Rabu, 13 Mei 2015

Tata Saraila, Sang Legenda Dunia Kelam Makasar

Kisah tentang Tata Saraila kini memudar. Tak banyak lagi orang-orang mengingatnya, kecuali beberapa kilas. Bagi yang masih mengingatnya tentu tak lain karena bertaburnya cerita seram terutama tentang mitos perilaku menyimpang yang membuat anak-anak lelaki usia sekolahan bergidik. Sang Tata pernah menjadi salah satu ikon paling menakutkan di Makassar tahun 1980an. Kini, ia hidup dalam dunia yang putih, seputih rambutnya yang kini beruban.
Tata Saraila di usia senja - kanan berbaju kuning (foto dikuti dengan izin dari @sushibizkid)
Tata Saraila di usia senja – kanan berbaju kuning (foto dikutip dengan izin dari @sushibizkid) – berfoto bersama salah satu penggiat MUFC Makassar
Di suatu siang yang terik di tahun 1988, saya melintasi kawasan Pusat Pertokoan Ujungpandang bersama seorang kawan. Ketika itu saya masih tercatat sebagai siswa kelas satu di salah satu SMP negeri di bilangan Pecinan Makassar. Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar teriakan bernada mengejutkan. “Whoaaaaaa!” Suara itu berat dan terkesan sangar. Seketika kawan saya berteriak “Tata Sarailaaaaa!. Saya bergidik, secepat mungkin berlari menjauhi pemilik suara. Sang kawan sudah jauh berada di depan, dan saya terengah-engah menyusulnya, menyeberangi hilir mudik pete-pete yang lumayan padat di jam makan siang itu. Ketika mencapai jalan Timor dan kemudian setengah berlari masuk ke jalan Bali, saya sudah merasa aman. Kawan saya menunggu depan Makassar Theatre, salah satu bioskop terkenal di Makassar saat itu. Sudah aman rupanya.
Tapi pengalaman singkat itu menyimpan trauma yang tak lekang hingga kini. Bukan karena ketakutan mendengar teriakan seram nan berat itu, tapi karena kisah seram di balik sosok Tata Saraila yang belakangan baru saya dapatkan dari obrolan kawan-kawan dan kakak saya.
==
Toko Sentral Jaya, salah satu ujung Pusat Pertokoan yang masih bertahan (foto dari http://www.skyscrapercity.com/)
Toko Sentral Jaya, salah satu ujung Pusat Pertokoan yang masih bertahan (foto dari http://www.skyscrapercity.com/)
Gondrong Baluta’. Demikian anak-anak sekitaran Pusat Pertokoan Makassar menyebut sosok preman sangar itu.  Gondrong baluta’ mengindikasikan rambut gondrong yang dibiarkan tumbuh panjang tak terurus. Sekujur tubuhnya dilukisi tatto dengan segala macam gambar, paling banyak mungkin rajah dengan bentuk yang menakutkan, tengkorak, ular atau naga. Jari dan lengannya  juga dihiasi dengan asesoris cincin akik besar dan gelang hitam. Tahun 1980-an ketika Pusat Pertokoan masih ada, Tata Saraila dikenal menguasai kawasan pusat perniagaan kota yang saat itu masih bernama Ujungpandang.
Selain berprofesi sebagai preman yang gemar berkelahi dan memalak, juga berkembang cerita bahwa sang Tata suka menculik anak laki-laki untuk kemudian digauli. Mitos ini yang berkembang paling santer dari mulut ke mulut, namun dari sekian cerita yang saya dengarkan tak ada satupun yang bisa mengkonfirmasi kebenarannya. Semuanya hanya desas-desus yang berhembus seperti angin musim kemarau; panas, menyengat dan tapi bekasnya tak gampang hilang. Membekas hingga ke ingatan dan dianggap mitos yang mengandung kebenaran.
Desas-desus tentang Tata yang hombreng (homo, penggaul sesama lelaki) ini menyebar ke semua sekolah-sekolah yang berada di sekitar Pusat Pertokoan. Setelah mendengar kisah ini, saya kemudian nyaris berhenti melalui pusat pertokoan dan memilih untuk mengambil jalur lain. Apalagi banyak yang bercerita bahwa sang Tata berkeliaran di jam-jam pulang sekolah, sekitar jam makan siang, dan korbannya yang paling disukai adalah anak-anak SMP. Saya yang saat itu kebagian masuk siang, tentu mesti waspada. Kalau tak terpaksa atau ditemani seseorang, tak mungkin saya melewati kawasan menyeramkan itu.
==
Tata Saraila (tengah bercelana merah) bersama kawan-kawannya saat masih muda
Tata Saraila (tengah bercelana merah) bersama kawan-kawannya saat masih muda (foto dari koleksi Tata Saraila, oleh @ramabizkid)
Kisah tentang Tata Saraila kemudian memudar. Tak banyak lagi orang-orang mengingatnya, kecuali beberapa kilas. Bagi yang masih mengingatnya tentu tak lain karena cerita seram itu, yang menjadi salah satu sosok menakutkan di kalangan dunia hitam Makassar tahun 1980an. Sebagaimana yang jamak dipahami di Makassar dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, premanisme dan pasar seperti dua mata uang yang seakan tak bisa dipisahkan. Di Jakarta, kita mengenal Hercules yang menguasai Tenahbang, John Kei yang menguasai Kampung Ambo. Beberapa tahun silam di zaman revolusi, juga ada nama Bang Pi’i yang pernah menguasai Pasar Senen, belakangan preman yang bernama asli Imam Syafei ini diangkat menjadi menteri urusan keamanan Jakarta oleh pemerintahan Soekarno. Di zaman modern ini, preman mulai memperluas kekuasaannya ke tempat hiburan malam dan sebagainya.
Premanisme memang sebentuk penyakit sosial yang menggerogoti keamanan masyarakat. Namun ternyata banyak pihak yang membutuhkannya, terutama bagi pemilik usaha yang tak mau berurusan dengan keamanan. Maka disewalah preman untuk mengurus hal ini, termasuk menghadapi aparat yang juga kerap menuntut pembagian keuntungan dari usaha ini. Rentetan perang antar preman, juga melawan Kopasus beberapa saat lalu di Jakarta dan Jogja hanya salah satu contoh dari pertarungan tingkat otot dan senjata ini.
Selain berhadapan dengan aparat, konon sejumlah preman malah dipelihara dan di-backup petinggi aparat. Banyak rumor yang beredar bahwa Prabowo, mantan Danjen Kopasus itu sangat berkarib dengan Hercules. Juga Pamswakarsa, organisasi bentukan Jendral Wiranto menjelas pemilu 1999, konon adalah sekumpulan preman yang diorganisir dengan label ormas berlatar agama tertentu. Kadang-kadang demi melegalisasi kegiatannya, preman juga bergabung dengan ormas-ormas pemuda nasionalis dan berafiliasi ke organisasi politik tertentu. Selain aman melakukan kegiatannya, mereka juga mendapat dukungan sekaligus bargaining position ke client-nya. Tata Saraila juga berafiliasi dengan ormas kepemudaan nasionalis. Dalam salah satu fotonya, tampaknya dia menikmati fasilitas ini, berkawan dengan Pimpinan Pemuda Pancasila : Yapto Soejosoemarno yang juga memimpin Partai Patriot.
Namun sejak akhir 1990-an, seiring dengan terbakar dan musnahnya Pusat Pertokoan, nama Tata Saraila mulai senyap. Rajah yang menghiasi kulitnya tak lagi sangar, melumer bersama kulit dan ototnya yang tak lagi kencang. Di hari-hari yang menjelang senja, sang Tata menghabiskan sisa usianya di sebuah panti bernama Tresna Werdha yang berlokasi di jalan Poros Malino Makassar. Kebetulan seorang kawan di twitter (papabizkid ‏@ramabizkid ) berbagi foto-foto sang mantan preman hingga ke foto-foto koleksi pribadinya di jaman keemasan dulu. Luar biasa, sosok yang dulu menakutkan dengan cambang, tatto dan rambut gondrong baluta’ kini seperti seorang renta yang pias dengan senyum hangat seperti seorang kawan yang lama tak bersua. Senyum hangatnya seperti menghapus jejak sangar di wajahnya, bertahun-tahun silam.
Tata Saraila, legenda dunia hitam kota Makassar tahun 1980-an itu kini hidup dalam dunia yang putih. Dunia dengan rambut putih keperakan bersama kawan-kawan usia senjanya sesama penghuni panti Tresna Werdha. Kisah kelamnya mungkin tak elok untuk dijadikan dongeng untuk anak-anak, tapi sosoknya layak untuk dikisahkan sebagai salah satu urban legend kota Makassar.
Tata Sariala bersama pimpinan Pemuda Pancasila Yapto SoerjoSoemarno - koleksi Tata Saraila dari @ramabizkid)
Tata Sariala bersama pimpinan Pemuda Pancasila Yapto SoerjoSoemarno – koleksi Tata Saraila dari @ramabizkid)

Tata Saraila menggendong cucunya (foto koleksi pribadi Tata Saraila dari @ramabizkid)
Tata Saraila menggendong cucunya (foto koleksi pribadi Tata Saraila dari @ramabizkid)
==
Kisah diatas hanya sekelumit cerita yang saya dapatkan dari ingatan-ingatan yang terserak. Mungkin banyak yang tak benar atau sekadar mitos yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Kalau diantara kawan ada yang punya cerita lainnya tentu akan sangat berarti untuk memperbaiki kenangan kita tentang sang Tata. Terimakasih. (http://daengrusle.net/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar