Sabtu, 11 Juli 2015

Bromocorah

SIAPAKAH Bromocorah? Apabila kita kembali membaca cerita pendek karya penyair yang wartawan Mochtar Lubis, maka menjadi jelaslah siapa sebenarnya sosok Bromocorah itu. Apakah Almarhum Kusni Kasdut itu seorang bromocorah atau pahlawan? Apakah Sengkon dan Karta, atau Pak De yang terlibat kasus pembunuhan terhadap mantan pragawati Deice itu bromocorah atau bukan? Apakah saya seorang bromocorah atau tidak?

Dalam sebuah dialog di sebuah televisi swasta baru-baru ini, budayawan yang juga Pastor Muji Sutrisno berbicara banyak tentang moralitas, dan juga ukuran serta aktualisasi sebuah pandangan yang disepakati sebagai moral. Pada sisi dan zona lainnya, sastrawan muda Ayu Utami lebih melihat sekat moralitas sebagai sebuah produk sosial yang bersifat represif dan condong menisbikan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Dan nilai moral sering dipakai dan terperangkap dalam pola represif kekuasaan. Apakah itu kekuasaan politis, finansial, ekonomi, bahkan kekuasaan budaya.Antara sebutan bromocorah dan di sisi lainnya adalah moralitas, tentu akan sangat sulit kita menemukan titik temu dan pertemuannya. Bahkan antara laku moralitas dan derita sosial yang bernama bromocorah jelas-jelas saling bertabrakan, untuk tidak mengatakan berlawanan.

Kembali kepada cerita pendek Mochtar Lubis “Bromocorah”, jelaslah dapat tertangkap, bahwasannya sebutan sosial sebagai bromocorah sangat erat kaitannya dengan sikap dan laku budaya masyarakatnya. Dan untuk Ayu Utami lebih tegas menyatakan, bahwasannya nilai-nilai moral yang sering mengemuka pada tataran sosial di Indonesia adalah nilai moral yang terkemas demikian apik oleh kepentingan dibelakangnya. Dan sekali lagi Ayu Utami menyatakan penerapan nilai moral cendrung pilih kasih dan diskriminatif, tergantung siapa memegang kendali di belakangnya. Dan hal seperti ini sering erat dan terkait dengan wilayah kekuasaan.

Secara laku, tokoh yang di-cap sebagai bromocorah ternyata sesosok anak manusia yang justru menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam penterjemahan seorang jawara. Dimana tokoh itu lebih mengedepankan sikap kependekarannya dan juga keberanian sejatinya. Tetapi karena hukum sosial dan hukum masyarakat telah menvonisnya sebagai bromocorah, maka gelar dan sebutan itu akan beranak pinak sebagai genetik yang tidak mungkin untuk dicuci dan dibersihkan kembali.

Ketika tataran sosial yang kita hadapi adalah tataran sosial yang penuh rekayasa dan kepura-puraan, maka sebutan sebagai bromocorah pada komunitas culas, korup dan pengecut , jelas dapat dikonotasikan sebagai antitesis dari sebutan bromocorah itu sendiri. Apalagi kalau kita sepakat dengan apa yang dilontarkan oleh Ayu Utami dan Romo Muji tentang anatomi moralitas bangsa dan lain-lainnya yang juga penuh rekayasa dan akal-akalan itu. Maka kitapun boleh menjadi bangga atas sebutan atau gelar apa saja yang diberikan oleh masyarakat dan hukum sosial kita, termasuk sebutan sebagai bromocorah. Karena dalam masyarakat yang sakit, maka semua nilai akan terjungkirbalikkan sesuai dengan irama yang dibangun oleh tatanan masyarakat sosial kita. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat maling dan rampok, maka kaum jujurlah bromocorahnya. Dan demikian sebaliknya, dan seterusnya.

Bromocorah, ketika cerita pendek itu dituliskan oleh Mochtar Lubis boleh jadi juga berada pada wilayah kebimbangan. Sehingga dengan kearifan Mochtar Lubis menggariskan dalam cerita pendeknya itu, apabila masyarakatnya tidak berubah, maka dia akan tetap garis tangannya. Bagi orang-orang yang di-cap bromocorah, tentu tidak akan pernah ada jalan keluar, hanya kalau masyarakatnya secara struktural sosial berubah, baru hidup mereka akan bisa berubah. Tetapi apa iya?

Ketika Orde Lama tumbang, maka nilai-nilai sosial juga menjadi lain disesuaikan dengan selera pemerintahan pengganti. Demikian juga ketika Orde Baru ditumbangkan oleh Orde Reformasi. Nilai-nilai juga terjungkirbalikkan. Tetapi, ketika ruang lebih terbuka, dan perubahan ke arah kebaikan tidak terjadi, maka kitapun berlomba-lomba untuk menjadi hakim atas manusia lainnya. Dan berlomba-lomba menbromocorahkan manusia lain, agar kebromocorahan kita tidak diketahui. Itu artinya, apa yang dilontarkan Mochtar Lubis tentang perubahan masyarakat ternyata tidak secara otomatis ikut berimbas secara moral. Dan saya sepakat dengan Romo Muji dan Ayu Utami. Bahwasannya ukuran moralitas kita sangatlah represif. Dan semuanya kembali kepada kekuasaan. Bukan hanya sebatas kekuasaan pemerintah secara fasih, tetapi juga kekuasaan lainnya. Bahkan juga arogansi agama dan adat, menjadi tiang penentu ukuran moralitas. Dan diselenggarakan dengan pilih kasih – diskriminatif. Maka berbahagialah orang-orang yang di-cap sebagai bromocorah pada tatanan sosial masyarakat maling. Dan rupanya kini kita memang berada pada lingkungan masyarakat maling. Rampok kata WS. Rendra
sumber: http://kalanganindependen.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar