Minggu, 08 Februari 2015

Sengkuni, Hanya Bima yang Bisa Membunuhnya

13605125851372391334
Ilustrasi/Admin (KAMPRET/Romana Tari)
Nama tokoh wayang Sengkuni jadi perbincangan hangat akhir-akhir ini pasca menyebarnya pesan BBM Anas Urbaningrum dalam tiga kata “Politik para Sengkuni”. Publik pun heboh dengan tafsirnya masing-masing.
Ada yang mengartikan bahwa yang disindir Anas dengan sebutan Sengkuni adalah tokoh-tokoh di Partai Demokrat yang menginginkanya mundur dari Ketum DPP PD seperti Ruhut Sitompul, Syarif Hasan, Amir Syamsudin, Roy Suryo dan Jero Wacik. Ada pula yang mengartikan lebih jauh, bahwa dengan kalimat itu Anas memberi sinyal perlawanan.
Siapapun yang dituju Anas dengan sebutan Sengkuni itu, yang pasti Anas sedang mengidentifikasikan dirinya sebagai korban kelicikan. Kelicikan ala Sengkuni. Jika Anas kemudian berniat melawan, maka itu artinya Anas akan melawan Sengkuni.
Pertanyaannya bisakah Sengkuni ditaklukkan? Oleh sosok seperti apa Sengkuni bisa ditaklukkan?
Dalam kisah pewayangan hanya Bima, keluarga Pandawa korban kelicikan Sengkuni, yang berhasil membunuhnya. Tentu pertanyaannya, mengapa?
Sengkuni dan Ajian Pancasona
Dalam cerita Wayang Mahabarata Sengkuni adalah Mahapatih sekali gus merangkap penasehat raja di Kerajaan Astina yang dikuasai keluarga Kurawa. Patih Sengkuni terkenal dengan prinsip hidupnya yang ekstrem: biarlah orang lain menderita yang penting hidupnya bahagia.
Dengan prinsip hidup seperti itulah Sengkuni menjalani karirnya: munafik, licin, licik, culas, hasut, penuh tipu muslihat.
Hebatnya pula, Sengkuni adalah pemilik ajian Pancasona, sebuah ilmu kedigdayaan yang membuatnya sakti madraguna: punya daya tarik, kebal terhadap segala jenis senjata, bahkan bila tubuhnya terputuspun tubuhnya bisa tersambung (utuh) kembali. Maka jadilah Sengkuni sebagai sosok manusia jahat yang sulit ditaklukkan.
Mengingat cerita wayang adalah filsafat yang dikemas dalam kesenian, maka sosok Sengkuni dengan Ajian Pancasonanya hanyalah potret (gambaran) karakter manusia sepanjang masa. Dia adalah symbol kemunafikan, keserakahan, arogansi, dan keangkaramurkaan. Kapan pun dan dimana pun di dunia ini, manusia-manusia berkarakter Sengkuni akan selalu ada, bahkan di sekitar kita kini dan di sini.
Sengkuni adalah symbol sosok manusia cerdik-terdidik, cerdas dan pandai, trampil serta memiliki daya tarik (pesona). Itu sebabnya sosok seperti ini mudah meraih simpati, mendapat kepercayaan, dan gampang merekrut pengikut.
Bima dan Kuku Pancanaka
Di akhir kisah Perang Baratayudha, ketika sebagaian besar keluarga Kurawa dan Pandawa sudah gugur di medan Kurusetra, giliran Sengkuni menemui ajalnya di tangan Bima dengan senjata Kuku Pancanaka. Apa itu Pancanaka?
Legenda pewayangan menceritakan sebagai berikut. Saat Bima lahir dari rahim ibunya, Dewi Kunti, sang jabang bayi masih terbungkus selaput ketuban. Anehnya, bungkusan ketuban itu tidak pecah-pecah meski sudah dicoba untuk dirobek dengan beragam senjata. Ketika bungkusan ketuban itu sudah berusia 12 tahun datanglah Gajah Setu Sena, gajah dewata yang sangat kuat dan sakti.
Setu Sena pun tanpa kesulitan berhasil merobek bungkusan itu dengan gadingnya, tetapi si jabang bayi segera menangkap kedua gading Setu Sena dan mematahkannya. Gading patah, tetapi ajaibnya justru menyatu di kedua jempol si jabang bayi Bima menjadi Kuku Pancanaka. Kuku itulah kelak menjadi senjata sakti Bima karena selain gadingnya, sukma Gajah Setu Sena pun turut menyatu di tubuh Bima.
Dengan Kuku Pancanaka yang terbuat dari gading gajah kayangan itulah Bima ditakdirkan berhasil membunuh Sengkuni, patih licik yang telah membuat Bima bersaudara, Pandawa, menderita lahir bathin: kehilangan tahta dan terusir dari istana.
Apa kelebihan Bima dengan Kuku Pancanakanya? Dalam dunia pewayanan, Bima digambarkan sebagai sosok kesatria sejati: gagah berani, tak punya rasa takut, tegas, loyal, setia, jujur, tidak suka basa-basi.
Sedangkan Kuku Pancanaka (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kuku_Pancanaka) secara filosofis memiliki makna “kukuh” (teguh dan kuat keyakinan serta berlatih); panca = lima; naka = emas / tujuan, bisa juga dari naga=kuasa; artinya paugeran/moral/kekuatan/daya dasar. Lima paugeran dapat berupa: 1. pengendalian nafsu membunuh/angkara 2. Pengendalian nafsu makan minum 3. Pengendalian nafsu seks 4. pengendalian nafsu kesenangan indrawi 5. Pengendalian nafsu mencuri/merugikan orang lain.
Perpaduan antara watak illahi (ksatria sejati ) dengan keyakinan akan kekuatan jalan Pancanaka itulah yang membuat Bima berhasil menaklukkan Sengkuni.
Adakah sosok Bima di negeri kita sekarang?
Kisah Mahabrata telah memberi gambaran kepada kita bahwa manusia-manusia macam Sengkuni tidak bisa dilawan dengan senjata apapun sepanjang pemegang senjata tadi tidak memiliki watak ksatria sejati seperti Bima. Orang yang masih bisa tergoda oleh hedonisme dunia, kekayaan, kemegahan, dan sanjungan dipastikan akan gagal menaklukkan Sengkuni.
Dalam kisah Mahabarata disebutkan bahwa terusirnya keluarga Pandawa, yang sejatinya merupakan pewaris sah tahta, dari istana akibat Yudistira (tertua dalam Pandawa) kalah bermain dadu dengan pihak Kurawa. Tetapi, kekalahan Yudistira (wakil Pandawa) itu lebih disebabkan karena trik jahat yang dilakukan Sengkuni (wakil Kurawa) dalam permainan tersebut.
Mengapa Yudistira kalah? Bukankah dia juga seorang kesatria? Benar, dia seorang kesatria yang juga gagah perkasa, tetapi Yudistira masih mudah goyah oleh godaan jalan pintas. Itu sebabnya dia mau melayani permainan judi dadu. Karena jiwanya tidak sekokoh Bima, masih tergoda judi, Yudistira gagal menaklukkan Sengkuni.
Di negeri kita ini, Sengkuni ada dimana-mana bukan hanya di tubuh partai politik seperti sinyalemen Anas Urbaningrum. Dia ada di sekitar kita, di sini dan kini. Akibat perbuatan para Sengkuni jelas terasa.
Pertanyaannya, adakah sosok sosok pemimpin yang memiliki karakter (watak) seperti Bima dengan kompetensi seampuh Kuku Pancanaka yang bisa menaklukkan para Sengkuni itu?
Anas Urbaningrum-kah orangnya? Mahfud MD-kah? Prabowo-kah? Abraham Samad-kah? Atau, Jokowi…?
Yang pasti Sengkuni tidak akan mungkin bisa membunuh SENGKUNI.
Salam Kompasiana.
(kanedi/http://sosok.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar