Pan
Belog sangat
dungu.
Di desa
itu ia
terkenal
karena
kebodohannya.
Banyak
orang
mencemoohkan dan
menertawakannya.
Ia
bukan saja
tidak mau
bersekolah,
tetapi juga
tidak mau
bekerja. Namun
di depan
istrinya, ia
tidak pernah
menolak
tugas.
Ia tidak
suka dibilang
malas, dan
juga tidak
suka dibilang
bodoh.
"Bapane!"
seru istrinya
pada suatu
pagi.
"Hari
ini aku
sangat sibuk.
Tolong
belikan aku
dua ekor
bebek di
pasar.
Bebek
itu akan
digunakan upacara
di rumah
mertua."
Setelah
menerima uang,
Pan Belog segera
berangkat ke
pasar.
"Pilih
bebek yang gemuk
dan berat,
Bapane!" kata
istrinya lagi.
"Beres!"
jawab Pan Belog.
Baru
saja masuk
ke pintu
pasar, lelaki
bodoh itu
melihat banyak
pedagang bebek.
"Aku
beli dua
bebek.
Ini
uang!" katanya
kepada seorang
pedagang.
Pedagang
itu heran,
karena pembeli
bebek itu
mengambil begitu
saja dua
ekor bebek
dan menyerahkan
sekeping uang
ringgit.
Sebetulnya
ia masih
memiliki sisa
uang, tetapi
ia segera
pergi dan
tidak
memperdulikan uang
kembalian. "Aneh
benar laki-laki
itu," pikir
pedagang bebek.
"Ia
tidak menawar
dan tidak
menanyakan uang
kembalian,"
pikirnya lagi
sambil menyimpan
sekeping uang
ringgit itu.
Dalam
perjalanan pulang,
Pan Belog
melewati sebuah
sungai yang cukup
dalam.
Dalam
hatinya terlintas,
ingin mengetahui
keadaan bebek
itu.
Bebek-bebek
itu sangat
gemuk.
Istrinya
pasti senang
mendapatkan bebek
yang gemuk itu.
Bur! Geek, geek, geek!
Bebek-bebek
itu dilemparkan
ke sungai.
Bebek-bebek
itu
bersahut-sahutan riang
gembira.
Mereka berenang
ke
sana
ke mari.
Membenamkan
seluruh tubuhnya,
lalu mengambang
kembali.
"Kurang
ajar!" teriak Pan
Belog.
"Pedagang
itu telah
menipuku!"
katanya.
Lelaki
bodoh itu
mengira bebek-bebek
itu adalah
hewan palsu.
Tubuhnya
hanya terdiri
dari bulu-bulu,
sedangkan
badannya kosong.
Pan
Belog
meninggalkan bebek-bebek
palsu itu.
Ia
pulang dan
segera melaporkan
perbuatan
pedagang yang suka
menipu itu.
"Mana
bebekmu?
Dan mana uangmu?"
tanya
istrinya setelah
melihat Pan Belog
pulang dengan
tangan hampa.
"Aku
ditipu oleh
pedagang jahat
itu!" kata
Pan Belog
marah-marah.
Lalu
ia
menceritakan pengalamannya,
mulai dari
memilih bebek,
menyerahkan
sekeping ringgit,
dan melepas
bebek-bebek itu
di sungai.
"Bebek
itu kosong.
Hewan
itu hanya
terdiri dari
bulu-bulu," kata
Pan Belog menutup
ceritanya.
"Dasar
dungu!" teriak
istrinya
marah-marah.
"Bebek
berenang dikira
kosong!"
Istrinya
tambah marah
setelah
mengetahui suaminya
tidak membawa
uang kembalian.
Sang istri
mengambil sebilah
kayu lalu
mengancam
suaminya. Pan
Belog lari
terbirit-birit.
Ia
kembali ke
sungai untuk
mengambil
bebek-bebek itu.
Tetapi di
sana
tak ada
bebek yang
berenang.
***
Tak
ada yang perlu
diteladani dari
sifat dan
perilaku Pan
Belog.
Tokoh
yang benar-benar
dungu itu
tidak menyadari
kebodohannya.
Salah satu
sifat bodoh
adalah
ketidaksadaran
akan kebodohan.
Ada
beberapa
kemungkinan sifat
bodoh.
Mungkin
karena genetik,
menderita sakit,
dan mungkin
pula karena
kurangnya pengalaman
belajar.
Cerita
rakyat "Pan Belog
dan Bebek"
yang berasal dari
Bali itu lebih
menekankan
kebodohan karena
kurangnya
pengalaman belajar.
Ia
tidak tahu
sifat bebek
dan tidak
tahu menghitung
uang. Namun
ia
merasa dirinya
mampu dan
mengetahui
seluk-beluk bebek.
Jalan
pikirannya logis.
Benda
yang mengapung
adalah benda
ringan.
Walaupun
bebek itu
gemuk, tetapi
kegemukan itu
disebabkan
bulu-bulu yang tebal,
sedangkan isinya
kosong-melompong.
Ia
bermaksud
memenuhi permintaan
istrinya, yakni
membeli bebek
gemuk dan
berat.
Ternyata
bebek yang
dibelinya itu
kosong.
Ia tidak
menyalahkan
dirinya sendiri,
tetapi menuduh
pedagang yang
suka menipu.
Dongeng
mengenai orang
bodoh itu
tergolong dongeng
humor.
Kekuatan humornya
adalah sifat
aneh dan
cara
berpikir yang
tampak logis.
Apa yang
dikira logis
itu sesungguhnya
tidak logis.
Dua
unsur yang
bersimpang jalan
itu disebabkan
sifat dungu.
Ada
usaha dari
Pan Belog
memperbaiki kesalahannya,
tetapi terlambat.
Bebek-bebek
itu telah
hilang.
Mungkin
diambil orang
atau dihanyutkan
air sungai.
* made taro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar