Kisah
tentang Tata Saraila kini memudar. Tak banyak lagi orang-orang
mengingatnya, kecuali beberapa kilas. Bagi yang masih mengingatnya tentu
tak lain karena bertaburnya cerita seram terutama tentang mitos
perilaku menyimpang yang membuat anak-anak lelaki usia sekolahan
bergidik. Sang Tata pernah menjadi salah satu ikon paling menakutkan di
Makassar tahun 1980an. Kini, ia hidup dalam dunia yang putih, seputih
rambutnya yang kini beruban.
Di suatu siang yang terik di tahun 1988,
saya melintasi kawasan Pusat Pertokoan Ujungpandang bersama seorang
kawan. Ketika itu saya masih tercatat sebagai siswa kelas satu di salah
satu SMP negeri di bilangan Pecinan Makassar. Tiba-tiba dari arah
belakang, terdengar teriakan bernada mengejutkan. “Whoaaaaaa!” Suara itu
berat dan terkesan sangar. Seketika kawan saya berteriak “Tata
Sarailaaaaa!. Saya bergidik, secepat mungkin berlari menjauhi pemilik
suara. Sang kawan sudah jauh berada di depan, dan saya terengah-engah
menyusulnya, menyeberangi hilir mudik pete-pete yang lumayan padat di
jam makan siang itu. Ketika mencapai jalan Timor dan kemudian setengah
berlari masuk ke jalan Bali, saya sudah merasa aman. Kawan saya menunggu
depan Makassar Theatre, salah satu bioskop terkenal di Makassar saat
itu. Sudah aman rupanya.
Tapi pengalaman singkat itu menyimpan
trauma yang tak lekang hingga kini. Bukan karena ketakutan mendengar
teriakan seram nan berat itu, tapi karena kisah seram di balik sosok
Tata Saraila yang belakangan baru saya dapatkan dari obrolan kawan-kawan
dan kakak saya.
==
Gondrong Baluta’. Demikian
anak-anak sekitaran Pusat Pertokoan Makassar menyebut sosok preman
sangar itu. Gondrong baluta’ mengindikasikan rambut gondrong yang
dibiarkan tumbuh panjang tak terurus. Sekujur tubuhnya dilukisi tatto
dengan segala macam gambar, paling banyak mungkin rajah dengan bentuk
yang menakutkan, tengkorak, ular atau naga. Jari dan lengannya juga
dihiasi dengan asesoris cincin akik besar dan gelang hitam. Tahun
1980-an ketika Pusat Pertokoan masih ada, Tata Saraila dikenal menguasai
kawasan pusat perniagaan kota yang saat itu masih bernama Ujungpandang.
Selain berprofesi sebagai preman yang
gemar berkelahi dan memalak, juga berkembang cerita bahwa sang Tata suka
menculik anak laki-laki untuk kemudian digauli. Mitos ini yang
berkembang paling santer dari mulut ke mulut, namun dari sekian cerita
yang saya dengarkan tak ada satupun yang bisa mengkonfirmasi
kebenarannya. Semuanya hanya desas-desus yang berhembus seperti angin
musim kemarau; panas, menyengat dan tapi bekasnya tak gampang hilang.
Membekas hingga ke ingatan dan dianggap mitos yang mengandung kebenaran.
Desas-desus tentang Tata yang hombreng
(homo, penggaul sesama lelaki) ini menyebar ke semua sekolah-sekolah
yang berada di sekitar Pusat Pertokoan. Setelah mendengar kisah ini,
saya kemudian nyaris berhenti melalui pusat pertokoan dan memilih untuk
mengambil jalur lain. Apalagi banyak yang bercerita bahwa sang Tata
berkeliaran di jam-jam pulang sekolah, sekitar jam makan siang, dan
korbannya yang paling disukai adalah anak-anak SMP. Saya yang saat itu
kebagian masuk siang, tentu mesti waspada. Kalau tak terpaksa atau
ditemani seseorang, tak mungkin saya melewati kawasan menyeramkan itu.
==
Kisah tentang Tata Saraila kemudian
memudar. Tak banyak lagi orang-orang mengingatnya, kecuali beberapa
kilas. Bagi yang masih mengingatnya tentu tak lain karena cerita seram
itu, yang menjadi salah satu sosok menakutkan di kalangan dunia
hitam Makassar tahun 1980an. Sebagaimana yang jamak dipahami di Makassar
dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, premanisme dan pasar seperti
dua mata uang yang seakan tak bisa dipisahkan. Di Jakarta, kita mengenal
Hercules yang menguasai Tenahbang, John Kei yang menguasai Kampung
Ambo. Beberapa tahun silam di zaman revolusi, juga ada nama Bang Pi’i
yang pernah menguasai Pasar Senen, belakangan preman yang bernama asli
Imam Syafei ini diangkat menjadi menteri urusan keamanan Jakarta oleh
pemerintahan Soekarno. Di zaman modern ini, preman mulai memperluas
kekuasaannya ke tempat hiburan malam dan sebagainya.
Premanisme memang sebentuk penyakit
sosial yang menggerogoti keamanan masyarakat. Namun ternyata banyak
pihak yang membutuhkannya, terutama bagi pemilik usaha yang tak mau
berurusan dengan keamanan. Maka disewalah preman untuk mengurus hal ini,
termasuk menghadapi aparat yang juga kerap menuntut pembagian
keuntungan dari usaha ini. Rentetan perang antar preman, juga melawan
Kopasus beberapa saat lalu di Jakarta dan Jogja hanya salah satu contoh
dari pertarungan tingkat otot dan senjata ini.
Selain berhadapan dengan aparat, konon
sejumlah preman malah dipelihara dan di-backup petinggi aparat. Banyak
rumor yang beredar bahwa Prabowo, mantan Danjen Kopasus itu sangat
berkarib dengan Hercules. Juga Pamswakarsa, organisasi bentukan Jendral
Wiranto menjelas pemilu 1999, konon adalah sekumpulan preman yang
diorganisir dengan label ormas berlatar agama tertentu. Kadang-kadang
demi melegalisasi kegiatannya, preman juga bergabung dengan ormas-ormas
pemuda nasionalis dan berafiliasi ke organisasi politik tertentu. Selain
aman melakukan kegiatannya, mereka juga mendapat dukungan sekaligus bargaining position ke client-nya.
Tata Saraila juga berafiliasi dengan ormas kepemudaan nasionalis. Dalam
salah satu fotonya, tampaknya dia menikmati fasilitas ini, berkawan
dengan Pimpinan Pemuda Pancasila : Yapto Soejosoemarno yang juga
memimpin Partai Patriot.
Namun sejak akhir 1990-an, seiring dengan
terbakar dan musnahnya Pusat Pertokoan, nama Tata Saraila mulai senyap.
Rajah yang menghiasi kulitnya tak lagi sangar, melumer bersama kulit
dan ototnya yang tak lagi kencang. Di hari-hari yang menjelang senja,
sang Tata menghabiskan sisa usianya di sebuah panti bernama Tresna
Werdha yang berlokasi di jalan Poros Malino Makassar. Kebetulan seorang
kawan di twitter (papabizkid @ramabizkid ) berbagi foto-foto sang
mantan preman hingga ke foto-foto koleksi pribadinya di jaman keemasan
dulu. Luar biasa, sosok yang dulu menakutkan dengan cambang, tatto dan
rambut gondrong baluta’ kini seperti seorang renta yang pias dengan
senyum hangat seperti seorang kawan yang lama tak bersua. Senyum
hangatnya seperti menghapus jejak sangar di wajahnya, bertahun-tahun
silam.
Tata Saraila, legenda dunia hitam kota
Makassar tahun 1980-an itu kini hidup dalam dunia yang putih. Dunia
dengan rambut putih keperakan bersama kawan-kawan usia senjanya sesama
penghuni panti Tresna Werdha. Kisah kelamnya mungkin tak elok untuk
dijadikan dongeng untuk anak-anak, tapi sosoknya layak untuk dikisahkan
sebagai salah satu urban legend kota Makassar.
==
Kisah diatas hanya sekelumit cerita yang saya dapatkan dari ingatan-ingatan yang terserak. Mungkin banyak yang tak benar atau sekadar mitos yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Kalau diantara kawan ada yang punya cerita lainnya tentu akan sangat berarti untuk memperbaiki kenangan kita tentang sang Tata. Terimakasih. (http://daengrusle.net/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar