Komposer
ini terkenal dalam tiga dunia musik sekaligus: keroncong, gamelan, dan
musik kontemporer. Pada yang pertama, lingkungan tempat lahirnya di
kampung Mangkuyudan, Surakarta, yang riuh oleh kegiatan
keroncong—kebetulan juga didiami oleh penyanyi legendaris
Waljinah—adalah alasan lelaki kelahiran 2 Maret 1971 ini menggeluti
musik tersebut. Lingkungan yang kondusif itu telah menggembleng pemilik
nama Danis Sugiyanto ini bukan saja mahir memainkan keroncong, tapi
sekaligus pakar di dunia musik ini. Ia menyusun tesis berjudul
”Sumbangan Komponis Gesang Martohartono terhadap Musik Indonesia”, untuk
meraih gelar pascasarjana di Universitas Gajah Mada (UGM).
Karirnya di jagat keroncong dimulai dengan bergabung dengan Orkes Keroncong Tirtasari. Selanjutnya, ia turut membidani lahirnya kelompok Swastika sekaligus sebagai direktur artistik di sana. Kelompok tersohor ini dikenal kerap melakukan eksplorasi teknis dan penjelajahan bentuk komposisi yang progresif. Bersama Swastika, pengagum Gesang Martohartono ini melakukan eksperimen keroncong yang kemudian melahirkan karya “Pasamuan Panggung” pada tahun 2003, dilanjutkan “Conglung” tahun 2005, dan “Eksperimen Keroncong” tahun 2007. Masih bersama kelompok ini, pada Oktober 2011 lalu, menampilan ”Swabuwana Group” di Knejpe Festival, Helsingor, Denmark. Pengajar di Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini, jauh sebelumnya turut dalam pembuatan album rekaman bersama buaya keroncong Anjarany (1996) dan Waljinah (2008).
Adapun ihwal kepandaiannya memainkan gamelan adalah bakat yang diturunkan oleh orang tuanya. Ayahnya, Sugiman, adalah seorang pengrawit yang terkenal sebagai pemain kendang handal—terlebih untuk kendangan tari wireng. Sugiman semula aktif sebagai penari Ramayana sejak panggung terbuka Candi Prambanan berdiri. Setelah dikenal mahir memainkan kendang, ia kemudian menjadi pengendang sendratari tersebut sampai wafat. “Bapak adalah seniman karawitan yang selalu mengajak (saya) latihan ataupun pentas,” ujarnya meski ia mengaku mulai berlatih secara sungguh-sungguh ketika duduk di bangku SMP 3 Surakarta. Yaitu, ketika mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang diasuh oleh gurus keseniannya, Pak Katiman.
Sebagaimana keroncong, gamelan pun seperti sudah menjadi makanannya saban hari, di rumah ataupun lingkungan sekolah. Untuk lebih memperdalam kemampuan bermusiknya, pada tahun 1990 ia melanjutkan kuliah di Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Lulus dari STSI, bapak dua anak ini diangkat sebagai staf lokal KBRI Santiago, Chile (1997-2000). Sepulangnmya dari Chile, ia meneruskan studi Pascasarjana Program Studi Humaniora Pengkajian Seni Pertunjukan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kemahiran teknis serta ketekunannya dalam mendalami pengetahuan gamelan menasbihkan dirinya sebagai komponis sekaligus pakar musik gamelan.
Ia kerap diundang memberikan workshop gamelan baik di tingkat lokal ataupun manca negara. Pada tahun 2001 ia memberikan workshop di University of Taipe, Taiwan. Lalu, tahun 2005-2006 menjadi tutor karawitan program Pendidikan Apresiasi Seni di Universitas Muhamadiyah Surakarta. Ia pun pernah diminta memberikan pelatihan karawitan untuk program pembinaan mental di Lembaga Pemasyarakatan Anak Jateng dan DIY di Kutoarjo, tahun 2009. Dan pada bulan Maret 2011 lalu, ia terlibat workshop bersama Teater Works Singapore di New York. Sejak tahun 2000 hingga kini komponis pemain biola ini menjadi pengasuh kelompok karawitan Marsudi Renaning Manah (MAREM) di kampung Kemlayan, Surakarta.
Musik keroncong dan karawitan telah membentuknya menjadi seniman yang disegani di Surakarta. Keduanya telah membawanya keliling dunia baik sebagai seniman maupun pakar musik. Keduanya juga telah membentuknya sebagai komponis yang melahirkan karya-karya kontemporer, yang sebagian besar bersumber dari pengaruh kedua musik tersebut. ”Samangke”—untuk menyebut salah satu karya yang dibuat ketika bergabung dengan kelompok musik Sonoseni Ensemble—adalah komposisi yang terangkai dalam jalinan keroncong yang berkelindan dengan beberapa sumber musik seperti karawitan, folk, bahkan blues.
Sementara, karyanya yang sangat fenomenal tentu saja komposisi ”Bahana Gita Persada”. Berkolaborasi dengan komponis Dedek Wahyudi, karya yang ditampilkan untuk membuka Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia 2011 ini terjalin dalam bebunyian yang kontras, namun menunjukan integrasi musikal yang padu.
Karirnya di jagat keroncong dimulai dengan bergabung dengan Orkes Keroncong Tirtasari. Selanjutnya, ia turut membidani lahirnya kelompok Swastika sekaligus sebagai direktur artistik di sana. Kelompok tersohor ini dikenal kerap melakukan eksplorasi teknis dan penjelajahan bentuk komposisi yang progresif. Bersama Swastika, pengagum Gesang Martohartono ini melakukan eksperimen keroncong yang kemudian melahirkan karya “Pasamuan Panggung” pada tahun 2003, dilanjutkan “Conglung” tahun 2005, dan “Eksperimen Keroncong” tahun 2007. Masih bersama kelompok ini, pada Oktober 2011 lalu, menampilan ”Swabuwana Group” di Knejpe Festival, Helsingor, Denmark. Pengajar di Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini, jauh sebelumnya turut dalam pembuatan album rekaman bersama buaya keroncong Anjarany (1996) dan Waljinah (2008).
Adapun ihwal kepandaiannya memainkan gamelan adalah bakat yang diturunkan oleh orang tuanya. Ayahnya, Sugiman, adalah seorang pengrawit yang terkenal sebagai pemain kendang handal—terlebih untuk kendangan tari wireng. Sugiman semula aktif sebagai penari Ramayana sejak panggung terbuka Candi Prambanan berdiri. Setelah dikenal mahir memainkan kendang, ia kemudian menjadi pengendang sendratari tersebut sampai wafat. “Bapak adalah seniman karawitan yang selalu mengajak (saya) latihan ataupun pentas,” ujarnya meski ia mengaku mulai berlatih secara sungguh-sungguh ketika duduk di bangku SMP 3 Surakarta. Yaitu, ketika mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang diasuh oleh gurus keseniannya, Pak Katiman.
Sebagaimana keroncong, gamelan pun seperti sudah menjadi makanannya saban hari, di rumah ataupun lingkungan sekolah. Untuk lebih memperdalam kemampuan bermusiknya, pada tahun 1990 ia melanjutkan kuliah di Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Lulus dari STSI, bapak dua anak ini diangkat sebagai staf lokal KBRI Santiago, Chile (1997-2000). Sepulangnmya dari Chile, ia meneruskan studi Pascasarjana Program Studi Humaniora Pengkajian Seni Pertunjukan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kemahiran teknis serta ketekunannya dalam mendalami pengetahuan gamelan menasbihkan dirinya sebagai komponis sekaligus pakar musik gamelan.
Ia kerap diundang memberikan workshop gamelan baik di tingkat lokal ataupun manca negara. Pada tahun 2001 ia memberikan workshop di University of Taipe, Taiwan. Lalu, tahun 2005-2006 menjadi tutor karawitan program Pendidikan Apresiasi Seni di Universitas Muhamadiyah Surakarta. Ia pun pernah diminta memberikan pelatihan karawitan untuk program pembinaan mental di Lembaga Pemasyarakatan Anak Jateng dan DIY di Kutoarjo, tahun 2009. Dan pada bulan Maret 2011 lalu, ia terlibat workshop bersama Teater Works Singapore di New York. Sejak tahun 2000 hingga kini komponis pemain biola ini menjadi pengasuh kelompok karawitan Marsudi Renaning Manah (MAREM) di kampung Kemlayan, Surakarta.
Musik keroncong dan karawitan telah membentuknya menjadi seniman yang disegani di Surakarta. Keduanya telah membawanya keliling dunia baik sebagai seniman maupun pakar musik. Keduanya juga telah membentuknya sebagai komponis yang melahirkan karya-karya kontemporer, yang sebagian besar bersumber dari pengaruh kedua musik tersebut. ”Samangke”—untuk menyebut salah satu karya yang dibuat ketika bergabung dengan kelompok musik Sonoseni Ensemble—adalah komposisi yang terangkai dalam jalinan keroncong yang berkelindan dengan beberapa sumber musik seperti karawitan, folk, bahkan blues.
Sementara, karyanya yang sangat fenomenal tentu saja komposisi ”Bahana Gita Persada”. Berkolaborasi dengan komponis Dedek Wahyudi, karya yang ditampilkan untuk membuka Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia 2011 ini terjalin dalam bebunyian yang kontras, namun menunjukan integrasi musikal yang padu.
Joko S Gombloh - penulis
Profil
“Konsep
cipta musikku berkembang dari awal belajar sampai sekarang.” Demikian
kata Danis Sugiyanto tentang konsepnya dalam membuat karya musik. Diksi
kalimat itu menunjuk pengertian bahwa rentang waktu yang panjang sebagai
musisi yang aktif pentas dan berproses di berbagai hajatan musik
tradisional, modern, postmodern, bahkan musik pop masa kini telah
memberi bekal kekayaan perspektif garap kompositoriknya. Sungguhpun, di
antara keluasan cakrawala itu ia juga menegaskan: ide musikalnya lebih
banyak bersumber dari gamelan dan keroncong.
“Bahana Gita Persada” karya komposisi yang sarat permainan aneka bentuk dan jenis musik itu menunjukkan betapa, sebagai direktur musik, ia memiliki keluasan konsep yang membentang. “Dengan meramu menjadi satu, kami mengambil filosofi kebhinekaan sesuai dengan tema pertunjukan,” jelas Danis tentang karyanya yang dipresentasikan pada Temu Karya Taman Budaya Indonesia itu. Ia menambahkan, “Komposisi musik ini juga telah dikinikan dengan garapan baru, namun masih tetap mengusung spirit keasliannya.”
Walhasil, “Bahana Gita Persada” menjadi tak sekadar konser karawitan biasa. Konser ini bahkan mengajak tak kurang 75 pengrawit. Berpuluh pengrawit itu menyuguhkan influence musik yang pelangi: mulai dari gamelan Sekaten, Monggang, Corobalen, Gong Kebyar, keroncong, hingga string section sebagai penyokong nuansa musik Barat.
Kehadiran aneka bentuk dan jenis gamelan di karya ini tentu tak semata tuntutan kolosal. Gamelan Sekaten yang bersuara keras menambah keagungan kompositorik. Ketika dipadukan dengan gamelan Corobalen—yang feminin dan mistis—hasilnya sebuah perpaduan sorai bunyi yang gemuruh tapi sekaligus mistis. Terlebih ketika kemudian ditimpali gamelan Monggang yang maskulin—gamelan yang hanya ditabuh saat putera lelaki raja lahir atau, pada masa silam, untuk mengiringi adu manusia lawan banteng—maka perpaduan itu kian komplit antara keagungan yang dinamis, megah, khidmat, sekaligus mistis. Hadirnya nuansa Gong Gebyar lewat permainan seperangkat gamelan Bali yang rancak, berikut suara sinden Jawa yang lembut, semakin menegaskan kontras keseluruhan bangunan komposisi.
“Kami ingin mengembalikan fungsi gamelan ini dengan mengolaborasikan berbagai macam jenis gamelan. Sebagai ucapan selamat datang, kami menyuguhkan irama yang megah, syahdu, kidmat, riang sekaligus mistis namun tidak ada unsur kesedihan di dalamnya,” terang Danis yang mengaku Rahayu Supanggah dan Wayan Sadra sebagai dua tokoh yang memberi pengaruh besar pada karya-karyanya itu.
Penggabungan itu tentu berbeda dengan, misalnya, komposisi “Bedah Dot Com” yang diciptakannya jauh lebih awal. Di sini, komposer yang turut mengiringi musik teater La Galigo karya sutradara Robert Wilson ini, memilih pola tabuh cengkok gender yang dimainkan dengan alat-alat musik combo band. Notasi gender Jawa dan juga cengkok tradisi lainnya ditransformasi ke dalam pola permaianan alat musik piano, gitar, trompet, flute, dan sebagainya. "Ini dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang segar, kaya, dan full orkestrasi combo band," tandas Danis kala itu.
Juga pada karyanya yang bertajuk “Arus Monggang”, ia mengeksplorasi wilayah nada Gamelan Monggang dengan cara tak sewajarnya. Dengan menghilangan satu atau beberapa nada dalam Monggang, ia dapat memunculkan efek dan kesan yang berbeda, walaupun dalam takaran pulsa dan nada yang sama. Karya ini, juga lebih kelihatan matematis oleh pola meter yang selalu berubah namun dalam keketatan pola yang rigid.
Karya-karya di atas—beserta komposisi-komposisinya yang lain seperti “Arus Sungai dan Peradaban”, ”Samangke”, ataupun karya-karyanya yang dipakai untuk mengiringi teater dan tari—adalah karakter yang khas komposisi Danis Sugiyanto.
“Bahana Gita Persada” karya komposisi yang sarat permainan aneka bentuk dan jenis musik itu menunjukkan betapa, sebagai direktur musik, ia memiliki keluasan konsep yang membentang. “Dengan meramu menjadi satu, kami mengambil filosofi kebhinekaan sesuai dengan tema pertunjukan,” jelas Danis tentang karyanya yang dipresentasikan pada Temu Karya Taman Budaya Indonesia itu. Ia menambahkan, “Komposisi musik ini juga telah dikinikan dengan garapan baru, namun masih tetap mengusung spirit keasliannya.”
Walhasil, “Bahana Gita Persada” menjadi tak sekadar konser karawitan biasa. Konser ini bahkan mengajak tak kurang 75 pengrawit. Berpuluh pengrawit itu menyuguhkan influence musik yang pelangi: mulai dari gamelan Sekaten, Monggang, Corobalen, Gong Kebyar, keroncong, hingga string section sebagai penyokong nuansa musik Barat.
Kehadiran aneka bentuk dan jenis gamelan di karya ini tentu tak semata tuntutan kolosal. Gamelan Sekaten yang bersuara keras menambah keagungan kompositorik. Ketika dipadukan dengan gamelan Corobalen—yang feminin dan mistis—hasilnya sebuah perpaduan sorai bunyi yang gemuruh tapi sekaligus mistis. Terlebih ketika kemudian ditimpali gamelan Monggang yang maskulin—gamelan yang hanya ditabuh saat putera lelaki raja lahir atau, pada masa silam, untuk mengiringi adu manusia lawan banteng—maka perpaduan itu kian komplit antara keagungan yang dinamis, megah, khidmat, sekaligus mistis. Hadirnya nuansa Gong Gebyar lewat permainan seperangkat gamelan Bali yang rancak, berikut suara sinden Jawa yang lembut, semakin menegaskan kontras keseluruhan bangunan komposisi.
“Kami ingin mengembalikan fungsi gamelan ini dengan mengolaborasikan berbagai macam jenis gamelan. Sebagai ucapan selamat datang, kami menyuguhkan irama yang megah, syahdu, kidmat, riang sekaligus mistis namun tidak ada unsur kesedihan di dalamnya,” terang Danis yang mengaku Rahayu Supanggah dan Wayan Sadra sebagai dua tokoh yang memberi pengaruh besar pada karya-karyanya itu.
Penggabungan itu tentu berbeda dengan, misalnya, komposisi “Bedah Dot Com” yang diciptakannya jauh lebih awal. Di sini, komposer yang turut mengiringi musik teater La Galigo karya sutradara Robert Wilson ini, memilih pola tabuh cengkok gender yang dimainkan dengan alat-alat musik combo band. Notasi gender Jawa dan juga cengkok tradisi lainnya ditransformasi ke dalam pola permaianan alat musik piano, gitar, trompet, flute, dan sebagainya. "Ini dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang segar, kaya, dan full orkestrasi combo band," tandas Danis kala itu.
Juga pada karyanya yang bertajuk “Arus Monggang”, ia mengeksplorasi wilayah nada Gamelan Monggang dengan cara tak sewajarnya. Dengan menghilangan satu atau beberapa nada dalam Monggang, ia dapat memunculkan efek dan kesan yang berbeda, walaupun dalam takaran pulsa dan nada yang sama. Karya ini, juga lebih kelihatan matematis oleh pola meter yang selalu berubah namun dalam keketatan pola yang rigid.
Karya-karya di atas—beserta komposisi-komposisinya yang lain seperti “Arus Sungai dan Peradaban”, ”Samangke”, ataupun karya-karyanya yang dipakai untuk mengiringi teater dan tari—adalah karakter yang khas komposisi Danis Sugiyanto.
Joko S Gombloh - penulis
Karya
2012, “Prihatin”, musik untuk ilustrasi Roro Mendut
2012, “Janturan”, musik untuk ilustrasi Roro Mendut
2011, “Swabuwana”, komposisi musik
2011, “Carabalen Orkestra”, musik untuk ilustrasi tari Swargaloka Grup
2011, “Bahana Gita Persada”, musik konser Karawitan
2010, “Musik Fashion Show Anne Avantie”
2010, “Urip”, komposisi musik
2010, “Arus Monggang”, musik untuk ilustrasi tari Matah Ati
2010, “Wayang Kroncong,” musik untuk iringan wayang
2009, “Aku, Wanita dan Kebaya”, musik untuk ilustrasi fashion show Anne Avantie
2009, “Wayang Kethoprak Pendhapan”, musik untuk iringan ketoprak
2009, “Circular Ruins”, musik untuk iringan tari Substation
2009, “Bedah dot Com,” komposisi musik
2008, “Arus Sungai dan Peradaban”, musik untuk tari
2007, “Conglung”, komposisi musik
2012, “Janturan”, musik untuk ilustrasi Roro Mendut
2011, “Swabuwana”, komposisi musik
2011, “Carabalen Orkestra”, musik untuk ilustrasi tari Swargaloka Grup
2011, “Bahana Gita Persada”, musik konser Karawitan
2010, “Musik Fashion Show Anne Avantie”
2010, “Urip”, komposisi musik
2010, “Arus Monggang”, musik untuk ilustrasi tari Matah Ati
2010, “Wayang Kroncong,” musik untuk iringan wayang
2009, “Aku, Wanita dan Kebaya”, musik untuk ilustrasi fashion show Anne Avantie
2009, “Wayang Kethoprak Pendhapan”, musik untuk iringan ketoprak
2009, “Circular Ruins”, musik untuk iringan tari Substation
2009, “Bedah dot Com,” komposisi musik
2008, “Arus Sungai dan Peradaban”, musik untuk tari
2007, “Conglung”, komposisi musik
Kontak
Danis Sugiyanto
Pondok Baru Permai Blok H No.19, Gentan, Baki Sukoharjo, Central Java
Phone | : | 08122605495 |
: | danissugiyanto@hotmail.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar