anim dengan
penekanan pada persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah
banyak terdapat pada upacara dan beberapa pesta adat besar untuk maksud
peningkatan kesuburan. Beberapa dari upacara seksual ini
dikelompokkan pada kaum lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan
dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan
dalam mengayau dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari
A South Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan
bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara heteroseksualitas membuat
suatu tingkat tertinggi dari bentuk sterilisasi wanita Marind-Anim
pada jaman sebelum kolonial.
Serpenti, Laurent M (1968) Headhunting and Magic on Kolepom (Frederik-Hendrik Island, Irian Barat) Tropical Man 1:116-139.
Dalam penelitian etnografi ini lebih ditekankan pada kebudayaan
mengayau pada orang Kolepom, dimana kehebatan seseorang dalam mengayau
akan dinyatakan dalam upacara dan pada saat itu dapat berhubungan seks
secara heteroseksual dengan wanita yang telah menikah atau wanita yang
telah memasuki masa puber dan dilakukan dalam upacara inisiasi.
Serpenti, Laurent M (1984). The Ritual Meaning of Homosexuality and
Pedophilia among the Kimam-Papuans of South Irian Jaya. In Ritualized
Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.292-336.
Berkeley: University of California Press. Dalam penelitian etnografi
ini Serpenti lebih menekankan pada arti upacara homoseksual dan
pedohilia diantara orang Papua Kimam. Di sini digambarkan bahwa
persetubuhan dalam upacara seksual antara seorang laki yang sudah
menikah dengan seorang perempuan puber yang memasuki masa dewasa
dalam kegiatan inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu pelengkap dalam
upacara inisiasi untuk membuktikan masa kedewasaan perempuan. Sedangkan
hubungan seks secara heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja
bagi wanita yang telah menikah, dalam akhir dari kegiatan suatu pesta
kematian, dan dalam akhir kegiatan mengayau.
Zegwaard, Gerard A. dan J.H.M.C. Boelaars (1982:21-23). Social Structure of the Asmat People. (Annotated
translation by Frank A. Trenkenschuh and J. Hoggebrugge of “De Sociale
Structuur van de Asmat-bevolking”) dalam An Asmat Sketch Book No.1. Edited by Frank A. Trenkenschuh, pp.13-29.
Hastings, NE: Crosier Missions. Dalam penelitian etnografi ini
dijabarkan secara deskriptif tentang struktur sosial orang Asmat. Di
dalamnya disajikan uraian tentang bagaimana hubungan seks secara
heteroseksual yang berkaitan dengan status seseorang dalam
kepemimpinannya. Kehebatannya dalam mengayau sebagai simbol
keperkasaannya, sehingga dapat berhubungan seks secara bebas dengan
menukarkan istri, atau dengan laki-laki yang disenangi (bagi wanita).
Di antara orang Asmat, terjadi penukaran istri dalam pesta Papiis kadang
dalam skala kecil suatu upacara. Secara umum persetubuhan secara
heteroseksual bebas dengan pilihan wanita yang menghias dirinya guna
mengikuti kegiatan pengayauan, atau laki-laki sesudah lulus dari
rumah laki-laki, dan pada saat diadakan upacara pengukiran patung nenek
moyang (bis).
Eyde, David B. ( 1967: 205-210) Cultural Correlates of Warfare among the Asmat of South-West New Guinea. Ph.D dissertation,
Departement of Anthropology, Yale University. New Haven. CT.
Dalam penelitian etnografi ini dideskripsikan korelasi kebudayaan
tentang peperangan pada orang Asmat di selatan Papua. Dalam salah satu
bagian dijelaskan tentang hubungan peperangan dengan hubungan seks
secara heteroseksual. Konsep kepemimpinan membawa status seseorang untuk
dinilai lebih hebat dan dapat berhubungan seks secara bebas dengan
wanita lain yang disenangi atau istri orang lain yang disenangi.
Schneebaum, Tobias (1988: 83). Where the Spirits Dwell: An Odyssey in the New Guinea Jungle.
New York: Grove Weidenfeld. Dalam penelitian etnografi ini
dideskripsikan tentang dimana roh itu tinggal, sebuah pengembaraan di
hutan Papua. Di salah satu bagian dijabarkan tentang kehidupan roh yang
dikaitkan dengan kosmologi serta status seseorang. Di sini dengan
adanya perubahan sosial tersebut mengundang mereka untuk melakukan
hubungan seks secara heteroseksual dengan perempuan serta ibu-ibu yang
disenangi. Konteks ini lebih menjelaskan pada konsep kebudayaan orang
Asmat dalam kehidupan mereka.
Kuruwaip, Abraham (1984: 14) The Asmat Bis Pole: Its Background and Meaning. In An Asmat Sketch Book No.4. Edited by Frank Trenkenschuh, pp.11-30.
Hastings, NE: Crosier Missions. Dalam penelitian etnografi ini
dideskripsikan tentang latar belakang dan arti dari pada suatu patung Bis pada orang Asmat. Di dalam salah satu bagian dijabarkan bagaimana hubungan upacara pembuatan patung bis
dengan kegiatan heteroseksual. Upacara pembuatan patung bis bagi
orang Asmat akan didahului dengan bentuk upacara yang akan dihubungkan
dengan perilaku seks diantara mereka secara heteroseksual. Sowada,
Alphonse (Msgr.) (1961: 95) Socio-Economic Survey of the Asmat Peoples of Southwestern New Guinea . M.A. Thesis,
Department of Anthropology, Catholic University of America, Washington,
DC. Dalam penelitian etnografi ini dijelaskan tentang sosio-ekonomi
pada orang Asmat di selatan Papua. Dalam uraiannya disajikan juga
aktivitas seks di kalangan orang Asmat dalam kegiatan sosio-ekonominya.
Kampen, A. van (1956: 73-76). Wilkende Wildernis: Onder Kannibalen en Christen-Papoeas’s.
Amsterdam: Uitgeverij C. de Boer, Jr. Dalam penelitian etnografi ini
mendeskripsikan bagaimana keinginan kehidupan rimba raya di bawah
kanibal dan Kristen Papua. Kehidupan budaya dalam konsep kanibal
selalu dikaitkan dengan adanya suatu hubungan seks secara heteroseksual
yang umumnya terdapat pada orang Papua.
Herdt, Gilbert H. (1984a) Ritualized Homosexual Behavior in the Male Cults of Melanesia; (1992), Retrospective on Ritualized Homosexuality in Melanesia: Introduction to the New Edition. In Ritualized Homosexuality in Melanesia, 2nd edn.
Berkeley: University of California Press. Dalam penelitian etnografi
dengan deskripsinya tentang perilaku seksual pada orang Melanesia yang
penekanannya pada dimensi ritual tentang praktek homoseksual.
Homoseksual pada orang Melanesia ditentukan oleh kosmologi secara baik
sebagai suatu orientasi erotik, ditentukan oleh kepercayaan hidup yang
kuat bahwa insiminasi selalu terjadi ketika seorang anak laki memasuki
kedewasaannya. Praktek homoseksual secara reguler dilakukan dalam
praktek ritual khususnya didalam inisiasi kaum laki dalam konteks
pengayauan dan menjadi praktis di dalam lingkaran kehidupan laki-laki
yang ditegaskan dalam masyarakat Melanesia. Studi ini lebih banyak
menyajikan analisa kebudayaan dengan melihat pada aspek seksual secara
ritual dan dideskripsikan dengan analisa etnografi kebudayaan orang
Melanesia.
Bruce M. Knauft (1993), South Coast New Guinea Cultures: History, Comparison, Dialectic,
New York. Cambridge University Press. Dalam penelitian etnografinya,
mendeskripsikan kondisi budaya masyarakat di selatan Papua dengan
studi perbandingan perilaku seksual dari suku bangsa di Papua Niguni
bagian selatan, Asmat dan Marind-Anim dengan analisa karakteristik
regional dan simbolik serta permutasian sosio-politik berdasarkan latar
belakang sejarah dan konfigurasi regional. Analisisnya lebih banyak
didasarkan pada analisa interpretasi etnografi dengan penekanan pada
kebudayaan masyarakatnya.
Kajian kebudayaan yang berhubungan dengan Pandangan, Kepercayaan, Sikap dan Perilaku Seksual (PMS) pada Masyarakat Dani (1997),
yang dilakukan oleh Nico A. Lokobal; G. Yuristianti; Deri M. Sihombing;
dan Susana Srini, melakukan pengkajian dengan menggunakan data
kebudayaan dengan analisa Rapid Assessment Procedures (RAP) atau Rapid
Ethnographic Assessment (REA). Kajian lebih mengarah pada gambaran
kebudayaan masyarakat Dani tentang seksualitas mencakup persepsi, sikap,
kepercayaan dan perilaku yang dihubungkan dengan penyakit menular
seksual. Hasil analisisnya lebih mengutamakan kerangka berpikir
masyarakat berdasarkan konsep kebudayaan mereka.
Penelitian seksual pada suku bangsa Arfak juga dilakukan oleh David Wambrauw dengan judul Perilaku Seksual Suku Arfak
(2001), Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih,
lebih banyak menyoroti latar belakang kebudayaan suku Arfak
dengan pendekatan Rapid Ethnographic Assessment (REA). Analisisnya
ditujukan pada latar belakang kebudayaan suku Arfak khusunya berkaitan
dengan pemahaman mereka tentang perilaku seksual dan ditambah dengan
analisa pemahaman tentang PMS, HIV/AIDS serta bentuk-bentuk industri
seks. Perilaku seksual ini lebih banyak dikaitkan dengan pemahaman
adat-istiadat, faktor penunjang serta jaringan penularan yang
mendukung adanya perilaku seksual yang dapat menimbulkan penyakit
menular seksual serta HIV/AIDS. Hal yang sama dalam penelitiannya
berjudul Perilaku Seks Sebagai Peluang Penularan Penyakit AIDS di Jayapura,
(1994). Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih,
lebih banyak menggunakan observasi langsung ke lokasi-lokasi penelitian
dan dikemukakan kondisi perilaku seks dikalangan wanita penghibur
Non-Papua dan etnis Papua serta menggambarakan lokasi-lokasi
beropersinya penjaja seks. Analisis dikaitkan dengan faktor penunjang
kemungkinan timbulnya PMS, HIV/AIDS secara mudah melalui sarana-sarana
seperti pertumbuhan lokasi prostitusi, migran ulang alik lintas negara,
tingkat pendidikan yang rendah, wanita panggilan, laki-laki pelanggan
seks, serta kondisi ekonomi yang rendah.
Beberapa artikel yang ditulis oleh
Dr. Gunawan Ingkokusuma, MPH, MA yang berjudul “Peranan Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) dalam Penanggulangan Epidemi HIV” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000.
Jayapura, Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.
Tulisannnya lebih menyoroti tentang perkembangan situasi HIV/AIDS di
tanah Papua, faktor-faktor penyebaran epidemi HIV serta peranan Lembaga
Masyarakat Adat dalam nenanggulangi masalah HIV/AIDS di tanah Papua.
Tulisan yang sama tentang HIV/AIDS yang ditulis oleh Dr. La Pona
Msi yang berjudul “Determinan Penanggulangan Penularan HIV/AIDS dalam
Masyarakat Majemuk di Papua” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000.
Jayapura, Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Juga
tulisan yang dikemukakan oleh Drs. John Rahail MKes., dengan berjudul
“Desentralisasi dan Penanggulangan AIDS di Papua” dalam Buletin Populasi Papua.Vol.1,No.3 April 2001.
Tulisannya lebih menyoroti tentang pertumbuhan HIV/AIDS di Papua
dengan melihat pada faktor-faktor pendukung. Kajian yang sama tentang
perilaku seksual juga ditulis oleh Drs. Djekky R. Djoht MKes., yang
berjudul “Perilaku Seksual, PMS dan HIV/AIDS di Kecamatan Sarmi dan
Pantai Timur Tanah Papua” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000.
Jayapura, Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Pendekatan
yang digunakan adalah analisa etnografi dengan model Rapid
Ethnographic Assessment (REA) dan sasaran analisa lebih banyak dikaitkan
dengan konteks kebudayaan yang berhubungan dengan masalah seksual di
kalangan suku bangsa Sarmi. Melihat bagaimana konteks kebudayaan dapat
mendukung perilaku seksual di kalangan masyarakat yang pada akhirnya
dapat merupakan faktor pendukung untuk timbulnya penyakit menular
seksual, HIV/AIDS dengan mudah.
Suatu penelitian tentang Program Seksualitas Orang Papua (The Papuan Sexuality Program ,2002)
yang dilakukan pada tiga kabupaten (Merauke, Jayapura, dan Jayawijaya)
oleh USAID-FHI Aksi Stop AIDS kerjasama Lembaga Penelitian Universitas
Cenderawasih, ed. Leslie Butt, Ph.D. mengahsilkan suatu gambaran tentang
kondisi HIV/AIDS di Papua dengan menggunakan metode Antropologi dan
pendekatan Rapid Anthropological Assessment Procedures (RAAP).
Kajian lebih ditekankan pada kajian etnografi dengan penekanan pada
latar belakang kebudayaan orang Papua yang menjadi sasaran penelitian
seksualitas. Penelitian ini lebih menekankan pada analisa terapan guna
mengatasi masalah HIV/AIDS dengan program AKSI Stop AIDS, melalui aksi
penggunaan kondom. Analisa faktor budaya dan faktor pendukung lainnya
juga dikaji (ekonomi, narkoba, adat-istiadat, pendidikan rendah,
kondisi keluarga/ orang tua cerai dan meninggal) sebagai pendukung
cepatnya meningkat penderita HIV/AIDS melalui perilaku seks bebas.
D. SUKU BANGSA MARIND-ANIM DAN PERILAKU SEKSUAL
Seperti halnya suku bangsa Papua
lainnya, suku bangsa Marind-Anim juga mempunyai konsep seksualitas
berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka. Secara struktural-fungsional,
konsep seksualitas dalam kebudayaannya, memainkan peranan penting dalam
menata aktivitas hidup mereka. Hal ini berarti perilaku seksual
mempunyai makna yang penting dalam kehidupan warganya sesuai
kebudayaan mereka.
D.1. PERILAKU SEKSUAL DALAM MITE NDIWA.
Suku bangsa Marind-Anim
menggambarkan filsafat hidup yang lebih tinggi, dimana mereka menata
dunia ini dan diungkapkan dalam mitologi, upacara, dan praktek magi.
Penataan ini terdapat dalam pembagian mahluk-mahluk menjadi satu susunan
yang rapih, dinamis dalam tatanan hidup (dema – totem – klen). Karena
itu bagi mereka akan terjadi keseimbangan antar kosmos bisa terjaga dan
membawa kesuburan antara lingkungan mistik dan masyarakat. Dalam budaya
Mayo, Imo, Sosom, ada upacara-upacara yang dilakukan secara religius,
yang dimaksudkan untuk menhadirkan roh ilahi yang ada dalam diri Ndiwa. Makna
dari upacara ini salah satunya untuk mendidik kaum pria remaja guna
mendapat kekuatan ilahi dalam menjaga tatanan hidup yang seimbang antara
manusia dan lingkungan. Lambang fisik dari Ndiwa adalah kelapa muda (onggat)
sedangkan roh yang berbicara adalah bunyi meraung yang dihasilkan oleh
Tangg ( benda keramat yang terbuat dari belahan nipah). Dalam
kepercayaan ini, Ndiwa dibunuh lalu dagingnya yang sudah dicampur dengan
sperma hasil sanggama terputus laki-laki dengan perempuan , lalu
dibagikan kepada semua peserta untuk diminum supaya mendapat kekuatan
ilahi. Inti dari upacara ini adalah: (a) inisiasi bagi para remaja
supaya menjadi anggota masyarakat secara penuh; (b) membawa kesuburan
dan dan keseimbangan hidup manusia; (c) mengadakan hubungan dengan para
leluhur.
D.2. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA BAMBU PEMALI (BARAWA)
Bambu Pemali adalah suatu proses belajar seks menurut aliran Mayo. Menurut aliran Mayo, manusia pertama adalah “Geb” yang diberikan tanggung jawab untuk melestarikan alam dengan makan buah Kawalik yang mengembara sampai ke kali Goroka dan mengganti kulit (Ibahu) . Sewaktu mengembara ada tanah (Tanawu Geize) yaitu “setan purba”. Sewaktu tidur ada dewa dari atas yang melindungi kamu, maka diperintahkan oleh Tanawi Geize
untuk menghilangkan dewa dari atas dengan cara mengosok tiang-tiang
rumah dengan sperma agar tidak suci lagi. Pada saat itulah diajarkan
untuk laki-laki dan perempuan berhubungan seks supaya bisa keluar
spermanya melalui hubungan antara “perai” = vagina dengan “ezom” = penis. Melalui perai inilah yang akan melahirkan manusia. Pada saat itulah mereka mulai melakukan hubungan seks secara bebas.
D.3. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA EZAM UZUM
Adat suku bangsa Marind-Anim dalam upacara Ezam Uzum
dalam aliran Mayo, maka setiap hiasan ada hubungan dengan seks. Setiap
melakukan upacara, maka kepala adat atau pemimpin upacara selalu akan
melakukan hubungan seksual dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai
lima orang ibu. Tujuan dari hubungan seksual tersebut guna mendapatkan
sperma, yang akan dipakai dalam kepentingan upacara tersebut, karena
sperma tersebut melambangkan kesucian guna mengusir setan. Biasanya
dikaitkan pula dengan upacara “Yawal” atau “beralih tidak mati”
D.4. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA SUBAWAKUM
Dalam upacara subawakum biasanya semua perempuan memasukkan “bambu gila” atau “welu”
di celah pangkal paha dan dipegang ramai-ramai sepanjang malam .
Biasanya pasangan perempuan dari dua paroh yang berbeda yang memegang
yaitu dari Gebze dan Sami. Kalau klen Sami memegang bambu gila pada
malam hari, maka menjelang hampir siang akan dibantu oleh klen Gebze,
maka terjadilah proses tolong menolong yang disebut “Subawakum”. Akhir dari proses tolong menolong inilah maka terjadilah hubungan seksual dengan penukaran pasangan.
D.5. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA KAMBARA
Menurut aliran Mayo, ada Allah atau “Alawi” yang mengatur keseimbangan. Ada seseorang yang diutus Alawi untuk mengatur alam semesta yaitu seseorang yang disebut “Tik-Anem”.
Tik-Anem menyebarkan epidemi kepada manusia dan binatang yang sudah
tidak seimbang lagi dengan alam semesta, dan akan membunuh manusia yang
sudah berlebihan dalam satu desa dengan menggunakan kekuatan hipnotis.
Biasanya sebelum dibunuh ada peradilan yang diputuskan oleh orang tua
(Zambanem) pada upacara Kambara. Kekuatan yang
dipakai untuk membunuh orang-orang tersebut dengan menggunakan sperma.
Untuk mendapatkan sperma tersebut, maka orang tua yang perkasa dan
kuat akan mengadakan hububngan seksual dengan wanita dari kampung itu.
Jadi seorang wanita bisa bersetubuh dengan lima orang laki-laki perkasa
untuk mengumpulkan spermanya. Menurut suku bangsa Marind-Anim sperma
dipakai untuk membunuh karena mempunyai kekuatan, bisa membunuh dan
menyembuhkan orang.
D.6. PERILAKU SEKSUAL DALAM ADAT PERKAWINAN
Orang Marind, biasanya sebelum
menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah pada rumah laki dan rumah
perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal, dalam suatu pesta yang
berhubungan dengan upacara seksual (berhubungan seks). Hal ini selalu
dikaitkan dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan kesuburan
adalah sangat penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan
kesuburan, kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari
kegiatan pengayauan, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan
hubungan seksual selalu dilakukan. Upacara heteroseksual yang disebut “aili” atau “arih”
dimana sejumlah besar laki-laki dan perempuan terlibat dalam suatu
hubungan seks heteroseksual bebas. Dalam upacara khusus hubungan seks (otiv bombari) dilakukan secara religius dalam peristiwa
perkawinan. Biasanya calon penganten
perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh
laki-laki dari kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada suaminya.
Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus diberikan
“cairan sperma” agar wanita tersebut subur dan bertambah kuat
(Overweel, 1993:15)
Pada orang Marind, persetubuhan
secara heteroseksual sebelum menikah banyak terdapat pada upacara,
beberapa pesta adat besar untuk maksud meningkatkan kesuburan dan
menambah kecantikan bagi wanita (van Baal 1966: 808-818). Beberapa dari
upacara seksual ini dilakukan oleh lekaki yang sudah menikah dan
ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang
memperoleh keberhasilan dengan satu atau dua orang perempuan muda.
Laporan dari A South Pacific Commission (1952-1953, 1955)
menyatakan bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara
heteroseksualitas mengakibatkan adanya suatu tingkatan yang tinggi
dalam sterilisasi, terutama pada wanita Marind di jaman sebelum
kolonial (lihat Vogel dan Richens 1989).
Di samping itu hubungan seks secara
heteroseksual, bagi wanita Marind mempunyai makna tersendiri pula dalam
hal, dimana cairan sperma yang tinggal dalam tumbuhnya itu akan
membantu pertumbuhan badannya.
Bila dihubungkan kegiatan homoseksual dan
heteroseksual yang ada pada orang Melanesia, khususnya pada orang Papua
di belahan selatan New Guinea (Papua), nampaknya kegiatan ini lebih
banyak berhubungan dengan konteks kebudayaan mereka. Dampak dari
hubungan seks secara homoseksual dan heteroseksual ini, timbullah
berbagai masalah yang berhubungan dengan penyakit kelamin baik itu
Penyakit Menular Seksual, HIV/AIDS.
Pada tahun 1913, di daerah suku
bangsa Marind-Anim, timbul suatu jenis penyakit yang ganas dan mulai
melanda penduduk di kampung-kampung sepanjang pantai dan sungai-sungai
di pedalaman . Penyakit ini timbul akibat pergaulan intim yang bebas
antara laki-laki dan perempuan ditambah lagi dengan pergaulan ritual
mengakibatkan bencana besar yang mengancam dan memusnahkan suku bangsa
Marind-Anim. Pada saat itu pastor Johanes van de Kooy MSC sibuk merawat pasien dalam rumah sakit. Pada tahun 1921 datanglah seorang dokter ahli kelamin, dokter Cnopius
dan dapat menolong musibah besar yang menimpa suku bangsa Marind-Anim
sehingga menurunkan secara drastis jumlah orang yang sakit. Ternyata
penyakit yang diderita suku bangsa Marind-Anim, adalah sejenis penyakit
kelamin yang disebut granolome ( Duivenvoorde 1999:19-25).
Hal yang sama sekarang ini terjadi di
belahan selatan Papua, khususnya di kalangan suku bangsa
Marind-Anim, dimana telah dilanda suatu musibah besar
dengan munculnya jenis penyakit kelamin yang lebih dahsyat lagi bila
dibandingkan dengan granolome pada tahun 1913. Penyakit kelamin tersebut adalah jenis HIV/AIDS. Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Dunia pada umumnya, khususnya Afrika, Amerika dan Eropa pada dasawarsa
1980-an diguncang oleh suatu jenis virus yang dikenal dengan nama virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) . Virus ini melemahkan daya pertahanan tubuh manusia, sehingga mudah terserang berbagai macam penyakit.
Penyakit ini sangat mengganas, karena
sejak ditemukan di Afrika, Eropa, dan Amerika, telah diupayakan mencari
obat penangkalnya, tetapi belum ditemukan. Virus ini dapat ditularkan
oleh penderita kepada orang lain melalui hubungan seksual (homoseksual
maupun heteroseksual), transfusi darah, injeksi/suntikan, dan juga
melalui alat-alat seperti: alat tato, pisau cukur: bila digunakan oleh
penderita dan tidak disterilkan.
Meningkatnya kasus HIV/AIDS dan
meluasnya daerah yang melaporkan kasus HIV/AIDS di Indonesia menjadi
tantangan bagi program pencegahan HIV/AIDS. Berdasarkan prevalensi
HIV/AIDS dapat dikatakan di Indonesia masih dikategorikan dalam “low level epidemic”.
Namun pada sub populasi tertentu (PS dan IDU) di beberapa propinsi
(Papua, DKI Jakarta) prevalensi HIV/AIDS secara konsisten masuk dalam concentrated level
>5%. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan hingga Juli 2001
di Indonesia 630 orang, sehingga dapat meningkat kasus AIDS
1 per 100.000 penduduk. Papua prevalensinya dilaporkan 38 kali angka
Nasional, diikuti Jakarta (9 kali) dan Bali (2 kali). Peningkatan tajam
ini terjadi sejak tahun 1998.
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama
kali di Indonesia pada tahun 1987, proporsi kasus AIDS pada perempuan
dibandingkan pria terus meningkat dari 1 per 10 menjadi 1 per 4.
Faktor dominan yang mempengaruhi perubahan juga mengalami perubahan dari
pola hubungan homoseksual/biseksual menjadi heteroseksual. Di samping
itu pula dikejutkan oleh hal lainnya adalah pesatnya peningkatan
proporsi kasus AIDS pada pengguna NAPZA dengan jarum suntik (IDU/Injecting Drug Users)
dari 0-1% pada tahun 1997-1998 meningkat tajam menjadi 13% hingga Juli
2000. Sedangkan TBC adalah infeksi oportunistik terpenting karena
menyerang 50% penderita AIDS.
Kelompok-kelompok berperilaku resiko
tinggi seperti Pekerja Seks Wanita yang di Merauke, Sorong, Karimun
lebih dari 5%; sedangkan 1-5% untuk Riau, Yogyakarta, Sumatera Selatan,
dan Jawa Timur; dan dibawah 1% untuk propinsi lainnya. Angka lebih dari
5% secara konsisten pada sub populasi tertentu mengidentifikasikan
wilayah tersebut dapat dikategorikan pada concentrated level epidemic.(Aksi
Stop AIDS, Program Pencegahan Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS.,
Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Amerika Serikat. Oktober
2001. GOI-USAID/FHI Ditjen PPM & PL. Jakarta).
Situasi AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome)
adalah keadaan seseorang yang mempunyai bermacam-macam gejala penyakit
yang disebabkan turunnya kemampuan sistem kekebalan dalam
tubuh. Sistem kekebalan tubuh manusia ditentukan oleh sel-sel
darah putih, khususnya limphocit T atau CD-4. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
menyerang limphosit T, yang dalam keadaan normal tubuh manusia terdapat
500-1500 limphosit T/mikroliter. Jika limphosit T ini turun menjadi
<200/mikroliter, maka pada orang tersebut akan timbul gejala-gejala
AIDS.(Gunawan, 2000: 25-26).
Mengingat masa inkubasi penyakit ini,
maka dipastikan penduduk di wilayah Papua telah tertular virus HIV/AIDS
pada tahun 1992 yang berarti 11 tahun kemudian sejak penyakit ini
ditemukan pertama kali tahun 1981 di Amerika Serikat. Pada bulan
Desember 1992 diambil 112 sampel darah di Merauke dan 6 sampel darah
memberikan hasil pemeriksaan yang positif dengan metode aglutinasi.
Kemudian 6 sampel darah tersebut dikirim ke Jakarta untuk dikonfirmasi
dengan metode Western Blot. Hasil umpan balik dari Jakarta pada
bulan Januari 1993 menyatakan ke-enam sampel tersebut semuanya positif.
Dengan demikian sejak saat itu secara resmi Papua, khususnya kota
Merauke dinyatakan terlanda wabah AIDS. Pengidap HIV ini terdiri dari 2
orang WPSK (Wanita Pekerja Seks Komersial) Indonesia dan 4 orang
nelayan berasal dari Thailand, (Gunawan,2000: 27-28). Data Kanwil
Kesehatan Propinsi Papua bulan April 2000, tercatat 315 orang dan
pertengahan bulan Mei 2000 bertambah menjadi 389 Odha (Orang Dengan
HIV atau AIDS), dan pada akhir September 2000, terdapat 394
Odha, maka pada akhir tahun 2001 sudah mencapai 629 Odha (ASA-Lemlit
Uncen, 2001: 2). Bila dihubungkan dengan teorifenomena “gunung es”, maka
memasuki tahun 2002 jumlah Odha diperkirakan bisa mencapai
70.000 orang sampai 140.000 Odha yang hidup ditengah-tengah masyarakat
Papua (La Pona, 2000: 3-4).
Dengan munculnya masalah penyakit
HIV/AIDS di Papua sejak tahun 1992, maka daerah Kabupaten Merauke sudah
menjadi daerah epidemi AIDS, karena dari 201 kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi hingga akhir tahun 1998, ternyata 73,63% atau 148 kasus
HIV/AIDS ditemukan di Merauke. (Yasanto,1999). Berdasarkan data terakhir
hasil RAAP (Rapid Anthropology Assessment Procedure) Juli 2001 di
Merauke terdapat 310 penderita HIV/AIDS. Berdasarkan hasil seminar
HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah Papua kerjasama ASA
Papua, telah tercatat bahwa sampai bulan Juni 2002 ini sudah mencapai
angka sangat mengkhawatirkan. Menurut Chief Representative Aksi Stop AIDS (ASA) Papua,
dr Gunawan Ingkokusumo, maka kasus HIV/AIDS berdasarkan data terakhir
di Papua pada bulan Mei, berjumlah 840 kasus dan pada bulan Juni 2002
sudah menembus angka 993 kasus. Kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Papua
masih dominan disebabkan oleh hubungan seks (Gunawan 2002). Dari kasus
tersebut di atas ternyata Merauke menempati urutan teratas, dimana pada
Juli 2002 kasus HIV/AIDS telah menembus angka tertinggi yaitu 457 kasus
yang semuanya masih dominan disebabkan oleh hubungan seks
( Rinta 2002). Menurut hasil Serosuvei,
Desember 2002 untuk Merauke Januari 2003 menunjukkan angka terakhir
pengidap HIV 220 orang dan AIDS sebanyak 307 orang dengan total kasus
527 orang. Sedangkan angka keseluruhan untuk Papua pengidap HIV sebesar
724 orang dan AIDS sebesar 539 orang dengan total keseluruhannya 1263
orang (Gunawan, Maret 2003).
E. PENUTUP
Suku Bangsa Marind-Anim, sebagaimana
suku bangsa lainnya di Papua secara cultural memiliki seperangkat
pengetahuan yang mewujudkan perilaku seksual mereka. Secara nyata
aktivitas seksual yang terwujud dalam perilaku itu terstuktur serta
berfungsi secara baik dalam mendukung akvitas mereka berdasarkan
interpretasi kebudayaannya. Konteks ini secara konkrit muncul dalam
berbagai aktivitas hidup yang tertata baik dalam kebudayaan, baik dalam
aktivitas inisiasi, perkawinan, mite, keseimbangan lingkunggan,
pengobatan, kekuatan magi, kepemimpinan, pengayauan, serta
upacara-upacara adat lainnya. Secara struktural-fungsional konteks
tersebut lahir berdasarkan konteks kebudayaan yang mempunyai makna dan
arti yang dapat menata secara baik kehidupan warganya.
Dasar utama dari berbagai aktivitas
seksual baik secara homoseksual maupun heteroseksual di kalangan suku
bangsa Marind-Anim itu berlandaskan pada konsep “kebudayaan semen “
atau “kebudayaan sperma”. Sperma bagi suku bangsa Marind-Anim merupakan
suatu kekuatan yang diperoleh dari seorang pria yang perkasa, kuat.
Sperma secara konseptual mempunyai makna yang kuat, sebagai konsep
kesuburan, kecantikan, kekuatan menyembuhkan dan kekuatan mematikan.
Sehingga di dalam aktivitas hidup suku bangsa Marind-Anim konsep sperma
ini memainkan peranan penting dan terstruktur serta berfungsi secara
baik dalam kehidupan kebudayaan. Perwujudan konkrit dari konsep sperma
tersebut, terrealisasi dalam berbagai bentuk aktivitas adat dalam
berbagai bentuk upacara-upacara secara religius.
Konsekuensi dari pengetahuan dan
perilaku seksual suku bangsa Marind-Anim berdasarkan konteks kebudayaan
mereka, apakah akan berdampak pada tumbuhnya berbagai penyakit menular
di kalangan mereka? Tentu saja pertanyaan ini belum bisa terjawab,
karena perlu dipertimbangkan pula bahwa kebudayaan tidak statis, karena
bersifat dinamis. Hal ini berarti konsep tersebut dapat mengalami
perubahan, tetapi konsep dasar secara hakiki masih dipegang teguh
sebagai dasar kontrol kebudayaan mereka. Suku bangsa Marind-Anim tentu
telah mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaannya.
Untuk itu perlu dikaji lebih mendalam lagi tentang aspek cultural yang
berhubungan dengan perilaku seksual, apakah berubah dalam konteks yang
lain dan disesuaikan dengan kehidupan dewasa ini, apakah berdampak
terhadap penyakit menular seksual dan HIV/AIDS yang tinggi di kota
Merauke.
F. KEPUSTAKAAN
Baal, J van. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya: hingga dekade 1970. jilid 1. (terjemahan: J.Piry) Jakarta. PT. Gramedia.
__________, 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya: hingga dekade 1970. jilid 2. (terjemahan: J.Piry) Jakarta. PT. Gramedia.
__________, 1966. Dema: Description and Analysis of Marind-Anim Culture (South New Guinea). The Hague: Martinus Nijhoff.
Bock, Philip K. 1979. Modern Cultural Anthropology. An Introduction. New York. Alfred A knopf.
Boelaars, Y. 1984. Kepribadian Indonesia Modern. Jakarta. PT. Gramedia.
Butt, Leslie. 2002. The Papuan Sexuality Program. Jayapura. Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih dan USAID-FHI.
Djoht, D.R., G.E. Djopari, G. Finthay. 1998. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat Sarmi dan Pantai Timur Terhadap Seksualitas, Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS. Jayapura. Yayasan Kesehatan Bethesda dan PATH Indonesia.
Duivenvoorde, Jacobus Mgr. MSC.1999. Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan: Menghantarakan suku-suku Irian kepada Kristus. Merauke. Keuskupan Agung Merauke.
Dumatubun, A.E., M.T. Siregar, Enos Rumansara. 1997. Laporan Penelitian Pemetaan Sosial Budaya di Kabupaten Daerah Tingkat II Merauke, Fakfak dan Jayawijaya. Jayapura. Pusat Penelitian Universitas Cenderawasih dan Dinas Kebudayaan Propinsi Dati I. Irian Jaya.
Durbin, Marshall. 1973. “Cognitive Anthropology” dalam Handbook of Social and Cultural Anthropology. Editor John J. Honigmann. Chicago. Rand McNally College Publishing Company. Halaman 447-478.
Eyde, David B.
(1967:205-210).”Cultural Correlates of Warfare Among the Asmat of
South-West New Guinea. PhD. Dissertation” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Feil, Daryl K. 1984. Ways of Exchange: The Enga Tee of Papua New Guinea. St. Lucia: University of Queensland Press.
Ferraro, Gary. 1995. Cultural Anthropology: An Applied Perspective. Second edition. New York. West Publishing Company.
Foster, George M. 1986. Antroplogi Kesehatan.(terjemahan: Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono). Jakarta. UI Press Universitas Indonesia.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan (terjemahan: Francisco Budi Hardiman). Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Generasi and PATH. 1999. Laporan
Hasil Studi Kwantitatif Pengetahuan, Sikap dan Perilaku di Kalangan PSK
di Lokalisasi Samabusa dan Pendukung Emas Rakyat di Topo Sehubungan
dengan Seks, PMS dan HIV/AIDS. Nabire. Generasi dan PATH.
Godelier, Maurice and Marilyn Strathern. 1991. Big Men and Great Men:Personifications of Power in Melanesia. Cambridege. Cambridege University Press.
Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta. Bina Aksara.
Gross, Daniel R. 1992. Discovering Anthropology. London. Mayfield Publishing. Company.
Hammar, L. 1998 (ed.) Modern Papuan New Guinea. Kirksville, MO. Thomas Jefferson University Press.
Haviland, William A. 1988. Antropologi. Edisi keempat jilid 1. (terjemahan: R.G. Soekardijo) Jakarta. Penerbit Erlangga.
Herdt, Gilbert H. 1984a. “Ritualized Homosexual Behavior in the Male Cults of Melanesia, 1862-1983: An Introduction”. In Ritualized Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.1-81. Berkeley: University of California Press
Holmes, John H. (1924:172-175). “In
Primitive New Guinea: An Account of a Quarter of a Century Spent Among
the Primitive Ipi and Namau Groups of Tribes of the Gulf of Papua, with
an Interesting Description of their Manner of Living, their Customs and
Habits, Feasts and Festivals, Totems and Cults” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Honigmann, John J. 1976. The Development of Anthropological Ideas. Illinois. The Dorsey Press.
Howard, Michael C. 1993. Contemporary Cultural Anthropology. Fourth edition. New York. Harper Collins College Publishers.
Ingkokusumo, G. 2000. Sexually
Transmitted Illness: Perception and Healthseeking behaviour among the
Dani Men, in Wamena Jayaweijaya District, Papua Province, Indonesia. MA.
Thesis, University of Amsterdam, That Netherlands.
__________, 2000. “Peranan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Dalam Penanggulangan Epedemi HIV” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.
Johnson, Thomas M. and Carolyn F. Sargent. 1990. Medical Anthropology. Contemporary Theory and Method. New York. Praeger Publishers.
Kalangie, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. Megapoin Kesaint Blanc.
Kalmbacher, C.J. “Being an Mpur Women: First Menstruation through Infant Care”. In Symbolism and Ritual in Irian Jaya, ed. Gregersons, M. and J. Sterner. Jayapura: Cenderawasih University, p. 103-114.
Kaldor, J. et.al. 1999. External HIV/AIDS Assessment. Jakarta: Ministry of Healt.
Kampen, A. van. (1956:73-76). “Wilkende Wildernis: Onder Kannibalen en Christen Papoea’s” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi kedua, jilid 1 (terjemahan: Semuel Gunawan). Jakarta. Penerbit Erlangga.
__________, 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi kedua, jilid 1 (terjemahan: Semuel Gunawan). Jakarta. Penerbit Erlangga.
Knauft, B. 1993. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Koeswinarno. 1996. Waria dan Penyakit Menular Seksual: Kasus Dua Kota di Jawa. Yogyakarta. Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia. 2001. HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Bertindak. Jakarta. Komisi Penaggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia.
Kottak, Conrad Phillip. 1979. Cultural Anthropology. Second edition. New York. Random House.
Kuruwaip, Abraham. 1984. “The Asmat Bis Pole: Its Background and Meaning”. In An Asmat Sketch Book No. 4. Edited by Frank Trenkenschuh, pp.11-30. Hastings, NE: Crosier Missions.
Kusmariyati, A. 2000. Laporan Hasil Studi Kwantitatif Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Sehubungan dengan PMS dan HIV/AIDS di kalangan PSKJ dan Klien. Wamena. Yasukhogo dan PATH. Indonesia.
Landtman, Gunnar. (1927:ch.24). “The Kiwai Papuans of British New Guinea: An Nature-born Instance of Rousseau’s Ideal Community” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Lieban, Richard W. 1973. “Medical Anthropology” dalam Handbook of Social and Cultural Anthropology. Editor. John J. Honigmann. Chicago. Rand McNally College Publishing Company.
Linggasari, D. et.al. 2000. Laporan
Hasil Penelitian Tentang Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Seksualitas
Suku Asmat. Merauke (Rumpun Bismam) Terhadap PMS dan HIV/AIDS di
Kecamatan Agats. Merauke. Yayasan Almamater.
Lindenbaum, Shirley. 1984. “Variation on a Sociosexual Theme in Melanesia”. In Ritualized Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.337-361. Berkeley: University of California Press.
Little, Daniel. 1991. Varieties of Social Explanation. An Introduction to the Philosophy of Social Science. Oxford. West view Press.
Lokobal, Nico A., G. Yuritianti, Deri, M. Sihombing, Susana, Srini. 1997. Pandangan, Kepercayaan, Sikap dan Perilaku Masyarakat Dani Tentang Seksualitas dan Penyakit Menular Seksual (PMS). Jayapura. Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Irian Jaya.
Overweel, Jeroen A. 1993. The
Marind in a Changing Enviroment: A Study on Social-economic Change in
Marind Society to Assist in the Formulation of a long term Strategy for
the Foundation for Social Economic and Enviromental Development. Merauke. YAPSEL.
Polama, Margaret M. 1979. Sosiologi Kontemporer (terjemahan Yasogama). Jakarta. CV. Rajawali.
Rahail, John. 2001. “Desentralisasi dan Penanggulangan AIDS di Papua” dalam Buletin Populasi Papua. Vol.1. No.3 April 2001. Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.
Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Serpenti, Laurent M. 1984. “The Ritual Meaning of Homosexuality and Pedophilia among the Kimaam Papuas of South Irian Jaya”. In Ritualized Homosexsuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp. 292-336. Berkeley. Univ. of California Press.
__________, 1968. “Head Hunting ang Magic on Kolepom (Fredrik Hendrik Island. Irian Barat)”. Tropical Man. Pp.116-139).
Schlegel, Alice (editor) 1977. Sexual Stratification. New York. Columbia Univ. Press.
Schneebaum, Tobias (1988:83) “Where the Spirits Dwell: An Odyssey in the Newm Guinea Jungle” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Scrimshaw, S.C.M., M. Carballo, L. Ramos, B. Blair. 1991. The
AIDS Rapid Anthropological Assessment Procedures: A Tool for Health
Education Planning and Evaluation. Health Education Quarterly 18, 1: 111-123.
___________,1987. RAP. Rapid
Assessment Procedures for Nutrition and Primary Health Care.
Anthropological Approaches to Improsing Programme Effectiveness. Japan. The United Nations University.
Slamet, Soemirat, Juli. 2000. Kesehatan Lingkungan. Cetakan keempat. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi (terjemahan: Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta. PT.Tiara Wacana Yogya.
_______________, 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans. London. Chandler Pubhising Company.
Stoller, Robert J. and Gilbert H. Herdt. 1985b. “Theories of Origins of Male-Homosexuality: A Cross-Cultural look”. In Observing the Erotic Imagination, by Robert J. Stoller, pp. 104-134. New Haven. Yale Univ. Press.
South, Pacific Commission. 1952-53. Marind-Anim Report: An Investigation into the Medical and Social Causes of the Depopulation among the Marind-Anim.Sorum, Arve. 1984. “Growth and Decay: Bedamini Nations of Sexuality”. In Ritualized Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp. 337-361. Berkeley. Univ. of California.
Souter, Gavin. 1963. New Guine. The Last Unknown. London. Angus and Robertson.
Sowada, Alphonse (Msgr.) 1961. Socio-Economic Survey of the asmat Peoples of Southwestern New Guinea. M.A. Thesis, Departement of Anthropologu, Catholic University of America, Washington, DC.
Tomagola, Tamrin, Amal. 1987. “Telaah Sosiologis Terhadap Kasus-kasus Perkosaan di Lokasi Transmigran Merauke” dalam Jurnal Penelitian Sosial No.1.Thn.XI, Mei 1987. Jakarta. Lembaga Penelitian FISIP-UI. Halaman 42-51.
Tyler, Stehen A. 1969. Cognitive Anthropology. New York. Holt Rinehart and Winston, Inc.
Wambrauw, David. 2001. Perilaku Seksual Suku Arfak. Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.
__________, 1994. Perilaku Seks Sebagai Peluang Penularan Penyakit AIDS di Jayapura. Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.
Warip, M. and Abrar, A.N. 2000. “Papisj: Perilaku Seks Masyarakat Asmat”. In Konstruksi Seksualitas Indonesia. Jakarta, p. 143-167.
Warwer, O. 2000. “Perilaku Seks Bebas Pria dan Wanita Lajang Suku Dani”. In Konstruksi Seksualitas di Indonesia. Jakarta, p.119-141.
Whitehead, Harriet. 1985. “Review of Ritualized Homosexuality in Melanesia”. Edited by Gilbert H. Herdt. Journal of Homosexuality. 11: 201-205.
Williams, Francis E. (1924:211-214).
“The Natives of the Purari Delta. Territory of Papua, Anthropology
Report. No5”. Port Moresby, dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
__________, (1936:24, 159-160). “Papuans of the Trans-Fly” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Yasanto and PATH.2000. Laporan Akhir Program Pencegahan HIV/AIDS pada Kelompok Berperilaku Resiko Tinggi di Merauke, Papua. Merauke. Yasanto dan PATH Indonesia.
Zegwaard, Gerard A. 1982. “An Asmat Mission History (A Translation by Joseph de Louw of De Missie Geschiedenis Asmat Missie)” dalam An Asmat Skecth book No.2 Edited by Frank A. Trenkenschuh. Pp.5-15. Hastings. N.E. Crosier Missions.
__________,1978. 1953. “Data on the
asmat People. (Translation of Zegwaard (1953) by M.van Roosmalen and F.
Trenkenschuh)’ dalam An Asmat Skecth Book No.6. Edited by Frank A. Trenkenschuh. Pp.15-31. Hastings. NE. Crosier Missions.
_________, 1959. “Headhunting Practices of the Asmat of West, New Guinea” dalam. American Anthropologist 61: 1020-1041.
__________, 1954. Ein Bis-Paal uit Sjuru: Legende en Ritueel of Nieuw-Guinea. Nederlands Nieuw Guinea 2 (1): 11-13.
__________, 1953. Bevolkingsgegevens van de Asmatters Holandia: Bureau for Native Affairs.
Zegwaard, Gerard A. and J.H.M.C.
Boelaars. 1982. “Sociale Structure of the Asmat People (Annotated
translation by Frank A. Trenkenschuh and J. Hoggebrugge of De Sociale
Structuur van de Asmat-bevolking)” in An Asmat Skecth Book No.1. Edited by Frank A. Trenkenschuh. Pp. 13-29. Hastings NE. Crosier Missions.
__________,1955. De Sociale Structuur van de Asmat-bevolking. Adatrechtbundel 45: 244-302.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar