Pada zaman dahulu alkisah Senapati Buto Locaya memiliki dua rang anak yang bernama Joko Lodro dan Singo Lodro. Ketika Joko Lodro berusia 10 tahun dan Singo Lodro berusia 6 tahun telah ditinggal ibunya untuk menghadap Yang Kuasa, maka dicelah-celah kesibukan Senopati Buto Locayo ini dengan sabar dan semangat mendidik kedua putranya hingga dewasa dengan menurunkan ilmu-ilmu kesaktian dan kanuragan yang masing-masing mewarisi ilmu Handoko Kurdo dan ilmu Banteng Amuk.
Mengingat kesibukan ayahnya dalam mendampingi Maha Patih Narotama, Senopati Buto Locayo tidak mengawasi anaknya secara ketat sehingga anak tersebut berulah berbuat onar dimasyarakat yang sampai terdengar oleh Prabhu Erlangga. Dengan kejadian ini marahlah Senopati Buto Locayo pada kedua anaknya yang disabdakan jadi mirip seekor macan dan seekor kerbau dan kemudian disuruh pergi ke arah barat tak boleh barada di Kahuripan. Lambat laun kedua pemuda ini membuat daerah sendiri yang diberi nama Bandarangin dimana Joko Lodro bergelar Mahesosuro dan Singo Lodro bergelar Jatasuro. Mahesuro mendengar bahwa di Dahanapura ada seorang yang cantik jelita, kemudian menyuruh adiknya untuk melamarkannya. Ketika adiknya datang ke Dahanapura melihat kecantikan Dewi Kilisuci, Jatasuro berbalik hati.
Oleh karena itu ia mempunyai niat untuk mempersuntingnya sendiri dengan membunuh Mahesasura, kakaknya sendiri. Setelah niatnya berhasil, Dewi Kilisuci memberi syarat agar dibuatkan sumur dibukit Kelud sampai keluar airnya dan diselesaikan sebelum fajar tiba.
Patih Pujanggeleng dan Dewi Kilisuci datang untuk memeriksa hasilnya, kemudian sang patih bersiasat untuk membawa prajurit yang telah siap membawa daun-daun kelor dan tombak-tombak kelor bersiaga di dekat sumur tersebut ketika telah dekat sumur. Patih Pujanggeleng memasukkan boneka mirip Dewi Kilisuci ke dalam sumur, tanpa pikir panjang Jatasura langsung menolongnya sebab ia khawatir jatuhnya sang Dewi dapat meninggal karena benturan batu yang ada di dalam sumur.
Tak lama kemudian ribuan prajurit memasukan daun kelor dan tombak-tombak kelor beserta batu-batuan ke dalam sumur tersebut sampai penuh, dan akhirnya tamatlah riwayat Jatasura dengan mengeluarkan sesumbar: “Yoh wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping yoiku, Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi Latar, Tulung Agung Bakal dadi kedhung” Dengan tumpukan batu-batuan yang menggunung inilah kemudian masyarakat menamakan tempat ini menjadi sebuah Gunung Kelud.
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Panduan Obyek Wisata di Kabupaten Kediri. Kantor Parsenibud Kabupaten Kediri, Kabupaten Kediri, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar